•Si Arogan•

2184 Words
Hingga kini, belum bisa kutemukan rumah yang bisa kusinggahi sebagai tempat bernaung. • Sekian waktu mencari, aku sadari telah membuang banyak waktu berarti. • Terlintas pemikiran, jika tak kutemukan rumah itu, maka sudah saatnya aku sendiri yang membangunnya. • Mendirikan sebuah rumah untuk tempatku berlindung kelak. •••••••••• Rahma merasakan bagian bawah tubuhnya terasa berdenyut gatal. Ingin segera dimasuki. Entah perasaan apa itu. Ia seperti sedang dirasuki arwah hantu jalang yang haus belaian. Dirinya terus menggeliatkan tubuhnya, sedangkan laki-laki yang menjanjikan kenikmatan duniawi itu tak kunjung memuaskannya. "Mmhh Mas..." panggilnya setengah mendesah. Reyhan hanya menggesek-gesekkan miliknya di daerah sekitar kewaniataan Rahma. "Mas sayang kamu, Rahma." Lalu laki-laki itu menjauhkan dirinya terutama miliknya yang sudah sepenuhnya menegang. Reyhan tidak bisa melakukannya karena beberapa hal yang membuatnya bimbang. Rahma menatap Reyhan dengan tatapan tidak percaya. Tadi, laki-laki itu yang seperti menginginkannya. Sekarang, laki-laki itu juga yang mencampakkannya. Reyhan merapikan diri, membenarkan pakaiannya yang sempat lusuh. Juga membetulkan letak celananya. "Mas Reyhan..." Tidak jadi, ya? pikir Rahma dalam hati. Mungkin, Reyhan sudah sadar jika Rahma bukanlah orang yang tepat untuk dijadikan kekasihnya. "Mas tidak bawa kondom," bisa saja Reyhan mengeluarkannya di luar. Hanya saja ia takut kebablasan. "Kon-dom?" ulang Rahma tidak mengerti. "Alat pengaman agar kamu tidak hamil," jelas Reyhan. "Lain kali akan kita lakukan." Rahma segera turun dari atas meja dan berganti merapikan baju tidurnya yang sempat dikoyak sedemikian rupa oleh Reyhan. Laki-laki itu ikut membantu Rahma sedikit berbenah diri. "Kembalilah ke kamar. Kamu butuh istirahat." Rahma mengangguk lalu melangkah menuju pintu, sebelum membuka pintu itu ia bertanya pada Reyhan. "Ehm, bagaimana dengan perjanjian kita? Kita... gagal berhubungan..." "Perjanjiannya tetap berlangsung," potong Reyhan cepat. "Kita bicarakan besok lagi." "Ah, iya." Rahma menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ia masih berdiri di sana, tak berniat keluar dari gudang. "Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?" "Ibuku... ibuku pasti tidak akan mengizinkanku untuk sekolah," rasanya percuma ia menjual diri kalau Marni tak mengizinkannya menempuh pendidikan. "Serahkan semuanya padaku. Dan cepatlah kembali ke kamarmu." "Ba-baik, Tuan. Eh, Mas Reyhan." Rahma langsung membuka pintu gudang lalu bergegas menuju rumah kecil yang ada di belakang istana itu. •••••••••• "Ada apa, Tuan memanggil saya? Apa saya melakukan kesalahan?" kaki Marni sedikit bergetar memasuki ruang kerja Reyhan. Tadi dirinya dibuat terkejut ketika sedang menjemur pakaian tiba-tiba dipanggil oleh sopir Reyhan dan mengatakan bahwa majikannya ingin menemui dirinya. Hanya ada dua kemungkinan yang biasa terjadi jika para pembantu dipanggil langsung ke ruangan Reyhan. Pertama ada yang melakukan kesalahan fatal hingga berujung pemecatan dan kedua adalah karena hal yang sama, tapi tidak sampai dipecat. Seingat Marni, ia sudah melakukan tugasnya dengan baik selama ini. "Silakan duduk," Reyhan mempersilahkan Marni untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Laki-laki itu nembuka kancing jasnya dan ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan Marni. "Boleh saya tahu, sudah berapa lama Ibu Marni dan Bapak bekerja di sini?" Marni tidak langsung menjawab. Dirinya merasa aneh karena tiba-tiba Reyhan bersikap ramah. Biasanya arogan dan kasar. Cara bicaranya pun tak lagi dingin. "Sa-saya bekerja di sini sudah empat tahun, sedangkan Bapak sudah enam tahun." "Ah, cukup lama." Reyhan mengusap-usap bagian bawah dagunya. "Saya ada sedikit hadiah untuk keluarga Anda," sambil menyodorkan amplop cokelat yang berisi puluhan lembar seratus ribuan. "Ha-hadiah untuk apa?" Reyhan tak menjawab, ia hanya menatap Marni mengisyaratkan agar segera menerima amplop yang disodorkannya itu. Karena rasa penasaran, Marni membuka isi amplop itu dan terkejut saat menyadari isinya uang yang tidak bisa ia duga berapa jumlahnya. "Tu-tuan... uang ini... terlalu..." "Saya tahu, Papa dan Mama saya adalah majikan yang cukup cerewet. Jadi, jarang ada yang bertahan bekerja di rumah ini selama bertahun-tahun lamanya. Cukup mengherankan Anda bisa melewatinya selama ini." "Tapi, ini terlalu banyak." "Anggap saja itu untuk membayar kecerewetan mulut Papa dan Mama saya. Oh, iya, gunakan uang itu sebaik-baiknya untuk... pendidikan anak Anda," ucap Reyhan. Terutama untuk Rahma. Ah, kalimat terakhir itu hanya bisa Reyhan ucapkan dalam hati. Marni menangis bahagia dan mengucapkan kata terima kasih tak terhingga banyaknya. "Jangan berlebihan," karena saya akan mengambil putri Anda sebagai balasannya. "Papa dan Mama saya akan tiba sebentar lagi. Sebaiknya, Anda kembali bekerja." ••••••••• Rahma pulang dari pasar, mencari-cari keberadaan ibunya di dapur. Tapi, tidak ketemu. Dan Rahma menemukan ibunya tengah menangis haru di dalam kamar mereka yang sempit. "Ibu kenapa?" Rahma langsung memeluk ibunya. "Ibu kenapa nangis?" "Rahma, lihat ini," ucap ibunya sambil menunjukkan uang yang diterimanya dari Reyhan. "Tuan Reyhan memberikan ini pada kita. Astaga, Ibu sangat bersyukur." Rahma tidak terlalu terkejut. Reyhan menepati janjinya. "Kamu bisa sekolah, Rahma. Kamu bisa sekolah. Ibu akan daftarkan kamu ke sekolah yang kamu inginkan. Ibu janji." Diam-diam Rahma juga ikut menangis juga. Dalam hatinya bertanya, apakah keputusannya tadi malam sudah benar? Rahma selalu berdoa pada Tuhan sejak tadi malam, jika pilihannya salah. Rahma mohon Tuhan benarkan pilihannya. Ia tidak mau berada di jalur yang salah. Setelah saling memeluk dan menangis itu, Rahma dan Marni kembali bekerja. Rahma sempat terkejut ternyata hari ini Reyhan ulang tahun, kata Marni. "Benarkah, Bu?" tanya Rahma tak percaya. "Iya, Nyonya yang meminta Ibu memasak makanan kesukaan Tuan hari ini. Kamu sudah belanja sesuai daftar yang Ibu buatkan tadi, 'kan?" Marni menggandeng tangan Rahma untuk dibawanya ke dapur. "Sudah, Bu. Semuanya sudah Rahma taruh di dapur." "Nyonya dan Tuan Besar akan tiba dua jam lagi. Jadi, kita harus cepat memasaknya." •••••••••• "Pa, jangan terlalu keras dengan putra kita. Bagaimanapun juga Ribut sudah cukup menderita selama ini." "Ma, sudahlah. Ribut nggak mau kalian ada di sini. Sebaiknya, kalian pulang." Ribut mendesah tak suka. Bagaikan mimpi buruk, mendadak kedua orang tuanya ada di depan pintu rumah. Padahal, baru kemarin mereka bercengkerama di telepon dan sekarang mereka berdua sudah ada di hadapannya. "Kamu mengusir Papa?" tanya papa Ribut tak percaya. "Ck, Ribut. Apa yang kamu pelajari di sini? Sopan santunmu tetap kurang." Lalu kedua orang tuanya memaksa masuk ke dalam rumah yang ia tinggali selama ini sendirian. Ribut berpikir, siapa di sini yang tidak punya sopan santun? Mereka berdua malah langsung masuk ke dalam sebelum Ribut izinkan. "Pa, Ma... Bukankah kalian sedang pergi berlibur? Kenapa malah ada di sini?" geram Ribut. "Liburan kita terpaksa berakhir," ucap mama Ribut dengan wajah sedih yang dibuat-buat. "Kakakmu hari ini sedang berulang tahun, Papa juga sempat lupa. Akhirnya Papa ingat berkat alarm sialan itu yang terus berbunyi tadi malam. Jadilah kami pulang mendadak." Ah, Ribut juga lupa mengenai ulang tahun kakaknya "Kakak masih marah denganku?" "Tentu saja tidak, Sayang." Jawab mamanya Ribut. "Kamu pulang, ya. Ikut kami berdua. Ayolah, Pa, biarkan Ribut pulang ke rumah." "Alina, hentikan!" Mulut Alina, mamanya Ribut langsung mengatup rapat. Ribut tahu situasi ini. Selalu saja seperti itu keadaannya. "Kamu hanya boleh pulang saat usiamu sudah tujuh belas tahun." Papanya mengulangi kata-kata kemarin yang diucapkannya itu. "Tapi, kenapa, Pa?" "Karena pada saat itu, kamu sudah punya senjata untuk melawan Kakakmu." Setelah itu, Mahendra---- Papanya menarik paksa tangan Alina untuk dibawa pulang. Alina ingin meminta waktu lebih lama lagi, tapi Mahendra sudah tidak punya banyak waktu lagi. Akhirnya, mereka berdua pulang. Pergi dari rumah Ribut. Kamu hanya boleh pulang saat usiamu sudah tujuh belas tahun. Kata-kata itu mulai terngiang di telinga Ribut. Ia menerka-nerka apa arti kata itu. Ribut masih tidak paham. Apa yang terjadi, jika usianya sudah memasuki tujuh belas tahun? Karena pada saat itu, kamu sudah punya senjata untuk melawan Kakakmu. "Senjata? Senjata apa?" gumam Ribut masih tak paham. Awalnya Ribut tak mau menafsirkan itu lebih jauh lagi. Namun, rasa keingin tahuannya cukup besar. Ribut tidak tahan. Laki-laki itu berlari menuju ke kamarnya, berganti pakaian dan menggunakan jaket. Memasukkan ponsel dan dompetnya ke dalam saku celana. Setelah mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas nakas, Ribut keluar dari rumahnya dan mengunci rumah itu. Jalan menuju ke sana masih Ribut ingat dengan jelas. Keberanian untuk sampai ke sana yang Ribut tidak punya. Ribut mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Membelah jalanan kota Bandung di siang hari. Ia hanya ingin cepat sampai di Jakarta dan menemui seseorang yang mungkin tahu apa jawaban dari semua pertanyaan dalam kepalanya. Kondisi kediaman keluarga Mahendra ramai. Ada acara makan malam bersama rekan bisnis Mahendra juga sekalian merayakan hari ulang tahun Reyhan. "Bu, di depan sudah banyak tamu." Rahma diam-diam mengintip dari kejauhan. "Rahma, cepat siapakan minumannya dan bawa ke depan." "Iya, Bu..." Rahma membuka lemari pendingin dan mengambil sirup dari sana. Bagi Rahma, percuma ia menyiapkan sirup jika nanti yang diminum oleh para tamu tetap anggur, tapi, ya, sudahlah. "Reno sudah pulang, Bu?" "Belum," jawab Marni. Lalu Rahma membawa nampan berisi minuman itu ke ruang tamu. Di sana ada orang-orang seumuran dengan Reyhan. Tak lama kemudian, Reyhan muncul untuk ikut bergabung. Rahma tak bisa menyembunyikan senyumnya kala melihat Reyhan. Lewat senyum yang ia kembangkan itu, Rahma berharap Reyhan tahu jika dirinya sangat berterima kasih akan bantuan laki-laki itu. Makan malam itu berjalan lancar. Rahma sampai kelelahan. Seharian ini tak istirahat sedikit pun. Pekerjaannya banyak sekali. Ia melirik sang ibu, Marni juga terlihat lelah sama seperti dirinya. "Bu, biar Rahma aja yang cuci piringnya. Ibu istirahat aja." Rahma tahu Marni lebih lelah dari dirinya, faktor usia juga. "Nggak usah, Rahma. Ibu bisa," kilah Marni menyembunyikan lelahnya. "Kamu bawa gih dessert yang ada di atas meja ke depan." "Iya, Bu..." "Langsung kembali ke sini, ya. Katanya, Tuan muda hari ini pulang. Pasti terjadi kekacauan lagi di keluarga ini, kamu jangan ikut campur." Rahma menganggukkan kepala. Tuan muda? Iya, anak kedua dari majikannya itu. Yang katanya, introvert. Tidak bisa berinteraksi dengan yang lain. Makanya, diasingkan entah ke mana. Sampai saat ini pun Rahma tidak tahu bagaimana raut mukanya, tingginya, dan siapa nama laki-laki itu. Rahma hanya mendengar rumor tentangnya. Sesampainya di ruang tamu, para tamu sudah tidak ada. Sepi. Rahma mendengar ada pertikaian di ruang keluarga. Dengan langkah mengendap-endap Rahma mengintip di balik selambu. Di sana ada Tuan Besar, Nyonya, Reyhan, dan... sepertinya Tuan Muda yang ibunya itu bicarakan. Rahma tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana wajahnya karena posisi yang membelakanginya. "Untuk apa kamu pulang?!" hardik Reyhan. "Kamu bukan bagian dari keluarga ini." "Kak..." Ah, suaranya sungguh lembut. Diam-diam Rahma menguping. "Rey, sudahlah. Sudah saatnya kamu berdamai dengan Adikmu ini." Itu ucapan permohonan Alina. Wah, baru kali ini Nyonya memohon seperti itu. "ADIK? SAYA TIDAK PERNAH MENGANGGAP DIA BAGIAN DARI KELUARGA INI." Sahut Reyhan penuh emosi. Nah, itulah Reyhan yang Rahma kenal selama bertahun-tahun ini. Bukan Reyhan yang perkataannya lembut seperti tadi malam. "PAPA PILIH AKU ATAU ANAK HARAM INI?!" Reyhan menunjuk adiknya dengan mata nyalang. Sang papa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat dua putranya yang tidak akur. "AKU ATAU DIA YANG PERGI DARI RUMAH INI? PAPA PILIH!" hardik Reyhan. "Kak..." adiknya itu lalu berlutut di bawah kaki Reyhan, ia langsung menyentaknya dengan kasar. Dalam hati Rahma bertanya-tanya ada masalah apa dalam keluarga ini? Apakah masalahnya berpusat pada Tuan Muda itu? Reyhan lalu memberi satu pukulan dengan kepalan tangan tepat pada muka adiknya itu, memberinya bogeman bertubi-tubi tanpa belas kasih. Si adik hanya pasrah menerima perwujudan amarah Reyhan. Sebenarnya, ia bisa saja membalas dengan saling baku hantam. Hanya saja ia lebih memilih mengalah. Mahendra membiarkannya untuk sesaat. Melihat sejauh mana anak-anaknya saling membenci satu sama lain. Alina tidak tahan, ia terus berteriak-teriak minta tolong. Sopir dan sekuriti datang untuk melerai keduanya. Dengan berdecak, Mahendra menghampiri anak bungsunya yang mukanya kini sudah memar hampir di seluruh wajahnya, ada darah segar juga yang keluar di sudut bibirnya. "Papa sudah bilang, kamu tidak akan bisa melawan Kakakmu." Rahma tak mau ambil pusing, ia berbalik kembali ke dapur. Itu bukan urusannya. Marni sudah selesai membersihkan dapur, Rahma ikut bergabung dengan ibu dan adiknya di dalam kamar. Reno, adik Rahma itu kelas 2 SMP. Hanya beda 13 bulan kelahirannya dengan Rahma. Mengheran, 'kan? Ibunya sudah terlelap di atas kasur tipis yang mereka punyai, satu-satunya alas tidur yang ada. Rahma meneruskan membaca buku. Buku yang ia dapat dari gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Buku itu berdebu dan mulai lapuk. Tetapi, masih bisa untuk Rahma baca. Reno sedang belajar, sesekali ia menanyakan hal yang tidak ia tahu pada kakak perempuannya itu. Dalam keheningan malam itu, suara ketukan pintu mengubah segalanya. Rahma menutup bukunya lalu cepat-cepat bangkit. Pasti itu panggilan dari majikannya. "Iya, Nyonya. Sebentar," ucap Rahma sembari membukakan pintu. Saat pintu terbuka, bola mata Rahma langsung membulat sempurna. "Tu-an?" "Ikut saya," Reyhan langsung menarik tangan Rahma dibawanya masuk ke dalam gudang anggur. "Tuan mau pergi ke mana? Mengapa membawa koper?" "Masih memanggilku 'Tuan', huh?" dengus Reyhan. "Eh? Maaf. Maksudku, Mas Reyhan..." Rahma belum terbiasa menggunakan panggilan baru itu. "Untuk sementara waktu, Mas akan menginap di hotel." "Kenapa? Ada masalah?" jelas ada. Tadi saja Rahma melihat Reyhan berapi-api, sekarang sudah bersikap normal lagi. "Si sialan itu kembali. Jadi, Mas yang harus pergi." Reyhan memasukkan beberapa botol anggur ke dalam tasnya. "Kamu tahu hari apa ini?" Rahma menganggukkan kepalanya. "Dan kamu tidak memberiku ucapan terima kasih juga ucapan selamat ulang tahun? "Huh?" oh, Rahma lupa mengatakannya. "Selamat ulang tahun, semoga selalu sehat dan bahagia menyertaimu. Terima kasih juga untuk..." "Doa klasik," Reyhan tersenyum mendengarnya. "Kadonya mana?" "Ehm, a-aku..." "Bisa saya minta waktumu sebentar," tiba-tiba Reyhan mendekatkan wajahnya pada Rahma hingga hanya berjarak beberapa senti saja. Rahma sampai harus menahan napas saking gugupnya. "Saya ingin mengajakmu jalan-jalan." "Tapi..." "Ini untuk amunisi beberapa hari ke depan saya tidak bisa melihat wajahmu. Boleh?" Rahma tidak bisa menolaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD