LARA - 3

2340 Words
Bima tercenung menatap langit-langit kamarnya. Dia merindukan sosok wanita yang sangat ia cintai. Sovia yang tiba-tiba memutuskan untuk pergi dari dirnya membuat Bima merasa semakin bersalah karena dia tidak bisa membujuk mamanya untuk bisa menerima hubungannya dengan Sovia. Bima tidak tahu lagi harus ke mana mencari Sovia. Arga sahabat Sovia juga seperti menutupi keberadaan Sovia. Bima tidak akan memaksa Arga untuk mengatakan di mana Sovia, itu semua akan sia-sia, karena Arga sampai kapan pun tidak akan memberitahukan di mana Sovia berada. “Sov, kamu di mana? Apa kamu baik-baik saja? Sov, aku mohon, di mana pun kamu berada, kamu harus selalu tabah menjalani hidupmu. Aku tahu kamu pergi hanya untuk mencari ketenangan, bukan untuk melupakanku. Aku percaya cintamu, Sov. Aku merasakan cinta tulusmu padaku, dan aku janji, aku tidak akan pernah menggantikan kamu di hatiku. Aku akan buktikan itu,” gumam Bima dengan memandang foto Sovia yang ada di ponselnya. Bima mendengar pintu kamarnya di ketuk seseorang. Bima menaruh ponselnya dan membukakan pintu kamarnya. “Opa? Opa kok di sini?” Pak Indra, ayah dari Reza datang ke rumah Riri, beliau ingin menjenguk cucu-cucunya, terutama Bima yang sedang patah hati karena Sovia pergi. “Opa kangen Aina, boleh opa masuk?” tanya Pak Indra. “Boleh, silakan opa? Opa sama Oma?” tanya Bima. “Ya, oma mu sedang bicara dengan mamamu dan ayahmu, tadi juga sudah bertemu dengan adikmu,” jawab Pak Indra. Bima mengajak opanya duduk di sofa. Bima tidak tahu, kenapa opanya ingin mengajak bicara padanya, sepertinya opanya sangat serius sekali ingin mengajaknya bicara. “Bim, bagaimana tawaran opa? Kamu masih mau mempertimbangkan tawaran opa untuk membuka Restoran di Jogja?” tanya Pak Indra. “Bima ingin sekali, Opa, tapi mama yang tidak memperbolehkannya. Mama tetap ingin  Bima meneruskan perusahaan Bima di sini, dan mengelola bengkel papa,” jawab Bima. “Kamu pikirkan baik-baik, bukankah kamu juga ingin sekali mencoba bisnis baru? Di Jogja sangat cocok sekali untuk bisnis kuliner, apalagi di sana kotanya pelajar, kamu bisa membuka restoran atau cafe-cafe di sana. Opa punya tiga tempat yang belum opa sewakan lagi pada orang, semoga kamu bisa mengembangkan bisnis opa ini,” pinta Pak Indra. “Nanti Bima akan pikirkan ini lagi, dan Bima diskusikan dengan mama dan ayah. Opa seperti tidak tahu saja mama seperti apa sekarang, mama itu selalu ngatur Bima sekarang, Bima merasa hidup Bima dari dulu tidak sebebas adik-adik Bima yang bebas memilih impiannya sendiri,” ucap Bima. “Termasuk masalah perempuan? Mamamu sampai sekarang masih belum bisa menerima Sovia?” tanya Pak Indra. “Ya seperti itu, Opa. Sovia sudah pergi, Opa. Sovia sudah tidak lagi di kota ini, entah di mana perginya Bima tidak tahu. Arga pun tidak mau memberitahu ke mana Sovia pergi,” jawab Bima. “Sovia pergi? Dia tidak pamit kamu?” tanya Pak Indra. “Hanya menitipkan surat saja, Opa. Sovia bilang, dia ingin mencari ketenangan. Opa tahu mama bagaimana dengan Sovia, kan? Mama terus mengancam Sovia jika masih dekat denganku. Aku tahu perasaan mama, tapi apa gunanya dendam, Opa? Toh papa dan Tante Dilla sudah meninggal? Sebegitu dendamnya mama dengan Sovia, hingga mama sangat membenci Sovia, Opa?” ucapa Bima. “Memang kesalahan ada pada papamu. Opa pun yang sebagai orang tua papamu sangat kecewa sekali dengan kebodohannya. Opa tidak menyangka papamu akan menyakiti mamamu seperti itu, wajar mamamu membenci Sovia, karena Sovia lah yang membuat papamu kembali pada Tante Dilla, berawal dari Sovia yang ingin selalu dekat dengan papamu, papamu respect kembali dengan Tante Dilla dan tega meningglkan mamamu saat mamamu hamil kamu. Opa mengerti perasaan mamamu, itu sebabnya opa pun sedikit kecewa jika kamu dengan Sovia. Tapi, kalau sudah cinta, susah mau gimana. Keputusan ada ditangan kamu sekarang, kamu mau apa, itu adalah tanggung jawabmu sekarang. Mamamu boleh melarang kamu dekat dengan Sovia, tapi kalau masalah bisnis, opa bisa membantumu,” tutur Pak Indra. “Bima akan pikirkan itu, Opa,” jawab Bima. “Kata mamamu kamu belum makan? Kamu tidak mau menemani opa makan? Opa juga belum makan,” ucap Pak Indra. “Bima mau makan di luar saja. Bagas mengajak Bima nonton  konser musik malam ini, tapi ini sudah jam delapan malah belum ke sini. Mungkin anaknya susah di tinggal,” ucap Bima. “Bagas ... Bagas ... sudah menikah masih saja suka nonton konser musik,” ujar Pak Indra. Hanya bima dan Aina yang masih menetap bersama orang tuanya. Bagas, Bayu, dan Barra sudah berumah tangga semua. Mereka sudah memiliki tempat tinggal sendiri, hanya Bima, si Sulung dan Aina adik bungsunya yang belum menikah. Padahal Bima anak paling tertua, tapi dia masih belum mau menikah karena belum mendapat restu dari mamanya. Riri sebenarnya sudah ingin sekali melihat putra pertamanya menikah. Dia berniat menjodohkan Bima dengan Alesha, putri dari rekan kerja Alex. Namun, Bima selalu menolaknya dengan berbagai macam alasan. Bima selalu mengalihkan pembicaraan saat mamanya membahas Alesha. Berbeda dengan Alex. Meski Alex adalah ayah sambung Bima, dia lebih mengerti apa yang Bima rasakan. Dia selalu membela Bima dan mendukung hubungannya dengan wanita pilihan Bima. Dia sudah pernah merasakan dijodohkan dengan wanita yang tidak ia cintai itu rasanya seperti apa, dan dia tidak mau Bima merasakan derita batinnya dulu saat dia dijodohkan. Meski sudah memiliki anak, Alex tetap tidak mencintai istrinya kala itu, karena dia masih sangat mencintai Riri, meski dia tahu, Riri saat itu sudah menikah dengan Reza. Alex tahu apa yang Bima rasakan saat ini. Dia hanya bisa mendukung Bima, dan mendoakan yang terbaik untuk Bima. Kisahnya sama dengan dirinya, tidak direstui oleh ibunya. Bedanya, Sovia adalah anak perebut papanya Bima, sedang dulu Alex dengan Riri tidak di setujui lantaran status Riri yang saat itu janda. Pak Indra keluar dari kamar Bima setelah selesai berbicara dengan cucunya. Dia gagal membujuk Bima untuk makan bersama. Padahal Bima memiliki asam lambung, tapi semenjak Sovia pergi, dia tidak peduli dengan pola makannya yang berantakan. Meski dirinya terlihat biasa saja, tapi batinnya sungguh tersiksa. Wanita yang sangat ia cintai pergi entah ke mana. Cintanya pun tak direstui oleh mamanya yang sangat membenci Sovia. Bima kembali membuka kenangan bersama Sovia. Meski pertama kali hubungan mereka dilalui dengan penuh drama, tapi Bima selalu menganggap semua itu adalah kenangan manis untuk dirinya. Sovia yang dulu sangat benci dengan Bima, ternyata bisa Bima luluhkan hatinya. “Aneh ya, Sov? Dari SMP aku sudah jatuh cinta dengan kamu. Padahal aku tahu kamu sangat membenciku saat itu. Kamu selalu menganggap aku mengambil perhatian papa darimu, padahal tidak seperti itu. Aku sayang Papa, dan disaat itu pula aku mencintaimu, aku berani mencintai seorang gadis yang angkuh, sombong, galak, dan lebih tua tiga tahun dariku. Dan, itu kamu, kakak tiriku sendiri. Entahlah Sov, nasib kita sekarang ini bagaimana? Aku tidak tahu, yang aku tahu, aku hanya mencintaimu, tidak ada wanita lain selain kamu, Sov,” gumam Bima. Bima bersiap untuk menonton konser musik bersama Bagas. Bagas baru saja memberi kabar pada dirinya kalau sebentar lagi akan sampai rumah. Meski sudah menikah, Bagas selalu setia menghibur Bima yang dari kemarin sempat galau karena Sovia pergi. Mungkin bagi Bima, Bagas adalah adik sekaligus sahabat terbaik untuknya. Bima keluar dari kamarnya, karena mendengar Bagas sudah datang di rumahnya. Bagas sedikit terlambat karena dia menidurkan anaknya terlebih dahulu. “Ngaret, Bro!!! Katanya setengah delapan, ini sudah jam delapan lima belas menit,” ucap Bima dengan menemui Bagas di ruang tamu yang sedang mengobrol dengan mama dan ayahnya. “Biasa nidurin Farrel dulu, tahu dia kalau papanya mau keluar,” jawab Bagas. “Nidurin Farrel atau Ratna? Paling Ratna juga ngambek mau ditinggal kamu pergi nonton konser,” ucap Bima. “Mama kalau jadi Ratna juga sudah ngambek, untung Ratna tidak seperti itu orangnya,” sahut Riri. “Ratna mah seneng kalau aku tinggal keluar, Ma. Dia malah senang, katanya bisa menulis dengan tenang tanpa digangguin aku, yang penting cemilan sama minuman sudah aku sediakan buat teman nulis dia,” ucap Bagas. Ratna memang seorang penulis. Dia juga sudah berkali-kali menerbitkan buku, bahkan sudah tembus ke penerbit mayor. Semua buku-bukunya terjual di seluruh Gramedia. “Penulis itu punya jiwa pemberani, dan jiwa menyendirinya itu tinggi. Lihat saja, Ratna sering begadang, jadi dia senang kalau Bagas tidak di rumah, dan pulang larut malam,” ujar Alex. “Iya, dia seperti itu, Yah. Kalau Bagas di rumah paling juga di cuekin, pas dia lagi nulis. Biarlah, memang sudah pekerjaannya, yang penting Farrel tidak kurang perhatiannya dari Ratna,” jelas Bagas. “Sudah yuk, berangkat,” ajak Bima. “Yuk, ayah sama opa mau ikut?” tanya Bagas. “Tidak, sana temani bujangnya ayah saja, kasihan dia bujangan sendiri di rumah,” leddek Alex. “Ayah jangan gitu, dong!” tukas Bima. “Ya, memang kamu sendiri yang bujangan di rumah, kan?” ucap Alex. “Makanya nikah, oma ingin lihat kamu menikah, Bim,” ujar Bu Kasih. “Belum waktunya, Oma,” jawab Bima. “Sampai kapan? Nunggu Sovia? Dia sudah pergi, lagian mama juga tidak akan pernah menyetujui kamu sama Sovia, sampai kapan pun!” tegas Riri. “Ma, jangan bawa-bawa Sovia, dong ... Dia tidak salah apa-apa, Bima saja yang belum ingin menikah, mama stop dong jangan dendam terus,” ujar Bima. “Kebiasaan, kamu! Kalau mamanya bicara kamu jawabnya seperti itu,” ujar Riri. “Apa kurangnya Alesha, Bima ...,” imbuh Riri. “Banyak, Ma. Dia sepertinya harus sekolah lagi, karena sifatnya masih kayak anak PAUD. Sekolah SD lagi lah biar bener!” jawab Bima. “Sudah, Bima tidak mau berdebat, ayo Gas, kita berangkat sekarang,” ajak Bima yang sudah merasa kesal dengan mamanya yang selalu mengkambing hitamkan Sovia kalau sedang bicara. Riri hanya menggelengkan kepalanya saja melihat putra sulungnya seperti itu kalau membahas Alesha. Riri memang sedang berusaha mendekatkan Alesha dengan Bima, padahal sebenarnya semua tidak setuju kalau Riri mendekatkan Alesha yang sifatnya masih kekanak-kanakan dengan Bima. “Ma, sudah dong, jangan seperti itu sama Bima. Biarlah, mungkin dia belum ingin menikah. Jangan dekatkan sama Alesha juga, percuma Bima tidak mau, dia bukan tipe laki-laki yang suka cewek manja, Ma,” jelas Alex. “Tuh, bela terus Bima. Ayah itu mendukung banget Bima sama anaknya pelakor! Ayah tahu, karena dia Bima jadi kehilangan papanya!” ucap Riri dengan emosi. “Tapi, Bima tidak pernah kehilangan kasih sayang seorang ayah, Ma. Ayah sayang sekali sama Bima, jadi ayah tahu apa yang Bima inginkan, mama tolong ngerti hati Bima, dong,” ujar Alex. “Selamanya mama tidak akan pernah merestui hubungan Bima dan Sovia! Titik!” tegas Riri. “Nak, Sovia tidak salah, jangan terlalu membenci seseorang, Nak. Sovia juga kasihan, dia juga cucunya papa, karena dia anak tiri Reza,” ujar Pak Indra. “Ri, Sovia tidak salah, yang salah adalah orang tua mereka. Sudahlah, Ri ... jangan terlalu lama memendam dendam. Tidak baik untuk kesehatan kamu juga,” tutur Bu Kasih. “Kalau bukan karena Sovia yang sering menyita Reza di rumahnya, Reza tidak mungkin respect dengan Dilla lagi, Bu!” ujar Riri. “Kamu tahu, dengan kamu seperti ini, kamu seperti tidak menganggap Alex suamimu,” ucap Bu Kasih. “Kok ibu bilang gitu? Kalau aku gak anggap Alex, ngapain aku masih setia dengan Alex, hingga punya anak cucu?” ujar Riri. “Sudah, jangan ribut. Gini lho sayang, kamu itu sekarang keras sekali hatinya. Jangan seperti itu dong, dendam juga bisa jadi penyakit, Sayang. Penyakit hati lebih tepatnya, lagian Reza sama Dilla mereka sudah menghadap Tuhan. Sovia kalau aku lihat, dia sifatnya lebih ke ayahnya, lebih ke almarhum Mas Arfan, aku tahu Mas Arfan seperti apa, keluarganya pun aku tahu semua, kamu tahu rumah ini Mas Arfan yang merancang, jadi aku sangat dekat dengan dia, dia orang yang baik, baik sekali,” jelas Alex. “Sudah, aku tidak mau bahas ini. Sekali tidak setuju, aku tidak akan menyetujuinya hingga kiamat pun aku tidak akan setuju!” tegas Riri. “Iya, iya ... sudah jangan marah, jangan emosi. Ayah itu takut kalau mama sudah seperti ini,” ucap Alex. “Lagian ayah malah membela anak itu!” tukas Riri. “Ayah tidak membela. Sudah, Ma ... sudah, ya? Jangan emosian gitu,” tutur Alex. Alex memang suami yang sangat sabar sekali. Setelah tahu Bima berhubungan dengan Sovia, hari-hari Riri diliputi dengan emosi dan uring-uringan setiap hari. Alex hanya bisa menasihatinya dengan lembut, karena dia tidak ingin bertengkar dengan istrinya yang lagi-lagi karena Sovia dan Bima. Alex juga tidak mengerti, kenapa Riri bisa sebenci itu dengan Sovia. Padahal, Sovia selalu baik dengan Riri, Sovia menjadi perempuan mandiri dan sopan. Alex tahu, karena Alex pernah meeting dengan Sovia dan rekan kerja yang lain. Sovia memang memborong semua sifat Arfan, itu yang Alex lihat, dan membuat Alex setuju kalau Bima dengan Sovia. Namun, sikap keras Riri dan dendam Riri yang tidak akan pernah mau menyetujui hubungan Bima dan Sovia. Sebelum Sovia pergi, Alex sempat bertemu dengannya. Saat itu Sovia sedang berada di toko bunga, dia membeli bunga Lily dan mawar putih, bungan kesukaannya. Dia bilang, itu untuk ia taruh di ruang kerjanya di kantor. Bunganya sudah mulai layu, jadi dia membeli bunga lagi dan bertemu Alex di toko bunga tersebut. Alex sempat mengobrol dengan Sovia saat itu. Menanyakan hubungan Sovia dengan Bima. Yang Alex ingat saat itu, Sovia bilang pada dirinya, kalau tidak mungkin lagi dirinya dekat dengan Bima, mungkin jika mamanya Bima merestui hubungannya, dia ingin melanjutkan hubungannya dengan Bima, tapi kalau tidak, dia lebih baik pergi, karena hubungan tanpa restu dari orang tua menurutnya hubungan yang sia-sia saja. “Sebaik-baiknya hubungan, rasanya akan hampa tanpa adanya restu dari orang tua, Om. Apalagi tidak mendapat restu dari ibu. Bagaimana hubungan ini akan berjalan lancar, kalau Tante Riri tidak merestui kami? Cinta tanpa restu, seperti hidup tanpa nyawa, Om. Mati dan hampa.” Alex mengingat ucapan Sovia itu, satu hari sebelum Sovia pergi dari kota ini. Alex sebenarnya tahu, ke mana Sovia pergi. Dia hanya mengira-ngira saja ke mana Sovia pergi. Jogja, Alex menduga Sovia pergi ke kota kelahiran ayahnya. Karena memang dia masih memiliki saudara di sana. Eyang kakungnya masih hidup, bersama dengan paman dan bibinya, yaitu adik perempuan Arfan. Alex tahu itu, karena dia pernah ke Jogja, ke rumah Arfan yang di sana.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD