"Aku ke sana dulu, Ya. Maaf, Demian sudah merusak hari spesial kalian. Maaf ya Sya, Anaya." Tante Lily terlihat menyesal. Raut wajahnya menjadi kelabu saat menatap kami secara bergantian.
"Iya, Mbak. Nggak papa. Keributannya cuma di depan doang kok. Masih aman. Biasalah anak muda bertengkar." Ibu mertua mencoba mengerti. Senyum tipis juga terbit di wajahnya. Aku dan Mas Aksya hanya ikut membalas dengan senyuman tipis seolah memaklumi saja tindakan tak terpuji Demian.
Eh, tapi … kenapa Tante Lily yang meminta maaf untuk Demian? Apa hubungan mereka?
"Mas, memangnya Demian itu siapanya Tante Lily?" tanyaku penasaran setelah Tante Lily berlalu pergi meninggalkan kami.
"Anaknya, Nay. Keponakan Mama atau sepupunya kalian." Mama Soraya yang menjawab. Mulut Mas Aksya tertutup kembali setelah telat memberi jawaban.
"Hah?!" Kaget. Mulutku terbuka lebar saking terkejutnya.
"Kaget ya? Jangan heran. Demian itu memang suka bikin masalah. Kasihan Mbak Lily selalu kena getahnya," jawab Mama Soraya menimpali. Syukur lah Ibu mertua dan Mas Aksya tidak curiga atas keterkejutanku. Aku lepas kontrol sampai lupa kalau harus berpura tak mengenal laki-laki itu.
"Ya sudah, nggak usah dibahas. Semoga bukan hal yang serius. Jadi makan kan? Biar Mama ambilkan makanannya, kalian duduk dulu di sana. Para tamu juga tidak seramai sebelumnya. Jadi kalian sudah bisa santai," imbuhnya lagi seraya menunjuk meja kosong sebelah kanan kami. Mama Soraya benar. Sekarang tamu tidak seramai sebelumnya. Mereka juga kebanyakan lagi santai menyantap hidangan yang telah disajikan.
Kami berdua serempak menganggukkan kepala mengiakan.
"Hai, Aksya. Selamat ya. Moga langgeng."
Seorang laki-laki mengenakan baju batik lengan panjang menghampiri kami bersama wanita yang kuduga adalah pasangannya. Warna dan motif bajunya senada. Keduanya juga bergandengan mesra saat menghampiri kami.
"Iya, terima kasih ya. Nanti malam jangan lupa datang," balas Mas Aksya menyambut ucapan selamat temannya. Aku sedikit menunduk menyapa keduanya dengan tersenyum semringah.
"Cantik, Sya. Pintar banget milih istri. Serasi ya Don," timpal wanita yang berada di hadapanku pada laki-laki yang dipanggilnya Don. Tampak juga menatap takjub dengan terus mengumbar senyum ke arahku. Sepertinya tulus.
Aku tersipu malu. Senang ada yang memuji demikian.
"Mas, aku kesana dulu ya menemui Ibu sebentar. Nanti balik lagi kesini, nggak papa kan kutinggal?" ucapku ragu takut Mas Aksya keberatan. Aku berani berucap karena Mas Aksya tampak asyik mengobrol dengan kedua temannya dan aku tak sengaja melihat Ibu duduk sendirian tidak jauh dari meja kami. Tidak tampak ayah dan Mas Fadil. Kemana perginya kedua sosok tersebut?
"Bu."
"Astaghfirullahalazim!" Ibu terkejut oleh tepukanku di pundaknya.
"Kamu, ngagetin Ibu, Nay," ujarnya seraya menarik tanganku. Memintaku duduk di kursi sebelahnya.
"Ayah sama Mas Fadil kemana Bu?" Netraku mengitari sekitar mencari sosok yang kutanyakan.
"Mereka di depan. Nay. Kata Fadil ada Demian. K–kamu tadi yang nanyain orang itu d–dia kan? Yang waktu itu–"
"Huusst!" Telunjukku diatas bibir. Isyarat untuk tidak keras menyebut namanya. "Iya, bahkan sudah berhadapan langsung dengannya, Bu," selaku cepat karena Ibu bicara tergagap.
"Jadi dia beneran ada di sini? Kok bisa Nay? Tamu undangan Aksya? Teman? Keluarga? koleganya atau …."
Ibu menerka-nerka dengan kenyitan yang semakin banyak di keningnya.
"Sepupunya Aksya." Aku menurunkan nada bicaraku lebih rendah lagi. Terdengar berbisik halus.
Byur! Cipratan muntahan minuman Ibu seketika terbang ke arahku. Wajah ini pun tak tak mampu mengelak cepat.
"Ibu?!" pekikku tertahan seraya mengambil tisu dan mengelap wajah dengan pelan.
"Maaf, Sayang. Maaf, Nak. Nggak sengaja." Ibu ikutan membantu ingin mengelap juga tapi kutepis pelan.
"Sudah, nggak papa, Bu." Untung make-upnya waterproof, aman.
"Aduh, maaf, Nak. Ibu kaget. Jadi dia beneran." Ibu tak melanjutkan perkataannya karena menunggu responku yang telah mengerti arah pertanyaannya. Kepalaku langsung mengangguk membenarkan.
"Syukur Ayah di depan sama Fadil. Jangan sampai dia tahu laki-laki bi adab itu ada di sini. Ibu tak dapat membayangkan kalau ayahmu …."
"Barusan dia bikin keributan di depan."
"Siapa? De–"
Aku segera memberi kode agar Ibu tidak menyebutkan namanya lagi. Aku tidak ingin pembicaraan ini didengar siapapun karena di sini aku berlagak tak mengenalnya dan kuharap dia pun begitu.
"Keributan apa?" Ibu terlihat penasaran.
"Entah, Bu. Nay tidak tahu." Bahuku naik menandakan ketidaktahuanku.
"Aksya bagaimana? Dia?"
Kuhela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ibu.
"Sepertinya belum tahu, Bu. Soalnya sikap Mas Aksya masih baik ke Nay dan tidak berubah. Keluarganya pun demikian. Nay juga tidak tahu apakah awalnya si D itu tahu kalau Nay ini adalah calon istri Mas Aksya atau sebenarnya sudah tahu tapi dia berpura tidak tahu. Kejam banget Bu kalau begitu. Tidak hanya menghancurkan Nay, dia juga menghancurkan Mas Aksya, sepupunya sendiri. Padahal mereka berdua itu terlihat akrab. Nay jadi takut kalau dia diam-diam memberitahukan apa yang terjadi waktu itu sama Mas Aksya. Bisa jadi dia menunggu waktu yang tepat." Aku berspekulasi sendiri, menebak apa yang sedang direncanakan Demian.
"Sudahlah, Nay. Jangan terlalu dipikirkan. Kalau nanti terjadi sesuatu. Bilang ke Ibu, biar kita atasi sama-sama. Jangan menanggungnya sendiri. Maaf sudah membuatmu dalam masalah. Andai perusahaan ayahmu tidak bermasalah, mungkin kita tidak perlu bersikap seperti ini dan tetap melanjutkan pernikahan ini. Maaf ya, Nak."
"Nggak papa, Bu. Sudah takdir Nay. Kita jalani saja. Kalau nanti ketahuan dan Mas Aksya menceraikan Nay, Nay–"
"Hei! Ngomongin apaan sih serius sekali?"
Aku dan Ibu sama-sama membelalakkan mata terkejut tiba-tiba dihampiri Mas Aksya. Lalu kompak lagi sama-sama mengelus d**a menetralkan degup jantung yang memompa lebih cepat.
"Maaf, Bu, kaget ya? Maafkan Aksya ya?" Terlihat riak penyesalan di wajahnya.
"Nggak papa, Sya." Senyum terbit di wajah Ibu menepis ketidaknyamanan Aksya.
"Pinjam Naya nya Bu. Makanan sudah siap. Katanya anak Ibu ini lapar."
"Lapar?" Ibu memicingkan mata tak percaya karena makanannya di piring tak sadar sudah kuhabiskan sejak beliau mengajakku bicara.
"Pantas," imbuhnya kemudian memajukan bibir.
"Maaf, Bu," ujarku terkekeh sendiri sembari menggaruk kepala yang tak gatal. Ibu hanya menggelengkan kepalanya.
"Jadi sekarang mau makan lagi atau tidak?" Kami berdua sudah berada di meja awal kami ingin makan. Ibu kutinggal setelah ada ibu-ibu yang menemaninya duduk sambil berbincang.
"Mas bagaimana? Sudah makan apa belum?"
"Belum. Tadi Mas ke depan sebentar karena melihatmu sibuk makan sambil bicara dengan Ibu."
Astaga, ternyata Mas Aksya melihat sikapku tersebut. Jadi malu. Padahal dia belum makan, aku malah makan duluan. Istri apaan aku ini?
"Maaf, Mas. Mas mau makan? Nay temeni. Nanti Nay makan juga kok," tawarku tak enak hati.
Mas Aksya menggelengkan kepala.
"Tidak perlu. Mas juga sudah kenyang makan beberapa kue. Jadi nanti saja makan beratnya. Lagian Mas ini mau mencari Demian. Mau minta penjelasan."
Deg! Kedua alisku saling terpaut dengan hati berdebar.
"Penjelasan apa?" Aku takut Mas Aksya mengetahui sesuatu tentangku atau Demian memberi kode sinyal itu.
"Kenal Aditi? Katanya teman kamu ya, Nay."
Aditi?
"K–kenapa Mas?" Tidak ingin menjawab tapi bertanya balik ingin tahu lebih jelas apa maksudnya.
"Wanita bernama Aditi lah yang sebenarnya bikin ribut di depan. Teriak nggak jelas gitu sampai ngatain kamu macam-macam. Terus diurus Demian, diajak pergi. wanita itu nggak terima dan semakin marah-marah. Padahal katanya dia bukan tamu undangan, dan entah apa datangnya sama Demian atau tidak belum tahu, makanya mau cari dia. Mas juga dikasih kabar sekilas, nggak jelas lah. Nggak ngerti juga awalnya bagaimana. Mereka katanya bertengkar. Enggak tahu bertengkar karena ada hubungan atau apa, tapi kok merembetnya ke kamu. Nyebut nama kamu, Nay."
Hah?! Aku jadi semakin tak mengerti kenapa Aditi bisa seperti itu. Sebenarnya apa salahku hingga dia bertindak sejauh ini? Selama ini hubungan kami baik-baik saja dan kenapa Demian malah menolongku sok menjauhkan Aditi dari tempat ini? Harusnya kan dibiarkan saja karena itu juga kan maunya? Apa rencana mereka? Pasti ini bukan terjadi di secara kebetulan. Aku harus hati-hati dengan mereka terutama Demian yang berada sangat dekat dengan Aksya.