S

1256 Words
Yukhei mengerutkan dahinya dalam saat dia melihat pagar tinggi milik kediaman Centella Saka tertutup rapat. Matanya mengintip dari balik pagar dan menemukan pintu kayu itu tidak terbuka. Membiarkan rasa ingin tahunya bebas, Yukhei masuk ke dalam dan mulai melangkah melewati jalan taman yang cukup luas. Helen dan keluarganya memiliki banyak uang dan rumah yang mereka tempati tidak mencerminkan bagaimana uang itu sendiri. Yukhei berhenti tepat di depan pintu kayu berwarna cokelat keemasan yang tertutup rapat. Dahinya kembali berkerut karena merasakan perasaan yang tidak nyaman. Memilih untuk menekan bel, Yukhei diam menunggu dengan antisipasi. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan keluar dengan sebuah senyum ramah. Alis Yukhei terangkat naik melihat sosok asing yang tidak dikenalnya keluar dari rumah Saka, dia berdeham, menutupi rasa curiganya dan sebisa mungkin membalas senyum ramah pria itu. "Selamat siang. Bisakah aku bertemu dengan Centella Saka?" Pria itu masih memasang senyumnya hingga Yukhei tidak menaruh curiga padanya. Kemudian senyum itu pudar dan bibirnya membuka untuk berbicara. "Maafkan aku, tapi mereka tidak lagi tinggal disini." "Apa maksudmu?" "Mereka menjual rumah ini. Rumah ini kosong sudah satu minggu yang lalu," ucapnya dengan senyum ramah. "Aku tidak tahu kemana mereka pergi. Saat aku membelinya rumah ini sudah kosong dan mereka menjualnya melalui agen penjual rumah," lanjutnya. Kerutan di dahi Yukhei semakin dalam. Dia mencoba menyelidiki dari balik punggung pria itu dan tidak menemukan apa pun yang mencurigan. Menghela napas, Yukhei akhirnya menyerah. "Terima kasih kalau begitu. Maafkan aku mengganggu jam istirahatmu, Tuan," Yukhei berucap ramah dengan senyum tipisnya. Pria itu hanya mengangguk sopan dan kembali menutup pintunya saat Yukhei berjalan dengan rasa putus asa menuju mobilnya. Setelah pintu tertutup, pria berambut perak dengan kacamata itu menghubungi seseorang dari ponsel yang tersembunyi di saku celananya. Senyumnya mengembang saat dering pertama seseorang yang dihubunginya mengangkat dengan cepat. "Zou, aku sudah lakukan tugasmu. Semua seperti apa yang kauminta." Ada suara kekehan disana dan sambungan telepon mereka terputus. *** "Yukhei..." "Yukhei..." Helen bangun dari tidurnya dengan mata membelalak lebar. Dadanya bergemuruh ketika mengingat nama Rei Yukhei dan menemani mimpi malamnya yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Helen meremas seprainya dan memejamkan matanya. Tirai jendelanya tidak ditutup semalam hingga sinar matahari masuk ke dalam kamarnya. Menyinari kamarnya yang besar dengan cahayanya. Memberikan temaram sinarnya di bawah kakinya yang tertutup selimut. Helen menarik napas panjang, berjalan pelan menuju jendela kamarnya dan memandang lirih pada halaman belakang yang luas dan bunga-bunga bermekaran seolah mengejeknya. "Sialan," umpatnya. Mengingat bagaimana kejadian malam itu dan Helen tidak punya cara lain lagi selain berlari dan tidur di kamarnya. Berharap memori tentang penembakan itu tidak terjadi atau berharap dirinya terbangun dalam sebuah mimpi buruk. Tapi ternyata tidak. Semua memang benar-benar terjadi. Menarik napas panjang, Helen kembali duduk di ranjangnya. Merapikan selimutnya dan bersiap pergi ke kamar mandi sampai dia melihat pintu kamarnya terbuka dan sosok Ayame datang dengan membawa nampan berisi sarapan untuknya. Mata Helen menyipit tajam saat melihat lebam di wajah dan lengan gadis malang itu. Hatinya tiba-tiba merasa sakit dan perasaan bersalah menghantamnya keras. Seolah menamparnya kalau dirinya yang membuat Ayame terluka. "Selamat pagi, Nyonya," Ayame melangkah tertatih dengan langkah kaki seperti diseret menuju nakas samping ranjang Helen. Dia memberikan Helen senyum kecilnya. "Apa Anda baik-baik saja?" Helen menggeleng tegas. Dia mendekati Ayame dan gadis itu tampak mundur ketakutan. "Maafkan aku, Nyonya. Tetapi Tuan Levante melarangku untuk berdekatan dengan Anda atau ..." suara Ayame tercekat. Helen menatapnya dengan lirih menunggu sampai gadis itu menyelesaikan kalimatnya. "... aku akan mati." Mata Helen melebar sempurna. Ayame segera mengangguk sopan dan keluar dari ruangannya secepat mungkin. Menjauhi Helen seolah-olah dirinya adalah wabah penyakit berbahaya. Jika ada satu orang yang ingin Helen dekati, maka harus terjadi. Ayame akan menjadi temannya disini dan Helen tidak menyukai bagaimana pria b******k itu melarangnya untuk dekat dengannya. Menjambak rambutnya frustrasi, Helen melihat sekeliling kamarnya dan tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. Matanya menyipit tajam berharap menemukan sesuatu yang membuatnya tahu kalau dirinya sedang diawasi. Tetapi sayangnya dia gagal. Levante Zou bukanlah lawan yang sepadan untuknya. Helen menghentakkan kakinya kesal dan membawa nampan berisi roti gulung saus keju dengan s**u putih hangat keluar kamarnya. Helen menuruni tangga dengan langkah cepat dan pergi ke dapur. Menemukan Kenta berdiri agak jauh dari meja dengan wajah kaku dan pria berambut oranye yang menyeret Ayame kemarin malam dengan kasar. Helen berasumsi kalau pria berbadan besar itu yang menyakiti Ayame. Dan Levante Zou yang makan di mejanya dengan tenang seolah tidak terganggu dengan kedatangannya. Helen melangkah maju, tidak peduli bagaimana terkejutnya tatapan Kenta padanya karena datang dengan membawa nampan yang masih penuh berisi makanannya. Zou masih sibuk dengan rotinya dan tidak mempedulikan Helen yang mendekat ke tempat sampah untuk membuang makanan itu. "Jika kau mencoba untuk membuang makanan tak bersalah itu ... aku akan memaksamu mengambilnya dengan mulutmu sendiri." Langkah Helen terhenti saat suara dalam nan serak itu membuat bulu kuduknya meremang. Pegangan tangan Helen pada nampan biru itu mengerat. Dia melirik Kenta yang melemparkan tatapan iba padanya dan melirik pria berambut oranye yang melemparkan seringai sinisnya. Seolah-olah menertawai dirinya yang terpengaruh dengan ucapan pria itu. "Aku tidak mau makan," jawab Helen rendah. Dia yakin Zou mendengar ucapannya. Tetapi tidak membuat langkahnya terhenti. Helen masih mendengar pria itu memotong rotinya sampai akhirnya dia tidak mendengar apa pun dari belakang punggungnya. Helen menahan napasnya saat dia memutar tubuhnya dan menemukan Zou bersandar pada meja makannya dengan kemeja hitamnya yang dua kancingnya terbuka lebar dan rambut hitamnya yang basah karena sehabis mandi lalu ... tatapan pria itu yang dingin padanya. "Kau benar-benar tidak mau menurutiku?" suaranya bertambah dalam. Helen menaruh nampan itu di atas meja dengan kasar. Rasa frustrasi yang amat besar membuncah di dalam dadanya. "Ah, ya, tentu saja. Aku bisa saja tidak makan dalam tiga hari ke depan dan mati karena kelaparan. Kurasa kau akan senang mendapati mayatku di kamar nanti," jawabnya ketus. Helen tidak mempedulikan bagaimana rahang pria itu yang mengeras karena ucapannya. "Terima kasih atas kebaikanmu. Tapi aku benar-benar tidak ingin makan!" Helen melirik Ayame yang berdiri bergetar tidak jauh dari tempatnya. Wajahnya yang pucat bertambah pucat dan tubuh kecilnya yang lemah terlihat semakin rapuh. "Jika kau menentangku ..." Helen kembali menoleh hingga tatapan mereka bertemu. "Akan ada orang yang terluka, Helen. Entah itu Kenta, Ayame atau siapa pun nantinya karena dirimu. Aku sama sekali tidak berniat melukaimu," Zou mengangkat bahunya dengan tatapan mencemooh. "Nyawa mereka sama sekali tidak berharga jika menyangkut emosiku." Mata Helen melebar, dia siap berdebat dengan pria itu tetapi Kenta mendekat dan menutupi kedua matanya dengan sebuah kain hitam hingga pandangannya menggelap. Helen yang terkejut segera meronta tetapi Kenta dengan kekuatannya berhasil menahan tubuhnya agar tetap diam hingga ikatan tali itu selesai. Helen mengulurkan kedua tangannya untuk meraba-raba tempatnya saat ini. Zou menatapnya dalam diam, membuat seringai kecilnya muncul. "b******k kau!" umpat Helen. Kedua tangannya terulur untuk melepas tali itu tapi sayangnya tertahan karena ada tangan lain yang memegang tangannya dan membawanya kasar ke sebuah tempat yang dirinya tidak tahu dimana itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD