4. His Anger

954 Words
Hari minggu, hari yang sangat Ara favoritkan. Di hari minggu inilah ia bisa menghabiskan waktunya bermanja-manja dengan tempat tidurnya. Tanpa gangguan, baik sekolah ataupun Alex, karena ponselnya mati tanpa sim card. "Non, ada tamu." Ucap Bi Dijah, seorang asisten rumah tangga yang selalu membantu pekerjaan rumahnya yang tidak terlalu besar itu. "Suruh Mamah aja," "Ibu sedang keluar sama Bapak," "Suruh Kak Shahil aja, aku lagi asik non--" Ekhem. Sebuah interupsi yang langsung membuat Ara tersadar dan tahu, siapa tamu yang datang. "Silahkan Den," Bi Dijah berlalu begitu saja. "Makasih, Bi." Ucap Alex tersenyum ramah. Ara yang tersadar pun, langsung bangun dari aktifitas berbaringnya dan menutup laptopnya. Kemudian ia memposisikan diri menghadap ke arah Alex yang terlihat menatap ke arahnya tanpa bicara dan ekspresi yang tak terbaca. Perlahan, Alex berjalan mendekat ke arah tempat tidur. "Handphone kamu mana?" Tanyanya to the point. Dengan gugup, Ara menunjuk ke atas meja belajarnya. Alex berjalan untuk mengambil ponsel gadis manisnya dan, BRAKH! Mata Ara sontak membulat dengan sempurna. Jika tuhan tidak membuatnya dengan baik, pasti matanya sudah melompat keluar dari tempatnya. Dengan mulut yang terbuka, Ara menggeleng tak percaya. "Handphone aku!" Pekiknya setelah beberapa saat. Ia langsung turun dari atas tempat tidur dan memungut potongan-potongan ponselnya. Ara melirik Alex sekilas untuk melihat ekspresi kekasih menyebalkannya itu, ternyata Alex hanya diam tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. "Kak Shahiiiiil!" Panggil Ara dengan berteriak. "Kakak kamu gak ada. Dia lagi ada tugas kelompok. Mamah sama Papah kamu lagi pergi, mereka nitipin kamu ke aku." Ucap Alex. Ara menatap Alex dengan sinis. Alex sudah keterlaluan. Pikirnya. "Kenapa liatnya kayak gitu?" Tanya Alex. "Mau protes? Buat apa punya handphone kalau gak aktif, susah di hubungin, heun?" Lanjut Alex seraya menatap manik mata Ara dengan intens. Yang di tatap kini mulai menunduk takut. BRAKH! Sebuah kaca berukuran sedang melayang membentur tembok. "Awssh... Alex sakit, Lex..." Ringis Ara ketika Alex memegang kedua bahunya dengan cukup keras. "Kenapa susah di hubungin, heun?" Kemudian Alex melirik laptop yang masih berada di atas tempat tidur. "Bukannya aku udah ngelarang kamu buat nonton hal yang gak berguna," Ara mengangguk takut. "Terus. Kenapa. Masih kamu. Tonton?" Tekan Alex. Ara sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Cengkeraman Alex pasti meninggalkan bekas merah pada bahunya, Alex kasar. Dan Ara tidak suka itu. "Lepas, LEPASIN AKU!" Sentak Ara. Kemudian ia memundurkan langkahnya. Ara menunjuk Alex dengan mata yang memerah karena tangis.  "Kamu, kamu kasar. Aku gak suka. Varo lebih baik di banding kamu." Ujar Ara. Alex tersenyum miring mendengar hal itu. "Jadi ini alesan kamu susah di hubungin? IYA? Laptop, pasti lewat itu." Mengerti dengan apa yang Alex maksud, Ara langsung naik ke atas tempat tidur untuk meraih laptopnya, tapi nihil, Alex jauh lebih cepat dari dirinya. "Alex, aku mohon jangan apa-apain laptop aku..." Mohon Ara. Alex terlihat membuka laptop milik kekasihnya itu dan mulai mengecek setiap halnya. "Enggak ada Lex, gak ada apa-apa..." Ucap Ara. Alex pun menyimpan kembali laptop tersebut di atas meja belajar. Ia berjalan menghampiri Ara yang terlihat berusaha untuk menghentikan tangisannya. Perlahan tapi pasti, Alex berdiri dengan kedua lututnya agar bisa menatap wajah Ara dengan leluasa. Tangan kanannya menarik tengkuk Ara agar lebih mendekat dan, "Kamu tau gimana paniknya aku? Khawatirnya aku? Di saat aku dateng, kamu asik sama kegiatan kamu tanpa mikirin aku." Ucap Alex dengan sorot mata yang terlihat kecewa. "Alex, aku--" "Kamu bahkan gak nenangin aku, kamu malah bandingin aku sama cowok sialan itu." Lanjut Alex seraya tersenyum miring. "Lex, dengerin ak--" "Kamu harus di kasih sedikit pelajaran." Ucap Alex kembali dan langsung saja mencecap bibir ranum seorang Arana moura. Kasar. Itu yang Ara rasakan. Dengan sekuat tenaga ia terus memberontak agar Alex menghentikan ciumannya. "Hmmmpphh... Lep--hmmph..." Racaunya tak jelas. Alex mendorong tubuh Ara agar hingga terbaring di atas tempat tidur. Tanpa melepaskan ciumannya, Alex mulai menelusupkan lengannya ke dalam kaos yang Ara kenakan. Mendapatkan perlakuan seperti itu, Ara semakin berusaha keras untuk melepaskan diri. Hingga akhirnya sebuah air mata menjadi hal yang sangat membantunya. Alex terdiam melihat air mata yang terus mengalir dari kedua mata indah Ara walaupun dalam keadaan terpejam. Dengan perasaan bersalah, Alex menghentikan perlakuannya. Ia sadar, yang ia lakukan bukanlah hal yang benar. Alex menjauhkan tubuhnya, Ara langsung beringsut turun dari atas tempat tidur dan duduk di sebuah sofa dengan masih terisak. "Ada yang mau kamu ucapin?" Ucap Alex. "Ma... Maafin aku," lirih Ara dengan terpaksa. Jika tidak, mungkin Alex akan kembali marah. "Varo atau aku?" Ara mengangkat wajahnya dan menatap Alex tak percaya. "Kamu serius nanyain itu? Kamu, kamu nanyain itu seakan-akan aku itu masih punya perasaan lebih buat Varo, secara gak langsung kamu gak percaya kalau aku cuma sayang kamu." Alex membalas tatapan mata Ara, kemudian tertunduk. "Sayang, just that?" "Ya tuhan, kenapa harus salah pilih kata sih huaaah...." Racau Ara dalam hati. "I love you, trust me. Jadi tolong, berhenti bersikap kayak gini. Aku, hiiiks... Aku takut, Lex..." Jawab Ara. Alex tersenyum senang, ia berjalan mendekati Ara dan memeluknya dengan erat. Untuk beberapa saat Ara tersentak kaget dan takut mengingat hal yang tadi Alex lakukan terhadapnya, namun di detik kemudian, Ara mulai rileks dan membiarkan Alex memeluknya. "Jangan tinggalin aku..." Ucap Alex. "Aku yang terbaik buat kamu. Percaya sama aku. Aku, aku minta maaf udah bikin kamu takut..." Sambungnya. "Apa sebegitu takutnya? Sampe kamu kayak orang gila?" Pikir Ara. Alex melepaskan pelukannya. "Kita keluar okay, aku harus gantiin handphone kamu." "Nanti aja," ucap Ara. "Kamu kan belum makan, kita sekalian makan. Aku gak mau kamu sakit, ayo... Aku tunggu di bawah, ganti baju kamu kamu, celananya juga. Pake kulot kalau punya," ujar Alex seraya berlalu dari dalam kamar gadisnya itu. Ara yang mendengar itu pun hanya bisa menggeram tertahan. Ia memang suka marah-marah, tapi tidak tahan jika di marahi. Ara memang keras kepala, tapi mudah sekali menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD