Dunia Ini Sempit

1337 Words
"Bu, i–itu siapa?" Netraku mengarah ke laki-laki yang mirip dengan Demian. Gugup. Tidak mungkin ada orang yang sama persis seperti mantan terlaknatku itu. Kecuali dia kembar, dan aku tidak meyakini itu. Dulu Demian pernah cerita kalau dia anak tunggal. Tidak punya saudara dan aku mempercayainya karena saat itu wajahnya tidak menunjukkan kebohongan. Entah, bisa jadi aku terlalu polos mempercayai semua ucapan dan karangannya. "Yang mana?" tanya Ibu berbisik membalas pertanyaanku. Matanya ikut ke sana kemari mencari orang yang kumaksud. Kami masih berjalan pelan menuju tempat akad. "Itu, arah jam sembilan kita." Saat mataku bersirobok dengan laki-laki itu, dia tersenyum menyeringai, dan aku ingat betul senyum itu. Senyum kematian untukku. Aku membencinya. Kutundukkan kepala ke bawah tak sanggup membalas tatapannya. Aku yakin itu memang Demian. Semua di dirinya kukenali dengan baik. Bahkan sampai ke tarikan sudut bibirnya saat tersenyum. Itu jelas dia, Demian Dimitri. "Ibu nggak tahu. Sudahlah, Nay. Kamu fokus ke Aksya saja. Lihat! Di sana dia sangat tampan, Nak. Ibu yakin dia laki-laki yang baik dan mampu menjadi imammu nantinya." Ibu tersenyum semringah. benar, aku pun berpikir demikian. Namun sekarang aku merasa bersalah dan tak pantas untuk menjadi istrinya lagi. Diri ini telah ternoda dan begitu kotor untuk seorang Mas Aksya. "Ibu titipkan Nay sama kamu ya, Aksya. Jaga dia dengan baik. Dia mahkota dalam hidup Ibu." Kami telah sampai di depan Mas Aksya. Di sana juga masih ada penghulu dan para saksi lainnya. Ucapan Ibu barusan membuat netraku mengembun. Please, Nay. Tahan. Make up-mu akan luntur kalau buliran bening itu lolos dari pelupuk matamu. Aku mencoba menahan gemuruh di dalam da da. Sesak rasanya saat kalimat itu keluar dari mulut Ibu karena menandakan kalau aku sebentar lagi akan berpisah darinya dan ikut bersama suamiku, Mas Aksya. "Iya, Bu. Tentu. Akan kujadikan dia ratu dalam kehidupanku. Akan kujaga lebih dari sekedar mahkota. Aku beruntung mendapatkannya." Senyum Mas Aksya terkembang sempurna. Tampak ia sangat bahagia. Aku? Nelangsa dalam ketakutan. Beruntung? Salah, Mas. Tunggu sampai kamu tahu kebenaran tentangku, maka kamu akan menyesal pernah mengucapkan kata itu. Kucium takzim tangannya dan dibalas Mas Aksya dengan mendaratkan kecupan hangat di keningku. Lalu kami bersanding berdampingan menunjukkan cincin dan buku nikah setelah sebelumnya menandatangani buku nikah tersebut sebagai pertanda telah resmi menikah. Semua tamu datang hilir berganti mengucapkan selamat atas pernikahan kami. Lelah, ini baru acara nikah, belum resepsinya yang akan dilangsungkan nanti malam. "Bang, selamat ya atas pernikahannya." "Iya, Terima kasih Rey." "Eh, napa diam saja? Tuh sapa, ucapkan selamat pada kakak tertua kita. Nggak disangka nikah duluan. Kita kapan ya, Yan, nyusul?" Lelaki yang dipanggil Rey oleh Mas Aksya itu terkekeh dibarengi sorotan mata ke arah laki-laki di sebelahnya. Badanku sedikit gemetar saat salah satu dari laki-laki yang kukenal baik ini datang ke hadapanku. Kutundukkan wajah tak berani menatapnya. Ada rasa takut juga menyelimuti kalau dia akan membuka aibku di depan Mas Aksya. "Selamat ya Bang, maaf tidak sempat bawa kado. Pengantinmu sangat cantik. Aku jadi iri. Nemu dimana?" Demian. Dia berada di depanku tanpa dosa mengucapkan hal tersebut dan masih bisa tersenyum lebar setelah merenggut hal yang sangat berharga dalam hidupku. Aku keliru. Kukira sikap canggungnya di awal menandakan penyesalan karena mempelai wanita ini adalah istri dari kerabat dekatnya, tapi ternyata salah. Dia masih Demian si b******k. "Kenalkan ini Reynald, dan yang ini Demian. Mereka berdua sepupuku, ya … cuma tuaku beberapa tahun lah, tapi wajah kami sepantaran kan Nay? Aku yang awet muda." Mas Aksya mengenalkan keduanya padaku dengan jumawa dan sedikit bercanda. Mereka bertiga tampak akrab. "Nemu? Memangnya barang?" Lalu ketiganya tertawa bersama. Hanya aku yang diam membisu tak ikut tertawa. Bagiku tidak ada yang perlu ditertawakan. Aku juga tak mampu bicara apapun, bahkan untuk menatap mereka saja tak kuasa. Tanganku berkeringat dingin. Bahkan aku menolak berjabat tangan dengan Rey untuk menghindari kontak fisik dengan Demian juga. Tangan kutangkupkan ke da da membalas uluran tangan mereka. "Oh ya, Demian dulu kuliah di tempat kamu juga Nay. Kotanya juga sama. Apa kalian satu fakultas?" "Tidak!" "Iya" Kami berdua serempak menjawab dengan jawaban berbeda. Rey dan Mas Aksya tampak keheranan. "Maksudnya di Universitas yang sama, Bang, tapi beda jurusan. Begitu. Hanya kenal namanya saja, tidak dekat." Demian mencoba menjelaskan. Syukurlah. Jadi aku hanya perlu mengangguk membenarkan. Memang seperti itu kenyataannya. Dia tidak mengarang. Kecuali soal tak dekat. Dia bohong besar! "Oh." Mas Aksya manggut-manggut mendengarkan. Lalu ketiganya ngobrol lagi dan mengubah topik pembicaraan. Disaat itu, tampak sekali Demian sesekali mencuri pandang padaku saat bicara dengan Mas Aksya dan Rey. Lalu saat tak sengaja terpaut pandang denganku, dia melemparkan senyum menyebalkannya. Aku benci, sangat membenci orang ini. Seharusnya kubunuh saja dia sekarang mumpung ada di hadapan. Namun sayangnya itu hanya sekedar ingin dan tidak mungkin terwujud. "Kami ke sana dulu, anak mudanya pada ngumpul di sana, Bang." Rey pamit ingin menjauh dari kami. Aku senang karena artinya Demian pun ikut pergi juga dengannya. Mas Aksya mengiakan dan akhirnya aku jadi lega. Da da yang sesak menjadi lebih longgar setelah kepergian laki-laki itu. Kami masih dengan aktivitas yang sama menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang. Cukup banyak karena yang datang kebanyakan kolega dua keluarga. Dua keluarga besar yang cukup disegani di dunia bisnis. Kata Ayah dulu sewaktu kami membahas tamu undangan, jumlah di undangan nikah akan berbeda jauh dengan resepsinya. Nanti malam bakal lebih banyak lagi yang datang karena lebih banyak yang diundang. Aku sempat melontarkan protes tapi dibalas dengan gelak tawanya. "Maklumi saja, Nay. Lagipula ini hanya akan berlangsung sekali seumur hidup." *** "Kenapa? Capek ya Nay?" Mas Aksya menyentuh keningku. Mengusap keringat yang melekat di sana. "Nggak Mas," sanggahku berbohong. Rasanya tak nyaman diperhatikannya. Laki-laki ini terlalu baik untukku. "Gemas banget sih lihat kamu ngomong gini. Lucu. Jangan bohong, Nay, kayak sama siapa aja. Kalau capek bilang saja. Apapun itu jujur sama Mas ya, jangan main jaim-jaiman. Kita pernah main bareng dulu. Sekarang nggak nyangka ya malah jadi suami-istri." Kuhela napas berat. Terlambat Mas, aku sudah berbohong lebih dulu dan Mas tidak mengetahuinya. "Ma." Kaget, Mas Aksya memanggil ibunya. Jarak kami dengan ibu mertuaku itu tidaklah jauh. Bu Soraya datang menghampiri kami bersama seorang wanita yang garis wajahnya mirip. Aneh, aku tidak mengenalnya. Lebih tepatnya belum pernah melihat beliau di acara keluarganya Mas Aksya. "Kenapa, Sya?" tanyanya lembut. "Naya sepertinya kecapekan, Ma. Ini masih lama? Boleh tidak kami istirahat dulu buat makan?" Ya ampun, aku terharu mendengarnya. Mas Aksya sangat peka hingga meminta hal itu pada ibunya. Seandainya … seandainya aku masih terjaga, pasti akan menjadi wanita yang paling beruntung karena telah dinikahinya. "Kamu gimana Ya, masak anak menantu bisa kelaparan. Lihat wajahnya pucat gitu," tegur wanita disamping ibu mertua. Ada kekhawatiran yang kutangkap di wajahnya. "Astaga, lupa, Mbak. Maaf ya Nak. Mama sampai lupa. Tentu saja boleh. Naya sudah sarapan? Iya, wajahnya sampai pucat begini." Mbak? Oh mungkin saudara tuanya Ibu mertua. Waktu pertemuan dua keluarga, dia tidak kelihatan. Kemana ya? Atau bisa jadi aku yang kurang mengamati. Jadi kurang mengenal siapa saja keluarga Mas Aksya. Spontan aku menyentuh wajahku pelan memastikan apakah benar yang diucapkan Mama Soraya dan wanita itu. Mama Soraya dan wanita itu malah tertawa bersamaan. "Maaf, Naya. Mama dan Tante Lily cuma bercanda. Tapi kamu harus makan, Nak. Takut beneran pucat. Kita nggak mau terjadi apapun sama kamu. Ayo cepat Sya, ajak istrimu makan di sana. Atau Mama yang ambilkan. Kamu mau makan apa, Nay?" Da daku kembali nyeri. Kenapa ibunya Mas Aksya jadi sebaik ini? Kalau dia tahu kebenaran tentangku, apakah tetap baik seperti ini atau akan berubah? "Eh, ada apa Yu? Kenapa pada ribut?" Lamunanku buyar saat terdengar suara keributan dari arah depan. Ditambah kekhawatiran ibu mertua yang bertanya pada salah seorang yang lewat di hadapan kami. "Itu, Demian Tante, berantem sama tamu, kayaknya pacarnya." Pacar Demian? Kami semua kompak kaget berjamaah. "Ya Allah, anak itu sempat-sempatnya bikin keributan. Maaf ya, Ya." Wanita tua yang dipanggil Lily oleh ibu mertua menggerutu geram. Aku tersenyum kecut. Baru tiga hari yang lalu dia merusakku, bilang tak bisa melihatku dengan yang lain. Namun sekarang dia datang ke sini bersama pacar barunya. Bul s**t! Lelaki sekali b******k, bakal tetap b******k!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD