•Sumber Kehidupan; Uang•

2508 Words
Ada yang lebih magis dari sihir. Ada yang lebih tajam dari sebilah pisau. Ada yang lebih kejam dari fitnah. • Orang-orang terkadang rela menukar apa pun yang ia punya demi sesuatu yang fana. Apa pun. Termasuk, organ tubuh, harga diri, jabatan, semua demi, uang. • Simbol kehidupan. • Katanya, kehidupan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya jika tidak ada uang. Lantas, bisakah uang berguna jika tidak ada kehidupan? • Percayalah. Yang fana itu cepat hilang. •••••••••• Ada satu tempat di rumah bak istana itu yang sering Rahma kunjungi, rutin Rahma datangi, selalu menenangkan suasana hati Rahma. Tempat yang sudah ia anggap miliknya sendiri. Di sana sepi, sunyi, penuh debu, jarang orang datang ke sana jika bukan dirinya yang memberanikan diri masuk diam-diam lalu duduk dengan tenang. Rahma masih ingat, tiga tahun lalu, saat dirinya baru lulus SD, sang bapak memutuskan membawa anak dan istrinya merantau ke Jakarta lantaran terlilit hutang di kampung. Bapaknya Rahma sudah bekerja di sana menjadi sopir belasan tahun lamanya. Dari Rahma masih kecil hingga tumbuh beranjak dewasa saat ini. Sampai detik-detik beliau jatuh sakit pun dalam kondisi bekerja di rumah majikan itu. Rahma menyalakan sakelar lampu, cahaya remang-remang pun mulai menerangi keberadaannya. Ia tahu tempat itu kala dulu disuruh mengambil anggur oleh ibunya langsung dari gudang. Majikannya itu memang bisa memproduksi sendiri minuman yang mengandung kadar alkohol. Rahma tidak habis pikir apa gunanya meminum minuman seperti itu. Apa mereka tidak sayang dengan tubuhnya? Meminum alkohol itu sama saja merusak organ dalam tubuh secara perlahan-lahan, seperti kamu dengan sengaja menusukkan pisau ke dalam jantungmu. Akan lebih berguna, jika mengkonsumsi s**u segar atau teh, mungkin. Pikir Rahma sambil melihat-lihat beberapa botol yang ada dalam gudang itu. Suara pintu terbuka membuat Rahma mengalihkan fokusnya dari botol anggur ke sumber suara. Namanya Reyhan Angkasa Mahendra. Anak pertama dari keluarga Mahendra. Pewaris perusahaan. Laki-laki berumur 29 tahun dengan masa depan yang cerah. Hidupnya bagai permata yang selalu berkilau. Namun, di balik itu semua di mata Rahma... Reyhan itu menakutkan. Ada aura gelap yang memancar di kedua sorot mata pekat itu. Entah hanya perasaan berlebihannya Rahma atau memang benar adanya. Beberapa kali mereka sering menghabiskan waktu bersama di gudang anggur itu secara tidak sengaja. Hanya saling diam untuk berjam-jam lamanya. Lalu, keluar dari gudang itu tanpa ada kelanjutan lagi. Sepertinya, itu tidak akan terjadi hari ini. "Duduk," perintah Reyhan tegas. Rahma segera menjalankan perintahnya dengan duduk di salah satu kursi yang ada di gudang itu. Ada dua kursi di sana. Satu kursi biasanya Rahma gunakan untuk anak tangga kala mengambil anggur di deretan rak anggur paling atas. Dan satu kursi lagi untuk menumpuk dua kardus anggur yang belum dibuka. Stok baru. Reyhan menaruh kardus anggur itu ke bawah lantai, menarik kursi itu untuk di dekatkan pada meja usang gudang anggurnya. Rahma melirik Reyhan sebentar lalu paham jika tuan majikannya itu ingin mereka mengobrol lebih dekat. Yang jadi sebuah pokok pertanyaan dalam benak Rahma, perihal apa yang akan mereka berdua obrolkan? "Tu-tuan... ada apa?" Rahma akhirnya berani bersuara sambil menundukkan pandangannya. Reyhan meneliti setiap garis muka Rahma, lekuk bibir tipis, garis alis mata, hidung mancung, pipi yang merah, serta gerakan tangan perempuan itu yang selalu memainkan ujung kausnya. Reyhan sangat hafal sekali, seperti dia itu ibunya saja. Tidak tahan, Reyhan langsung menyambar bibir mungil itu, mengecapnya lembut. Rahma tersentak lalu berontak sekuat yang ia bisa. "Nggh..." Rahma memiringkan wajahnya untuk menghindari ciuman dari Reyhan. "Tuan, i-ini ngg...nggakh boleh." Reyhan terdorong ke belakang karena dorongan kedua tangan Rahma yang kuat. Napas keduanya terengah-engah. Rahma ketakutan setengah mati, sedangkan Reyhan nafsunya sudah tak terbendung lagi. Butuh waktu beberapa menit untuk keduanya saling menghela napas, mengambil sebanyak-banyaknya oksigen untuk menjernihkan pikiran mereka berdua. "SMA Cendekia Bangsa," ucap Reyhan dengan tangan yang menangkup wajah mungil Rahma. Reyhan tidak pernah menduga, ukuran wajah perempuan itu pas sekali dengan kedua tangannya. "Saya bisa sekolahin kamu di sana." Rahma menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tatap mata saya," perintah tegas Reyhan lagi. Dengan sedikit kalut, Rahma mendongak menatap sepasang bola mata elang itu. "Saya bisa mencukupi kebutuhan finansial kamu, materiil kamu juga." Rahma mulai tahu di mana arah pembicaraan mereka setelah ciuman itu terjadi. Air mata perlahan turun dari kedua kelopak mata Rahma. "Kamu minta apa pun akan saya sanggupi," kata Reyhan sungguh-sungguh. "Hey, jangan nangis." Tangan kekar itu perlahan mulai mengusap lembut pipi Rahma, meminta perempuan itu berhenti terisak. Rahma merasa sangat-sangat direndahkan. Reyhan sama saja seperti menawar berapa harga tubuhmu? Makanya, laki-laki itu berucap seperti itu. "Sstttt... stop crying, Baby." Reyhan mulai terlihat kesal kala air mata itu terus turun dengan derasnya. Rahma melepaskan tangan Reyhan yang terus menjamah mukanya. Baru kali ini ada laki-laki yang menyentuh fisiknya kecuali Reno dan bapaknya. "Pergi," pinta Rahma lemah. Menjauhkan diri dari Reyhan. "Tuan sudah melecehkan saya!" "Saya cuma ingin membantu kamu mewujudkan mimpi." Membantu? "Tapi, semua itu tidak ada yang gratis, Sayang." Reyhan menggelengkan kepalanya pelan dengan senyum miring yang bertengger di bibirnya. Bibir yang di atasnya terdapat kumis tipis. "Kita buat kesepakatan saja. Simbiosis mutualisme." Rahma rasa ini sudah terlalu jauh dari dugaannya, ia bangkit berdiri langsung menuju ke arah pintu keluar gudang anggur. Namun, langkahnya terhenti kala Reyhan mulai bersuara lagi. Perlahan, kakinya terasa di paku di atas tanah yang ia pijaki itu. "Butuh 15 juta untuk menebus sertifikat rumah di kampung, butuh 7 juta untuk biaya rumah sakit bulan ini, butuh sekitar..." Reyhan tampak menimbang-nimbang. "...1,5 juta untuk membayar biaya sekolah Adikmu yang menunggak." Dari mana ia tahu? "Sedangkan, penghasilan kelurgamu maksimal hanya 3 juta per bulan. Apa cukup?" tanyanya meremehkan. "Itu bukan urusan, Tuan." Rahma mengepalkan tangannya. "Kamu keluar selangkah saja dari gudang ini, tidak ada penawaran untuk yang kedua kalinya." Reyhan seperti sedang memasang tali di lehernya lalu saat ia melangkah jauh dari laki-laki itu maka Rahma akan mati tercekik. "Hidupmu akan semakin menderita, Rahma Ayudia." "Tuan, hentikan..." "Aku akan menghentikan ini semua, jika kamu menyetujui perjanjiannya." •••••••••• Hidup seperti burung perkutut. Burung yang dipelihara karena dijadikan sebagai objek hiburan. Dibiarkan menetap dalam satu wilayah tanpa satu manusia pun yang menemani. "JENI! LISA!" panggilnya sambil berteriak. Tempat tinggalnya luas dan mewah. Fasilitasnya lengkap mulai dari kolam renang, lapangan golf, taman, hingga kandang mewah yang sengaja dibangun untuk piaraannya. "JENI PUS!" ketika dipanggil begitu si pemilik nama pun datang dengan langkah gontai ke arah majikannya sambil menggoyang-goyangkan ekornya. "Lisa mana, Jen?" tanyanya seperti pada manusia pada umumnya. Laki-laki yang baru saja masuk SMA itu merunduk sedikit untuk bisa lebih dekat dengan makhluk yang ia beri nama Jeni. "Hah? Lisa masih tidur? Kok nggak lo bangunin, sih, Jen?! Kan, jadi kesiangan si Lisa-nya." Dengan masih mengomel, ia membangunkan Lisa, membawanya keluar dari kandang. "Waktunya mandi terus sarapan." Begitulah keseharian Ribut Mahendra. Anak yang tidak diharapkan ada. Anak yang dibenci oleh kakaknya. Anak yang diasingkan oleh papanya. Anak yang dibuang oleh keluarganya. Ia tumbuh dengan minimnya kasih sayang orang tua. Kebutuhan finansial maupun materiilnya dicukupi dengan sangat berlebih. Namun, kebutuhan batin untuk statusnya sebagai seorang anak sama sekali tak ada. Keinginannya hanya satu, bisa pulang ke rumah di mana di dalam sana ada seseorang yang ia sayang sedang menunggunya pulang, memberinya peluk hangat lalu mengatakan semua baik-baik saja meskipun ada dirinya. Ternyata, tidak. Dirinya terlalu pengecut untuk menjadi pemberontak. Sadar posisi siapa dirinya yang hina itu. Selamanya, hubungan darah itu tidak bisa diubah entah bagaimana pun caranya. Setelah menyelesaikan urusannya dengan Lisa dan Jeni, Ribut bersantai di tepi kolam renang; sendiri. Lima belas menit yang lalu, Beni, sahabatnya menelepon ada pesta BBQ malam ini, tapi Ribut tak berniat untuk ikut. Ia akan menghabiskan waktunya untuk merenung. Ponselnya terus berdering, ada panggilan masuk. Saat tahu itu dari siapa, Ribut lalu mengacuhkannya. Masih dengan memandang sinar matahari di pagi hari yang mulai terasa terik di kulit. Ada sekitar 23 panggilan tak terjawab, akhirnya si penelepon berhenti menghubunginya. Mungkin lelah. Ribut yakin si penelepon tidak akan lelah karena nanti selang beberapa menit akan meneror panggilan lagi padanya. Tak lama ada panggilan masuk dari kontak yang ia beri nama Bos Besar. Ribut langsung mengangkat panggilan itu sembari tersenyum miring. Telinganya sudah siap menerima teguran, tapi yang didapatnya hanya omelan belaka yang panjangnya seperti sedang menjawab pertanyaan esai pada ujian. Meskipun begitu, Ribut tetap memasang senyumnya. "Setidaknya angkat telepon dari Mamamu. Jangan buat dia khawatir. Lihat, dia sedang menguping sekarang." "Bukankah ini keinginan kalian membuang Ribut lalu untuk apa mengkhawatirkan anak buangan?" jawab Ribut dengan lontaran pertanyaan yang membuat si penelepon di seberang sana diam, tak bersuara. Lalu Ribut kembali bersuara dengan masih menatap lekat sinar matahari. "Apa Ribut sudah boleh pulang?" Tidak ada jawaban. Yang ada hening panjang. Seseorang yang ada di seberang sana tidak mau mengakhiri panggilannya atau menjawab pertanyaan Ribut. Jadilah Ribut hanya diam saja menunggu sambil tersenyum kecut, seperti dugaannya. "Bagaimana kabar Kakak?" tanyanya lagi. Ribut bertanya perihal itu karena rasa penasarannya. "Kamu boleh pulang saat usiamu sudah menginjak tujuh belas tahun. Ada kejutan yang menantimu," jawaban atas pertanyaannya yang sebelumnya. Ribut tertawa kecil, tawa yang dipaksakan. "Kejutan? That's party sweet seventeen for me?" "Tunggu saja hari itu tiba." Lalu sambungan terputus. Hari itu, Ribut menunggu bertambahnya umurnya dengan banyak kekhawatiran. Akankah semua akan membaik seiring berjalannya waktu atau malah kian memburuk karena dikikis waktu? •••••••••• Reyhan frustasi. Bertarung dengan emosi batinnya, dengan nafsunya, juga dengan akal sehatnya. Beberapa menit yang lalu, perempuan yang ada di bawah kungkungannya itu telah menyetujui tawarannya. "Tu-an akan menuruti semua permintaan saya? Semua?" tanya perempuan itu dengan nada tertarik, seperti dirinya baru menerima berita bahwa ia menang lotre. "Semua, apa pun itu." Tegas Reyhan lagi. "Termasuk, tentang uang?" Reyhan tertawa kecil sambil mengangguk. "Uang berapa pun yang kamu mau." "Tapi, untuk apa Tuan melakukan semua ini?" dirinya butuh penjelasan. Keadaannya seperti kamu tiba-tiba dikasih satu buah mobil oleh saudagar kaya di kampung, pasti kamu bertanya mengapa mobil itu diberikan padamu? Mengapa bukan pada orang lain? Reyhan mengedikkan bahunya, ia membalikkan tubuhnya sebentar untuk mengambil anggur di deretan rak nomor tiga, anggur kesukaannya. Rahma tahu itu. Ia langsung membuka segel botol anggur itu dan menyesapnya langsung dari botol tanpa menuangkan ke dalam gelas. Terlalu membuang waktu untuk mencari keberadaan gelas dalam gudang dengan pencahayaan remang-remang itu. "Entahlah, saya juga tidak tahu mengapa... melakukan ini," ujarnya bersuara setelah meminum anggur dua kali tegukan. "Saya rasa, ada sesuatu yang membuat saya terpikat dengan kamu." "Terpikat?" Rahma memandang tak percaya pada laki-laki di hadapannya itu. Pasalnya, laki-laki itu berumur jauh di atasnya dan fakta paling mengejutkan adalah dirinya adalah majikannya. "Jadi, seperti yang saya katakan tadi. Imbalannya kamu menjadi kekasih saya." Awalnya, Rahma melongo mendengar hal itu. Sekarang, tidak lagi. Ia sudah tidak terlalu terkejut, tapi masih terasa aneh saja di pendengarannya. "Kenapa harus saya?" "Karena... itu kamu. Saya maunya cuma kamu, Rahma Ayudia." Sekilas, Reyhan tersenyum kecil. Sudah sejak lama Reyhan diam-diam menyukai gadis kecil itu. Semenjak ia tinggal di rumahnya, padahal Rahma jarang berkomunikasi dengannya selain masalah masakan rumah atau ada ruangan yang belum dibersihkan oleh ibunya. Maka, Rahma yang akan ia panggil. Hal-hal kecil yang Rahma lakukan tiga tahun belakangan ini membuatnya mengartikannya sebagai sebuah rasa baru bernamakan cinta. Rahma yang selalu menemani hari-harinya yang sepi, tanpa berucap. Dan hatinya ingin Rahma menjadi pendamping hidupnya. Reyhan sempat berpikir, apa dirinya itu p*******a? Namun, itu hanya terjadi pada Rahma. Reyhan juga sempat menjalin hubungan jarak pendek dengan beberapa wanita dewasa lainnya. Itu hanya bertahan sebentar, kandas begitu saja. "Tuan tidak berbohong, 'kan?" "Untuk apa saya berbohong, Rahma." Rahma seperti sedang memikirkan tawaran Reyhan dengan hati-hati, ia tampak merenung. Reyhan memberinya waktu untuk berpikir dengan menghabiskan sebotol anggurnya. Lalu, saat satu botol anggur itu habis, Reyhan menanyakan bagaimana keputusan yang Rahma ambil? "Bi-bisa Tuan beri saya waktu lagi?" "Tidak ada tambahan waktu, Rahma. Saya tidak akan mengulangi tawarannya dan juga... ini kesempatan terakhir kamu." "Sa-saya takut..." cicit Rahma, kepalanya menunduk semakin dalam. Tangannya semakin erat memainkan ujung-ujung kausnya. Terlihat sekali Rahma sedang ketakutan. "Takut? Takut dengan siapa?" "Tu-tuan..." lirihnya. Reyhan terbahak lalu turun dari kursi, berdiri berhadapan dengan Rahma lalu mendongakkan kepala perempuan itu. "Saya tidak semenakutkan yang kamu pikir. Kamu baik, saya bisa lebih baik. Begitu pun saat kamu mengkhianati dengan menyakiti saya. Perlakuan saya terhadap orang lain sama seperti bagaimana orang itu memperlakukan saya. Kamu paham?" Rahma menganggukkan kepalanya perlahan. "Saya tidak akan menyakiti kamu karena kamu... gadis baik," Reyhan mengusap-usap kepala Rahma dengan lembut. "Percaya pada saya." "Lalu, bagaimana dengan Nyonya, Tuan Besar? Apa beliau tidak apa-apa kita menjadi sepasang kekasih?" pertanyaan itu keluar dari mulut Rahma dengan nada khas anak kecil yang manja, membuat Reyhan ingin segera memiliki perempuan itu. "Pasti mereka tidak menyetujui hubungan ini." Rahma sadar diri. "Kamu berpikir terlalu jauh. Pikirkan saja, apa kamu menerima tawaran saya? Karena waktumu untuk berpikir sudah habis." "Eh?" "Jawab 'iya' jika kamu ingin hidup bahagia tanpa kesengsaraan dan jawab 'tidak' jika kamu ingin merasakan penderitaan." Rahma mendelik mendengar ucapan Reyhan. Bayangkan saja saat kamu diberi pertanyaan seperti itu. Siapa, sih, yang mau hidup sengsara, menderita? Pasti semua makhluk hidup di bumi ini memilih ingin hidup bahagia. "Jawab, Rahma..." Reyhan mulai menyentuh bagian bawah bibir Rahma dengan jari jempolnya. "Saya hitung sampai tiga. Satu..." Rahma menatap Reyhan gamang. "Dua..." Sebelum mengatakan jawabannya, Rahma menutup dua bola matanya sebentar. Memejam untuk meyakinkan pilihannya. "Ti..." "IYA!" serunya lantang. "Rahma... ma-mau." "Gadis pintar," Reyhan langsung mencium keningnya. "Bisa kita mulai menjadi sepasang kekasih?" "Eh? Tuan ingin apa?" Rahma disuruh duduk di atas meja dan perempuan itu langsung menurut tanpa membantah sedikit pun seperti hewan piaraan yang patuh terhadap pemiliknya. Ada beberapa orang mengatakan bahwa tolok ukur kedewasaan itu bukan masalah umur. Namun, cara kita menyikapi suatu masalah bisa mencerminkan seberapa dewasa kita saat dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup. Rahma rasa... ia sudah cukup dewasa hingga bisa memilih keputusan yang melibatkan harga diri serta tubuhnya. "Mmpph... ah." Desahnya dengan gerakan kepala ke kanan dan kiri pada laki-laki yang umurnya terpaut jauh, sekitar 13 tahun di atasnya. "Tuaaaaan..." "Mulai sekarang," Reyhan mengambil napas banyak-banyak dengan masih setengah terengah layaknya baru selesai lari maraton. "... jangan panggil 'Tuan', panggil Mas Reyhan." Rahma tidak menanggapinya. Tubuhnya lemas seperti tersetrum, sebagian fungsi organ tubuhnya tak bisa digerakkan. Terlalu lemah. Energinya terkuras habis. Tatapan mata sendu Rahma, diartikan lain oleh Reyhan. Laki-laki itu mengartikan Rahma menginginkan hal yang lebih dari itu. Ciuman Reyhan mulai turun ke perut Rahma, perempuan itu semakin dibuat menggelinjang tak keruan. Milik Reyhan yang masih berada di balik celana semakin sesak seakan berteriak ingin dikeluarkan. "Mmh Mas... ja-ngan... di situ." Rahma memegangi lengan Reyhan. Titik sensitif Rahma sudah ditemukan oleh Reyhan laki-laki itu dengan cepat berusaha melucuti pakaiannya sambil menanyakan sesuatu yang ia pikir tidak penting. Namun, perlu diketahui jawabannya. "Berapa umurmu?" "Hah?" Rahma kehilangan kesadaran sebentar lalu menjawab setelah mengingat-ingat realitanya. "E-enam belas tahun..." "ANJING!" Reyhan berteriak tak percaya seketika, Rahma yang tadinya sudah terbuai oleh nafsu setan yang sempat menengaruhinya menjadi kebingungan dengan ekspresi Reyhan. "ENAM BELAS TAHUN?!" Reyhan pikir, Rahma sudah 18 tahun atau minimal 17 tahun lah. Ternyata, lebih muda dari yang ia duga. "Mas, a-aku takut..." ucap Rahma lembut sembari mengharap belas kasih dari Reyhan. "Ini akan terasa sakit di awal, tapi kamu harus menahannya. Karena saya akan bawa kamu merasakan nikmatnya surga dunia," Reyhan mengusap lembut kepala Rahma di hadapannya, ia juga merapikan helai anak rambut perempuan itu yang tak beraturan. "Kita mulai, ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD