•Mulai Tergoda•

2323 Words
Beberapa orang menganggap awal adalah permulaan yang paling utama. • Beberapa lagi menganggap awal adalah langkah menuju akhir. • Aku sendiri menganggap awal adalah langkah di mana kita mau memulai sesuatu. Entah itu perihal perasaan, persiapan, keputusan, pilihan, sampai hal-hal yang berkaitan dengan masa depan. • Jika awalnya sudah buruk, bisakah aku berharap akan berakhir baik meskipun tahu hanya sebuah kemustahilan belaka. •••••• "Em..." Rahma memegangi kedua bahu tegap Reyhan, sedikit meremasnya juga. "M-mas, nanti ada yang li-lihat..." "Tidak ada yang akan melihatnya, Rahma." Setibanya mobil Reyhan di halaman rumahnya, laki-laki itu menahan Rahma keluar. Ia masih ingin berlama-lama dengan perempuan itu. Apalagi setelah Rahma setuju menjadi kekasihnya. Jadi, status mereka sudah jelas, 'kan? Reyhan memagut bibir mungil itu penuh nafsu, tangannya mengusap rahang Rahma pelan agar mulutnya semakin terbuka. Kini, ciuman mereka bukan hanya saling melumat saja, tapi Reyhan sudah berani bermain lidah. "Ikutin, Mas, ya..." instruksi Reyhan pada Rahma di sela-sela aktivitas berciuman mereka. Rahma kewalahan dengan sikap Reyhan yang semakin menjadi-jadi bukannya berhenti. Napas Reyhan terengah, ia menghentikan ciumannya. Rahma menatap dua bola mata Reyhan yang hitam sempurna. Dilihat dari dekat ternyata Reyhan sedikit berjambang di bagian dagunya. Tangan lentik Rahma perlahan meraba bagian wajah Reyhan, sebelumnya ia tidak pernah seberani ini. Biasanya berada di dekat Reyhan, Rahma langsung menunduk. "Kamu buat saya gila tahu, gak?" Reyhan menahan tangan Rahma yang bermain di area wajahnya. Lalu laki-laki itu mengecup tangan Rahma sambil menggigitnya dengan gemas. "Saya bisa gila kalau lama-lama kayak gini." Ada keinginan terkuat dalam tubuh Reyhan untuk segera menyatukan kedua tubuh mereka, saling menyatu, saling mengisi, saling menyempurnakan ketidak sempurnaan masing-masing. "Makasih..." ucap Rahma lirih dengan masih bersisitap dengan Reyhan. "Rahma... nggak tahu harus balas apa..." "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Rahma." Reyhan tersenyum miring. "Tunggu sampai saat itu tiba. Oke, karena kamu mulai membahas ini. Kita bahas juga apa yang sempat tertunda kemarin." Rahma menganggukkan kepalanya. Ia sudah siap, sudah menyiapkan diri dari kemarin saat dirinya dengan sadar mengiyakan penawaran dari Reyhan artinya dirinya harus siap dengan segala konsekuensi yang ada. "Ini semua hanya masalah umur," Reyhan mengembuskan napas pelan, semakin mendekatkan wajahnya. "Berhubung kamu masih belum 17 tahun... kita tunda dulu berhubungan intim." "Memang kenapa?" tanya Rahma polos. "Kamu masih terlalu kecil, Sayang. Mas takut kamu kesakitan," jelas Reyhan. Seingat laki-laki itu, Reyhan pernah berhubungan badan dengan perempuan paling muda berumur 20 tahun. Ini gadis enam belas tahun akan ia tiduri? Tidak mungkin sekali. Entah Rahma yang terlalu percaya diri atau memang benar adanya, Reyhan mengucapkan kalimat itu dengan nada penuh sayang, lembut, dan pelan. Padahal, baru beberapa menit yang lalu Reyhan berapi-api menghajar saudaranya sendiri. Ah, jika mengingat itu, Rahma semakin yakin jika Reyhan mempunyai dua kepribadian ganda. Mengerikan. "Kapan kamu berulang tahun?" tanya Reyhan yang membuat lamunan Rahma tentang teriakan laki-laki itu tadi buyar seketika. Rahma menatap Reyhan, lalu menggelengkan kepalanya. Membuang jauh-jauh kilas balik kelakuan kasar Reyhan. Yang ada di hadapannya sekarang adalah Reyhan yang baik, yang lembut. Dengan pelan, Rahma menjawab. "Tanggal 21 Juni." "Ah. Akan kuingat hari itu," ucap Reyhan sambil mengecup bibir Rahma lagi. "Karena di hari itu, kamu harus membayar semua ini." •••••••••• Ibu mana, sih, yang tidak menangis melihat anaknya terluka? Tak peduli sekecil apa pun luka itu. Pengorbanan seorang ibu itu tidak perlu diragukan lagi. Sejak awal kehamilan hingga kelahirannya, nyawa ibu yang dipertaruhkan demi seorang anak dari rahimnya. Wajar jika kasih ibu tak terhingga sepanjang masa. "MARNI, CEPAT BAWAKAN ES! MARNI!" teriaknya lantang sambil duduk di hadapan putranya. "Pasti sakit." "Tidak sesakit yang Mama bayangkan. Udahlah, Ma," putranya itu menyingkirkan tangan Alina dari wajahnya. "Ribut nggak apa. Cuma luka ringan ini." "Keberanianmu untuk pulang patut diacungi jempol," papanya yang tengah duduk di sofa dengan gagah sambil membaca majalah mulai bersuara. "Dengan kesadaran penuh kamu pulang. Ya, inilah yang kamu terima." "Pa, Reyhan itu seharusnya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa," Alina mencibir tak terima. "Dia psikopat." "Reyhan tidak gila. Dia hanya... dendam." Mahendra menarik napas. "Sudah Papa peringatkan, kamu tidak akan menang melawan Kakakmu. Itu sulit. Dia keras kepala." "Ribut yakin, suatu hari nanti Kakak bisa maafin Ribut dan menerima semua penjelasan... awh, sakit, Ma." Ribut tiba-tiba meringis, Alina menyentuh luka-luka lebam di wajahnya. Marni datang sambil membawakan apa yang Alina perintahkan padanya. Asisten rumah tangganya itu sempat terkejut melihat wajah Tuan Muda-nya yang beberapa jam lalu terlihat tampan, tak terluka sedikit pun kini babak belur, bonyok. Alina mengatakan akan mengobati sendiri luka Ribut, jadi Marni pamit ke belakang kembali. "Ribut bisa sendiri..." Ribut mengambil kompresan dari tangan Alina. "Mama nggak usah terlalu berlebihan." "Jadi, kapan kamu akan kembali ke Bandung?" tanya Mahendra saat Ribut masih sibuk membasuh luka-lukanya dengan kain pembebat yang dibasahi air es. "Lebih cepat, lebih baik. Kalau bisa malam ini. Kakakmu tidak akan pulang, jika kamu ada di sini." Ribut memutar bola matanya dengan malas. Selalu ia yang menjadi diasingkan. Selalu dirinya yang dikorbankan. Papanya itu akan selalu memihak kakaknya, bukan dirinya. Yang akan selalu dibuang itu ia, bukan kakaknya. "Pa, biarkan Ribut tinggal di sini." Mohon Alina dengan wajah memelas. "Tidak! Belum saatnya," kata Mahendra dengan tegas dan lantang. "Yang dibutuhkan di rumah ini, di perusahaan, dan di keluarga ini Reyhan..." "Ah," Ribut menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Ribut pulang sekarang. Maaf, sudah mengacaukan pesta kalian." Lalu laki-laki itu bangkit, Alina menahannya lagi. Tetapi, Mahendra bersikeras melepas Ribut. Membiarkannya kembali. Yang dibutuhkan di rumah ini, di perusahaan, dan di keluarga ini Reyhan. Papanya tidak tahu bahwa hati Ribut tersakiti, kata-katanya yang diucapkan beberapa menit lalu seperti belati beracun yang menghujam jantungnya. Menusuk-nusuk dirinya secara sadis. Tangan Ribut terkepal. Ia ingin marah. Entah pada siapa, lebih kepada keadaan yang menempatkan pada posisi tidak diharapkan sama sekali. "Pa," Ribut berbalik. Ia sudah keluar dari pintu utama. Jaraknya sekarang tengah berdiri dengan Mahendra hanya satu meter saja. "Seandainya Ribut bukan anak haram, apa Ribut masih tidak dibutuhkan di sini?" ••••••••• Setiap laki-laki pasti tercipta mempunya nafsu, bahkan semua manusia termasuk perempuan pun begitu. Namun, hasrat akan nafsu untuk pemenuhan kebutuhan biologis laki-laki lebih besar. Penelitian ilmiah mengatakan, hasrat laki-laki bukan saja lebih kuat, tapi juga lebih to the point dibanding perempuan. Bukan rahasia lagi, bahwa perempuan melibatkan emosinya untuk memutuskan apakah ia mau berhubungan intim atau tidak dengan seorang laki-laki. Para ahli percaya, hubungan intim yang sehat akan memengaruhi kesehatan seseorang secara keseluruhan. Jadi, untuk mencapai hidup sehat versi Reyhan adalah rajin berolahraga, makan teratur, dan rutin melakukan hubungan intim. Perlu diketahui, laki-laki banyak memikirkan tentang hubungan intim setiap harinya, berbeda dengan perempuan yang mungkin hanya beberapa saja. Apalagi, laki-laki yang berumur di bawah 60 tahun. Dan juga laki-laki lebih aktif mencari pelampiasan hasrat berhubungan intim dibanding perempuan. Itu karena laki-laki lebih butuh. Bagi laki-laki bukan hal tabu untuk berhubungan intim dengan perempuan meskipun sedang tidak ada hubungan apa pun. Tidak terikat status, one night stand contohnya. Sulit bagi Reyhan mencari teman tidur yang tepat untuk soal urusan ranjang. Karena ada beberapa pertimbangan yang Reyhan pikirkan, tidak asal mengajak lawan jenis tidur bersama saja. Reyhan membuka kamar hotel yang diberitahukan oleh sekretarisnya tadi melalui sebuah pesan yang dikirimkannya beberapa menit yang lalu. Tak mau membuang waktu, Reyhan langsung meletakkan kopernya sembarang dan membuka jas kemejanya sambil berjalan ke arah Nita, sekretarisnya. "s**t! Semua ini gara-gara Rahma," desis Reyhan masih terbayang raut muka polos perempuan itu. Andai saja Rahma seumuran dengannya pasti sudah ia persunting, dijadikan pasangan hidup selamanya. Namun, Reyhan masih memikirkan semua mimpi perempuan itu yang belum tercapai satu pun. Yang ada di hadapannya saat ini Nita, tapi dalam bayangan Reyhan itu Rahma. Ya, laki-laki memang sering berimajinasi sedemikian rupa. "P-pak... pe-lan, Pak!" teriaknya setengah kesakitan. Reyhan tengah menyatukan tubuhnya dari belakang. Posisi yang paling ia sukai saat perempuan itu memunggunginya dan menghujamnya dari belakang. Rasanya penyatuan mereka terasa lebih dalam, lebih dalam lagi. Kamar hotel itu seketika diisi suara desahan, jeritan tertahan, teriakan penuh kenikmatan saat mereka mencapai puncaknya, serta aroma khas persetubuhan yang menguar bercampur dengan dinginnya AC. Reyhan terengah-engah setelah tiga jam melakukannya tanpa ampun, sedangkan perempuan yang menjadi lawan mainnya sudah terkapar pasrah, lelap. Di bawah gulungan selimut. "Tiga jam? Oh, astaga." Reyhan tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Rahma nanti saat di hadapkan pada kenyataan untuk melayani nafsunya. Lihat saja, perempuan dewasa seperti Nita saja terkapar tak berdaya. Apalagi, gadis lugu seperti Rahma. •••••••••• Sesampainya di rumah, Rahma tidak langsung tidur di kamar. Ia masih meneruskan membaca bukunya. Membayangkan besok ia akan memakai semua barang-barang baru itu ke sekolah lantas mengingatkannya dengan wajah Reyhan. Marni juga sudah tahu barang-barang itu dari Reyhan, laki-laki itu yang menjelaskannya secara perlahan pada ibunya Rahma tadi. Rahma menutupi wajahnya yang mulai terasa panas, malu, dan senang pastinya. Hari-hari bersinar itu akan segera tiba. Ia lalu bangkit berdiri setelah menutup bukunya, tinggal beberapa halaman saja buku itu tamat dibaca olehnya. Rahma mengucek matanya sebentar. Bola matanya itu kadang terasa sakit, perih. Mungkin karena terlalu sering membaca di tempat yang minim pencahayaan. Ah, Rahma harus mengurangi kebiasaan membacanya yang tidak baik sambil tiduran. Rahma menuju ke arah dapur, mengambil air putih sebelum memutuskan untuk tidur. Di samping dapur ada toilet, Nyonya dan Tuan Muda sedang ada di sana. Perempuan itu tersedak saat Alina, majikannya itu melotot padanya. "Cepat, pergi dari sini!" dari sorot mata Alina ia mengatakan itu tanpa bersuara pada Rahma. Cepat-cepat Rahma mengahabiskan minumnya dan mencuci gelas itu lalu berlalu pergi. Sebelum benar-benar pergi meninggalkan dapur, Rahma masih mendengar obrolan Alina dan Tuan Muda. "Sayang, kamu bisa pulang besok pagi. Nggak perlu malam ini juga," jelas Alina. "Mama khawatir sama kamu. Perjalanan dari Jakarta ke Bandung malam-malam begini." "Ma, udahlah. Nggak apa." Suaranya lembut, sedikit serak, dan rada sengau. Rahma memiringkan wajahnya beda sekali dengan suaranya Reyhan yang mirip aktor barat, keras dan berat. Rahma jadi penasaran bagaimana wajah laki-laki itu. Mirip dengan Reyhan kah? •••••••••• Tahun ajaran baru... Akhirnya, hari itu tiba. Hari di mana Rahma bisa sekolah di sekolah yang selama ini ia impikan. Sekolah itu mempunyai gedung bangunan yang tinggi dengan berbagai fasilitasnya. Ada 7 kelas untuk jurusan MIPA bagi murid kelas 10, 4 kelas untuk jurusan IPS bagi murid kelas 10, dan begitu pun pembagian kelas bagi kakak kelas yang sama. Ada laboratorium Kimia, laboratorium Fisika, Perpustaakan yang lebih besar dari yang ada di sekolah menegah pertamanya dulu. Hari ini Rahma menghabiskan waktunya untuk melihat-lihat sekolah barunya itu. Rahma sengaja berangkat pagi sekali hari ini. Terlalu bersemangat mengawali awal hari baru. Rahma bersyukur tahun ini tidak ada kegiatan MOS yang menganggu seperti menjadi kacung para kakak kelas atau dibully. Karena pemerintah sudah mengganti kegiatan tersebut dengan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau yang biasa disingkat MPLS. Jika pada masa MOS senior dan atau alumni yang menjadi penyelenggara, kali ini gurunya sendiri yang turun tangan untuk mendampingi kegiatan pengenalan anggota baru dan ekstrakurikuler. Siswa-siswi sudah mulai memakai seragam dan atribut lengkap dari sekolah. Kegiatan itu bersifat edukatif, inovatif, dan menyenangkan. Dan juga kegiatan hanya dilakukan di lingkungan sekolah ketika jam pelajaran, selama 3 hari di minggu pertama awal tahun ajaran baru. Ada yang aneh menurut Rahma. Teman-teman barunya seakan menjaga jarak dengan Rahma saat perempuan itu mengajaknya berkenalan. Rahma sampai membaui dirinya sendiri, apakah karena tubuhnya bau tidak sedap? Bolak-balik Rahma mengecek penampilannya di cermin toilet. Tetapi, ia tidak merasa ada yang salah. "Hai, Ra!" sapa Rahma pada Tiara, yang juga teman SMPnya dulu. Tiara langsung melengos dan pergi bersama teman-temannya, tak menghiraukan Rahma. Rahma kembali ke dalam kelas, duduk manis sendiri saja di sana. Teman-teman yang lain asyik mengobrol. Rahma pikir, mengobrolkan hal-hal tentang sekolah baru mereka itu. Namun, Rahma mendengar sesuatu yang mengusik hatinya. "Iya, lah. Murahan banget." "Nggak tahu malu." "Dasar jalang." "Ah, gue mah ogah kalo suruh jual diri." Rahma menoleh ke kanan-kiri, pada suara-suara yang berbisik-bisik itu. Teman-temannya seakan menyorot matanya tajam, penuh kebencian. Ia tidak tahu ada apa sampai salah satu temannya yang juga teman SMPnya dulu mulai buka suara. "Gimana, Temen-Temen? Kalian udah lihat foto dan videonya, 'kan?" Key tertawa mengejek. "Sekarang, kalo cari uang gampang banget, ya. Tinggal ngangkang. Ups." Sontak teman-temannya tertawa. Apa yang mereka tertawakan? Padahal, ucapan itu terlalu vulgar untuk diucapkan di lingkungan sekolah saat ini. Rahma buru-buru mengecek ponselnya. Karena teman-temannya yang sedari tadi berbisik-bisik itu setelah membaca pesan di ponsel mereka masing-masing. BERITA TERPANAS Bola mata Rahma seakan ingin keluar saat melihat isi pesan di grup kelasnya. Ada fotonya bersama Reyhan kemarin saat di mall dan ada video pendek ciuman singkatnya dengan Reyhan. Pantas saja semua teman-temannya memandangnya hina. "Udah lah, Rahma. Buka aja topeng sok polos lo itu," Key bersidekap. "Kita semua di sini udah tahu siapa lo sebenernya." Rahma berdiri dari tempat duduknya sambil mengepalkan tangan kuat-kuat. Ia maju ke arah Key, ingin menjambak-jambak, mencabik-cabik perempuan itu. Karena Key-lah pengirim dan penyebar foto dan videonya bersama Reyhan. Sebelum Rahma sampai di meja depan yang diduduki Key, ada punggung tegap yang menghalanginya. Laki-laki itu berdiri membelakanginya. "Kalian kekanak-kanakkan banget tahu, nggak?!" bentaknya dengan suara lantang. "Nggak usah berasumsi sesuka hati kalian sendiri. Bisa aja itu bukan seperti yang kalian lihat." Dia... Heksa Antariksa. Rahma pernah mendengar namanya beberapa kali sewaktu SMP dulu karena nilainya dengan nilai Rahma yang selalu selisih sedikit, membuatnya berebut peringkat nomor satu pararel di sekolah. "Bisa aja itu Rahma lagi sama Kakak atau Om-nya atau mungkin saudara yang lain," jelas Heksa. Key terbahak keras sampai memegangi perutnya. "Heksa-ku yang pintar, yang selalu peringkat satu, nggak mungkin lah itu saudaranya. Masak iya Rahma sama saudraanya sendiri ciuman?! Hello?!!!!" tangan Key memeragakan pose orang sedang berciuman. "Bisa aja itu cuma editan! Kalian langsung percaya hanya dengan melihat foto dan video itu? Iya?!" bela Heksa lagi. "Lo juga, Key. Nggak usah ikut campur masalah orang lain. Sebar fitnah nggak jelas." "Fitnah lo bilang? Ada bukti foto dan..." "Kebenaran selalu perlu bukti, tapi bukti tidak selalu benar. Lo harus inget itu!" Heksa membuang muka. Sebenarnya, ia tidak mau ikut campur. Hanya saja, jika ia tidak ikut bersuara maka terus saja yang lemah diinjak-injak kedudukannya oleh yang posisinya lebih tinggi di bawahnya. Kelas seketika hening. Rahma menatap penuh senyum Heksa. Laki-laki itu sudah kembali duduk di kursinya bersama teman-temannya. Seakan tidak terjadi apa-apa. Terima kasih, Heksa...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD