0.9

1348 Words
Andai semua kesalahan bisa ditebus dengan cara seindah ini. Hilara mau membuat salah banyak-banyak. Alasannya biar bisa jalan sama Lucas. Ah, cowok itu! Kalau begini, kan, Hilara jadi deg-degan. Ingin rasanya mempercepat gerak jarum jam ke angka delapan. Nanti malam akan jadi dinner romantis pertamanya dengan Lucas. Dari pulang sekolah, Hilara belum berhenti membayangkan makan malam ala orang kaya yang sering dilihatnya di drama-drama. Hilara sedang mengacak-acak pakaian dalam koper ketika Juna berdiri di ambang pintu sembari melipat tangan di d**a. Juna berdecak, pulang kerja langsung disuguhi pemandangan kapal pecah di kamar putrinya. Berantakan sekali. Entah apa yang sedang dicari Hilara. Sesungguhnya kepala Juna ikut pecah. “Daripada diem nggak jelas, mending Om bantuin aku,” sindir Hilara. Juna menghela napas, keberadaannya telah disadari. Agak berjinjit Juna melewati pakaian yang berserakan, dia menghampiri Hilara. “Lagi ngapain sih?” “Cari baju,” jawab Hilara. “Buat dinner." “Buseet! Belum ada sebulan tinggal di kota, udah tahu dinner aja.” “Tahu dong. Makan malam romantis kayak di film-film gitu." “Ini baju atau kain pel, sih? Buluk amat.” Juna mengangkat satu pakaian dengan pandangan jijik. Baju yang dilempar Juna adalah pemberian seorang donatur dua tahun lalu. Benar kata Juna, tidak satu pun pakaian Hilara layak pakai untuk acara malam ini. Maklum, Hilara mendapatkan baju selama hidup di panti mengandalkan hasil rebutan dengan anak panti. Yang paling bagus baju lebaran tahun lalu. Itu pun sudah terlalu sering dipakai ke acara-acara. Diamnya Hilara menyadarkan Juna bahwa perkataannya menyinggung anak itu. Juna berdeham mengalihkan pembicaraan. “Dinner sama siapa?” “Lucas,” jawab Hilara sembari tersenyum malu, membayangkan dirinya dan Lucas berjalan di atas karpet merah menuju sebuah tempat yang setiap sudutnya ada lilin-lilin menyala. “Kulkas?” Juna mengernyit. Bayangan Hilara bubar. “Lucas, Om ....Teman sekelas aku. Kebiasaan deh ganti-ganti nama orang. Lucas tuh baik tauk sering nolong aku.” Duduk di ujung tempat tidur, Juna mencibir, “Baikan gue kali. Nggak ada dinner-dinner.” “Ih, kenapa?” Hilara memberengut, tiba-tiba Juna menjatuhkan mood baiknya. “Lo cuma bisa keluar rumah pas siang aja atau sama gue. Malam itu waktunya istirahat. Lagian, gue kan belum tahu bibit-bobotnya si Kulkas-Kulkas ini.” "Lucas!" Hilara melempar baju dalam genggamannya kesal. “Cuma makan malam doang, Om. Bukan mau lamaran. Ribet amat pakai bibit, bebet, bobot segala.” “Iya, makan malam, tapi berduaan, sama cowok lagi. Pokoknya malam ini lo nggak akan bisa keluar apartemen. Gue kepala keluarga ya di sini. Jadi harus ikutin aturan gue.” “Om, plis ... sekali aja. Aku mau ngerasain dinner.” “Nggak ada, Hilara ....” Juna mengabaikan permohonan Hilara. Cukup tahu, sampai mana pengaruh orang itu terhadap anaknya. Juna tidak sudi perhatian anaknya direbut laki-laki lain. Baru saja mereka bersama masa diabaikan, pikir Juna. “Kenapa sih ngebet banget dinner sama orang asing? Nggak bisa dinner-nya diganti sama acara makan siang di kantin sekolah aja? Kalau mau merasakan dinner, sama gue kan bisa. Gue sama dia sama-sama cowok, gue cakep, kaya, dinner sama gue lo bebas makan sepuasnya, kalau kita jalan paling gue dibilang abang lo—“ “Ya, beda atuh! Terakhir kita makan di restoran aja paginya mukaku langsung masuk berita. Nggak deh, makasih!” Juna meringis. Sebagai orang terkenal dan sering muncul di televisi, kebebasan kegiatan Juna di luar sangat dibatasi. Berita yang susah payah dia redam minggu kemarin contohnya. Gara-gara seorang fans mengambil potret dia makan bersama Hilara, selama beberapa hari lobi apartemen di penuhi wartawan. Alhasil, Juna kesulitan keluar masuk apartemennya sendiri. Ditambah Hilara marah. Pikiran Juna jadi ke mana-mana saat kerja. "Hasil dari gosip itu gue diundang ke banyak show, loh. Lumayan buat nambahin uang jajan.” “Haha.” Hilara tertawa meledek. Pasalnya candaan Juna sama sekali tidak lucu. Ini menyangkut reputasi Hilara di tempat baru. Kalau saja Juna tahu gara-gara berita itu hingga kini satu sekolah menganggap Hilara gadis nakal. Apa Juna masih bisa duduk nyaman menyilangkan kaki seperti itu? Hilara urung mengeluarkan sangkalan. Apa pun yang terjadi di kehidupan Hilara bagi Juna bisa dijadikan candaan. Yang terpenting menurut Juna hanya uang bukan perasaan keluarga. Tahukah Juna bahwa uang bukan segalanya? Dibanding menanyakan kabar Hilara di sekolah baru, Juna malah menanyakan fashion anak-anak Deltaepsilon. Juna bahkan memberikan sebuah kartu ajaib berwarna hitam yang bisa dipakai untuk beli apa saja. Anak-anak elit Deltaepsilon punya jenis kartu ajaib itu, cuma Hilara yang belum pernah menggunakannya. Malas, nanti hutangnya pada Juna menggunung. “Oke deh, gue kasih izin,” ujar Juna tak tega melihat Hilara melamun. “Asal ada syaratnya.” Juna meminta syarat, dengan cepat Hilara mengiyakan. Yang penting bisa pergi bertemu Lucas. Walau perasaannya mulai gundah. Juna suka memberi syarat aneh-aneh. Badan Juna dicondongkan, sikunya bertumpu pada lutut. “Satu, soal baju dan make up lo malam ini biar jadi urusan gue.” Itu baru satu. Hilara mengangguki persyaratan pertama sangat menguntungkan. Dia jangan sampai mempermalukan Lucas. “Dua ...,” Juna sengaja menjeda, melihat kecemasan di wajah Hilara. “gue ikut.” Hilara melotot. “Ikut ke mana?” Senyum licik Juna bersamaan suara petir. “Dinner.” *** Blam! Bantingan pintu menggema ke penjuru basement. Juna mengusap dadanya kaget, melihat punggung gadis bergaun merah berjalan tertatih-tatih dari kaca depan. Dia buru-buru turun dari mobil mengejarnya, bergerak waspada takut gadis itu terjatuh. Dia tampak kesulitan berjalan sampai melempar sepatu berhak tingginya penuh kekesalan. Juna memungut sepasang sepatunya di lantai basement. Memasuki lift, pergerakan angka berwarna merah menjadi tontonan. Isakan kecil terdengar olehnya  sejak lift merangkak ke lantai atas. Di jam mendekati tengah malam begini, jarang ada yang keluar-masuk apartemen dan menggunakan kendaraan kotak dalam gedung itu. Tapi aneh, perjalanan menuju unit mereka terasa lambat. Melirik wajah kacau Hilara,  Juna menghela napas lagi-lagi jadi alasan Hilara menangis. “Lo nangis?” Hilara mendelik, memperlihatkan mata merahnya. “Nggak!” Udah tau, nanya! Lanjut Hilara dalam hati. “Terus apa namanya kalau bukan nangis tapi keluar air mata?” Juna mengodok saku celana. “Nih.” “Apaan?” Suara Hilara ngirung, ditatapnya sehelan kain yang diulurkan Juna. Biar gue nggak terlalu merasa bersalah udah bikin lo nangis, batin Juna. “Buat ngelap air mata lo. Kalo apartemen ini banjir, bahaya.” “Om bisa nggak sih nggak nyebeli sehari ... aja?” Hilara merebut kain berwarna biru tua itu dari tangan Juna. Diusapnya air mata yang berderai-derai membasahi pipi. Bunyi lift terbuka bersamaan pemandangan temaram lorong menuju unit menyambut mereka. “Ganteng sama nyebelin gue kan satu paket dari lahir, La. Mana bisa dipisahkan.” Namun bukannya tertawa, tangisan Hilara makin parah. “Dinner pertama aku gagal gara-gara Om! Merasa bersalah kek, apa kek.” Ketika pintu apartemen mereka terbuka, Hilara menerobos begitu saja, menubruk Juna. Perlakuannya menjelaskan ketidaksukaannya pada sikap Juna. “Om jahat, nggak suka lihat aku senang.” “Sok tahu!” timpal Juna. “Mana ada bapak yang nggak senang lihat anaknya senang.” “Ada. Om Juna orangnya.” Om lagi, Om lagi. Telinga Juna gatal dipanggil “Om” terus oleh anaknya sendiri. Namun apa daya. Sadar emosi Hilara sedang meluap-meluap, Juna membiarkannya tanpa menyela. “Gara-gara Om aku bingung gimana menghadapi Lucas di sekolah besok. Dia pasti marah bajunya ketumpahan kopi panas. Om sengaja kan numpahin kopi itu ke tangan Lucas?” Mata Juna melebar. “Astaga ..., Lara. Gue seburuk itu ya di mata lo?” “Aku lihat Om senyum pas Lucas kena tumpahan kopi panas. Apa nggak cukup menjelaskan Om sengaja melakukan itu, ha?” “Gue senyum karena seneng dia bakal cepet-cepet pergi, bukan karena gue suka lihat anak orang kesakitan. Ngerti nggak sih? Gue itu nggak suka lo deket-deket sama dia. Makanya gue ikut lo dinner.” “Iya, kenapa?!” bentak Hilara, pelupuk matanya berembun lagi. "Kenapa Om nggak suka temanku? Lucas lebih baik dari Om!" “Ya, karena gue nggak suka!” Juna balik membentak. Kekagetan tergambar jelas di wajah Hilara. "Apa lagi alasannya?" Hilara menelan ludah sakit. Sedangkan Juna mengusak kasar rambutnya, sedikit memberi cengkeraman kuat agar tersadar pada perbuatannya barusan, membentak Hilara. “Dan soal tuduhan lo itu ... gue nggak terima. Gue memang bukan bapak yang baik, tapi gue nggak pernah nyakitin orang terutama lo, La. Gue—“ sayang sama lo, La. Lo satu-satunya hal terpenting di dunia ini yang masih gue punya. Kata-kata itu menggantung diujung lidahnya. Juna menghela napas. “—gue peduli sama lo.” Sebaris kalimat terakhir Juna mampu meremas perasaan Hilara. Namun kemarahannya jauh lebih besar. “Bohong!" jerit Hilara menggema. Sepasang mata Hilara berubah gelap. Ditatap nyalang penuh kebencian begitu, Juna terkesiap. Hatinya linu mendapatkan perlakuan ini dari darah daging sendiri. “Kalau peduli, Om nggak akan buang aku ke panti,” tambah Hilara dengan suara bergetar. Lalu Juna kehilangan kendali atas tangannya sendiri. Dia menampar Hilara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD