Keluarga

1220 Words
“Keva, di mana Dad dan Papa?” Nave baru saja pulang saat melihat rumahnya masih sama seperti tadi pagi, sepi sekali. Keva sebagai kepala pelayan disana membuka sopan mantel yang Nave gunakan, sebelum menjawab dengan suara rendahnya. “Tuan dan Nyonya masih berada di kamarnya sejak tadi pagi, Tuan Muda,” jawabnya singkat. Nave naik ke atas tanpa mengatakan apa pun lagi, mengetuk pelan pintu kamar orang tuanya sampai tubuh gagah Steve terlihat dan memandang Nave terkejut sebelum mempersilahkannya untuk masuk. Wajah anaknya yang kusut pasti terjadi karena Nave mengkhawatirkan ibunya sejak tadi berangkat bekerja. Al sudah tertidur dan baik-baik saja sekarang, bukan masalah jika anaknya menjenguk saat ini. Mata Nave terpaku pada tubuh Al yang tertidur nyenyak di bawah balutan selimut tebal. Papanya tidak lagi merintih, atau menjerit seperti hari-hari sebelumnya. Nave usap keringat di kening Al lembut, tersenyum lega saat tahu Al baik-baik saja untuk saat ini. “Tadi di kantor Kakek semua keluarga kita berkumpul Dad,” ujar Nave memulai pembicaraan. Nave sudah menebak bahwa dadnya tidak akan terkejut, dan itu benar-benar terjadi. “Apa ini ada hubungannya dengan Papa, Dad?” tanya Nave. Steve tidak berniat menjawab, hanya menghela nafas berat lalu naik ke atas ranjang untuk mengecup pelan kening Al. “Papa sebenarnya sakit apa Dad?” desak Nave lagi. Anak itu tidak akan terima jika dadnya kembali mengabaikannya lagi hari ini. Semua study nya, semua kedewasaannya, Nave lakukan itu semua demi keluarganya. Dia tidak akan senang jika dia terus diperlakukan sebagai anak kecil lagi disini. “Papamu ba-” “Papa tidak baik-baik saja Dad! Keluarga kita tidak akan menjadi baik-baik saja jika Dad terus menyembunyikan segalanya dari anak Dad sendiri!” Tanpa sadar Nave malah meninggikan suaranya, menyebabkan tubuh Al tersentak pelan dan mulai menangis dalam tidurnya. Tubuhnya setengah sadar, mencari Steve untuk mendapatkan kehangatan dan rasa nyaman disana. “Mereka datang Steve...... Hiks, mereka akan datang...” lirih Al pelan. Nave mendengarnya dengan jelas sekarang. Papanya ketakutan karena alasan yang tidak jelas, dan ini bukan masalah sepele mengetahui bahwa keluarga Tritas dan Lebora tidak akan mudah disentuh oleh orang lain selama turun-temurun. “Steve....” Al meremas baju tidur Steve kuat, menyalurkan rasa takut yang menggerogotinya beberapa tahun ini. “Sshhh.... Tidak akan ada yang datang Baby... Tidurlah, aku di sini denganmu,” bisik Steve lembut berulang-ulang sampai Al kembali tertidur. Nave melihat semuanya, akhirnya melihat semuanya dengan mata dan kepalanya sendiri. Steve memandang tajam Nave saat tahu anaknya masih berdiri di sana. Namun bukan Alpha dominan namanya jika dia mudah terancam oleh Alpha lain. Nave memandang Steve untuk penjelasan, dan Steve juga masih cukup keras kepala untuk memegang janjinya kepada Al untuk merahasiakan semuanya dari anak mereka Nave. Menarik nafas perlahan, Steve mengeluarkan wibawanya sebagai seorang ayah. “Tidurlah Nave. Kamu pasti lelah setelah bekerja seharian ini.” Lagi. Dadnya tidak mau mengatakan apa pun dan mengusir Nave seperti dia masihlah anak berumur lima tahun yang tidak mengerti apa pun. Nave ingin marah, namun urung takut jika saja papanya kembali bangun dan menangis seperti tadi. “Aku tidak akan berhenti sebelum tahu kebenarannya Dad,” ancam Nave pelan sambil berjalan keluar. Sebelum mencapai daun pintu, Nave menyempatkan diri untuk menatap tajam ayahnya lalu menutup pintu kamar itu dengan sepelan mungkin. Meninggalkan Steve yang terdiam di kamar sambil mengusap lembut rambut Al yang kembali tertidur lelap. Kembalilah Al, bantu aku menghadapi anakmu yang sudah dewasa itu, gumam Steve sambil mencium rambut pasangannya dengan penuh kasih sayang. ***** Pagi yang aneh lagi-lagi terjadi di masion Steve. Al kembali menjadi dirinya sendiri setelah mengurung di kamar bersama dengan Steve. Tingkahnya kembali manja, mengundang senyuman baik dari Steve maupun anaknya, Nave. “Al sayang....” “Tidak mau Steve! Aku tidak suka wortel sampai kapan pun!” rajuk Al manja. “Makanlah Papa.... Wortel bagus untuk kesehatanmu,” ujar Nave menimpali. Al mendegus pelan, membuang wajahnya dan menolak untuk menyentuh sarapannya lagi. Jadi sebenarnya disini siapa yang menjadi anaknya? “Nave kenapa minum kopi?” tanya Al polos saat melihat gelas anaknya kini diisi oleh kopi, berbeda dengan gelasnya yang terisi penuh oleh s**u kesukaannya. Sekali lagi. Siapa yang sebenarnya anak disini? “Aku lebih suka kopi Papa, jangan khawatirkan itu,” ujar Nave lembut. Al mencebik pelan pada Steve, merajuk sambil menarik-narik jas Steve pelan. “Ini semua karena Steve! Uuuu.... Nave harus memiliki kesamaan denganku Steve! Aku kan orang yang megandung dan melahirkannya…..” rajuk Al kesal. Nave anaknya itu seperti duplikat baru Steve, minus wajah seriusnya yang entah turun dari siapa tentunya. “Aku mirip denganmu Papa. Kita sama-sama senang menonton di waktu senggang,” bantah Nave sambil tersenyum kalem. Al tampak berfikir, lalu perlahan mengangguk senang lalu turun untuk memeluk tubuh anaknya yang cepat dewasa. “Nave anak Papa yang paling pengertian! Papa sayang Nave selamanya!” ungkap Al bahagia. Nave menyambut pelukan papanya hangat. Satu hal yang kedua Alpha itu tau, tidak ada satupun dari mereka yang senang membuang waktu. Nave senang menonton bukan karena tayangannya, namun wajah semangat sang papa yang begitu meneduhkan hatinya. Steve malas berkomentar saat ini, biarlah istrinya senang sebelum ia merajuk kembali. “Berangkat Sayang?” tanya Steve saat sarapan mereka bertiga telah selesai. Al mengangguk senang, mengapit lengan Steve erat lalu masuk ke dalam mobil dibarengi dengan Steve dan Nave. Dengan penuh perhatian Steve pakaikan sweater hangat di tubuh Al yang kecil lalu dia kecup perlahan kening putih s**u tersebut, tidak peduli anaknya melihat ataupun tidak. “Cuaca sedang dingin Sayang. Aku tidak mau kau demam di musim gugur kali ini,” nasihat Steve sambil merengkuh Al ke dalam pelukannya. Nave mengambil tangan Al lembut, memasangkan sarung tangan tebal kepunyaan Al lalu digenggamnya tangan ramping itu. “Tangan Papa dingin. Jangan keluar ruangan Dad nanti, Papa,” peringat Nave yang dibalas kikikan dari pria Omega tersebut. “Nave, Papa ini orang tuamu. Papa yang seharusnya merawatmu, Baby. Nave juga jangan sampai sakit ya,” pinta Al lembut sambil mengelus puncak kepala anaknya pelan. “Aku tidak akan sakit Papa. Dan aku tidak mau melihat Papa sakit.” Nave mengatakan itu dengan raut muka datarnya, membuat Al beralih dan menggosok pelan hidungnya pada hidung Nave. “Aiiihh.... Anak Papa manja huh? Berikan Papa ciumanmu.” Cup Nave mencium lembut pipi kemerahan Al. Al tersenyum senang, sementara Steve melotot kesal sambil menarik Al untuk duduk di pangkuannya. “Al, Nave bukan anak kecil lagi Sayang. Dia tidak bisa seenaknya menciummu,” dengus Steve tidak suka. Al menggeleng bingung, tidak mengerti sinyal kecemburuan yang ditunjukan oleh suami tampannya itu. “Sampai sekarang pun aku masih senang mencium pipi Daddy atau Mommy, Steve. Anak memang harus sering mencium pipi orang tuanya,” jelas Al serius, atau mungkin, terlihat manis dengan pipi yang sedikit dikembungkan. Steve mengalah. Istrinya ini akan sulit dibohongi saat sedang serius begini. “Ya,ya menciummu. Aku mengerti Al,” desah Steve lelah sambil menyembunyikan kepalanya di ceruk leher Al, menyebabkan pemuda itu tertawa kecil seraya mengelus kepala Steve penuh sayang. Terlepas dari mimpi buruknya, Al tetaplah Al miliknya yang seperti cahaya ditengah kegelapan. Dia telah berhasil menjadi Ibu yang baik, atau istri yang sempurna untuk suaminya. Nave memegang tangan papanya lembut, menyalurkan kehangatannya sementara matanya berubah serius memikirkan rahasia yang semua orang sembunyikan darinya. Termasuk tentang mimpi buruk papanya yang Nave dengar kemarin. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD