Apa Yang Salah? (Part 2)

2936 Words
"Definisi cinta dan patah hati itu beda tipis." Hamas terkekeh. Gadis di sebelahnya tampak serius sekali membahas hal ini. Keduanya sedang berjalan ke arah raung BEM. Keduanya sama-sama baru berjalan dari arah parkiran. Suara rintik hujan membasahi atap gedung kampus mereka. Tampak bising namun syahdu. Aneh ya? Fenomena alam yang sulit Hamas mengerti. "Kata siapa?" Gita berdeham. Ia melirik ke arah Hamas. "Ketika ada yang jatuh cinta, biasanya ada patah hati." Hamas menangkap poinnya. Ohhhh. Itu sama dengan fenomena alam menurutnya. "Itu karena ada antonim kehidupan. Seperti ada setan dan malaikat. Surga dan neraka. Laki-laki dan perempuan. Hidup dan mati. Dan--" "Dan?" tanya perempuan di sebelahnya. Tahu-tahu Hamas sudah membelokkan langkahnya. Ia baru saja melihat seseorang. "Nanti gue nyusul ke ruang BEM, Git!" pamitnya lantas berjalan ke arah lain. Gadis bernama Gita itu hanya menggelengkan kepala. Ia masih menatap Hamas dari kejauhan. Cepat sekali lelaki itu menghilang walau membuatnya tersenyum kecil, "Mimpi, Giiit," tukasnya pada diri sendiri. Hamas itu hanya impian yang mungkin tak akan pernah menjadi kenyataan untuknya. Sedangkan Hamas berjalan pelan menuju gadis yang sedang termenung memandang hujan di lobi fakultas. Hujan asam. Ia mendengar seseorang mengatakan itu meski teramat pelan. Ia tersenyum kecil lalu menjelaskan bagaimana fenomena hujan asam. Hujan asam itu dapat terjadi secara alami diakibatkan oleh semburan gunung berapi dan proses biologis di dalam laut, rawa, dan tanah. Namun dibandingkan dengan penyebab alami, penyebab dari kegiatan manusia lebih mengerikan. Penyebab hujan asam yang dilakukan oleh manusia seperti aktivitas industri, emisi kendaraan, pabrik pengolahan pertanian, pertanian itu sendiri, peternakan, pertambangan dan lainnya akan lebih mengerikan. "Gas-gas buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia akan terbawa angin di atmosfer sebelum berubah menjadi asam. Tahu kalau fenomena hujan asam juga dipengaruhi oleh adanya siklus hidrologi?" Anne berdeham. Ia tak tahu. Dunianya tak belajar itu. Dan bukan kah Hamas juga? Tapi kenapa cowok ini seolah pandai sekali? "Dengan siklus hidrologi, kita jadi tahu kalau jumlah air akan selalu tetap sama namun proporsi bentuknya yang berbeda-beda." Lalu Hamas berdeham. Ia menatap hujan yang turun semakin deras di depan mata."Anne Fahira Adhiyaksa. Benar?" Anne berdeham. Lama-lama ia menyimpul senyum dalam-dalam. Suka dengan gaya lelaki ini menyapanya lebih dulu. Lalu apa maksud Hamas dengan cara untuk mendekati gadis ini? Hohoho. Hamas Muttaqi Zulfiqar. Hamas menyebut namanya. Meskipun gadis di sebelahnya tak bertanya sama sekali. Ia kembali bertanya pada gadis di sebelahnya. tahukan arti Hamas? Dunia mendadak hening sekejab. Anne tak tahu artinya kah? Karena gadis itu hanya diam. Akhirnya, Hamas tersenyum kecil. Akhirnya ia menjawab sendiri pertanyaannya. Hamas itu antusias. Muttaqi itu yang takut pada Allah. Dan Zulfiqar adalah...... Hamas tak menjawabnya. Gadis di sebelahnya langsung menyambarnya. Apa artinya? Nama pedang Ali bin Abi Thalib. Hamas tersenyum kecil. Yeah itu bukan namanya melainkan nama Ayahnya. Walau Ayahnya tidak seperti pedang yang keren itu. Pedang kesayangan Ali. Ia malah tersenyum getir kalau mengingat hal itu. Kemudian keduanya tampak mengobrol kecil. Obrolan sederhana dan hanya berupa sebuah nama. Nama Anne itu tampak unik bagi Hamas. Karena dari angkatan bawah hingga angkatan di atas mereka hanya Anne yang memiliki nama itu. Namanya seperti nama-nama orang yang kebarat-baratan. Dan kalau melihat wajah Anne, Hamas tak begitu heran. Wajahnya jelas bukan wajah Indonesia asli. Lalu dari mana kah gadis ini? Ia belum berani berani bertanya lebih jauh dari itu. Meski akhirnya ia mengalihkan dengan pertanyaan lain. Pertanyaan kejadian kemarin. Ia hampir menabrak gadis ini. Kali ini hendak menatap Anne tapi Anne malah melambaikan tangan ke arah mommy-nya yang baru datang sambil membawa payung. Gadis itu menggeleng. Jawabannya mengundang tawa Hamas. Sebuah logika yang bagus dari jawaban kalau terjadi sesuatu padanya maka mungkin ia tak akan berada di sini. Meski bagi Hamas, jawaban itu terdengar lucu. Lalu obrolan mereka teralihkan. Hadirnya wanita lain yang tampak jauh lebih dewasa dari Anne. Namun begitu mirip. Maksudnya fitur wajahnya. Bahkan Anne bersuara. Itu benar-benar ibunya, ia langsung mengambil kesimpulan begitu. Hamas sudah bersiap-siap untuk memberi salam tapi perempuan itu malah berbicara dengan Anne hingga akhirnya tersadar lalu bertanya dengan kalimat menggoda. Hamas menahan senyum. Menyukai caranya bersikap ramah. Ia memperkenalkan diri dan mengakhiri dengan kalimat candaan. Si ibunya Anne itu tertawa. Lalu keduanya berpamitan. Hamas tersenyum kecil. Haaah jatuh cinta ya? @@@ Ia mengambil duduk di lobi perpustakaan. Lama sekali rasanya ia tak memasuki perpustakaan yang sering menjadi tempat tidurnya ini. Ia melirik ke arah tangga, berharap Anne segera muncul. Kemudian melirik jam tangannya. Ia punya rencana untuk bertemu kakak tingkatnya yang sudah lama lulus. Tapi semalam mendadak mendapat kabar kalau pertemuan hari ini dibatalkan. Padahal ia perlu bertemu untuk mengucap terima kasih karena lelaki itu sudah banyak membantunya selama menyelesaikan koass. Itu caranya memperpanjang silaturahmi. Ia juga pernah mendengar kalau itu bisa memperlancar rezeki. Entah dalam apapun bentuk rezekinya tapi hal baik perlu diperjuangkan bukan? Hamas mendongak ketika melihat Anne muncul lagi. Ia baru mau memanggil tapi gadis itu berjalan cepat melewatinya dan mengabaikannya. Ya, pikirnya. Ia memang sepantasnya diabaikan. Entah Wayan, Anne atau siapa lagi yang mengabaikannya. Walau untuk Anne, ia sebetulnya bingung kenapa gadis itu mengabaikannya. Namun ia segera bergerak. Bukan kah sejak semalam ia merencanakan ini jika bertemu Anne di kampus? Ia ingin membicarakan sesuatu yang amat penting pada Anne. Sesuatu yang sempat ia lupakan karena pernah berpikir jika tak lagi ada harapan. Hidupnya suram selama dua tahun terakhir. Bagaimana mungkin ia bisa mengejar Anne? Ia langsung menyusul Anne dan menjajarinya. Tapi Anne masih tak perduli. Gadis itu mempercepat langkahnya dan kembali masuk ke ruang dosen. Ia menemui Bu Anggun. Dan Hamas? Ia terpaksa menunggu di depan ruangan itu sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding dan melipat kedua tangan di depan d**a. ia baru hendak memejamkan mata saat tersadar ada langkah kaki lain yang mendekat. Hamas langsung tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Tentu saja ia mengenal Jihan, sahabat Anne sekaligus mantan tetangga apartemennya dulu. "Hei, Ji!" Jihan kikuk menjawabnya. "Ng, hei, Kak!" ia balas menyapanya. Tak enak pula kalau diabaikan. Toh Hamas tak bermasalah dengannya. Meskipun, ia juga agak canggung karena sudah lama tak melihat Hamas. Sekalinya bertemu, malah bertemu di depan ruangan ini. Keningnya mengerut bingung. Ngapain pula Hamas di sini? Benaknya bertanya-tanya. Tapi ya sudah lah. Bukan urusannya. "Masuk ya, Kak," pamitnya yang dibalas anggukan oleh Hamas. Hamas mengetuk-etuk jemarinya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia segera berjalan menjauhi ruangan Bu Anggun. "Kenapa, Mbak?" tanyanya usai mengucapkan salam. "Yakin nih gak mau ikut?" Talitha memastikan sekali lagi. Ia baru berjalan masuk ke mobil bersama Mamanya hendak ke rumah tahanan di Jakarta. Mereka hendak menjenguk ayah Hamas yang mendekam di penjara. Hamas belum pernah sekalipun datang menjenguk lelaki itu. Bukannya tak sayang, tapi tak sampai hati. Bagaimana mungkin Hamas berani melihat muka sendu milik lelaki yang masih berstatus sebagai ayah kandungnya itu? "Mbak aja," tolaknya untuk ke sekian kali. Talitha menghela nafas. Ia tahu kalau akhirnya memang akan ditolak. Sementara Mamanya bertanya dengan nada berbisik bahkan nyaris tanpa suara dan Talitha juga menjawab dengan nada berbisik. "Tetep gak mau, Ma," tuturnya. Kemudian ia fokus lagi pada ponselnya. "Oke deh. Nanti pulang ke klinik aja ya, minta makan sama Nenek." Hamas mengiyakan kemudian mematikan telepon. Urusan makan bisa di mana saja walau Talitha sangat bawel. Perempuan itu tak mau ia jajan atau makan sembarangan di luar padahal ia bukan anak lima tahun lagi. Ia kembali berjalan menuju ruangan Bu Anggun tapi malah berpapasan dengan Jihan yang baru saja keluar. "Ann mana Ji?" "Tadi udah keluar, Kak," ceplosnya kemudian menutup mulut sementara Hamas sudah berlari. Ia mengikuti instingnya saja. Barangkali benar. Tiba di parkiran, ia mencari-cari plat mobil Anne. Ia sering melihat Anne melintas di jalanan komplek selama dua minggu ini. Sering pula melihat Anne meneriaki Adel, gadis kecil nan centil yang menjadi salah satu murid pengajiannya di masjid komplek. Ia jadi tahu kalau ada banyak perkembangan Anne yang tak ia tahu. Seingatnya, dua tahun lalu, Anne bahkan masih diantar Abangnya atau daddy-nya tiap ke kampus. Sekarang? Sudah mengebut dengan mobil. Hamas berhenti di dekat mobil Anne. Ia bersandar di pintu mobilnya. Sengaja. Karena ia tahu kalau Anne akan masuk ke mobil melalui pintu itu. Ia memejamkan matanya sambil komat-kamit berzikir. Ia mulai gugup memikirkan kata-kata yang pas untuk menawari komitmen pada Anne. Jika gadis itu menerimanya, ia berjanji akan langsung menghadap ayahnya Anne yang wajahnya terlihat galak dan dingin itu. Tiap ingat lelaki itu, ia merinding. Mata tajam lelaki itu begitu menakutkan kala ia pernah mengantar Anne ke rumah hari itu dua tahun atau tiga tahun lalu. Ia juga masih ingat ibunya Anne yang super cantik itu. Agak mirip Anne tapi Anne ini versi campuran yang keren antara ayah dan ibunya. Anne seolah mengambil semua gen bagusnya. Ia menarik nafas dalam. Semakin mengencangkan zikirnya. Ia tak punya nazar apapun jika diterima. Karena ia tahu jika tanggung jawab yang akan ia ambil sangat lah besar. Tidak bisa ditukar dengan apapun. Ia menghela nafas kemudian telinganya menangkap suara langkah kaki yang memelan di dekatnya. Ketika ia membuka mata, ia mendapati Anne yang sedang menatapnya dengan heran. Heran melihatnya ada di dekat mobil gadis itu. Ia mengembangkan senyumnya. "Hei, Ann. Udah selesai urusannya?" Anne hanya diam. Matang sibuk menelisik Hamas. Hamas agak malu sebetulnya tapi ia fokus dengan hal yang menjadi tujuannya. "Boleh tanya sesuatu?" tanyanya. Kali ini dengan wajah serius. "Maaf, minggir, Kak, saya mau masuk," tuturnya dan bersikap seolah tak mendengar apapun yang dikatakan Hamas tadi. Hamas malah tetap bergeming. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan lurus dan serius. Hembusan angin membuat rambutnya bergerak-gerak. Hal yang membuat Anne makin silau dengan kegantengannya. Anne berpaling melihat ketampanan itu. Ia tak mau terbuai. Ah lebih jelasnya, takut jatuh ke dalam pesonanya untuk ke sekian kalinya. "Ann udah ada yang lamar?" tanyanya pelan namun tegas. Kata-kata itu akhirnya keluar juga setelah berdiam sesaat. Jantungnya berdebar keras. Begitu pula sengan jantung Anne yang terasa berhenti sesaat saat mendengarnya. Anne tentu kaget luar biasa mendengar kata-kata itu. "Bukan urusan, Kakak. Maaf, minggir," pintanya sekali lagi tapi Hamas malah melangkah ke depan, mendekat ke arahnya. Hal yang membuat Anne mendadak mundur. Ia tak mau terlalu dekat dengan lelaki mana pun yang bukan mahramnya. Dan lagi, ia juga ingin menyudahi semua urusan dengan lelaki ini. Ah, ia lupa jika ia memang tak punya urusan apapun lagi dengan lelaki ini. Lantas untuk apa lelaki ini di sini? Sementara lelaki itu menggaruk tengkuknya, menunduk sekilas lalu tersenyum kecil melihat respon Anne itu. Ia bukannya bermaksud tidak sopan. Itu reflek responnya. Kemudian ia tersenyum. Senyuman yang sebetulnya mampu membius Anne. Dengan agak malu Hamas berkata, "saya boleh melamar, Ann?" Anne tentu saja kaget. Ponsel yang sedari tadi dipegangnya sampai terjatuh ke bawah. Hal yang membuat Anne gelagapan. Ia hendak mengambilnya tetapi lelaki itu juga ingin mengambilnya. Akhirnya, keduanya malah saling membungkuk dan saat Anne berhasil mengambil ponselnya, lelaki itu segera menegakan tubuhnya. Kini ia tersenyum kecil, menanti jawaban dari Anne. Namun kebingungan diwajah Anne tak bertahan lama. Kenapa? Karena selanjutnya pun Anne tak mengerti ada keberanian dari mana hingga mengotori tangannya yang tiba-tiba menampar lelaki itu. Hamas terganga menatapnya. Tentu saja tak menyangka kalau akan mendapat balasan ini atas lamarannya. Kenapa ia ditampar? Ia kan punya niat baik walau mungkin caranya agak keliru. Ia bukannya mengajak Anne ke dalam suatu hubungan yang tak pasti. Ia hanya ingin bertanya dengan jelas karena sebetulnya, jika melamar langsung pada ayah perempuan ini, ia takut ditolak lelaki itu bukan takut ditolak Anne. Jika ia mengajukan ini pada Anne terlebih dahulu dan Anne menerimanya, ia lebih percaya diri menghadap Feri nantinya. Tapi ini? Ia malah ditampar sebagai jawaban atas lamarannya. Astaga! Tunggu-tunggu......ini penolakan? "Minggir!" Kali ini suara Anne agak meninggi. Tangannya sudah gemetar karena kaget akan apa yang ia lakukan barusan. Dadanya mendadak gempa. Airmatanya sudah hampir jatuh. "A-ann," Hamas tergagap. Ia lebih kaget saat melihat airmata Anne yang jatuh. Kenapa Anne menangis? Apa ia salah bertanya? Atau karena ia bertanya itu, Anne menamparnya? Atau karena Anne menolak jadi menamparnya? Tapi kenapa setelah menamparnya, gadis ini malah hampir menangis? Eh maksudnya resmi menangis. Ia sempat melihat sebulir airmata jatuh ke bumi. "Pergi!" Hamas terpaku. Lelaki itu masih bergeming hingga Anne dengan beringas mendorongnya dan memilih masuk ke dalam mobilnya. Tak lama, ia sudah mengendarai mobilnya meninggalkan Hamas yang sendu melihat kepergiannya. Apa yang salah dengannya? Hamas benar-benar tak mengerti. Sungguh tak mengerti tentang apa yang baru saja terjadi. Apa salahnya? Atau apakah ja salah bertanya hal semacam itu? Atau apakah ia terlalu lancang untuk mengajukan pertanyaan itu? Hamas benar-benar bingung hingga ia hanya bisa berdiri sembari memegang pipinya. Apa yang baru saja terjadi? Tolong katakan padanya dan sadarkan ia sekarang bahwa yang tadi benar-benar bukan mimpi? Sementara di kejauhan sana, ada seorang gadis yang membeku. Ia berdiri tak jauh-jauh amat dari tempat kejadian perkara di mana Hamas baru saja ditampar dan ditinggal begitu saja oleh Anne. Gadis itu ternganga saking kaget nya dan tak menyangka pula akan menjadi saksi dari rentetan kejadian yang terjadi di depan matanya dengan sangat cepat. "K-Kak," Jihan kehilangan kata-katanya menyaksikan kejadian barusan. Hamas menoleh ke belakang. Agak kaget dengan kehadiran Jihan di belakang sana. Ternyata, gadis itu menyimak segalanya. "S-sorry tadi gue--" Hamas hanya menggeleng lantas pamit. Ia malu sih tapi lebih sakit dengan kejadian tadi. Ia benar-benar tak mengerti sebetulnya. Apa yang sudah terjadi? Kenapa ia ditampar? Kenapa niat baiknya menjadi luka seperti ini? Semua hal ini hanya menjadi tanda tanya baginya. Tidak terjawab. Hanya menjadi misteri. Jihan menatapnya dengan tatapan kasihan. Gadis itu menghela nafas. Iba. Ia tahu apa yang terjadi di antara keduanya. Itu juga karena Wayan. Jihan tahu kalau Anne sudah lama menyimpan perasaan pada lelaki malang itu. Meski Anne tak pernah berterus terang akan perasaannya. Tapi sebagai orang terdekat Anne, ia tahu betul. Tak perlu bertanya karena mata Anne berbicara demikian. Dan Jihan akhirnya tahu kalau Hamas juga menyukai Anne. Ia sudah lama tahu tapi yang membuatnya kaget adalah kenapa lelaki itu masih datang pada Anne? Padahal kabar dua tahun lalu yang berhembus, lelaki itu sudah tunangan dengan kakak tingkat mereka dan rencananya, pernikahan akan digelar setelah Hamas menyelesaikan kuliahnya. Dan sekarang, bukan kah sudah selesai? Harusnya lelaki itu akan menkkahi perempuan lain bukan? Bukan Anne. Tapi kenapa Hamas malah datang melamar Anne? Jihan benar-benar bingung. Memang tak ada yang tahu kabar keberlanjutan hubungan Hamas dengan Nisa. Alasannya? Siapa yang ingin membagikan kabar duka? Apalagi Hamas juga bukan tipe lelaki pengumbar. Lelaki itu cenderung menyimpan semua hal yang terjadi di dalam hidupnya untuk diri sendiri dan selalu menjadi misteri bagi sahabatnya sendiri. Dan itu lah yang membuat Wayan masih marah padanya hingga hari ini. Walau berlagak tak perduli, tapi Wayan setidaknya masih berusaha mencari tahu tentang kehidupan Hamas saat ini. Meski, ia mengalami kebuntuan informasi. Sementara Hamas? Duduk terpekur di dalam mobil. Batinnya juga bertanya-tanya tentang alasan kenapa lamarannya ditolak? Kalau pun ditolak, kenapa harus ditampar juga? Apa salahnya? Apa ada yang salah? Haaah. Ia benar-benar tak mengerti. Akhirnya, ia malah mengendarai mobilnya ke luar dari lingkungan kampus. Tak tahu harus ke mana. Namun ia tiba-tiba teringat jika Talitha berpesan untuk pergi ke klinik. Ah, sesungguhnya ia sedang tak mood untuk melakukan apapun jika sedang begini. @@@ "Iiih! Abang Hamas kan Adel lagi nanyaaaaaaa!" seru gadis kecil nan cantik juga centil yang duduk di depannya usai mengaji. Ia malah melamun kemudian tersadar dengan suara cempreng itu. "Oh iya? Adel nanya apa tadi?" "Ituu loh Abaaang! Kenapa seseorang masih jomblo?" Hamas terkekeh. Astaga! Pertanyaan bocah cilik satu ini dewasa sekali. "Kenapa Adel nanya begitu?" "Soalnya Abang Adel ada yang masih jomblo!" "Oooh," Hamas mengangguk-angguk. Sejujurnya ia gemas dengan nada suara anak kecil yang satu ini. "Mungkin belum ketemu jodohnya," tuturnya dengan senyuman tipis. "Tapi Abaaaaaaang," serunya lantas bibirnya mendekat ke telinga Hamas. "Jangan bilang siapa-siapa ya, kalau Abang Adel ini susah cari jodohnya!" Hamas tertawa. Lagaknya benar-benar sok dewasa. Astaga Adel! Hamas geleng-geleng kepala melihat kelakuannya ini. "Abang Adel yang mana?" Hamas bertanya balik dengan bisik-bisik. "Ini!" tuturnya sambil memperagakan diri memperbaiki jambul. "Yang suka nongkrong di teras masjid." Aaaah. Hamas mengangguk-angguk. Ia sih sering melihat lelaki aneh itu. Tapi Hamas tak pernah menyapa. Soalnya aneh. Walau kadang penasaran juga. Soalnya, itu cowok sering banget nongkrong di teras masjid, duduk diam dan lama banget menatap jalanan raya. Pernah juga Hamas menangkap basahnya yang sedang berbicara sendirian. Tuh...aneh kan? "Terus gak ada cewek yang mau," sambung Adel dan itu membuat Hamas sampai mundur ke belakang saking terhiburnya dengan kata-kata Adel. Ia sampai terpingkal saking lucunya. "Kasihan Abang Adel itu!" lanjutnya lagi. Kali ini dengan muka sedih. "Adel aja punya pacar di sekolah!" tuturnya berbinar. Hamas tergelak lagi mendengarnya. "Kan gak boleh pacaran. Masih kecil." "Iiiissh! Bukan pacar-pacaran gitu, Abaaang! Tapi iniiiiii.....," ia memamerkan kuku-kuku tangannya yang diwarnai. Hamas ternganga sesaat lalu terbahak. Astaga bocah cilik ini! Kirain beneran punya pacar! "Adel aja punya pacar. Tapi Abang Adek itu enggaaak! Enggak mungkin punya pacar kayaknya!" Hamas terkekeh. Ia ikut berdiri saat melihat Adel berdiri usai merapikan isi tasnya. Ini memang sudah waktunya pulang. "Kakaaaaak Adeeeel!" teriak gadis kecil lain dari dalam mobil. Hamas yang menggandeng Adel di pintu masjid pun ikut menoleh. Sherin, ponakan Anne, yang memanggilnya. Gadis kecil empat tahun itu melambai-lambaikan tangan. Tampak Anne yang duduk di kursi kemudi dan sibuk memainkan ponselnya. Gadis itu tak menoleh ke dalam masjid jadi tak tahu kehadiran Hamas. "Iih! Shilin mau ke mana?" teriak Adel, tangannya sudah terlepas dari Hamas dan berlari ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan itu. Ia jadi lupa padahal tadi ia yang merongrong Hamas untuk mengantarnya pulang. Dasar si centil! "Mau ke minimalket depaaan sama Aunty! Ayooo ikut ajaaa Kakaaaaak!" ajaknya. "Iiih! Adel mau ikuuut, kakaaak!" serunya, ia kan kepengen es krim. Lumayan, gratisan. Anne langsung membukakan pintu di sampingnya tanpa tahu kalau Hamas menatap sendu dari masjid sana. Aaah, ia sudah mendengar kabar kalau gadis itu sudah dilamar lelaki lain. Walau ia tak tahu siapa yang melamarnya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD