2. Di Rumah si Mati

1127 Words
Hanya Nyonya Lee yang ada dirumah, suaminya pergi bekerja Mei Lan menatap lantainya berwarna kotak-kotak dalam warna hitam dan putih, dan tangga kayu jati yang memiliki pagar berukir. Jam besar yang bagus berdiri di sudut ruangan, sementara yang lebih kecil terletak di meja samping. Sementara Mei Lan mengagumi pemandangan yang mewah itu, pelayan muncul kembali. Rumah itu, seperti banyak rumah besar Cina, dibangun sebagai kombinasi antara halaman dan koridor penghubung. Halamannya sangat luas dan ada beberapa mobil parkir dihalaman. Mei Lan berjalan melewati taman batu yang berbentuk seperti taman mini dengan aula yang dipenuhi dengan perabotan antik. Keluarga yang hidup dalam kemegahan, harus hidup sederhana. Itu yang dilihatnya setelah itu. Rumah yang begitu mewah, sebaliknya Nyonya Lee adalah seorang wanita paruh baya berbaju pinggang longgar sederhana. Begitu sederhananya; baju panjang hitam pekat melambangkan kesedihannya. Putranya meninggal enam bulan yang lalu, jadi ibunya nyonya Lee akan berkabung setidaknya selama satu atau mungkin juga tiga tahun. Ibu yang berduka harus hidup sederhana agar si mati terhibur dan dihormati dan lega dialam arwah. Semua wanita yang ada di rumah itu mengenakan pakaian sederhana. Semuanya mengenakan warna biru dan putih yang kaku pas serta sederhana. *** "Saya senang kamu berdua datang, memenuhi undangan saya" kata Nyonya Lee. Suaranya pelan hampir tidak terdengar . “Terima kasih, bibi ” jawab Mei Lan menggunakan dua tangan yang dikatupkan cara hormat untuk menyapa wanita yang lebih tua. Mei Lan tidak tahu harus berbuat apa. Apakah dia menundukkan kepala atau membungkuk. Nyonya Lee sejenak memamerkan giginya sambil tersenyum dengan awan duka masih mengambang dimatanya. “Aku dan ibumu memiliki hubungan akrab," nyonya Lee berkata kepada Mei Lan sambil menatap ibunya Mei Lan. “Seharusnya saya mengundangmu untuk berkunjung lebih awal. Ini adalah kelalaian besar di pihak saya, maaf." nyonya Lee mengatupkan juga kedua tangannya. Ia duduk dikursi berlapis marmer yang bagus "Kemarilah, Mei Lan, saya ingin melihat kamu." Mei Lan mengalihkan pandangan menatap nyonya itu Nyonya Lee melihat dirinya dengan tersenyum gembira. Tuan Lim memiliki 2 anak perempuan satu anak laki-laki yang masih hidup. David Lee meninggal kurang dari enam bulan yang lalu. Nyonya Lee bercerita banyak tentang mendiang yang telah meninggal seharusnya menjadi pewaris. Mei Lan melihat album foto keluarga Lee. Cukup gagah dengan baju dan stelan mewah. Mei Lan melihat ketampanan meski terlihat ada kesan angkuh pada diri lelaki itu. Mei Lan dan ibunya duduk dikursi tamu. Ibu dan anak memperhatikan kesekeliling. Suasana berduka masih tampak dirumah itu. Warna putih masih menyelimuti tempat itu, yang menandakan masa berduka meski 6 bulan telah berlalu. Dalam album foto , anggota keluarga keturunan menggunakan ikat kepala berwarna putih yang dijahit dengan seperca kain goni, sedangkan anggota keluarga yang termasuk keturunan luar mengenakan ikat kepala putih yang dijahit dengan seperca kain merah. Wajah berduka ditampilkan secara menyolok yang mungkin juga sebagai penghormatan kepada yang meninggal. Pemakaman dan duka bersama juga menjadi pemersatu dalam perjalanan hidup sebuah keluarga. Keluarga-keluarga dari generasi ke generasi melindungi jiwa yang meninggal dari roh jahat. Pemakaman memastikan jiwa yang meninggal merasa nyaman dan tenteram, serta memberikan peruntungan bagus bagi para keturunannya yang tinggal di dunia. Mei Lan dan ibunya tidak banyak bertanya membiarkan keluarga Lee bercerita apa saja. Adat leluhur Mei Lan tidak banyak mengerti. Mungkin dia masih muda dan keluarganya juga tidak ketat dengan tradisi leluhur. "Anakku David Lee meninggal akibat kecelakaan. Mobil yang dikendarainya bertabrakan," jelas Nyonya Lee seperti membuka duka enam bulan yang lalu. Di sebuah ruangan masih ada foto mendiang David Lee dalam kesedihan. Foto terpajang mendiang yang sudah meninggal dunia. Mei Lan dan ibunya kembali mengucapkan belasungkawa dengan menunjukan wajah sedih. Setelah beberapa saat, nyonya rumah selesai melihat foto foto anaknya yang telah meninggal dunia dan prosesi pemakaman. Disebuah tempat, melewati seorang pelayan yang sedang menyiapkan sesajen untuk dibakar nantinya. Mungkin ketika jodoh lajang yang meninggal dunia sudah didapat dan Mei Lan adalah satu-satunya calon mendiang. Patung-patung kawat mini berbentuk orang dan potongan kertas berwarna cerah. Barang barang Itu dibakar agar orang mati hidup berlimpah di alam arwah. Kendaraan untuk dikendarai berbentuk imitasi, rumah rumah; patung pelayan, makanan, bungkusan uang neraka, gerobak, dan bahkan perabotan kertas. Pada hari hari tertentu bersembahyang dan ziarah kubur sesuai dengan tradisi leluhur. Mei Lan memandang dengan perasaan kurang percaya pada semua itu. Ia cuma memperhatikan Nyonya Lee yang terus membujuknya dengan ibunya yang mendengarkan dengan diam. Harta dan uang yang ditawarkan, dan utang utang ayahnya yang dilunasi. Nyonya Lee masih menunjukkan bayangan duka di sekitar matanya. Pipinya yang cekung masih kentara. " Bagaimana kabar Tuan Tjan ? " nyonya Lee bertanya kepada ibunya tentang ayahnya. "Apakah suamimu sehat?" "Baik dan sehat," jawab ibunya menjawab basa basi itu. "Bagaimana kamu?" Tanya nyonya Lee kepada Mei Lan. "Saya baik baik saja bibi," jawab Tjan Mei Lan tersenyum. "Bagaimana ayah kamu membuat rencana untukmu?" Tanya nyonya Lee kepada Mei Lan. Mei Lan menundukkan kepala dan tidak menjawab. Ia gugup dan tidak tahu cara menjawabnya. “Kamu sudah mencapai usia menikah," berkata lagi nyonya Lee sambil tersenyum. "Gadis secantik kamu sejak dulu seharusnya sudah menikah." "Ayah saya belum memikirkannya, kami juga tidak punya uang cukup, " jawab Mei Lan. "Apakah kamu sudah punya pacar? Pikirkan baik baik tawaran kami," 'nyonya Lee tidak berhenti hentinya mendesak. Tentu saja Mei Lan sudah punya pacar; dia sangat mencintai pacarnya. Namun ia diam saja. Ibunya juga tidak menjawab. Sekarang Nyonya Lee langsung bertanya kepada ibu Mei Lan tentang lamarannya. "Saya berharap untuk berbesan selama 3 tahun. Saya tahu seorang gadis tidak mau menjadi janda selamanya." Ujarnya. "Adik adik tidak melangkahi kakak," nyonya Lee membicarakan kedua adik perempuan mendiang David Lee yang belum menikah. Adik tidak boleh melangkahi kakak kalau menikah," Nyonya Lee mengatakan masalah itu. "Kami belum 'bisa memutuskan, harap nyonya Lee bersabar, " ibu Mei Lan yang menjawab. Mei Lan menghela nafas panjang melepaskan sesak didadanya. Ia keluar menjauh mencari udara segar sambil memperhatikan halaman rumah. “Aku meminta bantuan kalian, hanya perlu beberapa helai rambut dan pita anak kamu," berbisik nyonya Lee ketika Mei Lan menjauh. Nyonya Lee melangkah dengan tangan gemetar dan menceritakan tentang dirinya, "Aku tidak akan membuat baju baru untuk diriku selama berbulan-bulan sampai akhir masa berkabung habis" Mei Lan dan ibunya menunjukkan senyum simpati bagi keluarga yang berduka. Mei Lan dan ibunya pulang dan masing masing tenggelam dalam pikiran. Diatas mobil, ibu dan anak tidak banyak bercakap cakap. Mei Lan entah kenapa merasa ngeri ada dirumah itu. Mungkin itu perasaannya saja, karena dia dilamar untuk menikah dengan orang mati. Jika dia menikah dan menerima tawaran kekuarga Lee dirinya dan keluarganya tidak lagi hidup susah. Tiga tahun berikutnya dia sudah menjalani hidupnya dengan normal lepas dari keluarga Lee. Apakah dia akan menerimanya? *** Ayah menunggu mereka pulang, duduk dikursi dan merokok. Bau rokok tidak disukai Mei Lan. Untungnya Ayah telah menghabiskan rokok terakhir. Ayahnya mematikan rokok menatap kepada ibu dan anak. "Apa keputusannya?" Tanya ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD