Should I Thank You / Part 02

2392 Words
Should I Thank You? Part 1 *** 5 tahun kemudian. Ava memasuki toko miliknya dengan senyuman. Semua karyawannya mengangguk menyapanya sopan. Sejak dua tahun yang lalu, Ava menjalankan dua tokonya. Toko kue dan toko bunga. Hari ini, Ava memasuki toko kuenya terlebih dahulu. Sebenarnya, mau toko yang mana dulu tidak masalah. Toh tokonya terletak bersebelahan. Toko ini adalah pemberian suaminya. Rasya yang tahu bakat Ava dalam membuat kue dan kesukaan Ava pada bunga membuat Rasya memberi Ava penawaran. Namun Ava yang memang menyukai keduanya pun meminta keduanya. Dan dengan senang hati, Rasya menyanggupinya. Dan Rasya sengaja membangun tokonya bersebelahan agar Ava tidak merasa repot untuk menjalankannya. Ava berhenti di depan salah satu pegawainya. "Rina. Saya ada di ruangan jika nanti ada yang mencari saya," ucap Ava. Pegawai Ava yang bernama Rina itu mengangguk sembari berkata, "Baik, Mbak." Dengan segera Ava berlalu. Menyelesaikan laporan penjualan kedua tokonya. *** Suara ketukan pintu membuat Ava mengalihkan pandangannya dari laptopnya. Rina sudah berdiri di ambang pintu ketika Ava menoleh. "Ada apa Rina?" tanya Ava. "Ada dua orang wanita mencari mbak Ava di depan." Ava mengangguk dengan senyuman. Ava tahu, mereka pasti temannya. "Baiklah. Buatkan mereka minuman dan berikan beberapa kue." "Baik, Mbak." Ava membereskan laptopnya dan segera menemui teman-temannya. Di sana. Duduk dua wanita cantik dengan minuman di depan mereka. Satu dengan tubuh langsingnya, dan satu lagi seorang wanita dengan perut buncitnya. Mereka adalah teman-teman Ava sejak di bangku SMA. Persahabatan mereka terjalin dengan baik hingga sekarang. Meski salah satu dari mereka masih berstatus lajang, setiap seminggu sekali, mereka akan bertemu untuk melepas rindu. Dan selalu toko Ava lah tempat mereka bertemu. Selain tempatnya yang nyaman, pastinya Ava akan memberi kudapan gratis untuk menemani obrolan mereka. "Hai." Ava menyapa keduanya. Dua orang wanita berdiri untuk memberi pelukan pada Ava. Tatapan Prilly tertuju pada wanita yang berperut buncit. Tangannya terulur untuk membelainya. "Udah berapa bulan, Res?" "Udah 7 bulan." "Wah, bentar lagi dong." Resti mengangguk. "Dan Lo, gimana? Udah isi?" tanya Clara teman Ava satunya. Senyum manis Ava kini berubah menjadi senyum getir. Clara dan Resti pun mengerti akan tatapan itu. Keduanya sama-sama memegang pundak Ava dan mengelusnya pelan. "Lo yang sabar, ya. Doa dan usahanya digiatin lagi," ucap Resti menenangkan. Ya. Ava memang belum mempunyai anak meskipun usia pernikahannya sudah menginjak 5 tahun. Ini merupakan salah satu alasannya ia mau menjalankan ke dua tokonya. Selain karena menghilangkan rasa sepi saat ia berada di rumahnya sendirian, dia juga menghindari ibu mertuanya. Tak jarang Desi ibu mertua Ava datang mengunjunginya. Bukan karena merindukan menantu, tapi selalu melontarkan kata-kata pedas untuk Ava. Ava yang tidak becus jadi istri, atau Ava yang mandul. Wanita mana yang tidak akan merasa sakit jika mendapatkan kata-kata seperti itu. Untunglah Ava Masih menyadari siapa Desi. "Kalo lo, Cla? Kapan nyusul kita?" Clara yang mendapat pertanyaan hanya menggeleng. "Kenapa sih, Cla? Tunggu apa lagi coba?" "Gue belum siap," ucap Clara. "Pacar lo itu serius sama lo. Dia itu udah tajir, tampan, perhatian. Kurang apa lagi coba? Di embat orang baru tahu rasa Lo." Resti mencoba menakut-nakuti Clara. "Ish. Doa lo, Res." Ava dan Resti mengalihkan pembicaraan. Tak ingin lebih dalam membahas Clara yang belum juga mau menikah di usianya yang saat ini bisa di bilang sudah matang. Mereka tahu, alasan di balik semua itu ialah, Clara yang belum juga berhasil sepenuhnya untuk melupakan cinta pertanya. Yang Ava dan Resti tidak ketahui adalah, Siapa sebenarnya Cinta pertama Clara hingga Clara tidak bisa melupakannya. *** Brak!! Suara map yang telah dibanting di atas meja menggema di ruangan persegi itu. Pelaku yang tak lain Rasya itu menatap bawahannya dengan tatapan amarahnya. "Apa yang sebenarnya kamu kerjakan dari tadi!!" bentak Rasya. "Mengerjakan laporan begini saja kamu tidak becus!!" Rasya menunjuk karyawannya. "Kerjakan lagi!!" usir Rasya. Karyawan itu pun segera berlalu dari ruangan bosnya yang sudah terlihat marah besar. Rasya menghempaskan tubuhnya pada kursi di belakangnya. Memijit keningnya akibat kepalanya yang terasa berdenyut. Rasya menghela napas dalam saat melihat tumpukan berkas-berkas di depannya. Hari ini begitu banyak masalah yang harus ia kendalikan. Belum lagi salah satu karyawannya yang telah mengerjakan laporan dengan salah. Menambah rasa pusing pada kepala Rasya. Suara deringan ponselnya membuat ia mengalihkan pandangannya. Di lihatnya nama sang Mama yang tertera di layar ponselnya. Segera lah ia angkat agar Mamanya itu tidak naik darah. "Ya Ma." Rasya mendengarkan dengan baik apa yang Mamanya ucapkan. "Iya. Rasya dan Ava besok pasti datang." Rasya mengakhiri panggilannya setelah pembicaraannya dan sang Mama telah selesai. Kembali berkutat dengan pekerjaannya agar ia dapat dengan segera menyelesaikannya. *** Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dengan hanya menggunakan lingerie tipisnya, Ava memutuskan menunggu kedatangan suaminya di ruang keluarga dengan membaca majalah fashionnya. Ava tidak perlu merasa khawatir akan penampilannya saat ini. Karena tidak ada orang lain di rumah ini selain dirinya dan juga satpam yang menjaga di depan rumahnya. Pembantu Ava akan datang saat subuh tiba, dan akan pulang saat menjelang magrib. Jadi, Ava tidak merasa khawatir akan ada seseorang yang melihatnya hanya menggunakan lingerie nya. Suara mobil yang memasuki pekarangan rumahnya mengambi alih atensinya. Segera lah Ava bangkit karena ia mengenali suara mobil itu adalah milik suaminya. Saat membuka pintu utama, Ava melihat Rasya yang sudah berjalan ke arahnya. Tentu saja dengan wajah lelahnya. Baju yang dikenakannya tak serapi saat berangkat. Lengan yang digulung hingga siku. Baju yang keluar dari celana bahannya. Dua kancing teratas yang tak lagi tersematkan. "Capek?" tanya Ava sembari mengambil alih tas kerja suaminya. Rasya mengangguk dan segera meraih pinggang Ava. Mendaratkan satu kecupan sayang di kening Ava. "Kamu lapar?" tanya Ava kemudian. "Ya." "Baiklah. Mandilah dulu. Akan aku siapkan makan malammu." Saat Ava ingin berbalik, pinggangnya masih di tahan oleh suaminya. "Kenapa?" "Laparku bukan kenyang dengan makan malam sayang." Ava menaikkan kedua alisnya. Rasya yang melihat itu segera mendekatkan wajahnya pada ceruk leher Ava. Memberikan kecupan singkat dan sapuan nafas hangat yang membuat Ava meremang. Ok. Ava mengerti. "Mandilah dulu. Aku siapkan s**u hangat untukmu." "Tidak," cegah Rasya, "kopi sayang. Buatkan aku kopi." Kening Ava melipat. "Kopi? Tumben sekali?" "Ya. Karena aku ingin begadang malam ini." Ava tersenyum dengan menggigit bibir bawahnya. Tentu saja gerakan itu terlihat begitu sensual bagi Rasya. "Lagian, aku sudah mempunyai dua stok di sini." Rasya berucap dengan mencolek d**a sintal milik Ava. Segera lah Ava mendorong Rasya agar ia terbebas dari rayuan suaminya. Ava meninggalkan Rasya dengan senyuman menggodanya. Membuat Rasya semakin b*******h dibuatnya. *** Ava memasuki kamar bertepatan dengan Rasya yang keluar dari kamar mandi. Tubuh Rasya yang hanya dibaluti handuk sebatas pinggang, menampakkan d**a bidangnya. Belum lagi adanya tetesan air dari rambutnya pada tubuhnya menambah kesan sexy bagi Ava. Dengan tatapan tak terputusnya, Ava menghampiri Rasya. Rasya yang melihat itu tersenyum menyeringai. "Kopiku?" tanya Rasya dan Ava mengangguk. Rasya meneguk sedikit kopi yang dibawa oleh Ava. Setelahnya, ia meletakkan kopi yang masih tersisa banyak itu pada nakas di samping keduanya. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Rasya meraih pinggang Ava. Membuat tangan Ava mendarat pada bahu Rasya. "Kopinya manis." Jari Rasya menelusuri wajah Ava. Membuat Ava menutup mata dan membuka sedikit bibirnya. Tangan Rasya sampai pada bibir Ava. "Tapi aku yakin. Bibir ini jauh lebih manis. Dan bibir ini, adalah milikku. Katakan sayang. Katakan. Katakan bahwa bibir ini hanya milikku," ucap Rasya menuntut. "Yah. Semuanya, milikmu." Rasya menjatuhkan bibirnya pada bibir Ava. Menyatukannya dalam tarian indah silat lidah. Memperdalamnya hingga mereka terbuai. Hingga handuk dan lingerine telah tercecer di lantai. Meninggalkan dua tubuh hangat di atas pendaratan awan. Memadu inti yang menyatu. Menulis syair lagu nan merdu. Menari dalam tarian indah. Pergerakan dalam ritme yang seirama. Suara-suara lantunan pencapaian kemenangan tercipta. Menghiasi pekatnya malam dalam hawa yang telah berubah menjadi panas. *** Tubuh tegap dengan rahang kokohnya setia duduk di kursi kebanggaannya. Mata tajamnya tak lepas dari pemandangan kota London dari balik kaca transparan ruang kerjanya. Ruangan hampa yang menemaninya selama lima tahun terakhir ini. Ruangan yang menurutnya hampa tanpa ada senyuman wanita cantik yang ia cintai. Suara pintu terbuka menandakan adanya seseorang yang datang. Tanpa ingin merepotkan dirinya, ia tetap menatap lurus apa yang ia lihat sedari tadi. "Tuan. Tiket kepulangan Anda sudah ada." Senyum smirknya terbit dari bibirnya. Senyum yang selalu dapat membuat semua wanita bertekuk lutut di bawah kakinya. "Persiapkan semuanya," titahnya tanpa bantahan. Seseorang yang sebelumnya memasuki ruangannya kini kembali mengundurkan diri. Mempersiapkan apa yang sudah dititahkan padanya. Dalam keheningan, pemuda itu kembali mengembangkan senyumnya. Mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian lima tahun yang lalu. Kejadian yang membuatnya tak akan melupakannya untuk seumur hidupnya. Kejadian dimana menandakan bahwa ialah pemenangnya. Kejadian yang menandakan bahwa ialah pemilik segalanya. Pemilik sepenuhnya. Pemilik seutuhnya. Malam itu. Di malam acara kebahagiaan dua orang. Di malam kesedihan dan kesakitan dirinya. Ia, memutuskan untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri. Dengan sedikit keegoisan dan bantuan dari temannya. Malam itu, ia melangkah menghampiri seorang wanita. "Bagaimana?" tanyanya pada seorang wanita di hadapannya. "Sudah tuan," jawab wanita itu. "Bagus." Ia meraih sebuah amplop coklat yang ada dalam saku kemejanya. Menyerahkan amplop itu pada wanita di hadapannya. Dengan satu kibasan tangannya, wanita itu pun berlalu dari hadapannya. Ia berjalan ke arah pintu di hadapannya. Mengetuknya tanpa ada rasa takut dalam dirinya. Ia menunggu tidak terlalu lama untuk pintu itu terbuka. Seorang wanita cantik menyambutnya dari balik pintu. Sudut bibirnya terangkat kala wanita di hadapannya ini menabrakkan tubuh mereka. Belum lagi bibir keduanya ya telah menyatu dengan sempurna. Saling mencecap dan membelit dengan begitu lihainya. Laki-laki itu tak tinggal diam. Ia segera meraih tubuh wanita di hadapannya. Melingkarkan kakinya pada pinggang kokohnya. Membawa masuk pada kamar yang pemiliknya kini sedang sibuk dengan aktivitasnya. Hanya dengan satu kakinya, laki-laki itu menutup pintunya, tanpa mau repot-repot menguncinya. Tak peduli jika nanti akan ada seseorang yang melihatnya. Tubuh sintal dalam dekapannya ia baringkan di atas ranjang. Menumpu tubuhnya agar tak membebani tubuh di bawahnya. Silat lidah yang dilakukan keduanya, tidak ada tanda-tandanya akan berhenti. Yang ada kini, decapan itu semakin dalam. Semakin menggelora. Semakin membawa gelenyar aneh yang meminta untuk dibebaskan. Udara dingin mulai terasa semakin panas. Sesuatu yang terkungkung ingin terbebas. Tangan kekar itu mulai menjalar. Bergerak lihai di atas tubuh halus bak porselen. Menyusuri setiap lekukan lembut nan halus. Memberi tarian-tarian penggugah hasrat. Hingga seutas tali kecil didapat, ia turunkan dengan perlahan. Dua tali pada pundak telah terlepas. Membebaskan mereka yang terlihat mencuat. Tautan bibir kini terlepas secara tak rela. Mulai mengarah pada sesuatu yang terlihat menunggu. Tatapan tajam itu tak pernah lepas pada gundukan kenyal nan sintal. Menatap takjub akan sesuatu yang ia puja. "So beautiful," gumam laki-laki itu. Segera lah ia mendekati mereka. Menjulurkan lidahnya untuk menggapai sesuatu yang mencuat merah muda. "Shhh." Desisan itu membuatnya melirik ke atas. Melihat sekilas wajah perempuan yang terlihat tak berdaya. Menggigit bibirnya seolah menyalurkan apa yang ia rasa. Laki-laki itu mulai berkarya. Menciptakan lukisan-lukisan dengan warna merah keunguan yang mendominasinya. Tarikan yang dilakukan bibirnya, lagi-lagi membuat wanita di bawahnya mendesis. Dapat ia lihat mulut wanita itu yang terbuka. Sungguh pemandangan yang indah baginya. Sejenak ia menghentikan aktivitasnya. Ingin melihat wajah cantik wanita yang ia puja. Namun, gerakannya itu membuat sang wanita merasa kehilangan. "Ayolah Rasya," racaunya. Membuat lelaki itu menjadi tak suka akan ucapan wanita yang ada dikungkungannya. "No honey. Not Rasya. Call me, Kafka." Jangan tanyakan lagi siapa mereka. Tentulah Kafka dan Ava. Kafka yang dengan rasa cinta butanya, tak Peduli status apa yang dimiliki oleh Ava. Rasa penasaran ava tak dapat tertuang. Kata tanya yang ingin ia ucapkan terkalahkan dengan teriakannya yang tiba-tiba menggema. Teriakan yang tercipta kala ia merasakan elusan pada pusat inti tubuhnya. Ia hanya mampu mengangkat dagunya. Menggigit bibir bawahnya untuk menyalurkan perasaan melayang yang baru ia rasakan. "Mmm." Hingga sapuan yang ia rasa telah berganti dengan tekanan. Yang memaksa. Hingga ia merasakan benda asing yang memasukinya. Rasa pening mulai menyiksanya kala benda itu mulai bergerak. Mengaduk. Mengoyak lembah kehangatannya. Belum lagi rangsangan yang ia rasa pada telinga dan sekitar tulang belikannya. Membuat ia semakin mendongak dan memejamkan matanya. Sungguh, perasaan yang menyiksa namun nikmat. Hingga gerakan yang ia rasa di bawah sana mulai menjadi cepat, sesuatu dalam dirinya seolah mendorongnya untuk bebas. Tangannya mulai meremas seprei di sisi tubuhnya. Dadanya turut melengkung di sana. "Yahh." Hingga teriakan itu ia utarakan. Menandakan sesuatu telah terbebas dari dirinya. Nafasnya yang menderu membuat dadanya naik turun dengan gerakan yang begitu indah. Hingga kepalanya kembali terasa berdenyut kala ia merasakan Kecupan-kecupan hangat mulai berjalan di atas tubuhnya. Kafka, mulai menjalankan aksinya kembali. Memberi lukisan-lukisan indah pada d**a sintal. Berjalan ke bawah hingga pada perut rata. Berhenti sebentar di aata pusar untuk memberikan sapuan angin hangat. Kafka kembali menjalankan ciumannya menuruni perut. Menuju pada paha dalam. Hingga Ava merasakan angin hangat di depan intinya. Ava baru saja ingin menarik dirinya, namun Kafka menahannya. Kafka menekukkan kaki Ava. Menahannya dengan kedua tangannya. Hingga lidah Kafka terjulur untuk menyentuh dinding luar pusat Ava. Kafka merasakan Ava yang mulai menegang. Namun Kafka tak menghentikan aktivitasnya. Lidah Kafka mulai bekerja. Menjelajah setiap apa yang bisa lidahnya jangkau. Menekan-nekannya sedikit untuk memberikan rangsangan pada Ava. Di sela-sela kegiatannya, mata Kafka melirik Ava yang tengah memejamkan mata. Wajah mendongak, bibir terbuka, kentara sekali Jika Ava tengah menikmatinya. Hingga Kafka merasakan kaki Ava yang mulai menegang. Ibu jari kaki Ava pun mulai tertekuk. Kafka semakin menjadi. Memainkan lembah hangat dengan lidahnya. Hingga dinding itu terasa berkedut. Kafka tahu, Ava akan mendapatkannya kembali. Lidah Kafka semakin berani. Dengan dua jarinya, Kafka membuka lipatan merah muda itu. Memperdalam jelajahan lidahnya. Menyentuh setiap titik. Memberi pancingan pada setitik biji kacang. "Iya." Pinggul Ava terangkat. Bebas sudah sesuatu yang memaksa keluar sedari tadi. Masih dengan nafas tersengalnya, Ava mulai kehilangan rasa peningnya. "Manis," ucap Kafka tepat di hadapan wajah Ava. "Ssshh." Di saat yang sama pula, Kafka telah memosisikan kepemilikannya pada inti Ava. Menekannya untuk memberi jalan pada tonggaknya. "Sakit," desis Ava dengan suara lemahnya. Namun, Kafka masih bisa mendengarnya. Tangan Kafka membelai wajah Ava. Menikmati keindahan yang ingin ia miliki. "Sabar sayang. Sebentar. Sakitnya hanya sebentar." Kafka mendaratkan ciumannya pada Ava bersamaan pinggulnya yang mengentak dengan keras. Gerakan pemutusan untuk menerobos penghalang satu-satunya. Gerakan tiba-tiba Kafka membuat Ava memekik. Memekik tertahan oleh ciumannya. Namun, Kafka harus merelakan bibirnya yang tergigit oleh Ava. Gigitan kecil yang mengalirkan darah dari bibir Kafka. Sakit? Sakitnya tidak seberapa dengan apa yang dirasakan Ava. Itulah menurut Kafka. Dua aliran darah dari jalan berbeda. Sama-sama mengalir tanda persatuan. Tanda kepemilikan. Mulai saat ini, Ava, adalah milik Kafka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD