Should I thank you?
Chap 4
**
Kafka memasang wajah datarnya. Tidak ada yang tahu bahwa dalam hatinya ia mengabsen seluruh nama binatang yang ada dan mengumpat sejadi jadinya atas keadaanya saat ini.
Bagaimana tidak? Saat ia masih bergelung nyaman di atas ranjang milik sang teman akibat rasa lelah karena olahraganya semalam, mamanya tiba-tiba saja menghubunginya dan memaksanya untuk mendatangi suatu alamat. Alamat milik seseorang yang mampu membuat Kafka ingin melenyapkan seseorang jika saja membunuh itu di legalkan di negara ini.
Dan di sinilah saat ini. Duduk berdua dengan wanita yang tak sama sekali ia inginkan. "Kau ingin memesan apa, Kaf?" Suara Zizi yang di buat terkesan sexi dan manja mengalun di telinga Kafka. Suara yang malah terdengar menjijikkan di telinga Kafka.
Masih dengan muka datar dan tatapan jengah, Kafka berucap tanpa ekspresi, "Coffee," jawabnya singkat dan jelas.
"Hanya itu?"
"Hm," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia genggam.
"Kamu lihat apa sih, Kaf? Kayaknya ponsel kamu lebih menarik dari pada aku." Setelah pelayan restoran berlalu dari hadapan keduanya, suara Zizi yang masih di buat-buat terdengar kembali. Wanita yang selalu di gandrungkan Baginda ratu untuk menjadi calon istrinya. Oh ayolah. Jika saja mamanya tidak memecahkan gendang telinganya pagi tadi, mungkin Kafka sekarang masih bisa bersenang-senang.
Tanpa menjawab pertanyaan Zizi, Kafka terus mengfokuskan pandangannya dari ponsel miliknya. Tak ada niatan sedikit pun menghiraukan keberadaan perempuan di hadapannya. Hal itu berhasil membuat Zizi merasa geram akan sikap Kafka. Sebenarnya, apa yang saat ini Kafka lakukan dengan ponselnya?
"Kaf, aku di sini loh, Kaf." Merasa jengah, Kafka pun mengalihkan pandangannya. Saat itu pula lah Kafka menampilkan senyum menawannya. Senyum tulusnya yang tak dibuat-buatnya. Yang mampu membuat Zizi turut menampakkan senyum termanisnya karena merasa berhasil menarik perhatian Kafka.
Akan tetapi, jika Zizi berpikir Kafka tengah tersenyum kepadanya, Zizi telah salah sangka. Suatu pemandangan indah yang tak sengaja Kafka lihat di luar restoran yang membuat senyumnya terukir. Hmn, sepertinya, Kafka harus mencari cara agar ia bisa terlepas dari hal ini.
Tak lama, pelayan telah datang membawakan pesanan mereka. Tanpa ingin membuang waktu, Kafka mulai menikmati apa yang telah ia pesan. Satu dua tegukan. Kafka mulai ingin menjalankannya.
"Aku akan ke toilet sebentar," ucap Kafka masih tanpa ekspresi.
"Silakan, tapi jangan lama-lama." Kembali. Tanpa ada jawaban dan kata, Kafka pergi meninggalkan Zizi begitu saja. Dengan senyum kemenangannya, Kafka berjalan dengan gagahnya menuju ke arah toilet.
Ahh, salah. Sebelum ia mencapai pintu pembeda itu, Kafka membelokkan langkahnya menuju ke arah dapur. Menghadang langkah seseorang yang beberapa saat lalu mengantarkan pesanan ke meja miliknya. Si pelayan yang mendapatkan halangan dari langkahnya, hanya dapat menatap diam penuh kekaguman pada sosok tinggi tegap yang ada di depannya.
"Ekhem." Kafka berdehem untuk menyadarkan pelayan yang hanya diam menatapnya tanpa kata. Dan itu berhasil. Dengan rona merah di pipinya, pelayan itu menundukkan wajahnya menahan malu. Membuat Kafka menatapnya jengah. Oh, salahkah Kafka yang mempunyai wajah rupawan? Yang membuat semua wanita menjadi salah tingkah saat berada di dekatnya? Bukannya senang, kafka malah mendesah frustrasi. Semua wanita selalu seperti itu. Tapi kenapa hal itu tak terjadi pada wanitanya? Wanita yang menjadi ratu hatinya? Wanita yang menjadi tambatan hatinya. Siapa lagi kalau bukan Ava?
Atau, karismanya akan luntur jika hanya di hadapan Ava? Ah sudahlah. Kafka kembali ke permasalahan semula. Melihat si pelayan yang masih menunduk, Kafka mau tidak mau harus mengeluarkan suara emasnya kembali. Membuat si pelayan mendongakkan kepalanya.
"Eh, Tu—tu—tuan. Apa yang Tuan laku—kan di sini? Ini bukan tempat umum," ucap si pelayan dengan terbata saat melihat keberadaan Kafka di area yang memang privasi bagi restoran tempatnya bekerja.
"Aku membutuhkan bantuanmu," ucap Kafka dengan wajah datarnya yang masih terlihat tampan. Mendengar penuturan dari lelaki di hadapannya, pelayan itu hanya mampu mengerjapkan matanya beberapa kali. Lagi-lagi membuat Kafka berdecak malas.
"Bisa tunjukan padaku pintu belakang? Aku ingin kabur dari wanita yang tidak aku cintai." Kafka menunjuk ke arah Zizi. Segera lah pelayan itu mengangguk dan menunjukkan jalan pada Kafka.
Kafka merasa lega setelah ia keluar dari restoran. “Ini.” Kafka memberikan beberapa lembar uang pada pelayan itu.
"I—ini apa, Tuan?" tanyanya dengan perasaan takut.
"Ini untuk membayar pesanan tadi." Pelayan itu hanya mampu memandang uang yang kini ada di tangannya.
"Ini terlalu banyak tuan."
“Anggap saja tips untukmu.” Pelayan itu mengangguk.
“Terima kasih, Tuan.” Segeralah ia menuju ke mobilnya untukmendapatkan pemandangan indah yang sempat ia lihat saat ia masih berada di dalam restoran sebelumnya. Untunlah, Kafka memarkirkan mobilnya pada tempat yang jauh dari pandangan Zizi. Dengan begitu, ia bisa pergi dari Zizi tanpa harus di ketahui wanita itu.
Masalah mamanya? Ah. Biarlah. Itu urusan nanti. Saat ini, urusan hatilah yang utama.
***
Suara pena yang ia pukulkan kemeja menemaninya yang sedang sendiri. Sembari menopang dagunya, sesekali ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya dan menghela nafas kasar.
Hampir satu jam ia duduk di salah satu tempat duduk restoran yang memang sebelumnya telah di reserfasi. Akan tetapi, keterlambatan seseorang yang telah membuat janji dengannya membuat ia merasa tidak di hargai. Ok. Rasa sabarnya telah habis. 10 menit lagi yang ia tunggu tak kunjung juga datang, ia akan mengakhiri segalanya.
Ia memutuskan untuk menunggunya kembali. Kembali menunggu. Dan ya. 10 menit telah usai. Mengakhiri untuk melihat jam tangannya kembali, ia kembali menghela nafas. "Ok. Aku lelah. Sebaiknya aku pulang. Tidak profesional sekali," gerutunya dengan mulai meletakkan beberapa lembar uang sebagai pembayaran minuman yang sempat ia minum.
Baru saja ia ingin berdiri. Suara halus menghentikan kegiatannya. "Maaf saya terlambat," ucap suara itu. Saat ia melihat si pemilik suara, lagi-lagi ia merasa terkejut.
"Kamu?"
***
"Tasya? Kamu ngapain di sini?" tanya Rasya saat melihat keberadaan Tasya.
"Aku mau ketemu klien bos aku. Tadi tiba-tiba aja bos aku ada keperluan mendadak. Jadi, aku harus gantiin dia," jelas Tasya.
"Bos kamu?" Rasya tampak berpikir. "Eh, duduk dulu, Sya. Nggak enak kalau ngobrol sambil berdiri," ujar Rasya seraya menarik satu buah kursi untuk Tasya.
"Bos kamu Pak Rudi?" tanya Rasya kembali.
"Iya,” jawab Tasya dengan senyuman. Sesaat kemudian, mata Tasya membulat sempurna. "Apa jangan-jangan, kamu kliennya Pak Rudi?" Tanyanya dengan menunjuk ke arah Rasya.
Rasya mengangguk. "Ya ampun. Maaf sekali Pak Rasya. Karena urusan Pak Rudi yang mendadak, pertemuannya jadi terlambat. Maaf sudah membuat Anda menunggu,” ucap Tasya dengan rasa bersalah.
Akan tetapi, lain hal dengan Rasya. Ia berdecak mendengar panggilan Tasya padanya. "Sudahlah. Kita bicara santai saja. Jangan terlalu formal. Panggil aku seperti biasa saja. Jangan pakai embel-embel Bapak segala."
"Tapi—"
"Sudah. Lebih baik kita bicarakan yang memang harus kita bicarakan." Tasya mengangguk. Keduanya pun mulai membicarakan urusan pekerjaan yang harus diwakili oleh Tasya.
***
Setelah acara buntut-membuntuti telah ia lakukan sedari tadi, di sinilah Kafka saat ini. Di depan sebuah toko yang baru saja di masuki oleh wanita cantiknya. Hingga tak peduli adanya wanita lain yang saat ini juga tengah menunggunya di tempat lain. Yang penting, wanita yang baru saja ia buntuti. Merasa rindu tak pernah habis singgah di hatinya, tanpa ragu pun Kafka turut memasuki toko itu.
Satu langkah kaki Kafka memasuki toko, Aroma wangi kue menyeruak di penciumannya. Membuat Kafka merasa penasaran akan cita rasa yang didapatkan dari kue dengan harum sewangi ini. Hampir saja Kafka tergoda akan rasa penasarannya terhadap kue yang dihasilkan toko yang baru saja ia masuki, akan tetapi keberadaan wanita cantik yang tengah berbicara dengan seorang pelayan menyadarkan Ali akan tujuannya ia datang ke tempat ini.
Dengan memasang wajah tampannya, meskipun kenyataannya Kafka selalu terlihat menawan. Kafka berjalan untuk mendekati wanita itu. Mengulurkan tangannya untuk menepuk pundak wanita yang saat ini sudah berada di hadapannya.
Dua tepukan pelan pada pundak itu mampu mengalihkan atensi di wanita. Dapat Kafka lihat wajah terkejut itu saat melihat dirinya. Begitu lucu bagi Kafka.
"Kafka,” panggil wanita itu dengan senyumnya.
"Hai,” sapa Kafka dengan usapan lembut pada pipi wanita itu.
"Kamu kok di sini?" Untuk sesaat, Kafka merasa bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Tidak mungkinkan Kafka akan mengatakan kalau ia sedari tadi sudah membuntuti wanita ini?
"Ini toko kue, Va. Siapa aja bisa ada di sini." Jawaban yang cukup logis bukan?
"Ah. Iya juga, ya?" jawab wanita yang tak lain adalah Ava.
"Sekarang, aku yang bertanya. Sedang apa kamu di sini?" tanya Ava.
"Suka-suka aku dong. Ini kan toko kue aku," jawab Ava sombong dengan menyedekapkan ke dua tangannya.
"Really?" Ava mengangguk pasti. Setelahnya, keduanya memecahkan tawa mereka. Tak peduli beberapa orang dan beberapa pelayan toko Ava memandang mereka aneh.
"Kamu tahu? Saat aku baru saja memasuki toko ini, aroma kuenya sudah mengundangku. Jadi, bolehkah aku mendapatkan satu buah roti gratis dari toko ini?”
Ava memiringkan kepalanya dan berkacak pinggang di hadapan Kafka. "Kalau tahu kamu akan memalakku dengan meminta gratisan kue, aku tidak akan memberi tahumu kalau toko ini adalah milikku," ucapnya dengan ekspresi wajah yang merasa jengkel.
"Ah. Ternyata perubahan statusmu dari wanita menjadi istri juga merubah sifatmu padaku ya? Kau ...," tunjuk Kafka pada hidung Ava, "berubah menjadi sangat pelit."
Dengan pelan Ava menggeser jari Kafka dari hidungnya. "Maaf. Saya bukannya pelit. Hanya berusaha menjaga toko kue saya dari kebangkrutan akibat ulah orang-orang seperti Anda, Tuan," ucap Ava dengan santainya. Sesaat setelah mengucapkan itu, tidak ada suara lagi yang keluar dari keduanya.
Hingga beberapa detik kemudian, keduanya sama-sama tertawa menyikapi kelakuan konyol mereka. Seperti biasa, Kafka selalu reflek mencubit hidung Ava dan mengusap kepala Ava. Dan dengan manjanya, Ava melabuhkan pelukannya pada Kafka. Siapa pun yang melihat kelakuan mereka saat ini, pasti akan menyadari betapa dekatnya keduanya.
Ava menuntun Kafka untuk duduk di salah satu meja. "Baiklah. Hari ini aku akan memberikan kue hasil tokoku ini secara gratis. Mau pilih yang mana?" tanya Ava dengan memberikan buku berisikan beberapa gambar kue yang ada di tokonya.
Sembari mengelus dagunya, Kafka tampak berpikir dengan melihat-lihat gambar kue yang terlihat menggiurkan di matanya. "Saya minta setiap kue satu, ya?"
Senyum yang sebelumnya terpatri di wajah Ava, kini berubah menjadi dengusan. Sembari berkacak pinggang, Ava menatap Kafka dengan tajam. "Kamu beneran mau bikin toko aku bangkrut?" Sontak saja ucapan Ava membuat Kafka tergelak. Melihat itu, Ava semakin memberengut kesal. Ok. Ava benar-benar merasa kesal.
Saat melihat raut wajah Ava yang telah berubah, Kafka mulai mengatur reda tawanya. Satu tangan Kafka terulur untuk menangkup satu pipi chubby Ava dan mengelusnya lembut. "Sorry baby. Just kidding. Ok?" ucap Kafka dengan kelembutan. "Aku tak perlu memesannya. Aku yakin kamu tahu apa yang aku suka."
Ava tersenyum. "Tunggulah sebentar." Ava pun berlalu. Ahh, sikap itu. Selalu berhasil membuat Kafka semakin jatuh hati pada sosok Ava. Meski ia tahu, apa yang ia rasa dan lakukan memang salah.
***
Dengan gerakan pelan, Rasya membuka pintu yang ada di depannya. Ia memasukkan sedikit kepalanya untuk mengintip keadaan ruangan yang akan ia masuki. Terlihat Ava dengan kaca mata yang bertengger manis di hidungnya tengah mengamati layar di hadapannya dengan serius.
Dengan gerakan pelan, Rasya mulai mendekati Ava. Berusaha untuk tidak diketahui keberadaannya.
Berhasil.
Kini Rasya telah berada tepat di belakang Ava. Dengan senyum kemenangan, Rasya memeluk tubuh mungil istrinya. Menumpukkan kepalanya pada ceruk leher Ava. Menghirup dalam aroma yang terkuat dari tubuh indah di dekapannya. "Hello my wife."
Ava tersenyum dan menengok sedikit ke arah wajah Rasya. Kecupan kilat Ava daratkan pada pipi Rasya. "Kok cuma di situ?” Pertanyaan Rasya membuat Ava melipat keningnya.
"Di sini juga dong sayang," tunjuk Rasya pada bibirnya. Tanpa ragu pun Ava memberikannya. Namun sayang, niatan ciuman kilat itu berubah menjadi lumatan kala Rasya menahan tengkuk Ava. Memperdalam ciuman mereka. Saat Ava tak lagi mampu untuk mengatur napasnya, barulah Rasya melepaskan bibir tipis itu.
"Curang," ucap Ava manja dengan mencubit perut Rasya. "Kok kamu di sini?” tanyanya dengan senyuman manisnya.
"Salah kalau aku ingin menemui istri tercintaku sendiri?"
"Gombal." Keduanya tertawa.
"Sayang. Aku bawakan makanan untuk kita makan siang." Rasya mengangkat kantong plastik yang ia bawa.
"Ahhh. So sweet." Ava mulai mengambil alih kantong plastik dari tangan suaminya, lalu mengambil beberapa piring untuk mereka makan.
Perlakuan sederhana dari Rasya inilah yang selalu berhasil membuat Ava jatuh lebih dalam pada Rasya. Perlakuan Rasya seolah menggambarkan kehidupan keduanya cukup bahagia hanya dengan kebersamaan mereka. Andai saja tuhan menitipkan buah hati di tengah-tengah mereka, tentulah kebahagiaan mereka akan bertambah.
"Aku langsung pulang, ya! Aku ingin istirahat," ucap Rasya saat keduanya telah menyelesaikan makan siang mereka.
"Ya ... Maaf. Aku nggak bisa pulang sekarang. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan," ucap Ava penuh sesal pada Rasya.
Tangan Rasya terulur untuk membelai sayang kepala Ava. "Nggak papa sayang. Aku tunggu kamu di rumah aja. Nunggu kamu dengan santai di atas tempat tidur kita." Kata-kata Rasya selalu menjurus pada hal-hal yang berbau ranjang. Sontak saja lagi-lagi ia harus mendapatkan cubitan dari Ava.
Untunglah mereka saat ini hanya berdua. "Kata-kata kamu selalu tidak jauh dari itu."
"Tapi kamu suka, kan?" Godaan Rasya mampu membuat Ava bersemu merah. Selalu, seperti itu.
"Sudahlah. Sana pulang!" usirnya dengan mendorong pelan tubuh Rasya. "Tunggu dulu sayang. Berilah aku kecupan sebelum pulang."
Ava memutar bola mata malas. Tapi tak ayal Ava selalu menurutinya. Karena ia pun suka dengan kelembutan bibir Rasya saat menari melumat bibirnya.
"Bay sayang. Aku tunggu kamu pulang di atas ranjang," ucap Rasya serak setelah melepas ciuman mereka. Tak ingin lepas kontrol dan mengganggu pekerjaan istrinya, Rasya pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Ava. Meninggalkan Ava yang masih tersenyum dengan memegang bibirnya yang baru saja dilumat oleh suaminya.
***
Rasya mengendarai mobilnya dengan senyum merekah. Keadaan cuaca yang menurunkan air asinnya membuat ia semakin bersemangat. Ahh, bahkan cuaca pun mendukung niatnya menunggu sang istri. Saat ini mungkin ia merasa kedinginan karena hujan yang turun. Membuatnya tak sabar untuk kedatangan sang istri.
Aduh Rasya. Masih lama. Bahkan dirimu saja belum sampai di rumah.
Saat asyik berkendara, ia menangkap dua sosok yang terlihat seperti sedang berseteru di seberang jalan. Seorang laki-laki dan perempuan. Rasya rasa, ia mengenal salah satunya. Saat ia memastikan pandangannya, Rasya pun yakin akan siapa yang ia lihat. Pandangan Rasya semakin membulat saat seseorang yang ia kenal mendapat perlakuan yang menurutnya kurang pantas.
Merasa apa yang ia lihat sudah keterlaluan, Rasya pun memberanikan diri untuk keluar dari mobilnya. Berlari menuju dua orang yang ia lihat sebelumnya. Saat sampai di dekat keduanya, tangan Rasya reflek menahan tangan sang lelaki yang baru saja terangkat seperti ingin melakukan hal yang sesaat lalu baru saja ia lakukan.
"Banci. Nggak malu Lo ngelakuin kekerasan pada wanita?" ucap Rasya keras di tengah guyuran hujan.
"Nggak usah ikut campur Lo!" ucap lelaki itu dengan marah. Perkelahian antara keduanya pun tak terelakkan. Beruntunglah Rasya yang lebih bisa mendominasi perkelahian itu. Hingga ia mampu membuat lelaki itu mundur.
"Kamu nggak papa, Sya?." Ya. Wanita tadi adalah Tasya. Dan laki-laki tadi adalah orang yang sama yang sebelumnya menjemput Tasya saat mereka selesai melakukan meeting.
Tasya hanya mampu menggelengkan kepalanya. "Aku antar kamu pulang." Rasya mulai menuntun Tasya yang tubuhnya mulai menggigil menuju mobilnya.
Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di aparttemen milik Tasya. Dengan pelan, Rasya pun menuntun kembali Tasya untuk sampai di aparttemennya yang berada di lantai 9. "Masuklah, Sya. Bajumu basah. Akan aku ambilkan baju ganti untukmu," ucap Tasya saat mereka berada di depan aparttemen milik Tasya.
"Baiklah," ucap Rasya yang mengikuti Tasya memasuki aparttemen itu. Dengan cekatan, Tasya mengambilkan baju ganti milik kakaknya untuk dipakai Rasya. Keduanya pun mulai mengganti baju basah mereka di tempat terpisah.
Saat Rasya keluar dari kamar gantinya, ia mendapati dua gelas teh hangat yang sudah terletak di atas meja.
Merasa tubuhnya memang kedinginan, Rasya pun meraih salah satu gelas itu dan mulai meminumnya. Atensi Rasya berubah saat ia mendengar suara langkah kaki seseorang. Terlihat Tasya yang berjalan mendekat kepadanya dengan sebuah kotak p3k di tangannya.
"Maaf ya, Sya. Gara-gara aku kamu jadi seperti ini,” ucap Tasya saat ia duduk di samping Rasya.
"Nggak papa. Aku nggak suka aja melihat laki-laki yang kasar sama wanita."
Tasya mulai membuka kotak p3k yang ia bawa. "Sini aku obati." Tasya mulai menyapukan kapas yang baru saja ia bubuhi dengan alkohol. Membersihkan luka Rasya yang terbentuk akibat ulah dari lelaki yang tak lain adalah kekasihnya.
Saat itulah pandangan keduanya bertemu. Rasya memang tak pernah memungkiri kecantikan dari Tasya. Pandangan Rasya jatuh pada sudut bibir Tasya yang terlihat memar. Tangannya terulur untuk menyentuh luka itu.
"Sshh." Rintih Tasya saat lukanya tersentuh oleh Rasya.
"Sakitkah?" Tanya Rasya saat melihat reaksi dari Tasya. Tasya pun hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Rasya.
Entah setan apa. Sesuatu keberanian itu muncul dari keduanya. Pandangan mata yang tiba-tiba terasa dalam membuat keduanya bak terhipnotis. Jarak mulai terkikis. Deru nafas mulai sama-sama terasa. Hingga kehangatan mulai benar-benar tercipta kala dua benda kenyal keduanya menyatu. Pergerakan pelan di lakukan untuk menghindari rasa sakit yang mungkin saja tercipta akibat luka yang sebelumnya ada. Saling memberi kekuatan dan kehangatan dalam kelembutan decapan dari derasnya hawa dingin hujan dari luar.