Tidak Lagi

1572 Words
“b******n itu masih hidup Dad, dan keberadaannya semakin sulit dilacak seiring waktu. Seharusnya kita memutuskan kepalanya sewaktu dia ada di tangan kita.” Suara Lussac begitu tajam dan berat. Sementara giginya bergesekan keras karena menahan amarah. Lussac masih sangat sayang adiknya, namun setelah belasan tahun berlalu pun, dia masih gagal melindungi Al yang semakin berubah seiring hari. Adiknya semakin tertutup, enggan untuk tertawa lagi dan hanya tersenyum dipaksakan saat seseorang mengajaknya bercanda. Al yang masih senang tertawa dan merajuk bukan Al yang sama sekarang. Pandangan matanya tetap kosong saat dia tertawa, dan senyuman seakan terpaksa saat ia harus tersenyum pada orang lain. Al berusaha terlihat baik saat keluarganya datang berkunjung, dan itu yang membuat semua orang lebih frustasi lagi. Perkataaa Ares terngiang kembali di kepala mereka. Trauma Al tidak akan membaik jika mereka membiarkannya begitu saja. Al semakin berubah, semakin menjauh dari Al mereka yang manis dan ceria. Di satu sisi dia masih Al yang sama, namun di sisi lain juga dia telah berubah banyak. Emosi Al tidak dapat ditebak siapa pun juga saat ini. Pagi ini mereka mendapat panggilan dari Steve lagi yang mengatakan bahwa Al kembali stress, menolak untuk melakukan apa pun sehingga Steve harus terus berada di sampingnya. Emosi Al yang semakin matang bukannya menyembuhkan traumanya, namun malah membuat Al semakin terpuruk mengingat kebodohannya di masa lalu. Al bahkan tertangkap beberapa kali melakukan self harm, sehingga pengawasan dari keluarganya semakin diperketat lagi sekarang. Bukan hanya Al yang tidak ingin berada terlalu jauh dengan Steve sekarang. Suaminya pun sama, enggan berpisah sedikitpun dari istrinya yang begitu dia sayangi. Gena memandang suaminya sayu. Tidak menyangka jika kehidupan anak bungsunya akan separah ini sekarang. “Aku telah meminta Hugo untuk melacak keberadaan tikus itu menggunakan koneksinya. Namun sulit, sampai sekarang Hugo pun masih belum mampu melacaknya,” dengus Brit kesal. “Kita tidak boleh membiarkan Al tahu akan hal ini. Hubungi Steve dan katakan padanya bahwa Al harus dalam pengawasannya selama 24 jam dimana setiap detiknya dia harus memastikan secara benar bahwa Al benar-benar aman. Jika perlu, tambahkan beberapa pengawal ahli namun jangan sampai Al tahu apa yang terjadi,” desis Lylo kesal. Tidak lagi, kali ini dia tidak akan gagal lagi. Semuanya mengangguk setuju. Gena telah menghubungi Steve untuk membicarakan keputusan mereka, sementara Al tengah tertidur tanpa mau melepas sedikit pun kehangatan dari suaminya. ***** “…..Ve.” “….. Nave.” “KAK NAVE!” Nave sontak menoleh saat Lican berteriak kesal di sampingnya. Nave sedari tadi melamun, memikirkan kesehatan papanya di rumah mereka. Nave hafal, sangat hafal bahwa papanya itu manja dan selalu dilindungi oleh keluarganya sejak lahir. Al sakit hari ini, dadnya tidak masuk kerja dan semua keluarganya malah berkumpul di kantor kakeknya. Ada yang tidak beres di sini, namun Nave tidak cukup mampu untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Mendadak Nave rindu pada papanya. Al mungkin manja, berisik, dan bukan ibu yang sempurna untuknya. Tapi Nave sungguh sangat menyayangi orang yang telah melahirkannya itu, apalagi saat tahu Al melahirkan di usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, hanya dua tahun lebih tua darinya sekarang. Nave sesekali mendengar teriakan Al dari kamar orang tuanya. Dan setiap kali Nave bertanya, Steve sang ayah hanya mengatakan bahwa Al mimpi buruk dan telah kembali tidur. Nave ingin percaya, namun hati kecilnya menegaskan bahwa ada sesuatu yang salah dalam keluarganya ini. “Kak Nave melamunkan apa?” Melihat wajah kusut sang kakak sepupu, Lican yang tadinya ingin merajuk mencoba memasang wajah simpatinya dan bertanya pada Nave. Nave tersenyum simpul, mengusak rambut Lican sampai bibir manis sepupunya maju hingga membentuk rajukan yang manis. “Aku melamunkan kapan kamu akan dewasa Lican. Sudahlah, tidak perlu kamu pikirkan,” ujar Nave pelan. Lican ingin bertanya kembali, namun perhatiannya teralih saat suara yang begitu dia kenal menggelitik kupingnya pelan. “Lican tidak akan kuijinkan dewasa Nave. Dia akan selalu menjadi Baby manis kesayanganku.” Lussac dengan cekatan mengangkat tubuh anaknya lalu dia letakan di atas pahanya. Bibirnya bergerak mengecup sekilas bibir Vaye yang melotot malu. “Paman, apa ada masalah di perusahaan?” tanya Nave langsung. Pikirannya masih penuh dengan bayangan ibunya yang kini berada di rumah kini. Lussac menggeleng pasti, mengusak pelan rambut Nave layaknya dulu dia mengusak rambut Al. “Tidak ada masalah, anak kecil. Kamu tidak perlu khawatir.” Walaupun bedanya, wajah pria muda di depannya ini hanya datar atau sebaik-baiknya, minim ekspresi saat Lussac melakukannya. “Lalu kenapa kalian berkumpul hari ini?” desak Nave lagi. Dia curiga pada keluarganya. Bukan dalam arti negatif, Nave hanya khawatir pada keluarganya. Mereka pasti masih senang menganggap Nave anak kecil sehingga enggan membagi masalah keluarga kepadanya. Oh ayolah, Nave menjabat sebagai kepala marketing di perusahaan besar di umurnya yang baru enam belas tahun. Dia bukan anak kecil lagi. Bukannya menjawab, Lussac malah tertawa pelan. Matanya teralihkan pada Lican yang asik memandangi wajahnya dengan matanya yang bulat menggemaskan. “Memangnya keluarga tidak boleh berkumpul bersama Nave? Kamu terlalu kaku, belajarlah untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain Nave, kamu membutuhkannya,” nasihat Lussac lalu beberapa saat kemudian, bangkit sambil menggandeng tangan istri dan anaknya. “Paman harus kembali ke perusahaan. Katakan padaku jika kamu butuh sesuatu Nave,” ujarnya singkat lalu melangkah pergi. Nave terkadang bingung. Papanya selalu mengatakan bahwa keluarga Tritas dulu sangat mengekangnya dan selalu mengawasinya bahkan setelah Nave berusia seperti sekarang. Itu memang benar, kedua keluarga itu begitu menyayangi Al dengan sepenuh cinta, namun keanehan demi keanehan terasa semakin nyata saja setiap harinya. Setiap kali Al sakit, tidak ada satupun keluarga yang akan menjenguk atau Nave yang diijinkan menemui Al di ruangannya. Orang tuanya akan mengurung diri untuk sementara waktu, dan keluar sehari atau dua hari kemudian. Nave pikir itu biasa, namun setelah dewasa, dia tahu ada sesuatu yang sangat aneh di sini. Sakit apa sebenarnya papanya? Ke mana keluarganya saat sang Papa sangat membutuhkan mereka? Nave sudah tidak minat lagi memakan sarapan yang hanya tersentuh sedikit didepannya. Dia melangkah pergi, menuju kantornya untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Mungkin dengan begitu, Nave bisa sedikit menyisihkan pikiran buruk itu. ***** “Ada apa?” Lylo menoleh pada wajah datar matenya. Walaupun dari luar terlihat sangat datar, tapi sekarang Lylo dapat melihat gurat kekhawatiran yang tergambar dari matanya. Lion memang sudah terbiasa memadang wajah datar, walaupun hatinya sudah terbuka dengan lebar terimakasih karena Lylo yang selalu ada disamping pria itu. “Al. b******n itu masih hidup sementara adikku kini ketakutan dirumahnya sendiri.” Lylo mengusap kasar wajahnya, kesal dan bingung dengan apa yang seharusnya dia perbuat. Lion paham dengan maslaahnya dan menepuk punggung matenya lembut. Lion tidak begitu mahir untuk menghibur seseorang, namun otaknya masih berfungsi dengan benar untuk membaca buku 'bagaimana cara menyenangkan mate mu'. “Tuan Muda Al pasti baik-baik saja. Apa aku juga harus mengawalnya? Kamu bisa pastikan Tuan Muda aman jika aku yang menjaganya,” tawar Lion polos, tidak sadar bahwa mata mate nya setengah menggelap lalu membawanya masuk ke kamar mereka. “Tidak. Kamu hanya mate ku sekarang. Tidak ada lagi pembunuhan, tidak ada lagi senjata, kita memiliki keluarga untuk dilindungi Lion,” tegas Lylo mutlak. Lion yang sadar akan kemarahan matenya hanya tertawa kecil saat bibirnya menginvasi bibir Lylo secara tiba-tiba. Tangan Lylo mengalung di lehernya, menimbulkan bunyi kecipak di kamar sepi itu. Sepi, sebelum gadis bermuka datar masuk dan memandang keduanya dengan mimik wajah yang sama datarnya. “Papa, aku butuh Mama untuk membantuku memakai seragam aneh ini,” pinta gadis tersebut sambil menyodorkan rok hitam selutut yang tampaknya sangat jijik untuk ia pakai. Felix, anak Lylo memang terkenal sekali akan ketomboyannya. Gadis tersebut menolak untuk memakai rok, atau dibelikan boneka, atau diberikan hadiah seperti perempuan pada umumnya. Namun karena situasi darurat, tugas sekolah, maka Felix mau tidak mau harus menggunakan seragam laknat itu sebelum nilainya dikurangi. Felix adalah tipe anak yang sangat perfectsionist, sehingga rasanya harga dirinya akan jatuh jika menolak sebuah peran drama penting hanya karena enggan memakai rok. Lylo salah tingkah lalu dengan cepat merapihkan pakaiannya. “A,ah, begitu? Di mana adikmu memangnya Sayang?” tanya Lylo setengah mati mencoba untuk menyembunyikan kegugupannya. Felix mendengus lemah. “Xile tidak memberiku ide yang baik. Wajahnya malah terlihat seperti orang kebingungan. Dia mana mengerti hal-hal semacam ini,” adu Felix kesal. Lylo tertawa kecil melihat tingkah anak kembarnya, mereka seperti pasangan yang imut dengan kepribadian mereka. Felix, anak perempuan Alpha sekaligus kakak kembar dari Xile memiliki sifat dingin dan benci menunjukan statusnya yang seorang perempuan. Sementara adik kembarnya, yang pasti seorang Omega, Xile malah malah terlahir sebagai Omega yang manja dan polos akan sesuatu. Perbedaan seperti ini jarang terjadi, apalagi dalam kasus mereka, si perempuanlah yang menjadi seorang dominan. Lylo mengusak rambut anaknya lembut. “Sesuatu seperti ini, kau tidak perlu ragu untuk menanyakannya pada Mama. Kau kan tetap seorang perempuan Sayang...” nasihat Lylo lembut. “Aku...... tahu.... Karena itulah aku ingin minta pendapat Mama saja,” gumam Felix rendah. Ya, memang dibalik setiap bahasa ketomboyannya, Lion dan Lylo tahu bahwa anak perempuannya itu memang sangat menyayangi Xile adik kembarnya. “Baiklah. Ayo kita bantu masalahmu. Lion, aku akan menemani anak-anak dulu sebentar ya?” Lion mengangguk. “Aku akan menyusulmu nanti,” balasnya singkat sambil mengambil sesuatu dari lacinya. Lylo mengangguk lalu pergi keluar dari kamar besar tersebut, meninggalkan Lion yang memandang kosong jendela di kamarnya sebari mulai menyalakan rokoknya. “Tidak lagi membunuh ya? Lalu bagaimana kamu akan melindungi adikmu sekarang ini, Lylo?” gumam Lion pelan saat selesai menghembuskan asap dari mulutnya dengan ringan. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD