BAB 2

1302 Words
Dua tahun kemudian .... Bella kini mulai beranjak dewasa. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, cerdas dan juga mandiri. Namun, kenangan masa lalu telah mengubah sifat Bella menjadi pendiam dan tertutup. Sosoknya yang selalu ceria dan penuh tawa sekarang telah menghilang bersama kepergiannya ke Palembang. Setelah pindah dari Jakarta, Bella melanjutkan sekolah SMA di Palembang. Tak butuh waktu lama bagi Bella untuk menyesuaikan diri di sekolah barunya. Dengan cepat dia mempunyai banyak teman baru. Selama bersekolah di Palembang, Bella menjadi salah satu siswi berprestasi di sekolah. Saat ini, Bella telah lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Dia masuk ke dalam peringkat sepuluh besar di sekolah. Bella menangis haru saat kedua orang tuanya memeluk ia di hari kelulusan. Mereka begitu bangga dan sangat bahagia dengan prestasi anak mereka. Bella memutuskan melanjutkan kuliah di kota Bandung. Dia diterima di salah satu universitas ternama di kota kembang itu. Bella akan satu kampus dengan Fika, sahabatnya di Palembang. Mereka berdua akan mengambil jurusan yang sama yaitu Manajemen Bisnis. Selama di Bandung, Bella akan tinggal bersama adik Mamanya, Tante Rina dan Om Rizal. Orang tua Bella tetap di Palembang, karena sang Papa masih dinas di sana. Walau terasa berat melepas anak semata wayang mereka, tapi orang tua Bella tetap mengizinkan anak mereka merantau untuk mengejar cita-citanya. oOo Hari ini adalah hari pertama Bella masuk kuliah. Dia dan Fika berangkat bersama ke kampus. Mereka berdua tampak antusias karena sekarang telah menjadi mahasiswa. Bella dan Fika berjalan di sepanjang koridor kampus sambil menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan keadaan di sekitar mereka. Suasana kampus tampak ramai pada pagi hari ini. “Aw ....” Bella menjerit saat tak sengaja menabrak seseorang. Dia memegang bahunya yang terasa sakit karena benturan itu. “Heh ... kalau jalan lihat-lihat dong,” hardik orang yang ditabrak oleh Bella dengan keras. “Maaf. Aku nggak se ... ngaja,” ucapan Bella memelan ketika melihat orang yang berdiri di hadapannya. Bella telah menabrak seorang perempuan yang sedang bergandengan tangan dengan seorang laki-laki. Dia mengerjapkan mata berulang kali untuk memastikan penglihatannya tidak salah. ‘Kak Rendra,’ batin Bella, menatap laki-laki yang sangat dikenalnya. Rendra juga sedang menatap Bella dengan sorot mata yang sulit diartikan. Bella tidak menyangka akan bertemu Rendra di tempat ini. Sejak pindah ke Palembang, dia tidak pernah mendengar kabar tentang Rendra. Komunikasi Bella dengan Salsa hanya seputar kabar dan kegiatan mereka masing-masing. Salsa tidak pernah menyebut nama Rendra, begitu pun dengan Bella yang tidak pernah bertanya tentang laki-laki yang masih menempati singgasana hatinya hingga saat ini. “Bel, kamu nggak apa-apa?” tanya Fika, menyentuh bahu Bella. Bella tersadar dari keterpakuannya, lalu menoleh ke arah Fika. “Aku nggak apa-apa, Fik,” ujar Bella, tersenyum tipis. “Sekali lagi aku minta maaf, Kak. Aku benar-benar nggak sengaja. Kami sedang buru-buru tadi,” lanjutnya memandang perempuan yang berdiri di sebelah Rendra. “Makanya kalau berangkat kuliah itu pagi-pagi. Kalian mahasiswa baru, kan?” tanya perempuan itu, memandang Bella dan Fika, bergantian. “Iya, Kak,” jawab Bella, menganggukkan kepala. “Sekali lagi aku minta maaf.” “Oke. Kali ini gue maafkan. Tapi, awas kalau lo mengulanginya lagi,” kata perempuan itu, menunjuk Bella. “Iya. Terima kasih, Kak,” ucap Bella, menundukkan kepala. “Ayo, Sayang. Kita pergi,” ajak perempuan itu, menoleh ke arah Rendra yang sejak tadi hanya diam saja memperhatikan mereka. “Iya,” sahut Rendra, menganggukkan kepala. Rendra dan perempuan itu berjalan meninggalkan Bella dan Fika yang masih berdiri di tempatnya. Bella memandang kepergian mereka berdua dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak mendengar panggilan ‘sayang’ yang diucapkan oleh perempuan itu kepada Rendra. Bella juga merasa sakit hati karena Rendra bersikap seolah tidak mengenalnya. “Bel, kamu yakin enggak apa-apa?” tanya Fika, memandang Bella dengan raut wajah khawatir. “Iya. Aku enggak apa-apa, Fik. Aku hanya terkejut tadi,” jawab Bella, berbohong. ‘Maafkan aku, Fik. Tapi, aku nggak sanggup jika harus bercerita kepada kamu,’ kata Bella dalam hati. Bella tidak pernah bercerita kepada Fika tentang Rendra dan masa lalu mereka. Dia ingin melupakan Rendra dan semua kenangan tentangnya. Namun, hingga kini Bella tidak bisa melakukan hal itu. Selama di Palembang, bayangan wajah Rendra selalu menghantui pikiran Bella, bahkan terkadang muncul di dalam mimpinya. Rasa cinta Bella untuk Rendra tidak pernah pudar walau jarak dan waktu telah memisahkan mereka. Bertahun-tahun Bella memendam rasa cintanya untuk Rendra. Namun sekarang, dia harus mengubur dalam-dalam rasa cinta itu karena Rendra sudah memiliki seorang kekasih. Bella menghembuskan napas panjang untuk meredakan rasa sesak di dadanya, kemudian tersenyum menatap Fika “Ayo kita jalan lagi Fik,” ajaknya yang diangguki oleh Fika. Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke aula, tempat para mahasiswa baru berkumpul. oOo Rendra berjalan menyusuri koridor kampus bersama perempuan yang tadi bertabrakan dengan Bella. Perempuan ini bernama Viona. Dia merupakan kekasih Rendra yang sudah dipacarinya selama satu tahun belakangan ini. Viona memiliki paras yang cantik dengan lesung pipit yang terdapat di pipi sebelah kanan. Tubuhnya yang tinggi dan berkulit putih menambah kecantikan dalam diri Viona. Rendra dan Viona dijuluki sebagai pasangan fenomenal di kampus ini. Ketampanan Rendra dan kecantikan Viona membuat mereka diidolakan oleh teman-teman kampus mereka sendiri. Rendra dan Viona berjalan menuju ke ruang BEM yang terletak di sebelah kanan bangunan kampus. Mereka berdua merupakan panitia OSPEK yang akan dilaksanakan di kampus ini selama tiga hari ke depan. “Hai, Bro. Baru datang lo?” tanya seorang laki-laki yang duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja panjang di ruang BEM. Nama Yoga terpasang di bagian d**a sebelah kanan pada jas berwarna abu-abu yang digunakannya. “Iya,” sahut Rendra, mendudukkan diri di salah satu kursi yang masih kosong, sementara Viona duduk di sebelahnya. Rendra menyandarkan tubuh pada punggung kursi di belakangnya. Rendra mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ruang BEM belum terlalu ramai saat ini. Hanya ada beberapa orang yang tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. “Anak-anak yang lain pada ke mana, Ga?” tanya Rendra, menatap Yoga. “Sebagian belum datang, sebagian lagi sedang sibuk mempersiapkan acara OSPEK yang akan dimulai sebentar lagi,” ujar Yoga, memberi tahu. Rendra mengangguk, mengerti. Dia tidak memiliki tugas khusus pada acara OSPEK tahun ini. Rendra menjabat sebagai wakil ketua BEM dan tugasnya hanya untuk mengawasi acara OSPEK agar berjalan dengan lancar dan sesuai dengan peraturan di kampus ini. Pikiran Rendra mulai berkelana. Dia teringat dengan sosok perempuan yang tidak sengaja bertabrakan dengan Viona di koridor kampus tadi. Rendra sangat terkejut ketika mengenali sosok perempuan itu. Walaupun bertahun-tahun telah berlalu, tapi Rendra masih mengingat dengan jelas sosok perempuan yang pernah mengisi hari-harinya pada zaman SMA dulu. ‘Aku nggak menyangka akan bertemu kamu lagi, Bel,’ kata Rendra dalam hati. Rendra bisa melihat keterkejutan di wajah Bella saat memandangnya. Sama seperti Rendra, sepertinya Bella tidak menyangka kalau mereka akan bertemu lagi. Sudah dua tahun sejak terakhir kali Rendra melihat Bella di hari terakhirnya bersekolah di SMA yang sama dengannya. Rendra tidak pernah bertemu ataupun mendengar kabar tentang Bella lagi sejak hari itu. Rendra ingin menyapa Bella. Namun, lidahnya terasa kelu untuk berbicara. Dia bahkan membiarkan Viona memarahi Bella di depannya. “Sayang ....” Viona mengguncang lengan Rendra. “Ah ya.” Lamunan Rendra tentang Bella langsung buyar. Dia mengerjapkan mata, lalu menoleh menatap Viona yang duduk di sampingnya. “Kenapa, Yang?” “Kamu tuh yang kenapa, dari tadi aku panggil-panggil tapi kamu nggak dengar,” kata Viona dengan raut wajah cemberut. “Oh ... maaf, Sayang,” ujar Rendra, merasa bersalah. “Ada apa kamu panggil aku?” tanyanya dengan suara selembut mungkin. “Sudahlah ... lupakan saja,” sahut Viona, terlihat kesal. “Ayo kita ke lapangan. Acara OSPEK sebentar lagi akan dimulai,” ajaknya kemudian. “Iya.” Rendra bangkit dari kursi. Dia berjalan mengikuti Viona yang menarik tangannya agar bergegas ke lapangan. Sebagian besar teman-teman mereka sudah meninggalkan ruang BEM. Bahkan Yoga juga sudah pergi tanpa Rendra sadari. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD