Chapter 3 - Rasa Canggung yang Nikmat

2095 Words
  Caitlyn memperhatikan Darcio, yang masih berdiri sambil membelakanginya itu, dengan tatapan terkejut. Jika dilihat dari belakang, perawakan Darcio dan Zaiden sangatlah mirip. Dari potongan rambutnya, bentuk tubuhnya, tinggi dan berat badannya—semua begitu mengingatkan Caitlyn pada Zaiden. Dan itu membuat Caitlyn jadi merasa agak canggung sekaligus ngeri.  Dia sampai berpikir, apa jangan-jangan orangtuanya, yang tak pernah merestui hubungan percintaannya itu, sengaja mencarikannya bodyguard baru yang mirip dengan kekasihnya agar dia bisa melupakan kekasihnya? Caitlyn sampai harus bertanya dua kali sangkinan tidak percayanya, “Kamu benar putra Sagara Komarovski?”  “Benar, Nona,” jawab Darcio. Dia tersenyum, “Anda bisa mempercayai saya. Saya tidak akan menyakiti Nona.” “Baiklah, tunggu di situ sebentar,” perintah Caitlyn. Dia lalu bertandang menuju kamar tidurnya. Dipakainya jubah tidurnya dengan cepat dan dihampirinya Darcio kembali. Diajaknya Darcio ngobrol bersama sambil duduk di sofa ruang tamu. “Kemarin ibuku sempat meneleponku, katanya Sagara kena stroke ringan dan sudah dilarikan ke rumah sakit. Aku sama sekali tak menyangka kalau yang akan menggantikannya adalah putranya sendiri,” jelasnya. “Awalnya Tuan Marcus dan Nyonya Joanna menghubungi ayah saya. Mereka kalang kabut saat tahu ayah saya tiba-tiba kena stroke. Tadinya ayah saya merekomendasikan temannya untuk jadi bodyguard Nona, tapi Tuan Marcus dan Nyonya Joanna langsung menolak. Mereka tidak bisa mempercayakan Nona ke sembarang orang, jadi saya yang diminta untuk menggantikan ayah buat sementara,” kata Darcio. “Orangtua Nona pasti sangat menyayangi Nona.” “Ya, mereka memang sangat menyayangiku,” ujar Caitlyn dengan senyumnya yang samar. “Fisikku lumayan lemah. Terkadang sangkinan terlalu sibuk kerja, aku sampai jadi mengabaikan kesehatanku sendiri. Aku jadi sering jatuh tak sadarkan diri. Contohnya seperti kemarin, saat lagi meeting. Dan karena aku anak tunggal, ayah dan ibu jadi tambah posesif sampai-sampai mereka harus menyewakanku seorang bodyguard.” “Orangtua yang baik pasti akan berusaha melindungi dan melakukan yang terbaik untuk keselamatan anaknya, Nona.” Darcio mengulurkan tangan kanannya seraya tersenyum, “Kita belum kenalan.”   “Belum kenalan bagaimana?” tanya Caitlyn heran. “‘Kan aku sudah tahu namamu. Kamu juga pasti sudah tahu siapa namaku.” “Ya, tapi kita belum kenalan secara resmi.” Dijabatnya sebentar tangan kanan Darcio. “Caitlyn Valerie Damaris. Panggil saja Caitlyn dan tidak usah bersikap terlalu formal padaku,” tutur Caitlyn. “Darcio Komarovski. Senang betemu denganmu.” Darcio lanjut bicara, tak sedetik pun dia mengalihkan pandangannya dari wajah Caitlyn, “Aku lihat fotomu kemarin, dan jujur, harus kukatakan kalau foto itu tak mampu menggambarkan betapa cantiknya dirimu.” “Terima kasih,” ucap Caitlyn yang nampak agak tersipu malu. “Kamu dapat fotoku dari mana?” “Orangtuamu yang memberikannya padaku, katanya biar tidak salah orang.” “Lalu bagaimana kamu bisa masuk ke apartemenku?” “Ayahku yang memberikan duplikat kunci apartemenmu padaku,” jawab Darcio. “Maaf, aku sudah lancang dengan memasuki apartemenmu tanpa izin. Tadinya aku mau mengetuk pintu kamar tidurmu, tapi aku takut membangunkanmu.” Caitlyn terdiam sejenak sebelum kembali bertanya, “Apa kamu sempat bertemu dengan Zaiden?” Darcio menggeleng. “Aku tidak tahu siapa Zaiden yang kamu maksud,” jawabnya. “Zaiden Malvory, dia kekasihku.” Darcio tak merespon lagi. Saat dia tiba di apartemen Caitlyn tadi pagi, dia memang sempat bertemu dengan seorang laki-laki muda di tempat parkir mobil. Mungkinkah itu laki-laki bernama Zaiden yang Caitlyn maksud? “Kamu bisa masak?” tanya Caitlyn lagi. Darcio mengangguk, “Bisa. Kamu mau dibuatkan sarapan apa?” “Apa saja, yang penting cepat dan bisa bikin kenyang,” pinta Caitlyn. “Aku mau cek kerjaan dulu.” Diambilnya ponsel dan laptop yang dia simpan di kamar tidur. Caitlyn balik ke ruang makan dan menyalakan laptopnya di sana, di dekat Darcio yang sedang membuatkannya sarapan. Ternyata e-mail dan chat yang masuk sudah menumpuk. “Kamu mau berangkat ke kantor hari ini?” tanya Darcio seraya meletakkan segelas teh chamomile hangat ke atas meja. “Ya,” jawab Caitlyn singkat. Dicicipinya teh chamomile tersebut. Rasa manisnya pas. “Aku suka teh buatanmu,” pujinya. Dia lalu mencoba sepiring roti panggang telur dengan keju meleleh yang juga buatan Darcio. Tidak salah kalau Darcio bilang dia bisa masak. Rasa masakannya memang enak. “Apa ada lagi yang harus kukerjakan?” “Tidak ada,” jawab Caitlyn yang masih asik mengunyah roti panggangnya. Tatapannya terpaku pada layar laptopnya. Darcio ikut menatapi layar laptop Caitlyn. Dia tak tahu apa yang sedang Caitlyn kerjakan, tapi jika dilihat-lihat sepertinya kerjaan itu cukup menguras otak. “Kamu tidak mau kubantu?” tawarnya. “Tidak usah, terima kasih,” jawab Caitlyn, yang masih enggan mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya. Lelaki beralis tebal itu lalu beralih menatapi wajah Caitlyn, yang rautnya nampak seperti orang yang sedang kewalahan karena dikejar-kejar banyak hutang. Darcio jadi merasa iba pada Caitlyn. “Kamu suka olahraga?” tanyanya. Barulah Caitlyn mau menatap balik mata lawan bicaranya. “Tidak terlalu,” jawabnya. “Kenapa memangnya?” “Kudengar olahraga minimal tiga kali seminggu saja, bisa membantu meningkatkan daya tahan tubuh dan menurunkan stres.” “Aku pasti terlihat seperti orang yang sedang tertekan sekali, ya?” “Sedikit,” jawab Darcio. “Menjabat sebagai co-CEO memang tidak mudah. Aku salut kamu bisa mengurus perusahaan sebesar Damaris Group bersama dengan ayahmu.” Caitlyn tersenyum, “Kamu bisa membantu meringankan sakit kepalaku dengan cara lain.” “Dengan cara lain?” tanya Darcio seraya menaikkan satu alisnya. Ekspresinya lambat laun berubah jadi tatapan dewasa yang sedikit memancarkan gaiirah sekaligus rasa penasaran. Dan tatapannya itu membuat Caitlyn jadi kikuk. Darcio pasti sudah salah mengartikan ucapannya.  “Ma … maksudku tentu saja bukan dengan cara ‘itu’.” “Aku paham,” kata Darcio. “Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan untuk bersenang-senang.” Dia mengambil segelas teh chamomile miliknya sendiri lalu meminumnya di hadapan Caitlyn, lagi-lagi tanpa memutus kontak matanya dengan Caitlyn. Jakun Darcio yang ikut bergerak setiap kali dia menenggak tehnya, ditambah lagi dengan garis rahangnya yang tajam itu, membuat Caitlyn jadi tambah salah tingkah. Harus Caitlyn akui, Darcio memang pria yang sexy, tampan dan menarik. “Aku mau mandi dan siap-diap dulu,” tutur Caitlyn seraya menutup laptopnya. “Makanlah apapun yang kamu mau. Buatlah seperti di rumah sendiri.” “Aku tunggu di sini.” Dengan langkah agak tergesa-gesa Caitlyn memasuki kamar tidurnya. Dikuncinya pintu kamar tidurnya rapat-rapat, walau dia tahu kalau Darcio juga pasti tak akan berbuat macam-macam padanya. Diletakkannya ponsel serta laptopnya ke atas ranjang. Dia terduduk di tepi ranjang sambil memegangi dadanya. Tiba-tiba saja jantungnya jadi berpacu lebih cepat dibanding sebelumnya.  “Sial, apa-apaan sih?” gumam Caitlyn. “Kenapa ayah dan ibu harus memilih Darcio sebagai bodyguard-ku? Tapi … dia hanya akan menggantikan Sagara buat sementara, kan?” Tak mau berkutat terlalu lama dengan pemikirannya sendiri, Caitlyn lalu buru-buru melanjutkan aktifitas paginya dengan mandi dan merias diri, seperti biasa. Dia mengenakan bra, panties serta safety panty warna hitam sebagai dalamannya, serta sepasang stocking hitam berbahan satin untuk menutupi kakinya yang mulus nan jenjang. Hari ini pilihan Caitlyn jatuh pada sebuah dress modelan span lengan pendek sepanjang lutut yang warnanya merah maroon. Ritsleting dress itu adanya di bagian belakang.  Caitlyn dilanda kesulitan saat dia hendak menutup ritsleting dress-nya yang macet karena terhalang benang itu. Tangannya tidak mampu menjangkau dan menarik benang itu. Dan dia sudah tidak punya waktu sekadar untuk melepas dress-nya dan memilih pakaian lain. Dia belum merias wajah dan rambutnya. Maka pilihan terakhirnya hanyalah meminta tolong pada bodyguard barunya. Dibukanya pintu kamar tidurnya dengan pelan. Dihampirinya Darcio, yang masih duduk di ruang makan seraya memainkan ponselnya, dengan langkah mengendap-endap. “Um, Darcio?” panggilnya kikuk. Darcio menoleh dan agak tersentak. Dia tidak mendengar suara langkah kaki Caitlyn dan tiba-tiba saja Caitlyn sudah berdiri di belakangnya. “Ya, Nona?” sahutnya. “Tolong bantu aku meritsleting dress-ku.” Darcio beranjak dari kursinya lalu berdiri di belakang Caitlyn. Dia memperhatikan sejenak ritsleting dress Caitlyn yang baru sempat tertutup separo itu. Dan karena ritsleting dress-nya belum tertutup sempurna, Darcio jadi mendapat kesempatan untuk melihat kaitan bra hitam yang dikenakan Caitlyn untuk melindungi gundukan ranumnya, merasakan bagaimana lembutnya kulit punggungnya, termasuk melihat bagaimana indahnya lekuk tubuh Caitlyn. Diam-diam, Darcio menelan salivanya dengan kasar. Dia merasa beruntung sekali bisa jadi bodyguard pengganti untuk wanita secantik Caitlyn.  “Ritsletingnya pasti jadi susah ditutup karena ada benang yang nyangkut,” ucap Darcio sembari menyingkirkan benang itu dari ritsleting dress Caitlyn. Dia lalu membantu Caitlyn meritsleting dress-nya. Ketika tangannya tak sengaja bersentuhan dengan punggung Caitlyn, Darcio bisa merasakan kalau tubuh Caitlyn jadi sedikit bergetar.  Apakah mungkin karena sentuhannya? Tapi Darcio menampik pemikirannya. Mungkin Caitlyn memang tipe wanita yang mudah geli. Caitlyn membalik tubuhnya usai Darcio meritsleting dress-nya, “Terima kasih sekali lagi.” Darcio tersenyum, “Sama-sama.” Sisa waktu yang ada dimanfaatkan Caitlyn sebaik mungkin. Dia merias wajahnya dengan pulasan makeup sederhana dan menggerai rambutnya dengan bebas. Rambutnya cuma dicatok bergelombang di bagian ujungnya. Dia mengenakan sepasang anting berbentuk kupu-kupu kecil dan sebuah jam tangan kulit warna coklat muda sebagai aksesorisnya. Untuk sepatunya, dia memilih memakai high heels setinggi lima senti warna hitam berlapis beludru. “Aku suka riasan wajahmu,” tutur Darcio, yang sudah memperhatikan Caitlyn sejak dia keluar dari kamar tidurnya sampai dia selesai memakai high heels-nya. “Benarkah?” tanya Caitlyn terkejut. Padahal menurutnya riasan wajahnya ini sangatlah biasa saja. “Seorang wanita yang pada dasarnya sudah cantik, mau didandani seperti apa pun juga pasti akan terlihat cantik.” Caitlyn hanya tersenyum. Darcio dan Sagara benar-benar dua sosok bodyguard yang berbeda. Ada satu keahlian Darcio yang tidak dimiliki ayahnya, yaitu merayu seorang wanita. Entah apakah Darcio memang bersikap semanis ini pada semua wanita ataukah hanya pada Caitlyn saja. Pagi itu, Darcio yang mengantar Caitlyn menuju gedung Damaris Group. Hingga hampir lima belas menit berlalu, keduanya tidak saling bicara. Caitlyn sibuk menatapi jalanan beraspal yang tengah dilalui kendaraan roda empat dan roda tiga. Sesekali Darcio curi-curi pandang menatapnya. Dia ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Caitlyn, dan dia ingin kenal lebih dengan dengan Caitlyn. “Sudah berapa lama ayahku jadi bodyguard-mu?” tanyanya. “Sejak usiaku sepuluh tahun sampai sekarang.” “Berapa usiamu sekarang?” “Coba tebak,” canda Caitlyn. “Hmm … dua puluh lima?” terka Darcio. Caitlyn tersenyum, “Usiaku dua puluh tujuh tahun.” Darcio membalas senyum Caitlyn, “Kalau begitu kita cuma beda setahun. Aku dua puluh delapan.” Gantian Caitlyn yang bertanya, “Ayahmu pandai taekwondo, kan? Aku pernah lihat sabuk hitam miliknya.” “Ya, ayah juga suka mengajariku bela diri.” “Untuk mempersiapkanmu sebagai seorang bodyguard?” Darcio menggeleng, “Bukan, tapi sebagai bekal untuk keselamatan diri juga.” “Apa kamu memang mau bekerja sebagai seorang bodyguard?” “Sebenarnya jadi bodyguard bukanlah impian utamaku.” Darcio menatap Caitlyn sekilas lalu beralih menatapi jalanan beraspal kembali, “Tapi jika aku harus menjaga dan melindungimu, maka aku tidak akan menolak untuk jadi seorang bodyguard.” “Bahkan jika kamu harus mengorbankan nyawamu untukku?” “Itulah tugas seorang bodyguard, Nona Caitlyn.” Padahal Caitlyn kurang begitu suka mendapat perlakuan manis dari laki-laki yang baru saja dia kenal. Tapi dia tidak merasakan hal yang sama dari Darcio. Meskipun canggung, namun entah mengapa kecanggungan itu tidak membuatnya jadi merasa tak betah berada lama-lama di dekat Darcio. Kalau boleh dibilang, rasanya malah seperti kecanggungan yang membuatnya jadi ketagihan.  Mungkinkah karena Darcio adalah putra Sagara? ​Sorenya sepulang kantor, Caitlyn meminta Darcio untuk menjemputnya. Karena sedang tidak ada meeting atau lembur mendadak, dia lalu mengajak Darcio untuk menjenguk Sagara di rumah sakit. Hitung-hitung sekalian memberikannya kejutan kecil. Namun sebelum pergi ke rumah sakit Harapan Indah, terlebih dulu Caitlyn membawa Darcio ke salah satu ranch market. Dia hendak membelikan Sagara buah-buahan segar. “Ayahmu paling suka dengan buah apel dan buah jeruk, kan?” tanya Caitlyn yang sedang sibuk memasukkan beberapa potong buah apel ke dalam plastik buah. “Dan dia paling suka makan ikan. Tapi dia tidak bisa mengonsumsi makanan yang ada kacangnya karena dia punya alergi kacang.” Darcio terperangah. “Sedekat itukah kamu dengan ayahku sampai kamu tahu apa makanan kesukaannya dan apa makanan yang bisa membuat alerginya kambuh?” tanyanya. Caitlyn tersenyum lebar. “Bagaimana? Aku sudah cocok ‘kan menyandang status sebagai adik angkatmu?” guraunya. “Jangan jadi adik angkatku.” “Kenapa?” tanya Caitlyn bingung. “Masa aku harus jadi kakakmu? ‘Kan aku lebih muda darimu?” “Karena jika kamu jadi adik angkatku, itu artinya aku tak akan bisa menyentuhmu,” goda Darcio dengan tatapannya yang nakal.   ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD