Pernah dengar istilah bucin?
Nah, seperti itulah gambaran yang sedang terjadi sekarang.
•
Aku pernah mencintai seseorang, tapi tidak pernah seperti ini rasanya.
•
Aku pernah mengikat orang dengan kekuasaan, tapi tidak pernah kamu yang lemah ini.
•
Aku pernah berharap seseorang itu yang kelak akan mendampingiku, tapi dia meninggalkanku.
•
Lalu,
Tuhan mengirim kamu yang entah dari mana datangnya.
•
Dan, aku pastikan tidak akan melepaskanmu meskipun tahu bahwa kamulah kehilangan-kehilanganku yang selanjutnya.
••••••••••
Udara malam yang dingin menerpa wajah Rahma saat Reyhan membawanya keluar rumah menuju masuk ke dalam mobil laki-laki itu. Rahma mengendap-endap keluar dari kamar, tidak mau mengusik tidur nyenyak Marni. Ia hanya berpamitan pada Reno bahwa akan pergi ke warung sebentar. Meskipun Rahma tahu dengan jelas bahwa kali ini ia tidak akan pergi hanya sebentar. Pasti memakan banyak waktu. Ah, belum tentu juga.
Reyhan membukakan pintu untuk Rahma, perempuan itu dibuat bingung karena Reyhan sendiri yang mengendarai mobilnya. Tidak menggunakan jasa sopir. Padahal, Rahma sering memerhatikan Reyhan diam-diam. Laki-laki itu jarang sekali bahkan hampir tidak pernah selama ini Rahma melihatnya membawa kendaraan sendiri dengan kedua tangannya yang kekar itu.
"Apa? Ada yang ingin kamu tanyakan?" Reyhan tahu Rahma menahan kata-kata di bibir tipisnya itu. Terlihat sekali Rahma ingin buka mulut.
Rahma hanya menggelengkan kepalanya.
"Saya sengaja menyetir sendiri malam ini agar kita berdua bisa lebih intim lagi."
Pipi Rahma bersemu merah. Reyhan pintar sekali dalam berucap, sangat mampu meluluhkan hatinya.
"Bagaimana? Kamu sudah daftar sekolah?" tanya Reyhan memastikan keinginan Rahma benar-benar terwujud. "Jika belum----"
"Su-sudah."
"Baguslah," Reyhan tersenyum. Menghentikan mobilnya di lampu merah. "Jangan terlalu kaku begitu. Santai."
"Ehm, bisakah aku menggunakan bahasa sehari-hari?" tanya Rahma pelan. Ia menyadari percakapan keduanya terasa canggung karena pola kalimat Reyhan yang terlalu baku, menurut Rahma. "Rasanya... masih belum terbiasa."
"Hahaha," Reyhan terbahak, ia menginjak pedal gasnya karena lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Waktunya meneruskan perjalanan. "Terserah kamu. Pakai lo-gue, aku-kamu, tidak masalah."
"Terima kasih," Rahma meringis. "Kita mau pergi ke mana? Aku takut Ibu terbangun dan menyadari aku tidak ada di rumah."
"Tenang saja. Saya akan mengantarkanmu pulang tepat waktu nanti."
Bagi Rahma, ini kali pertama ada orang yang mengajaknya pergi bahkan hanya sekadar untuk jalan-jalan. Naik mobil pribadi yang mewah lagi. Seperti tiba-tiba mendapatkan kesempatan mendadak jadi orang kaya sebentar saja.
Mobil Reyhan berhenti di sebuah mall di ibu kota Jakarta.
Rahma hanya menggunakan baju santainya, ia menjadi sedikit tidak percaya diri kala berjalan bersama Reyhan.
Reyhan yang berwibawa, Reyhan yang rapi, Reyhan yang berpenampilan menawan nan mewah.
Rahma pikir, Reyhan akan mengajaknya berbelanja sesuatu untuk kepentingan laki-laki itu, pikiran Rahma salah.
Reyhan dan Rahma memasuki salah satu butik yang ada di mall itu, laki-laki itu mengatakan pada pelayan toko untuk mencarikan baju seukuran Rahma yang elegan.
"Buat apa pakaian? Rahma punya banyak di rumah. Sebaiknya," ucapan Rahma terhenti saat Reyhan mengisyaratkan untuk tutup mulut dan menurut saja.
"Diam. Ini kencan pertama kita," bisik Reyhan. "Pada kencan kedua, ketiga, dan seterusnya kamu harus mengubah penampilanmu." Reyhan menggeser tubuh mungil Rahma agar menghadap kaca besar yang memperlihatkan seluruh tubuhnya dari atas kepala ke ujung kaki. "Lihatlah pakaianmu ini. Kita harus terlihat serasi..."
Pelayan toko kembali menghampiri mereka dengan membawa dua dress berlengan pendek warna maroon dan putih. Reyhan langusng menyuruh Rahma untuk mencobanya di kamar ganti.
Rahma sempat tidak percaya saat bercermin di bilik kamar ganti. Baru kali ini ia memakai pakaian yang membalut tubuhnya seharga jutaan. Uang itu bisa digunakan untuk makan selama satu bulan lamanya, bahkan bisa lebih. Rahma memaksa menelan ludah saat tahu harga dari dress itu. Ia lalu keluar dari kamar ganti mengenakan dress yang Reyhan pilihkan.
"Ba-bagaimana?" tanya Rahma dengan malu-malu.
Reyhan segera bangkit dari duduknya, mendekat ke arah Rahma. Berdiri di belakang perempuan itu, sedikit memeluk tubuh Rahma. Mereka berdua sama-sama saling tersenyum di cermin. "Cantik. Terlihat sempurna."
Bukan hanya satu atau dua dress yang Reyhan belikan untuknya, tapi ada sekitar tujuh sampai sepuluh dress dengan warna dan model yang berbeda. Rahma awalnya menolak. Satu atau dua saja mungkin akan jarang Rahma pakai. Untuk apa memakai pakaian seperti itu?
"Kita akan lebih sering berkencan mulai dari sekarang. Kamu tidak lupa 'kan bahwa kita sekarang sepasang kekasih?" tukas Reyhan saat menerima penolakan dari Rahma.
Akhirnya, Rahma menerima pemberian dress-dress itu. Ia hanya bisa menolak dress yang lebih pendek dari sebelumnya.
Selesai dari butik itu, Rahma pikir mereka berdua akan langsung pulang.
"Belum saatnya pulang, Sayang..."
"Loh?" Rahma digiring masuk ke dalam toko tas oleh Reyhan.
"Pilih tas yang sesuai dengan seleramu," ucap Reyhan sambil menunjuk deretan tas branded di sana.
"Untuk?"
"Sepertinya ini cocok," Reyhan mengambil tas ransel bergaya korean girl yang berwarna hitam. "Kamu terlihat cantik memakai ini."
"Mas," Rahma menahan tangan Reyhan yang akan mencarikan tas lainnya, yang lebih pantas. "Rahma nggak butuh tas. Tasku di rumah masih bagus kok."
"Sekolah baru, awalilah dengan semangat baru," Reyhan tiba-tiba mengecup pipi Rahma, menghilangkan fokus perempuan itu. "Seragam baru, tas baru, sepatu baru, ah semua serba baru. Kamu harus lebih rajin lagi belajarnya nanti."
"Mas, nggak usah. Aku nggak butuh."
Reyhan tak memedulikan penolakan Rahma, laki-laki itu mengajak Rahma duduk sebentar. Ia sudah menyuruh pelayan toko untuk membawakannya sepatu yang sesuai ukuran kaki Rahma.
Deretan sepatu dengan brand ternama dunia mulai berjejer di hadapan Rahma. Ia susah menelan salivanya saat tahu harga sepatu-sepatu itu sama dengan harga seluruh jumlah hutang keluarganya, malah lebih besar lagi. Ada sepatu merk Skechers, modelnya kasual dan lebih cocok dipakai saat berolahraga. Rahma langsung menggelengkan kepalanya saat Reyhan menawarkan sepatu itu. "Tapi, ini cocok untukmu."
"Ehm, itu sepatu olahraga. Mending kita cari sepatu biasa saja. Harga 100 ribuan." Rahma biasa membeli sepatu dengan kisaran harga itu, antara 100-150 ribu atau paling mahal 180 ribu. Itu sudah paling mentok mahalnya. Tidak pernah sampai berjuta-juta.
Reyhan tertawa. "Saya pastikan kamu tidak akan memakai sepatu yang model seperti itu lagi. Cepat pilih yang kamu suka."
Di sana ada juga sepatu merk Adidas dan Puma. Rahma pernah membacanya di salah satu majalah tentang peluncuran brand sepatu itu. Berawal dari perpecahan dua bersaudara maka lahirlah merk sepatu baru yang mendunia bernama Puma. Merk sepatu itu didirikan oleh Rudolf Dassler, saudara Adolf Dassler. Dulunya kedua bersaudara itu perintis brand Adidas.
Rahma baru kali ini mendengar, melihat, dan menyentuh langsung sepatu merk DC Shoes, Reebok, Asics, dan New Balance. Ia pikir, harganya bisa lebih murah dari brand ternama lain seperti Adidas, Nike, Vans, dan Converse. Ternyata sama saja. Hanya berbeda sedikit harganya.
Pilihan pun jatuh pada sepatu Converse. Rahma jatuh hati dengan sepatu itu karena model dan warnanya yang elegan.
"Ah, pilihan yang tepat." Reyhan tersenyum kecil. Lalu menyuruh pelayan toko untuk membungkusnya.
"Mas, apakah ini tidak terlalu berlebihan?" Rahma merasa tidak memberikan apa pun yang sebanding dengan apa yang Reyhan beri.
"Rahma, kamu harus ingat. Statusmu sekarang adalah kekasihnya Mas. Jadi, nggak ada yang terlalu berlebihan atau apalah itu."
Bola mata Rahma berkaca-kaca, ada pelangi samar di sana. Reyhan langsung memeluk Rahma melihat perempuan itu akan menitikan air mata. Tangan kekarnya mengusap berulang kali punggung Rahma untuk menenangkannya. "Don't cry, Baby. Don't."
"Mas Reyhan terlalu baik sama aku."
Rahma tidak sadar, di seberang sana ada tiga perempuan seumuran dengannya tengah mematai-matai dirinya sedari tadi. Mereka bertiga adalah teman SMP Rahma. Semua kompak berdecak saat tahu kelakuan Rahma di luar. Rahma yang di sekolah dikenal dengan perempuan baik, pintar, alim, ternyata tak seperti yang terlihat. Ada bagian lain dari Rahma yang teman-temannya baru tahu itu.
"Ck, ck, ck, ck. Gatel banget si Rahma." Key berdecak, mengeluarkam ponselnya dan memotret pemandangan yang dilihatnya itu, sesuatu yang akan ia sebarkan nanti.
"Gilak. Maennya sama Om-Om." Teriak salah satu teman Key yang bernama Eva.
"Emang, ya, cewek yang pura-pura alim malah aslinya lebih gatel." Sarah ikut mencemooh Rahma.
Masih mengambil beberapa foto Rahma dan Reyhan, Key terus saja mengolok-olok perempuan itu. "Gue pastiin bakal buka topeng busuknya di depan temen-temen semua."
"Ah, lihat deh. Tasnya bagus banget itu yang dibawa," Eva menyatukan tangannya dengan tatapan kagum menatap barang belanjaan Rahma. "Gue juga mau kalau kayak gitu."
"Mau apanya, Bego?!" ketus Key.
"Mau jadi simpenannya Om-Om," jawab Eva masih fokus pada Rahma dari kejauhan. "Lumayan atuh. Lihat tuh Rahma dibeliin barang branded semua. Mana lagi Om-Omnya super tampan, berkumis tipis, tinggi. Uh, idaman banget."
Pletak...
Sarah menoyor kepala Eva untuk menghentikan racauan temannya itu.
"Ih, gue kok digetok, sih?! Emang lo pada nggak iri? Lihat, noh! Si Rahma beruntung banget. Gue kira Om-Omnya tua, perut buncit gitu. Eh, ternyata..." ucap Eva sambil mengusap-usap rambut di kepalanya.
"Emang lo mau ditidurin sama Om-Om itu? Ih, gue mah ogah." Sarah mengedikkan bahunya. "Harga diri, Cuy. Nggak bisa ditukar dengan apa pun."
"Betul, Va. Berarti, Rahma..." Key tersenyum meremehkan menatap Rahma. "... Rahma murahan. Demi barang-barang branded dia rela jual diri hahaha."
"Eh, iya, yah. Rahma murahan banget," Eva menghembuskan napas perlahan. "Gue juga nggak mau deh kalau harus jual diri."
"Gue punya firasat buruk nih, Key." Sarah menatap kedua temannya secara bergantian. "Kayaknya tuh anak bakal masuk ke SMA yang sama kayak kita."
"SUMPAH LO?" bola mata Key melebar. "Ih, ogah banget gue ngelihat mukanya yang sok alim."
"Iya, lah. Gue denger-denger dia pengin jadi dokter. Pastilah dia milih sekolah yang akreditasinya A biar gampang pas pendaftaran univ nanti," Sarah mencibir. "Idih, gelap mata banget tuh anak."
"Nggak sudi banget gue satu sekolah sama tuh anak. Mencoreng nama baik sekolah," ucap Eva. "Lihat noh mereka ci-ciuman. Astaga, emang jalang."
"Amit-amit dah." Timpal Key kemudian.