Bertemu Kembali?

1225 Words
"Nay! Apa yang kamu lakukan?" Ibu datang menghampiri dengan tergesa. Segera merampas gunting kecil yang masih berada di tanganku dengan panik. Aku sendiri dalam keadaan labil dan kacau. Aku menangis meratapi nasib burukku saat ini. "Yah, Fadil, kemari! Ini Nay!" Ia berseru nyaring memanggil ayah dan kakakku itu. "Ya Allah, kamu ngapain Nak? Ini apa?" Meski mengomel, tapi tangannya telaten menghentikan luka kecil akibat sayatan gunting yang kulakukan. Bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Hanya seperti tergores pisau saat mengiris bawang. Ya, seperti itu. Ibu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Tampak Ibu bergerak cepat mencari sesuatu di dalam laci nakas. Sebuah plester luka diambilnya dari dalam sana. Lalu menempelkannya ke luka kecil yang berada di tengah jari telunjukku. "Bu, Nay kenapa?" Akhirnya Ayah dan Fadil datang berbarengan dan terkejut dengan apa yang tampak di hadapan mereka. "Nggak tahu, Yah. Nay cuma nangis sambil bilang maaf berulang kali dari tadi sama Ibu." Ibu masih tampak khawatir dari caranya menjelaskan keadaanku. "Nay, kamu kenapa? Barusan Ayah tinggal kenapa jadi begini?" Ayah mendekat dan mengelus pundakku. Ikut mengamati lukaku juga. "Maaf Yah, Nay minta maaf. Semua ini salah Nay. Harusnya Nay tidak pergi kemarin malam itu. Harusnya Nay tidak berbohong." Tangisku lebih pecah dari sebelumnya. Ucapanku mungkin tak terdengar jelas karena bicara sesegukan. Semua menatap bingung ke arahku. "Kamu ngomong apa Nay? Memangnya kemarin kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan?" Sekarang giliran Kak Fadil yang bertanya. "Nay, Nay diperkosa," lirihku berucap takut-takut tak berani menatap mereka. Namun kalau tidak diungkapkan, aku tak sanggup menanggungnya sendiri. Rasa bersalah sudah menyelimuti diri dan rasanya ingin menyudahinya saja masalah ini dengan jalan pintas. Aku sudah berencana menyayat pergelangan tangan sendiri dan itu akan terlaksana dengan lancar andai Ibu tidak masuk ke dalam kamar ini dan menghentikan tindakanku tersebut. "Apa Nay? Kamu ngomong apa barusan? Katakan dengan jelas!" Ayah mencercaku meminta mengulangi ucapanku barusan. Aku menggelengkan kepala dengan takut. "Ibu dengarnya diperkosa, benar Nay?" Suara Ibu bergetar saat menanyakannya. "Diperkosa? Sama siapa Nay? Katakan siapa orang itu! Jangan bilang mantanmu itu, Nay!" Sekarang Kak Fadil yang bertanya geram. Dari raut mukanya dia sangat marah. Aku dulu berkuliah di luar kota dan Kak Fadil lah yang menemaniku di sana. Sengaja mengambil tempat kuliah yang jauh dari rumah karena ingin belajar mandiri dan jauh dari bayang-bayang orangtua. Aku lelah rasanya dipandang dan diperlakukan berbeda oleh teman-teman yang berada di sekitarku karena menganggap status sosialku yang lebih tinggi dari mereka. Sebenarnya Ayah tidak menyetujui keinginanku ini, begitupun Ibu. Namun aku bisa meyakinkan mereka dan merengek paksa hingga akhirnya mereka setuju. Itu pun dengan satu syarat Kak Fadil harus ikut dan mengawasiku di sana. Kami tinggal di apartemen. Bagi keluargaku menyewa apartemen bukanlah sesuatu yang sulit. Hidup bergelimang harta membuatku terbiasa dimanja dengan fasilitas yang wah. Aku tak pernah kekurangan apapun. Namun karena aku anak perempuan, tindak tandukku selalu dalam pengawasan orang tua terutama Ayah. Dia sangat protektif. Membuatku jadi tidak bisa bebas mengekspresikan diri. Tidak berani ikut hang out yang berlebihan bersama teman dan banyak larangan darinya yang membuatku terkekang. Itulah yang mendasari kenapa aku berharap jauh dari orangtua. Ingin mandiri dan dianggap mampu berdiri tanpa ada campur tangan mereka. "Mantan?" Ayah bergumam kecil seraya menatap Kak Fadil. "Mantan gilanya itu, Yah. Sudah kubilang jangan pacaran sama dia, Nay, gini kan jadinya!" geram Kak Fadil menatapku tajam. Aku diam masih menangis tak mampu bicara. Lagipula semuanya benar, apa yang bisa kubantah. Semua memang salahku. "Ibu tahu?" Ayah bertanya ke Ibu. Ibu mengangguk lemah. Terdengar helaan napas panjang Ayah. "Kenapa tidak ada yang cerita? Apa posisi Ayah di rumah ini sudah tidak penting jadi diabaikan kalian?" "Bukan begitu, Yah. Fadil yang salah. Fadil takut Ayah marah karena merahasiakan semua ini. Fadil ingin menjalankan amanah Ayah untuk menjaga Nay dengan baik, dan Fadil ingin membuktikan hal tersebut. Lagipula Nay sudah memutuskan hubungannya dengan lelaki tersebut, makanya Fadil anggap semua sudah selesai. Namun nyatanya Fadil telah gagal." "Anak siapa dia?" Aku dan Kak Fadil berserobok tatap. Lalu sama-sama menggelengkan kepala mengisyaratkan tidak tahu. Aku kurang tahu siapa Demian itu. Siapa nama orangtua dan apa pekerjaannya. Dia cuma cerita kalau berasal dari keluarga sederhana dan tinggal ngekos. Hanya itu, memang terkesan menutupi, dan bodohnya aku tak curiga. Kukira malu padaku karena mengetahui merupakan aku anak orang kaya, sedangkan dia orang biasa. Aku pun tak berani bertanya lebih dalam, takut menyinggungnya. Selama berhubungan dengannya aku belum pernah diajak ke orang tuanya. Kupikir dulu itu karena kami sama-sama belum siap. Jadi sampai terakhir putus hanya sebatas itu saja pengetahuanku tentangnya. "Darimana kamu yakin diperkosa, Nay? Apa buktinya? Kamu tidak sedang mengerjai Ayah kan?" Ayah makin serius menanyaiku. Aku jadi terpojok sendiri diinterogasi mereka. Semua serempak menatapku, menunggu apa jawabanku. Mau tak mau harus kuceritakan apa yang terjadi kemarin. Sedetil mungkin agar mereka percaya kalau aku telah diperkosa. Kutunjukkan juga ancaman dan foto yang dikirim Demian ke nomorku pada mereka. Tidak hanya mereka, aku pun berharap kejadian itu tak pernah terjadi pada diriku, itu hanya mimpi buruk dan setelah bangun aku masih tetap suci dan masih terjaga. Namun bukti nyata berkata tidak. Mungkin foto bisa direkayasa, tapi bagaimana dengan anggota tubuhku yang lain? dimana bagian tubuh paling sensitif area bawah terasa sakit seperti ada yang pernah memaksa masuk ke dalam sana. Apalagi ditambah dengan noda darah yang ada di sprei dan juga di bagian bawah sana, itu sudah menjadi cukup bukti ada sesuatu yang terjadi padaku waktu itu. "Kurang ajar! Suruh orang kita buat cari laki-laki ini, Dil. Kita harus bereskan!" Ayah memekik keras memberikan titah pada Kak Fadil. Aku bahkan bisa melihat genggaman salah satu tangannya yang mengepal begitu kuat. Memperlihatkan sisi kemarahannya. Aku menggeleng. "Jangan Yah, dia bakal menyebarkan foto tersebut ke banyak orang, Nay takut," ucapku dengan nada bergetar. "Astagfirullah, Nay. Kenapa semua jadi begini?" Ibu beristighfar dan menyayangkan apa yang terjadi padaku. Aku makin menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Ibu. "Lalu sekarang bagaimana Yah, pernikahan Anaya lusa. Apa kita batalkan saja rencana pernikahannya mereka?" Mas Fadil berujar cemas pada Ayah. Ayah menggeleng. "Jangan, kita rahasiakan semua ini." Aku mendongak kaget tak percaya. "A–apa Yah?" Raut terkejutku sama seperti Mas Fadil. "Anggap Nay tidak pernah diperkosa dan kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Pernikahanmu harus tetap dilaksanakan Nay, nyawa Ayah jadi taruhannya kalau sampai ini batal. Ayah juga tidak akan mampu menanggung malu yang teramat perih." Deg! Ayah? *** Hari pernikahan itu akhirnya tiba. Aku dan keluarga harus terlihat baik-baik saja dan kami harus bersandiwara untuk menutupi rahasiaku ini. "Cantik. anak Ibu selalu cantik dengan pakaian apapun yang dikenakannya." Pujian Ibu untukku yang mengenakan kebaya pengantin putih. Ucapannya membuatku sedikit memaksakan senyum dan mencoba keluar dari ketegangan ini. "Terima kasih, Bu." Tanganku lalu digenggam Ibu dan didekatkannya ke pipi. "Nay, maafkan kami. Maaf sekali lagi karena memaksakan pernikahan ini padamu." Aku hanya mampu tersenyum ke arahnya. "Tidak apa-apa Bu. Memang ini sudah jadi takdirnya Nay, Bu." Kucoba menepis kerisauan hati Ibu agar beliau tenang. "Permisi …, Akad nikah sudah selesai, katanya mempelai wanita bisa dibawa keluar untuk bersanding dengan sang mempelai laki-laki." Tampak kepala seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka sedikit. Ia memberitahukan tentang hal tersebut kepada kami. Seketika aku dan Ibu terpaut pandang. *** Gugup. Itu yang kurasakan saat ini. Aku berjalan pelan menuju tempat yang t'lah dipersiapkan untuk kedua mempelai. Baru saja menengok sebentar ke arah para tamu, Tiba-tiba aku dikejutkan oleh penampakan seseorang. Demian, kenapa dia ada disini? Kenapa pakaiannya mirip dengan keluarga Mas Aksya? Dia tamu atau ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD