Apa yang Salah?

2902 Words
"Musang-musang apa yang jago berkenalan?" Wayan langsung ditoyor Hamas yang baru saja datang. Rekan-rekan tim sukses kampanyenya alias timses terbahak melihat kelakuan keduanya. Wayan tak membalas. Cowok itu mendengus dengan gondok. Berhubung penampilan sahabatnya sudah seganteng itu, ia enggan menganggunya. Lalu ikut berdiskusi kecil untuk persiapan kampanye hari ini di beberapa spot ramai fakultas mereka. "Perlengkapan aman?" Yang lain mengacungkan jari. Ya tentu saja sudah aman. Semua sudah dipersiapkan sejak kemarin. Sehingga hanya perlu dibawa saja. Hamas ikut mengecek segala peralatannya. Wayan juga menguji coba alat pengeras suara portable untuk dibawa-bawa. Di beberapa tempat akan memerluka ini. Hamas sibuk membaca dan mengingat-ingat lagi apa yang hendak ia bicarakan di depan teman-temannya nanti. Ini masalah hidup dan mati baginya. Bukan sekedar mengejar jabatan tapi tentu saja amanat yang harus dipertanggungjawabkan. Menjadi pemimpin yang adil memang akan sangat sulit. Ia juga tak tahu apakah akan berhasil nanti. Tapi kalau tak dicoba, tak salah kan ya? Kita tak pernah tahu bagaimana hasilnya nanti. "Gimana, bos?" Paijo menepuk bahunya. Ia mengangguk. Walau yaaah agak was-was juga. Hamas tidak tegang. Ia sudah biasa berorasi. Berdebat di depan berbagai mahasiswa dan siswa dari berbagai negara adalah hal yang sangat biasa baginya. Sejak kecil, ia sudah terlatih untuk itu. Ini tidak sebanding dengan gugupnya dulu ketika pertama kali mengikuti lomba debat. Mungkin pengaruh usia? Ia sudah jauh lebih matang. Ia berjalan bersama teman-temannya menuju spot utama hari ini. Kantin. Suasana ramai yang sudah biasa. Mereka bahkan membuat jadwal untuk orasi di kantin fakultas sebanyak tiga kali. Karena mungkin pada orasi yang pertama dan kedua, mereka belum tentu bertemu dengan mahasiswa yang sama. Pasti setiap kunjungan akan berbeda. Terlebih diatur pada waktu yang berbeda. Harapannya adalah bisa menggaet lebih banyak masa untuk memilihnya nanti. "Kantin, Mas!" tutur salah satu tim kampanyenya. Ia mengangguk lantas mengikuti langkah tim kampanyenya, mereka berjalan menuju kantin. Ia sangat fokus sekali pada wacananya hari ini. Berorasi di depan para mahasiswa untuk memaparkan program yang akan ia selenggarakan di fakultas ini jika terpilih sebagai ketua BEM fakultas. Ia berdeham. Ini adalah taktiknya untuk menarik perhatian. Begitu dapat, ia menyunggingkan senyum. "Assalammualaikum warahmatuhhali wabarahkatuh. Selamat pagi menjelang siang teman-teman sekalian. Perkenalkan teman-teman, saya Hamas, mahasiswa Kedokteran UI. Di sini saya akan memaparkan perkenalan diri secara singkat tentang program....." Ia terus memaparkan program-program yang hendak ia realisasikan jika terpilih. Ia sangat serius hingga tak menyadari seorang gadis di kejauhan sana. Gadis itu tampak terbatuk-batuk. Matanya tampak melotot walau akhirnya malah nyaris berair. Salah satu temannya menyodorinya botol minuman. Lalu ia segera meneguknya. Ia masih terheran-heran melihat Hamas yang begitu serius. Lelaki itu masih terus berorasi dengan semangat. Sangat penuh semangat. Gadis yang tadi menoleh ke arahnya mengernyitkan kening. Terheran-heran dengan sahabatnya yang tampak menggumam sendirian. Gadis itu masih bolak-balik menatap Hamas. Mungkin saking terkejutnya. Hamas yang berdiri di depan sana, baru menyadari kehadiran gadis itu. Hamas berdeham. Ia kembali mengalihkan tatapannya lalu melanjutkan perkataannya. Bukan saatnya mengurusi perempuan, Hamas. Ia membatin. Sementara gadis itu masih menatapnya. Namun kali ini tanpa berkedip sedikit pun. Hamas masih sibuk dengan orasinya. Biasanya ia pandai sekali mengontrol diri. Jangan sampai bablas hanya karena seorang perempuan kan? "Jadi......." Lelaki itu terlihat serius sekali. Setelah selesai, tepuk tangan riuh menyemarakinya. Bahkan beberapa anak-anak menyeru-nyerukan namanya. Ia terkekeh. Terakhir, bahkan tubuhnya ditangkap oleh teman-teman seangkatannya. Setelah itu, ia berdiskusi sebentar dengan teman-teman tim kampanyenya. Mereka memutuskan untuk beristirahat. Mungkin nanti akan melanjutkan lagi orasinya di tempat lain yang sudah terjadwal oleh tim kampanye. "Keren emang bos gue," puji Ayu yang kemudian disorak teman-temannya. Hamas ikut terkekeh bersama yang lain. Mereka bubar untuk sementara. Kemudian ia mencari-cari sahabat terbaiknya yang sedari kecil selalu ia susah kan. Hihihi. "Oi!" Seolah tahu, Wayan mengacungkan tangannya. Hamas tersenyum kecil. Ia datang menghampiri lalu terpekur sebentar. Aaaah Hamas mengambil duduk di depan aaah....gadis itu, si cantik. Hahaha. Ia berdeham lalu duduk di depan Wayan. Matanya dengan jelas dapat menatap gadis yang tampak termenung. Hamas memulai makan sambil mengobrol ringan dengan Wayan tapi matanya tak berhenti menatap Anne. Yeah, Anne. Ia tentu tak akan melewatkan namanya bukan? "Keren bos. Gak salah emang jadi temen lo." Hamas terkekeh. Wayan memang begitu. Selalu memujinya. Bahkan hal-hal terkecil sekalipun. Sementara meja di depan tampak gaduh. Yeah meja gadis itu. Teman-temannya gadis itu tampak terkekeh-kekeh, mencoba menyadarkan gadis yang masih belum sembuh dari ketermenungannya. Hingga akhirnya gadis itu tersadar. Mata mereka sempat saling bersitatap sebentar. Gadis itu kaget lalu segera memutusnya dan terbatuk-batuk. Ia baru menyadari bahwa lelaki yang tadi masih berorasi di depan sana kini malah sudah duduk santai di depan mejanya bersama Wayan. Bahkan Hamas tampak tersenyum-senyum kecil menanggapi obrolan sahabatnya yang duduk membelakangi Anne, yeah Wayan. Anne tergagap lantas segera berdiri dari bangkunya. Gadis itu berlari menuju sahabat-sahabatnya yang sudah berjalan hingga seseorang berteriak memanggil namanya dan mengacungkan tasnya. Orang itu duduk di meja sebelah mereka tadi. Hamas menoleh. Banyak yang mengenal gadis itu, pikirnya. Ya untuk ukuran wajah secantik itu, siapapun pasti akan menoleh. Hamas berdeham, ia mengalihkan tatapannya. Sementara Anne berlari kembali untuk mengambil tasnya. Namun ponselnya jatuh ke lantai yang tentu saja mengundang banyak mata untuk menatap. Hamas ikut menoleh. Jihan, sahabat Anne, datang sembari mengomel. Walau tak urung ikut membantu memberesi ponselnya yang tercerai berai. Jihan geleng-geleng kepala. "Kalau gak sehari aja bikin rusuh kayaknya bukan Ann deh." Anne hanya meringis. Ia malu apalagi ditatap Hamas tanpa henti. Wayan yang tersadar kalau tatapan sahabatnya teralihkan, iseng menoel bahunya. Tapi kemudian ia malah dipelototi. Ia tertawa melihat wajah bodoh Hamas menatap seorang perempuan. Maklum lah, selama ini wajah politisi itu bahkan tidak pernah berpikir hal lain kecuali urusan kampus. Lah ini? "Wajahmu mengalihkan duniaku," nyanyi Wayan dengan nada sumbang kemudian terkekeh-kekeh. Hamas hanya menahan tawanya. Teman-temannya juga. Setidaknya, gara-gara ini smeua orang berhenti menatap ke arah Annne dan Jihan. Kedua gadis itu tampak masih sibuk mencoba menyalakan ponsel Anne yang tiba-tiba mati. Karena tak kunjung menyala, keduanya menyerah dan akhirnya malah pergi dari kantin. Anne berlari terburu-buru mengejar langkah Jihan. Gadis itu hampir tersandung dengan batu andai Jihan tak segera memegang tangannya. Hamas tersenyum kecil. Ia tak berhenti menatapnya. Wayan memukul bahunya. Ia tentu tahu sahabatnya mulai gila. Ia menggodanya. Siapa tahu sahabatnya ini ingin berkenalan. Mumpung mereka sama-sama mengenal sosok Jihan yang tampaknya sangat dekat dengan Anne itu. Jihan kan tetangga apartemen mereka. Apartemennya tepat bersebelahan dengan Hamas. Dan tentu saja apartemen Jihan berhadapan dengan milik Wayan. "Si Jihan kenal tuh, deket tuh keknya," tutur Wayan. "Mau kenalan gak? Mumpung orangnya ada di depan mata. Ye gak?" Hamas memukul bahunya. Haaah terlalu lama menghadapi Wayan akan membuatnya gila. Ia beranjak dari sana. lebih baik segera ke masjid dan mengademkan diri di sana sebelum memulai kembali kampanyenya. Wayan terbahak. Sahabatnya itu sempoyongan mengejarnya. Ia tak berhenti menggodanya. "Gue kepret juga lu ah!" Hamas terkekeh. ia biarkan Wayan merangkulnya. Keduanya sama-sama berjalan menuju masjid kampus. @@@ "Hayoooooo ngeliatin si Ann lagiiii!" ledek kakak sepupunya yang juga saudara sesusuannya itu. Hamas kelabakan. Cowok itu sampai menjatuhkan dompetnya. Foto Anne yang ia curi di ** gadis itu sudah berhamburan di lantai. Talitha terkikik-kikik di dekat pintu kamar Hamas yang terbuka. "Cepetan turun ke bawah!" seru perempuan itu kemudian meninggalkan Hamas yang masih kocar-kacir menyimpan foto Anne ke dalam dompetnya. Aish! Ia kan kaget tadi. Mana tahu pula kalau Talitha akan melihat. Eh tapi, tumben kakak sepupunya sudah ada sepagi ini di rumah ini? Biasanya baru datang menjelang siang. "Lagi ngeliatin foto si Ann itu, Ma. Makanya gak turun-turun," oceh Talitha sambil menuruni tangga. Mamanya, Herdianti, tertawa. Mereka sedang berkumpul. Bersiap-siap untuk berfoto bersama Hamas sebelum lelaki itu berangkat ke kampus. "Papa sudah ajak dia untuk menemui Feri. Dia gak mau. Takut katanya sama Feri. Nanti kalau keduluan orang lain, baru tahu rasa," tutur Irwan, Papanya Talitha. Satu ruang makan itu terbahak. Suami Talitha juga geleng-geleng kepala. "Romannya politisi, tapi ngadepin si Feri malah kagak berani." "Beda kali, Pa, ngadepin pejabat sama calon mertua, iya gak Hay?" tutur Talitha lantas mengedip ke arah suaminya yang terkekeh. Sementara Hamas masih sibuk merapikan diri di kamar. Ia hendak berangkat ke kampus untuk acara wisuda fakultas. Ia lebih suka menyebutnya sebagai acara perpisahan. Karena mungkin, ia akan jarang bertemu teman-teman satu perjuangannya lagi. Setelah ini, ia masih sibuk ke kampus tentunya. Mengurusi berkas-berkas kelulusan sekaligus meeting dengan para dosen terkait pekerjaan barunya. "Pernah digalakin Feri kayaknya," tambah Irwan yang membuat ruang makan kembali riuh. Dan tak lama, orang yang dibicarakan itu muncul sambil garuk-garuk tengkuk. Setiap hari nasibnya selalu begini. Selalu di-bully. Meski om-nya ada benarnya. Hahaha. Ia memang takut sekali pada ayah Anne. Baru menatap saja, kakinya sudah lemas. Benar-benar menciut. "Wisuda udah selesai. Kerjaan udah dapat. Beasiswa sedang proses. Tunggu apalagi untuk menikah? Toh Ann juga tinggal koass. Gak masalah lah itu," ledek Herdianti. Hamas hanya bisa menghela nafas ketika duduk di bangkunya. Pasrah saja karena setiap hari menjadi korban bully di keluarga ini. "Si Ann itu banyak yang naksir loh. Aku lihat fotonya masuk akun cewek UI tercantik di **," tutur Talitha. Lagi-lagi Hamas cuma duduk sambil menahan senyum, malu. Kalau itu sih, ia tahu. Sudah lama tahu lebih tepatnya. Satu anak fakultasnya kala itu heboh tapi Hamas baru tau belakangan saat mengenal Anne. Yah wajar. Itu bukan hal yang aneh. Akun yang satu itu selalu digandrungi para lelaki di kampusnya. Siapapun yang masuk ke sana pasti akan langsung dikejar-kejar. Ia bahkan tahu pengikut Anne yang sudah mencapai ratusan ribu itu. Mungkin nanti bisa mencapai jutaan? "Bibit, bebet dan bobotnya sudah jelas. Mommy-nya bule kearaban begitu. Daddy-nya juga ganteng. Ann-nya pintar, solehah lagi. Kalau Tante sih gak akan nunggu lama untuk melamar. Nanti keburu ditikung orang," tutur Herdianti. Biasa, mengompor-ngompori. Talitha terkekeh bersama Papanya. "Langsung lamar itu nanti, sebelum kamu berangkat ngurusin proyek kampus," titah Herdianti. Hamas cuma diam saja sambil mesem-mesem. Kemudian dilanjutkan dengan sesi foto yang sudah direncanakan. Lalu Hamas pamit untuk berangkat. "Nanti jenguk Papamu, Mas?" tanya Talitha. Ia menguntit Hamas sampai ke garasi mobil. Hamas berdeham sembari membuka pintu mobil. "Mbak aja," tuturnya lantas masuk ke dalam mobil. Ia langsung berangkat. Talitha menghela nafas. "Dia masih gak mau jenguk Papanya," tutur perempuan itu pada Mamanya yang sibuk mengelap lemari. "Biarin aja lah," tutur Herdianti. Talitha mengangguk. Ia paham sih, Hamas bukannya kecewa atau malu memiliki Papa yang seperti itu tapi Talitha berpikir mungkin Hamas takut lemah di depan lelaki itu kemudian menangis karena tak sanggup melihatnya. Kalau ingat bagaimana penampilan Hamas saat melihat ayahnya dibawa kepolisian, hatinya ikut hancur. "Mbak Hanni sama si Henna, baik, Ma?" "Henna sudah mulai kuliah lagi kan. Seenggaknya, anak itu sudah berubah. Kalau Hanni, Mama bersyukur akhirnya mendapat suami yang baik." Talitha mengangguk-angguk. Ia sudah lama tak mendengar kabar dua sepupunya itu. "Hamas akan tetap di sini?" "Mama sudah pindahkan namanya, masuk ke Kartu Keluarga Mama sama Papa. Lagi pula, Mama ini Mamanya juga kok." Talitha tersenyum kecil. "Takutnya dia kangen sama dua saudaranya itu." Herdianti terkekeh. "Kangen sudah pasti, Tal. Tapi nanti juga akan ketemu lagi." "Bukan gitu, Tatal maunya Hamas di sini terus. Sampe menikah kalau perlu di sini." Herdianti tertawa mendengarnya. Dulu, saat Hamas kecil sering dititipi di sini, anak perempuannya ini selalu menangis kencang tiap Hamas akan dijemput pulang oleh Mamanya Hamas. Saking sayangnya pada Hamas. "Rasanya cepat sekali kalian besarnya." Talitha terkekeh mendengar ucapan itu. "Ah iya," Herdianti teringat sesuatu. "Si Ardan masih jomblo atau udah punya calon?" Talitha tertawa. "Kalau katanya Dina sih masih jomblo." "Kasihan anak itu," tuturnya yang lagi-lagi membuat Talitha tertawa. "Kenapa kasihan?" "Mamanya bilang, gak ada cewek yang mau sama dia." Talitha terbahak. Ia juga sempat bertemu Aisha, Mamanya Ardan. Perempuan itu juga bilang begitu. Talitha terbahak tapi makin terbahak lagi saat Aisha bilang.... "Kayaknya ada hantu atau jin jomblo yang ngikutin dia ke mana-mana makanya susah nyari cewek." @@@ Hamas mendapat kesempatan untuk memberikan sepatah-duapatah kata di podium, di hadapan teman-teman satu angkatannya. Ia banyak mengucapkan terima kasih, terutama pada para dosen dan teman-teman satu angkatannya atas kelulusan ini. Ia juga memohon doa kepada para jajaran dosen agar mendoakan mereka untuk bisa sukses setelah lulus kuliah ini. Tak ada hal lain yang dimintanya selain doa. Karena ia percaya jika doa adalah s*****a tertinggi manusia karena dengan doa, mereka mengakui bahwa mereka hanya lah manusia lemah yang tak punya daya apa-apa tanpa-Nya. Begitu acara selesai, diambut dengan acara foto-foto ria. Hamas ditarik ke sana dan ke mari oleh teman-temannya. Karena ini kesempatan terakhir untuk mengabadikan momen kelulusan sebelum mereka mungkin jarang atau hampir tidak pernah bertemu lagi. Tak lama, ada seruan heboh. Hamas terkaget ketika tiba-tiba diangkat teman-teman satu angkatannya keluar dari gedung. Kemudian membuat heboh adik-adik tingkat mereka yang berada di sekitar gedung. Hamas terpilih sebagai ketua angkatan untuk alumni angkatan mereka. Selain itu, kepiawaan Hamas selama menjadi mahasiswa Kedokteran memang banyak menorehkan prestasi untuk teman-teman satu angkatan mereka. "Ada Kak Hamas! Ada Kak Hamas!" sorak pada adik kelaa yang heboh mengabadikan momen di mana Hamas dilempar ke langit atas. Kemudian ia diturunkan dan tertawa ria bersama satu angkatannya. Hamas tak sadar jika ia terus menjadi pusat perhatian. Tak terkecuali gadis blasteran yang rada bule dan Arab itu. Gadis itu menatap dari kejauhan dengan ekspresi wajah yang tak dapat diartikan. "Ann! Udah menghadap Prof Mita belum?" tanya Raina yang entah muncul dari mana dan tiba-tiba menyenggol lengan Anne. Membuat Anne tersadar kalau ia masih menatap lelaki yang masih tertawa bersama sahabat-sahabatnya itu. "Eh! Eung, baru mau ke sana, Na! Gue duluan ya!" ucapnya lantas langsung pamit dan segera berjalan lagi. Saat ia berjalan lagi itu lah, Hamas baru melihatnya dan menyadari keberadaannya. Lelaki itu tersenyum melihat punggung Anne yang menjauh. Ia masih melanjutkan acara berfoto ria bersama teman-teman satu angkatan hingga satu per satu mulai pamit. Ah, ia baru ingat kalau ia harus bertemu dosen pembimbingnya. Setidaknya, ia harus mengucapkan terima kasih secara langsung karena dosennya telah berbuat banyak untuk keberhasilannya hingga hari ini. Baru berjalan beberapa langkah, ia terpaku melihat sosok sahabatnya berjalan dari arah depannya. Ah, ia lupa kalau hubungannya tak baik-baik saja dengan sahabatnya yang sudah ia kenal sedari kecil itu. "Yan!" panggilnya tapi Wayan mendengus lantas melewatinya begitu saja. Ia menghentikan langkah lantas balik badan. Melihat punggung Wayan yang menjauh. Ia sadar betul jika sahabatnya mungkin masih marah. Terakhir, ia dipukul habis oleh Wayan. Setelahnya, hubungan mereka tak pernah akur lagi. Wayan selalu menghindarinya dengan terang-terangan dan memasang wajah dingin itu. Ia menarik nafas dalam sambil melanjutkan langkah. Rasanya aneh dengan acara perpisahan ini karena ia tak pernah bisa akur lagi dengan Wayan. Ia tahu ia salah kala itu, tapi ia sudah memperbaiki semuanya. Dan Wayan tak pernah tahu apa yang terjadi padanya selama dua tahun belakangan ini. Sangat tidak mudah. Ia kehilangan semuanya. Keluarganya hancur, mamanya pergi. Ia dan saudara-saudaranya bahkan terpisah. Menyedihkan bukan? Tapi sudah tak apa-apa sekarang. Ia sudah bangkit dan semua masa kelam itu sudah lewat. Walau ia tak pernah tahu, masa kelam apalagi yang akan menghantuinya. Ia mengetuk pintu ruangan Prof Mita kemudian hendak membukanya. Tangannya baru terayun saat pintu itu tiba-tiba terbuka dan gadis yang ia lihat tadi, muncul tepat di depan matanya. Senyumnya langsung melebar. "Hei, Ann." Gadis itu malah melengos. Berpura-pura tak berpapasan dengannya dan hal itu membuatnya tertegun. Kaget saja. Setelah dua tahun tak pernah bersua, gadis itu mengabaikannya. Apa yang salah? Namun akhirnya, Hamas hanya menghela nafas, ia lebih memilih masuk ke dalam. Kedatangannya langsung disambut senyuman Prof Mita yang tentu bahagia dengannya. Sebagai mahasiswa lulusan terbaik di angkatannya, Prof Mita sangat bangga. Hamas keren dengan segala prestasinya. Meski ujian hidupnya juga sungguh luar biasa. "Kemarin suami saya bertemu Papamu, Hamas." Itu kalimat yang dikeluarkan Prof Mita usai mengobrol panjang-lebar terkait rencana masa depan Hamas. Hamas menahan nafas mendengarnya. Lelaki itu menunduk. "Setidaknya, Papamu harus tahu kalau dia memiliki anak yang hebat." Hamas terdiam. Wajahnya yang menunduk itu, sedang berusaha menahan tangis. Matanya bahkan sudah memerah. Prof Mita menepuk-nepuk bahunya. Ia tahu kalau Hamas lelaki yang kuat. Hamas itu lelaki yang visioner. Ia sudah tahu ingin menjadi apa dan tahu cara untuk memulainya. Selain itu, Hamas juga pandai bernegosiasi juga bersosialisasi. Ia memang terlihat seperti seseorang yang berjiwa politisi walau Prof Mita yakin, jika menjadi dokter pun, Hamas akan sangat hebat suatu saat nanti. "Ada banyak orang yang diuji di dunia ini Hamas. Bukan kamu saja. Masing-masing orang diuji sesuai dengan kemampuannya. Begitu pun denganmu. Jadi jangan berkecil hati dengan hidupmu. Kamu orang hebat sekarang atau pun nanti. Hamas yang saya kenal adalah lelaki yang kuat dan tangguh," hibur perempuan itu. Hamas tersenyum kecil. Mata merahnya mengucap banyak terima kasih pada dosen pembimbing sekaligus ibu ketiga baginya. Hal yang tak pernah ia dapat dari ibu kandungnya, selalu ia dapatkan dari ibu-ibu lain. Entah Tante Herdianti atau Prof Mita. Ia sangat berterima kasih karena telah menjadi tempatnya untuk mencurahkan hati. "Temui lah Ayahmu selagi punya kesempatan Hamas. Meski hanya sekali." Hamas hanya mengangguk. Sekali lagi. Ia mengucapkan terima kasih lalu pamit keluar. Tiba di luar, ia menarik nafas dalam-dalam. Saat ia menoleh ke kiri, ia melihat Anne yang baru saja beranjak. Ia memanggilnya tapi gadis itu tak menoleh. Lalu dengan cepat menyusul langkah gadis itu hingga tiba di depannya. "Ann!" Anne langsung menghentikan langkahnya sementara lelaki yang muncul di depannya dan menghalangi jalannya ini tersenyum tipis. "Jadi wisuda Agustus nanti?" tanyanya. Ia bertanya untuk memastikan. Sejujurnya ia memang punya niatan. Tapi ia ingin memastikan jika Anne memiliki hal yang sama dengannya. Apa? Tentu saja perasaan. Tapi Anne malah melengos dan berjalan masuk ke perpustakaan. Hamas tersenyum tipis sembari menatap punggung Anne yang menghilang dibalik pintu. Mungkin Anne sedang terburu-buru menilik langkah kakinya yang begitu cepat tadi. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD