BAB 1

1341 Words
Suasana salah satu sekolah di kota Jakarta siang ini tampak ramai oleh celoteh dan teriakan para siswa dan siswi. Mereka memanfaatkan jam istirahat sekolah selama setengah jam dengan melakukan aktivitas di luar kelas. Ada yang pergi ke kantin untuk mengganjal perut yang terasa lapar setelah memeras otak selama berjam-jam di dalam kelas. Ada yang pergi ke perpustakaan untuk sekadar membaca buku atau mengembalikan buku-buku yang telah mereka pinjam. Ada yang memilih duduk di koridor sekolah sambil mengobrol dengan teman-teman mereka. Ada juga yang berada di lapangan untuk bermain basket. Suara teriakan terdengar dari beberapa siswi yang duduk di pinggir lapangan menyaksikan idola sekolah mereka bermain basket. Suasana ramai itu berbanding terbalik dengan suasana di ruang kantor Kepala Sekolah. Seorang wali murid duduk di hadapan Bapak Kepala Sekolah yang sedang memeriksa dokumen di tangannya. Ada seorang siswi yang duduk di sofa menanti keduanya menyelesaikan urusan mereka. “Ini dokumen pindah sekolah Bella yang telah saya tanda tangani, Pak. Silakan Anda periksa lebih dulu,” ujar Bapak Kepala Sekolah, menyerahkan sebuah map kepada laki-laki paruh baya yang duduk di hadapannya. “Baik, Pak,” ujar papa Bella, menerima map tersebut, lalu membukanya. Terjadi keheningan selama beberapa menit ketika papa Bella memeriksa isi dokumen yang ada di dalam map. “Dokumennya sudah komplit, Pak,” beri tahu papa Bella. “Terima kasih atas bantuannya,” ujarnya menjabat tangan Bapak Kepala Sekolah. “Sama-sama, Pak,” sahut Bapak Kepala Sekolah. Papa Bella kemudian memanggil anaknya yang masih duduk di sofa ruang Kepala Sekolah. Bella bangkit dan berjalan menghampiri Papanya yang telah berdiri bersama Bapak Kepala Sekolah di tengah ruangan. “Pamit dulu dengan Bapak Kepala Sekolah, Bel,” perintah papa Bella kepada anaknya. Bella mengangguk kemudian mencium tangan Bapak Kepala Sekolah. “Selamat jalan, Bella. Semoga kamu cepat beradaptasi di sekolah yang baru,” ujar Bapak Kepala Sekolah, memandang Bella. “Amiin,” sahut Bella, mengamini. “Terima kasih untuk satu tahun terakhir ini, Pak. Semoga sekolah ini semakin maju dan melahirkan siswa-siswi berprestasi,” lanjutnya menambahkan. “Amiin.”   oOo   Setelah berpamitan, Bella dan Papanya meninggalkan ruang Kepala Sekolah. Hari ini Bella secara resmi telah keluar dari sekolah yang menjadi tempatnya menimba ilmu selama satu tahun terakhir ini. Dia sudah berpamitan dengan teman-teman satu kelas sebelum pergi ke ruang Kepala Sekolah. Bella akan pindah ke kota Palembang bersama kedua orang tuanya. Papa Bella yang merupakan seorang pegawai BUMN dipindah tugaskan ke kota yang terkenal dengan makanan khas pempek terebut. Bella dan Papanya terus berjalan menuju ke tempat parkir di mana mobil sang Papa berada. Koridor sekolah sudah mulai sepi karena bel masuk telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Hanya tinggal beberapa murid saja yang masih berada di luar kelas. Tiba-tiba .... “Bella.” Panggilan seseorang menghentikan langkah Bella dan Papanya. Mereka berdua menoleh dan melihat seorang siswi berlari menghampiri mereka. “Salsa,” ucap Bella, memanggil nama siswi yang merupakan teman sekelasnya. “Papa tunggu di mobil, Bel,” ujar papa Bella, memberikan waktu pada anaknya untuk berbicara dengan Salsa. “Iya, Pa,” sahut Bella, menganggukkan kepala. Papa Bella menepuk pundak anak gadisnya itu sebelum melanjutkan langkah menuju ke tempat parkir. Salsa berhenti di hadapan Bella. “Syukurlah kamu belum pergi, Bel,” ujarnya dengan napas terengah-engah karena lelah berlari. Salsa menghirup oksigen berulang kali untuk mengatur napasnya. “Ada apa, Sa?” tanya Bella, menatap Salsa ingin tahu. “Kamu benar akan pindah ke Palembang, Bel? Kenapa?” tanya Salsa, memandang Bella yang sudah menjadi sahabatnya selama di sekolah ini. “Iya, Sa. Papaku dipindah tugaskan ke Palembang, jadi keluargaku akan pindah ke sana,” jelas Bella. “Berarti kita nggak akan bertemu lagi, Bel?” tanya Salsa dengan raut wajah sedih. “Jika Tuhan mengizinkan, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi, Sa,” kata Bella, tersenyum menenangkan. “Aku pasti akan merindukan kamu, Bel,” kata Salsa dengan mata berkaca-kaca. Dia maju satu langkah mendekati Bella, lalu memeluknya dengan erat. “Jangan lupakan aku, ya, Bel,” pinta Salsa, berbisik di dekat telinga Bella. Suaranya sudah berubah menjadi serak karena menahan tangis. Bella mengangguk, membalas pelukan Salsa. “Aku nggak akan melupakanmu, Sa. Kamu sahabat terbaikku,” ucapnya meneteskan air mata yang sejak tadi telah ia tahan. “Aku juga pasti akan merindukanmu, Sa.” Mereka berpelukan selama beberapa saat. Bella kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap Salsa. “Udah ah jangan nangis, Sa. Malu kalau sampai dilihat siswa lain,” ujarnya menghapus air mata yang telah membasahi wajah Salsa. “Kamu juga nangis, Bel,” balas Salsa, menghapus cairan bening di pipi Bella juga. Mereka berdua tertawa bersama menyadari kekonyolan masing-masing. “Nanti sering-sering telepon aku, ya, Bel,” pesan Salsa setelah menghentikan tawanya. “Iya, Sa,” sahut Bella, menganggukkan kepala. “Ya sudah ... aku pergi dulu, ya, Sa. Titip salam buat teman-teman yang lain,” lanjutnya berpamitan. “Baiklah. Hati-hati di jalan, Bel,” ujar Salsa, tersenyum untuk melepas kepergian sang sahabat. “Iya. Sampai jumpa lagi, Sa,” ujar Bella, melambaikan tangan kepada Salsa. Salsa membalas lambaian tangan Bella. Bella kembali berjalan untuk menyusul Papanya yang telah menunggu di tempat parkir. Namun, langkahnya kembali terhenti saat melihat sekumpulan siswa yang sedang bermain di lapangan basket. Sorot matanya tertuju pada seorang laki-laki yang sedang bermain basket Salsa yang masih berdiri di tempatnya ikut melihat ke arah pandangan Bella. “Kamu nggak ingin berpamitan dengannya, Bel?” tanya Salsa, mengerti arti tatapan Bella. Bella mengalihkan pandangan lalu menggeleng. “Enggak, Sa. Tolong sampaikan maafku padanya, ya,” ucap Bella, menatap Salsa sendu. “Baiklah,” ujar Salsa, mengangguk mengiakan. Laki-laki itu bernama Rendra. Dia siswa kelas XII di sekolah ini. Rendra pernah membantu Bella saat acara camping sekolah. Hubungan mereka menjadi dekat sejak saat itu. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di sekolah. Rendra merupakan sosok laki-laki yang baik dan lembut. Bella sangat senang saat berada di dekat Rendra. Namun, belakangan ini hubungan mereka merenggang. Rendra menjauhi Bella setelah mengetahui perasaan yang dipendam Bella untuknya. Ya, Bella mencintai Rendra. Kelembutan dan perhatian Rendra menumbuhkan benih cinta di hati Bella untuk Rendra. Bella mencoba memendam perasaan itu. Namun, entah bagaimana teman-teman di sekolahnya mengetahui hal ini. Berita tentang Bella yang mencintai Rendra tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Bella dan Rendra menjadi bahan perbincangan di sekolah selama berhari-hari. Bella merasa tak enak hati pada Rendra. Dia ingin menjelaskan hal yang terjadi, tapi Rendra selalu menghindar seakan tak mau bertemu dengannya. “Aku pergi dulu, Sa,” ucap Bella, berpamitan kembali. “Iya, Bel,” balas Salsa, menganggukkan kepala. Bella memandang Rendra sekali lagi, lalu melanjutkan langkah meninggalkan koridor sekolah. Setetes air mata jatuh dari kedua sudut mata Bella. Dia menyesal hubungannya dan Rendra harus berakhir dengan buruk seperti ini. Jika bisa mengembalikan waktu, Bella tidak ingin Rendra mengetahui perasaannya. Biar cinta ini ia pendam untuk selamanya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Bella tak bisa mengembalikan waktu dan keadaan yang telah terjadi di hidupnya. Kini, Bella hanya bisa pergi membawa kenangan indah yang pernah ia ukir bersama Rendra di sekolah ini.   oOo   Rendra menghentikan aktivitasnya mendribel bola basket saat menangkap sosok Bella yang berjalan di koridor sekolah. Dia memandang kepergian Bella menuju ke tempat parkir sekolah. “Gue dengar Bella pindah sekolah, Ren,” ucap sebuah suara dari sebelah kanan samping Rendra. Rendra menoleh. Dia melihat Doni, sahabatnya, juga tengah memandang Bella yang berjalan semakin jauh. “Gue dengar saat lewat di depan kelas X tadi. Teman-temannya membicarakan Bella yang tiba-tiba pindah sekolah,” kata Doni, mengalihkan pandangan dan menatap Rendra. Rendra terdiam. Dia cukup terkejut mendengar kabar kepindahan Bella yang terkesan mendadak. Namun, Rendra berusaha menutupinya di depan Doni. “Temui dia, Ren, atau lo akan menyesal seumur hidup lo,” saran Doni, menepuk pundak Rendra. Rendra menggelengkan kepala menolak saran dari Doni. “Lo benar-benar berubah, Ren,” ungkap Doni, memandang sahabatnya. Rendra tak menjawab. Dia memandang Bella yang sekarang sudah berada di tempat parkir bersama seorang laki-laki paruh baya yang baru pertama kali dilihatnya. Rendra menghela napas panjang, lalu berbalik untuk kembali bermain basket bersama teman-temannya. Doni memandang Rendra dengan sorot mata yang sulit diartikan.   oOo 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD