Putus Asa

1290 Words
"Ayo, ikut aku keluar. Keluargaku harus tahu kalau kamu sudah berbohong. Kamu penipu!" Mas Aksya menarik tanganku kasar. Perasaan gugup dan takut muncul bersamaan. "Sakit, Mas," keluhku mencoba melepaskan cengkraman tangannya. Namun tak bisa. Pegangan tangannya sangat erat. Bahkan, ikatan kimono bajuku hampir terlepas karena belum tersimpul dengan benar akibat tarikannya. "Aww!" "Aku kecewa sama kamu, Nay." Mas Aksya melepaskan cengkraman tangannya hingga membuatku terlempar. Kepalaku hampir terkena tepi nakas. Untung saja meleset. Mas Aksya sempat terkejut dan ingin membantuku berdiri, tapi ternyata urung dilakukannya. Egonya saat marah lebih kuat daripada sikap simpatinya melihatku terjatuh. "Bisa-bisanya kamu membohongiku dan keluarga, Nay. Bukankah di awal sudah jelas kalau ibuku menginginkan menantu yang suci yang bisa menjaga kehormatannya sendiri dengan baik. Kamu pun dengan lantang mengatakan masih perawan, belum terjamah tangan manapun. Makanya Ibu dan keluarga sangat menaruh harapan besar sama kamu kalau kamu itu bakal jadi menantu terbaiknya. Menantu keluarga Gunandhi Wijaya. Wanita baik-baik yang bisa menjaga kehormatan dua keluarga sekaligus. Aku bahkan selama ini tidak pernah mendengar berita je lek tentangmu. Selalu prestasi yang membuatku semakin bangga telah mengenalmu. Namun sekarang harapan kami tidak sesuai kenyataan. Kamu tak sebaik yang kupikirkan. Kamu sama saja dengan wanita di luaran sana yang mengumbar maksiat dengan begitu mudahnya. Tanpa malu sudah berhubungan layaknya suami istri, padahal belum menikah." Astagfirullah, segitunya Mas Aksya menghinaku. Tanpa memberi kesempatan aku bicara untuk menjelaskan semuanya. "Mas, dengar dulu. Tolong dengar penjelasanku. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku … aku sebenarnya masih perawan sampai ... sampai itu, sampai tiga hari yang lalu aku ...." "Aku apa?" "Aku diperkosa." Lirih kuberucap. Sebuah genggaman tangan membuatku terhenyak kaget. Aku mengerjapkan mata dengan cepat. "Ayah?" tanyaku refleks menepis tangannya. Aku sangat terkejut melihat sosok yang kuhormati berada di samping tempat tidur. Kuamati sekitar dengan seksama. Ini kok tempatnya berbeda? Setelah kuamati dengan seksama ternyata ini di kamarku sendiri, dan barusan rupanya aku sedang bermimpi. Mimpi? Syukurlah kalau yang barusan hanya mimpi saja, bukan kenyataan. Namun bagaimana kalau itu benar kejadian? Dan semua yang ada di mimpi terulang sama persis seperti yang barusan kumimpikan? Kenapa semua tadi terasa nyata? Astaga, membayangkannya saja sudah tak sanggup, apalagi kejadian. Aku jadi takut. "Kamu tadi bilang apa, Nay? Diperkosa? Siapa?" Aku bangun dan mengambil posisi duduk. Pertanyaan Ayah membuatku terkesiap. Jadi apa yang kusebut itu terbawa sampai ke dunia nyata dan didengar Ayah? "A–aku. Tidak Ayah." Kepalaku menggeleng spontan. "Nay sepertinya hanya asal ucap saja saat tidur, mungkin mimpi," jawabku berbohong menyembunyikan kebenaran. "Syukurlah. Ayah parno duluan. Kirain itu kamu, ah, tidak mungkin kan?" Ayah terkekeh sendiri membantahnya. "Jadi bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah mendingan?" lanjutnya bertanya. Aku mengangguk tidak berani menatapnya. "Mau cerita kenapa kamu seperti itu pagi tadi? Ibu sampai ketakutan, sampai bilang kalau kamu kerasukan arwah gagal nikah. Aneh, masa ada yang begituan? Lucu." Ia tertawa lagi mungkin mencoba membuatku terhibur. Namun aku tak mampu mengikutinya. syaraf ketawaku seperti mati sejak kejadian mengerikan tersebut terjadi. Aku menatap Ayah lekat, seperti ingin mengatakan 'benarkah Yah, iya lucu,' tapi bibir ini kelu untuk berucap. Sangat berat. Lalu bagaimana caraku mengatakan kalau anaknya ini memang benar baru saja diperkosa? Aku hanya mampu menggelengkan kepala, sangat takut untuk mengatakannya. Apalagi Ayah itu mempunyai sikap yang lebih keras dibandingkan Ibu. Tampak Ayah menghela napas berat. "Ya sudah, tidak apa, Nay. Syukurlah kamu tidak apa-apa. Jadi kemarin adalah hari terakhir kamu keluar rumah, ya, mulai sekarang kamu tidak boleh kemana-mana. Nggak ada lagi acara nginap-nginapan di rumah teman apalagi sampai pulang subuh. Ayah nggak mau kejadian barusan terulang. Sampai dikira Ibu, kamu kesurupan gitu. Jangan membantah lagi Nay, jangan diulangi. Ayah takut terjadi sesuatu denganmu. Kata orang rentan kalau calon pengantin keluar rumah menjelang hari pernikahannya. Harusnya sih sebulan itu sudah tidak boleh kemana-mana, tapi ya sudahlah. Zaman dulu dan sekarang beda makanya Ayah maklumi. Semua sudah terjadi. Seperti yang menimpamu kali ini, itu sudah membuat Ayah khawatir. Meski Ayah tidak tahu, tapi Ayah merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Semoga itu cuma perasaan Ayah saja dan bukan sesuatu yang serius." Aku juga berharap seperti itu, Yah. Namun kenyataannya lebih pahit dari yang Ayah duga. Aku memilih diam tidak berani mengiakan ucapannya apalagi menggeleng tidak setuju. Seharusnya kemarin itu memang tidak pergi. Maka kejadian ini tidak akan terjadi. Aku bahkan harus berbohong pada Ayah kalau kemarin ada reuni kecil-kecilan dan pesta untukku. Aku juga bilang akan menginap di rumah Adiri. Padahal kenyataannya, aku dijebak dan kehormatanku telah direnggut paksa. "Tidurlah. Istirahat yang cukup. Besok lusa adalah hari pernikahanmu, Ayah tidak ingin kamu sakit apalagi berwajah sendu seperti ini. Kamu harus sehat dan terlihat segar. Nanti biar Ibu yang panggil orang spa ke rumah untuk merilekskan badan dan pikiranmu, kamu terlihat sekali seperti orang stres, depresi. Kata sebagian orang wajar sih gejala seperti itu menjelang pernikahan. Katanya sindrom mau nikah. Terserah lah, Ayah tidak ngerti. Hanya Ayah tidak mau saja dianggap orang-orang kamu begini karena memaksamu menikah." Ayah bangkit, berdiri dan mengecup hangat keningku. "Yah, bagaimana kalau pernikahan ini kita batalkan saja." Aku berucap takut saat Ayah ingin keluar kamar. Perkataan itu keluar dengan sangat pelan karena ragu untuk dikatakan. Padahal tinggal satu langkah lagi, seharusnya Ayah sudah keluar dari kamar ini, tapi pertanyaanku barusan pasti membuatnya dilanda bingung dan urung keluar. "Apa tadi, Nay. Dibatalkan? Membatalkan pernikahan, begitu?" tanya Ayah memastikan. Ia kembali mendekat. Aku mengangguk. "Kenapa?" "Nay ...." Aku terdiam tak mampu berucap. Haruskah kuceritakan tentang apa yang terjadi padaku pada Ayah? Mampukah ia menerimanya? "Nay?" Panggilan Ayah membuyarkan lamunanku. "Anu Yah, Nay ... Nay takut Yah. Nay belum siap untuk menikah." Pengecut, aku tak mampu jujur. "Oh." Ayah terlihat lega. "Itu cuma perasaan kamu saja. Semua sudah siap, Nay. Kita tidak mungkin membatalkan pernikahan begitu saja. Apalagi Ayah sudah menerima dana bantuan dari perusahaannya Om Gunandhi. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Tidurlah. Membatalkan pernikahan itu sama saja dengan membunuh Ayah, Nak. Cam kan itu! ngerti kan?" Deg! Ucapan Ayah bagai pisau yang menghunus ke jantung. Tajam dan menakutkan. Perkataannya barusan juga seperti ancaman untukku. Ayah telah pergi. Kueratkan selimut ke badan. Pikiranku melayang tak karuan. Bingung dengan apa yang harus diperbuat. Hingga sebuah bunyi denting pesan masuk ke ponsel, mengejutkanku. Segera kuraih ponsel yang tergeletak sembarang di atas kasur. [Bagus tidak? Akan kusimpan sebagai foto kenangan kita.] Ponselku jatuh seketika. Degup jantung berdetak lebih cepat dari sebelumnya saat kubuka sebuah kiriman gambar dari nomor yang paling kubenci saat ini, Demian. Di sana, tertampang dengan jelas foto mesraku bersama dengannya dalam satu selimut. Ya Tuhan, kapan foto ini diambil? Kenapa aku bisa seceroboh ini? Aku bahkan tidak ingat sama sekali. Segera kuhubungi nomor laki-laki bang sat tersebut tapi sayangnya tidak diangkat. Pasti dia sengaja. Terdengar kembali suara denting pesan berbunyi. [Kenapa Sayang, rindu ya? Mau mendengar suaraku atau mau mengulangi lagi malam panas kita semalam?] Breng sek! Aku benci kamu, Yan! Lalu muncul lagi pesan lainnya dari nomor tersebut. Tiga buah foto dengan isi yang hampir sama dengan foto sebelumnya dikirim lelaki tersebut secara berturut ke nomorku. Aku sampai melempar ponsel tersebut karena tidak menyukai isi fotonya. Menjijikkan! Aku benci! Aku benci kamu, Yan! Membatalkan pernikahan itu sama saja dengan membunuh Ayah, Nak. Cam kan itu! Ucapan Ayah itu terus terngiang di telingaku. Seakan seluruh ruangan ini menggemakannya memintaku untuk mematuhinya. Aku sampai menutup telinga karenanya. Tidak Yah, aku tidak mungkin membunuh Ayah, itu tidak mungkin. Tapi aku juga tidak mampu kalau hidup terhina seperti ini, Yah. Kembali kugosok tubuhku lagi berharap noda dari Demian itu bisa dihilangkan. Ucapan dan foto dari laki-laki itu sekarang menghiasi benakku. Aku bergerak ke arah nakas. Membuka setiap lacinya hanya untuk menemukan sesuatu yang kucari. Ketemu. Sebuah gunting kecil sudah berada di tanganku. Kupegang pelan setiap tepinya meraba apakah tajam atau tidak. Berdarah. Tanganku jadi terluka karenanya. "Ayah, Ibu, Mas Fadil, maafkan Nay, lebih baik Nay pergi bersama noda ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD