2

1507 Words
Friska pov     Aku bangun dengan mata berat. Segera kubuka tirai jendela agar cahaya matahari dapat masuk ke kamarku. Kulihat wajahku di cermin.      "Ewww siapa itu kenapa jelek banget"     Kuhela nafas berat. Aku bahkan tidak bersemangat untuk berangkat ke kampus. seharian kemarin aku tidak melakukan apapun selain meringkuk di kamar dan menangis. Aku sampai khawatir apakah makananku banjir dengan airmata. Wajahku sangat kacau. Aku tidak mungkin berangkat ke kampus dengan keadaan seperti ini.     Tok tok tok          Itu pasti Mira. Mira memang selalu menjemputku saat berangkat ke kampus. Dia satu-satunya temanku yang selalu bisa kuandalkan. Teman di Jurusanku bahkan bilang kami seperti saudara karena selalu memakai baju dengan corak atau warna yang sama. Tentu itu bukan disengaja. Sepertinya hati kami terikat.     "Friskaaa aku bawa... Oh My Friska kamu kenapa??" Belum selesai berbicara, Mira sudah menunjukkan wajah kaget melihat keadaanku yang kacau.     "Huaa Mirr Aku harus gimanaa?" Aku menangis tepat setelah Mira berbicara.     Mira segera menutup kamarku dan duduk menenangkanku di kasur. Aku menceritakan panjang lebar mengenai Wildan. Mulai dari Wildan yang menjauhiku sejak ia mulai magang, hingga kejadian 2 hari lalu yang sangat mengguncangku. Sejak kemarin, Aku mematikan ponselku untuk menghindari Wildan yang terus-menerus menghubungiku.     Kemarin Bu Ina -salah satu petugas kebersihan kos- memberitahuku kalu Wildan sempat mendatangi kosku, namun petugas keamanan tidak memperbolehkannya masuk karena ini kos khusus wanita, sehingga pria dilarang masuk kecuali keluarga. Sehingga ia terpaksa kembali tanpa mendapatkan apa-apa.     "Udah gila ya tuh Wildan! Ajeng tuh udah terkenal banget suka morotin cowok" Mira mengatakannya dengan berapi-api. "Liat aja ntar kalo mukanya nongol di kampus udah aku pastiin dia kena akibatnya!" Mira meremas bantal dengan gemas.     "Aku berusaha pasrah aja Mir" Aku menghela nafas dengan berat.     "Sabar ya Fris, mungkin aja ini cara Tuhan buat nunjukin kalo Wildan bukan cowok yang baik buat kamu" Mira tersenyum meraih tanganku. Aku merasa sedikit tenang setelah mendengan perkataan Mira.     Ya mungkin Mira benar. Seharusnya aku lebih bersyukur karena Tuhan menjauhkanku dari pria yang tidak baik.     "Udah kamu mandi aja sana daripada nangis terus" Mira mendorongku agar segera beranjak dari kasur. "Aku bawa bubur ayam tuh buat sarapan" Mira menunjuk bungkusan yang ditaruhnya di meja kerjaku.     "Kamu emang baik banget Mir, apalagi kalo bawa gratisan gini" Aku terkekeh berusaha mencairkan suasana.     "Bacot!" Mira tertawa sambil melemparkan bantal ke arahku. ***     Selama di kelas, Friska masih tidak bisa fokus. Pikirannya melayang-layang. Sesekali ia pergi ke toilet seorang diri untuk melampiaskan kesedihannya. Saat jam makan siang, ia dan teman-temannya menuju workspace yang terletak di bawah perpustakaan. Setelah mereka menyimpan tas di loker workspace, mereka menuju kantin untuk makan siang.     "Udah ga nangis lagi Fris?" tanya Juna yang duduk di hadapannya.     "Ga kok" Friska menjawab sambil mengunyah makanannya tanpa melihat wajah Juna.     "Jangan nangis lagi Fris, mending sama aku yang sudah jelas lebih charming dan humoris" Rifki ikut menimpali yang dibalas tawa kecil Friska. Mira yang duduk di hadapan Rifki, secara otomatis menjitak kepalanya.     Tidak lama setelah itu, Friska melihat Ajeng dengan gengnya berjalan menuju bangku kosong yang terletak tidak jauh dari bangku Friska dan kawannya.     Rifki, Mira, dan Juna yang awalnya tertawa akibat lelucon satu sama lain, tiba-tiba menjadi hening sejak mereka menyadari Ajeng muncul secara tidak terduga. Friska berusaha menahan airmata yang hendak keluar akibat teringat penghianatan Wildan padanya. Mira mengelus punggung Friska, berusaha menenangkannya.     Friska menoleh pada Mira seakan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Mira tersenyum dan melanjutkan makannya.     "Ga usah nangis lagi, lagian udah jelas Wildan milih Ajeng kalo kamu cengeng kayak gini" Juna berbicara tiba-tiba, membuat Rifki dan Mira mendelik tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.     "Liat sendiri kan? Ajeng cantik, tinggi, badannya bagus" Juna terus berbicara tanpa memperhatikan Friska yang sudah menahan amarahnya. Friska mencengkram kuat pegangan gelasnya yang berisi es cendol.     "Juna! Stop! Kamu keterlaluan!" Mira berusaha menghentikan Juna.     "Ya kamu lihat sendiri kan? Cowok lebih pilih cewek kayak Ajeng daripada Friska yang pendek kayak anak SMP" Bukannya berhenti, Juna malah melanjutkan bicaranya yang terus membandingkan Friska dengan Ajeng.     Splashh!     Friska berdiri, menyiram es cendolnya ke arah Juna tanpa ragu. Seluruh mata menatap Friska dan Juna. tak terkecuali Rifki dan Mira yang kaget dengan mulut menganga.     "Ga perlu bacot juga aku udah tau Jun" Friska berkata pelan menahan tangisnya yang sudah diujung.     Juna menatap Friska dengan penuh kemarahan. Kepala serta bajunya basah akibat es cendol yang disiram Friska. Bau santan dan gula merah seketika melekat di tubuh Juna. Friska langsung beranjak pergi dari kantin menuju workspace untuk mengambil tasnya. Ia berniat pulang tanpa peduli jika ia tidak diabsen pada kelas selanjutnya.      "Kebangetan lo Jun" Rifki menyusul Mira yang telah lebih dulu mengejar Friska, meninggalkan Juna yang masih geram.     Juna beranjak dan menuju loker workspace, mengambil hoodienya. Ia segera pergi ke toilet untuk membersihkan dirinya dan melepas bajunya dan memakai hoodie. Ia mengelap wajahnya dengan tisu, dan mengeringkan rambutnya dengan hand dryer.     Sialan banget nih bocil gatau diri. Gue yang disiram kok dia yang marah.     Juna menggerutu sambil mengeringkan rambutnya. Dia sudah tidak peduli lagi apabila orang lain menatapnya aneh.     "Mas permisi" Juna mendengar seseorang berbicara di belakangnya. "Saya keringkan tangan dulu ya?" Juna kaget ternyata ada orang lain yang menunggunya di belakang dengan tatapan aneh.     "Oh, hehe, silahkan mas" Juna menyingkir mempersilahkan orang tersebut mengeringkan tangan.     Juna menyemprotkan parfum ke seluruh badannya untuk menyamarkan aroma es cendol yang menyengat. Sekembalinya dari toilet, ia melihat Mira dan Rifki mengedit film untuk pameran. Juna langsung duduk di antara mereka dan mengeluarkan laptopnya. Suasana terasa sangat canggung setelah kehadiran Juna.     "Friska mana?" Juna membuka suara.     "Pulang" Mira menjawabnya dengan ketus. Juna kaget, tidak menyangka akan mendapatkan respon seperti ini dari Mira.     "Kamu marah Mir?"     "Shut up Jun! Kamu bener-bener ga ngerasa bersalah ya?" Mira menatap Juna tidak percaya.     "Ya kalo Friska pulang ntar shooting-nya gimana?" Juna bertanya karena Friska menjadi salah satu pemeran dalam project pameran mereka. Dan rencanya, mereka akan shooting sore nanti setelah kelas mereka selesai.     Rifki menghela nafas, diikuti dengan Mira yang memutar matanya. Mereka tidak menjawab pertanyaan Juna, dan terus berkutat pada pekerjaan mereka masing-masing. *** Juna pov     "Mir! Mira!" Aku memanggil Mira yang berjalan cepat di area parkir. Aku langsung menarik tangannya segera saat mulai mendekati posisi Mira.     "Apasih Jun??" Mira menepis tanganku, berbalik menatapku tajam.     Aku sangat bingung kenapa Mira berbicara ketus denganku. Apalagi Rifki yang diam saja tidak mempedulikanku sama sekali. Aku bertanya-tanya apa salahku hingga mereka seperti ini.     "Aku minta maaf Mir, tapi apa salahku sampe kalian kayak gini ke Aku?"     "Kamu emang ga tau diri banget ya Jun!" Mira menatapku geram. Aku kaget sekaligus kesal. Kenapa wanita tidak pernah menjawab to the point. "Sadar ga sih kamu nyakitin Friska? Harusnya kamu minta maaf sama Friska, bukan sama Aku!" Mira menambahkan setelah aku terus diam menatapnya bingung.     "Loh? Harusnya Friska dong yang minta maaf? Kamu liat sendiri kan kalo dia nyiram mukaku?" Mira mendengus setelah mendengar jawabannku. "Aku cuma bilang realitanya Mir! Apa yang salah?" Bukankah Aku benar? Wanita pms di depaku ini malah semakin menunjukkan kemarahannya.     "Kamu jahat banget Jun! Nggak seharusnya kamu ngomong kayak gitu ke orang yang lagi down!" Mira langsung meninggalkanku dan memasuki mobilnya.     Aku hanya diam. Memikirkan apakah yang kulakukan tadi salah? Oke mungkin saja Aku salah bila melihat reaksi Rifki dan Mira. Baru kali ini aku benar-benar diacuhkan, apalagi oleh Mira. Aku sempat menyukainya saat semester pertama. Namun aku harus berhenti karena ternyata Mira telah memiliki kekasih.     Saat ini Mira sudah tidak bersama dengan siapapun, Aku harus menjaga sikapku. Mungkin saja suatu saat anak paling cantik di Jurusan itu jatuh hati padaku. Aku memutuskan untuk segera meminta maaf pada Friska agar image-ku membaik di mata Mira *** Friska pov     Aku terbangun tepat pukul 5. Tidur adalah salah satu caraku untuk lari dari semua stress, sedih, dan masalah yang kuhadapi. Dengan tidur, aku tidak perlu banyak memikirkan masalahku. Aku bangun dengan keadaan lapar. Segera Aku memaksa tubuhku bangun untuk mandi dan memesan makan melalui aplikasi ojek online.     Tringg!     Pemberitahuan baru masuk dari driver yang mengantar makananku. Ia telah sampai di depan kos. Aku baru mengaktifkan ponselku saat akan memesan makanan. Dan ratusan pesan membombardir ponselku tanpa henti. Termasuk panggilan tak terjawab dari Wildan. Aku sudah memblokir seluruh akun media sosialnya sejak 2 hari yang lalu. Hari ini aku berencana untuk mengganti nomorku agar tidak perlu susah payah menjauhi Wildan.     Aku segera turun untuk mengambil pesanan makananku. Tepat saat itu aku melihat orang paling laknat menunggu di depan kosku. Juna, setelah merbicara buruk tentangku, ternyata dia masih punya muka untuk menampakkannya dihadapanku. Sungguh tidak tahu diri.     "Friska! Aku minta maaf. Aku sungguh menyesal" Juna menarik tanganku sebelum aku membuka gerbang kos.     "Kamu pikir aku percaya?" Aku menepis tangannya yang menjijikkan.      "Fris, tolonglah. Aku sudah meminta maaf terlebih dahulu, padahal kamu yang menyiramku. Bukankah kamu yang seharusnya meminta maaf?" Juna mencegahku masuk ke dalam.     "Perbaiki mulutmu Juna! Tunggu saja sampai mereka tahu sifatmu yang sebenarnya" Aku mendorong tubuh Juna ke samping. Aku tidak peduli jika dia saat ini tersungkur di paving yang kasar.     Segera kututup gerbang dan memasuki kamarku. Aku duduk di atas karpet yang lembut untuk mengontrol emosiku. Kunyalakan laptop dan membuka siaran mukbang agar nafsu makanku kembali. Mengingat wajah Juna yang sok memelas sungguh memuakkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD