bc

SUAMI YANG TERANIAYA

book_age18+
282
FOLLOW
2.0K
READ
drama
twisted
sweet
serious
genius
loser
male lead
realistic earth
poor to rich
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Tristan tak pernah menyangka hidupnya yang tenang akan seberantakan ini ketika ia menikahi Gaby. Pernikahan tanpa cinta yang terpaksa terjadi itu menyudutkan Tristan pada posisi serba salah. Jika bukan karena ingin berbakti kepada kedua orangtuanya, Tristan tak akan sudi mengorbankan diri menikahi gadis urakan yang kaya raya itu. Perbedaan status yang mencolok di antara Tristan dan Gaby menjadi jurang pemisah mereka. Gaby kerap melampiaskan kekesalan pada Tristan yang tetap bersikap baik padanya, hingga suatu hari Gaby nekad berselingkuh dan hamil anak di luar pernikahannya, di saat itulah ia merasakan kehancuran hidup yang sesungguhnya. Akankah Tristan masih terus bersabar dan mempertahankan pernikahan yang tidak berlandaskan cinta itu setelah Gaby mengakui aib perselingkuhannya? Masihkah ada harapankah bagi Gaby untuk menerima maaf dan cinta dari Tristan?

chap-preview
Free preview
Darurat
Sebuah sedan meluncur dari halaman parkir rumah mewah, sesekali si supir muda yang tampan itu melirik penumpangnya yang duduk di belakang. Ada rasa gundah lantaran ia tahu kondisi kesehatan tuannya kurang baik namun tetap memaksakan diri untuk keluar rumah. “Pak, anda tidak apa-apa?” Tanya Tristan panik saat mendapati wajah tuan besarnya terlihat sangat pucat. Pria tua yang dipertanyakan itu bergeming, tak lagi sanggup memberi jawaban kepada Tristan dan perlahan tak sadarkan diri. Tristan terkesiap, segera ia banting setir mobil ke tepi jalan dan berhenti. Ia bergegas turun dari mobil dan membuka pintu mobil belakang. Tangannya meraba pundak pria tua itu dan mengguncangnya pelan. “Pak... Pak... Anda bisa mendengar saya? Pak....” Pekik Tristan ketakutan menghadapi tubuh yang tak sadarkan diri itu seorang diri. Ia mulai kebingungan, antara harus membawa tuan besarnya ke rumah sakit atau membawanya kembali ke rumah. Bukan kapasitasnya untuk menentukan keputusan, ia tak boleh gegabah bertindak jika tidak mau disalahkan meskipun berniat baik. Tristan merebahkan tubuh pria tua itu lalu menutup pintu mobil, ia kembali masuk ke dalam mobil lalu duduk di belakang kemudi. “Aku tak boleh tinggal diam, dia harus diberitahu kondisi tuan besar. Dia yang harus mengambil keputusan.” ⚪⚫⚪ Hiruk pikuk ruangan yang berpencahayaan redup itu menyulitkan pandangan mata untuk melihat siapa saja yang ada di sekitar. Gerak tubuh yang mengikuti irama, semakin terbakar semangat hingga banyak di antara mereka yang saling bertubrukan. Di antara kerumunan itu, ada satu pasangan yang juga tengah terbuai, tubuh mereka saling bergelayut, b******u mesra tanpa dihinggapi rasa malu. “Kita lanjut di dalam aja yuk.” Bisik Roger tepat pada daun telinga Gaby. Wanita itu tersenyum lalu menyandarkan kepalanya dengan manja sebagai respon postifinya. Gaby jelas tidak akan mengajak tawaran untuk bersenang-senang level tertinggi dari dua insan yang dimabuk cinta. Bukan sekedar mabuk perasaan, kesadaran mereka berdua memang di bawah pengaruh minuman. Seakan tak sabar dengan gerak lamban wanitanya, Roger pun menggendong Gaby bak pengantin wanita yang bersiap menaiki ranjang panas mereka. Pria itu melangkah cepat hendak menuju kamar VVIP yang sudah mereka siapkan sebelum membaur di keramaian bar. “Hmm... Kamu cantik sekali Gab.” Puji Roger yang mulai dibutakan oleh hasrat membaranya, berharap pujian itu bisa membangkitkan gairah Gaby pula hingga bisa tertebak akan seperti apa akhir permainan yang belum dimulai itu. Gaby merebahkan badannya di atas ranjang empuk, sesaat ia begitu menikmati empuknya tempat tidur itu. Seharian ini ia disibukkan dengan kegiatan hura-hura hingga lupa bagaimana leganya bisa berselonjor seperti ini. “Ng... Aku capek banget, biarin aku tidur bentar ya.” Rengek Gaby yang mendadak berubah pikiran ketika sudah terbuai kenyamanan posisinya sekarang. Hasratnya tidak sebesar apa yang dirasakan kekasihnya, dan ia jelas tidak melihat bagaimana mimik kesal pria yang ia minta untuk bersabar serta merasa terabaikan. Gaby sama sekali tidak peduli, ia lah pemegang kekuasaan sesungguhnya, dan karena alasan itulah ia bisa semena-mena terhadap kekasihnya. Roger menggertakkan gigi, rahangnya pun mulai mengeras. Berat baginya untuk menahan letupan birahi, namun ia pun sadar konsekuensi yang bisa saja diterimanya ketika menyinggung perasaan nona muda yang kaya raya itu. “Hmm... Baiklah, tapi satu menit saja ya.” Gumam Roger seraya mengedipkan satu matanya, berusaha menggoda iman Gaby agar goyah dan merasakan seperti posisinya sekarang yang begitu tergoda dengan pesona serta kemolekan Gaby. “Kamu bercanda!? Satu menit itu nggak ada rasanya.” Celetuk Gaby mengangkat kepalanya demi melayangkan protes, namun belum juga mendapatkan jawaban, bahasa tubuh Roger lebih dulu menyuarakan kebutuhan batiniahnya. Pria itu mendekat dan langsung memeluk erat tubuh Gaby, membuat wanita itu bungkam dan tak bisa berkutik. Roger melonggarkan pelukan, sasarannya kini beralih pada bibir ranum Gaby, ingin dicecapnya bibir yang sedikit terbuka dan menggoda itu. Gerak kepalanya reflek mendekat, menyusul sepasang matanya yang terpejam hendak menyambut penyatuan dengan bibir yang berjarak beberapa inch itu. Gaby terkesiap saat deru nafas Roger terasa menampar wajahnya, saking dekatnya jarak di antara wajah mereka. Seharusnya ia menikmati kedekatan yang menjurus pada keintiman itu, namun entah mengapa Gaby merasa gusar. Hatinya tak tenang, ia tidak bisa rileks walau sedetikpun, firasat buruk yang tak dapat dijabarkan namun membuat Gaby kehilangan hasrat untuk meladeni permintaan kekasihnya. Dengan satu tangan, Gaby mendorong d**a bidang Roger agar menciptakan spasi di antara mereka. “Sorry, aku belum siap.” Gumam Gaby seraya memalingkan wajahnya, tak mau melihat sorot mata yang tentunya tampak kecewa atas penolakan sepihaknya itu. Roger mengendus kesal, terpaksa membiarkan Gaby lolos dari cengkeramannya padahal sedikit lagi mereka bisa saja melakukan penyatuan. “Kenapa sayang? Tunggu apa lagi? Ayolah, sekali saja deh kalau kamu capek.” Bujuk Roger yang masih belum menyerah melepaskan peluang begitu saja. Belum sempat Gaby menjawab, perhatiannya teralihkan pada suara panggilan masuk dari ponselnya yang ada di dalam tas. Pandangan Gaby berpusat pada tas yang tergeletak di atas meja, sontak ia berdiri dan berlari menghampiri benda itu. Tangannya bergetar saat membaca nama yang tertera di layar ponselnya, bergegas digesernya tombol hijau untuk merespon panggilan. Tak peduli dengan Roger yang merasa diabaikan dan berdiri di belakangnya, hendak menguping pembicaraan. “Ada apa?” Tanya Gaby tegas, tak perlu menunjukkan sopan santun kepada lawan bicara yang ia anggap tidak sepadan dengannya. “Nona di mana? Tuan besar sedang kambuh.” Jawab suara seorang pria dari seberang. “Apa? Papa kambuh lagi? Ya udah kamu panggilin dokter Bekti sekarang. Aku pulang secepatnya.” Jawab Gaby kemudian mengakhiri pembicaraan sepihak tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut dari orang yang menghubunginya. Gaby menyambar tasnya dengan satu tangan yang masih kosong, sementara tangan yang lainnya menggenggam ponsel. Tiba-tiba ia merasa bersyukur karena sudah menuruti kata hati sehingga belum memulai apapun dengan Roger. Jika tidak, jelas ia akan membuang waktu lagi untuk merapikan pakaiannya. Tanpa pamit kepada kekasihnya yang hendak meminta penjelasan, Gaby pun berlari menuju pintu keluar. Sayangnya baru beberapa langkah ia berlari, Roger meraih tangannya, mencengkeram erat pergelangan tangan itu sehingga terpaksa Gaby harus berhenti. Ia menyipitkan tatapannya, tak mengerti dengan sikap Roger yang justru mengulur waktu pentingnya. “Kamu nggak dengar tadi aku udah bilang papaku lagi kumat? Ngapain lagi kamu halangi aku?” Ketus Gaby seraya menepis cengkeraman tangannya, sepasang netranya pun menyoroti sinis pada Roger yang tak kunjung melepaskannya, justru sengaja menambah kekuatan agar Gaby tak bisa memberontak. Air muka Roger terlihat sinis, menunjukkan rasa tak senangnya terhadap sikap Gaby yang semena-mena padanya. “Ya aku dengar, tapi tadi itu kamu bukan bicara padaku. Kamu hanya bicara sama orang lain dan mau pergi begitu saja tanpa pamitan? Aku masih di sini Gab, kamu nggak bisa hargai aku?” Protes Roger. Gaby berdecak kesal, emosinya pun begitu mudah tersulut lantaran sikap egois Roger yang mau menang sendiri. “Helo... Menurut kamu di saat darurat kayak gini, pamitan sama kamu itu penting banget gitu? Harusnya kamu nunjukin kepedulianmu, papaku lagi kumat dan aku harus segera sampai di rumah. Kalau kamu punya hati, mestinya kamu nggak perlu sewot hanya karena masalah sepele. Tapi memang sih, dasarnya sudah egois ya susah kalau diminta simpati. Minggir, jangan buang waktuku lagi atau kita... Ng....” Gaby meronta sekuat tenaga, kata-katanya terpenggal begitu bibir Roger membungkam paksa bibirnya. Tangan bahkan kaki Gaby terus melakukan perlawanan, mendorong tubuh atletis pria itu agar tak menjamahnya, namun kekuatan tak berimbang itu jelas menyudutkan Gaby pada posisi yang tidak menguntungkan. Roger mendorong pundaknya dengan keras hingga ia tersungkur jatuh. Belum sempat Gaby mencoba bangkit, pria itu bergerak gesit hendak menindihnya. “Kamu gila? Lepaskan aku!” Pekik Gaby setengah ketakutan, tak pernah ia diperlakukan sekasar ini oleh Roger, dan tampaknya kali ini pria itu sudah kehilangan akal sehatnya. Roger seakan tuli, ia tidak peduli dengan teriakan dan kemarahan yang Gaby tunjukkan. Pikirannya sudah dibuntu oleh keegoisan serta hasrat yang mendesak untuk segera disalurkan. ⚫⚪⚫⚪

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Scandal Para Ipar

read
707.9K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Menjadi Orang Ke Tiga

read
5.5K
bc

Marriage Aggreement

read
87.0K
bc

JANUARI

read
48.9K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.7K
bc

TERNODA

read
198.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook