Helen merasakan ada rumput yang menggelitik kakinya dengan pelan. Dahinya berkerut saat menyadari ada angin berhembus pelan tetapi cukup membuatnya tersadar kalau dirinya saat ini ada diluar rumah. Helen menahan geramannya saat mendapati dirinya didorong paksa pada sebuah benda yang dia rasa adalah kayu tipis.
Tangan Helen dibiarkan bebas. Dia hendak membuka ikatannya tetapi suara Zou menahannya. "Tunggu sampai ini selesai dan kau boleh membuka matamu," ucapnya dingin. Helen meremas kedua tangannya dan diam menunggu apa yang pria itu lakukan.
Kenta menatap Helen yang berdiri kaku dan sedikit bergetar dengan tatapan mengiba. Dia menoleh pada Zou yang memutar-mutar pisau di tangannya dengan gerakan ahli dan ekspresi wajah datar seakan menjawab segalanya.
Kenta sedikit menyingkir saat dia melihat pria berambut oranye itu, Yuta, berdiri sedikit jauh dari Zou yang bersiap melempar pisau itu pada sebuah kayu tipis seukuran badan Helen di depannya dengan jarak sepuluh meter panjangnya.
"Tuan, kau, maksudku ... tidak akan melukainya, 'kan?"
Zou mengangkat bahunya setelah mendengus kecil. "Siapa yang tahu?"
SLAAAP!
Lemparan pertama berhasil. Pisau itu menancap tepat di samping telinga Helen dan sedikit berjarak agak jauh. Napas Helen terengah saat mendengar seperti lemparan benda itu dekat dengannya.
Ayame melebarkan matanya dari balik jendela dapur yang besar melihat bagaimana Helen berdiri bersandar pada sebuah kayu tipis yang berbentuk dirinya tetapi agak besar dengan Zou yang memegang pisau untuk dilemparkan ke arah kayu itu.
Tetapi jika mengenai Helen ...
Yuta mendekat dan membawakan sekotak pisau lagi pada Zou. Pria itu masih memilih pisaunya dalam diam dan mengambil satu dari koleksi pisaunya. Memainkannya sebentar sebelum akhirnya melemparkannya pada objek di depannya.
Helen menahan napasnya saat dia mendengar sesuatu dilempar dan hampir mengenai pergelangan tangannya. Dahinya berkerut dan kemudian dia jatuh terduduk, bergetar karena rasa takut itu semakin besar di dalam tubuhnya.
Helen menangis menyembunyikan wajahnya. Dia melepas tali yang menutupi matanya dan kedua matanya yang menggenang sukses melebar saat dia melihat dua pisau tajam menancap dalam di sebuah kayu dimana dirinya ada di sana...
Tatapan matanya menajam pada Zou yang kini tersenyum miring padanya. Helen kembali berdiri, berusaha menopang dirinya sendiri dengan kaki bergetar.
"Terkutuk kau!" umpatnya. Helen meremas kedua tangannya sendiri. "Semoga kau terbakar di neraka!" lirihnya.
Zou menyuruh Yuta untuk mundur dan kini mengeluarkan pistol dari balik saku celananya. Helen melebarkan matanya dan hendak berlari menghindar sampai dia mendengar Zou berbicara.
"Selangkah saja kau pergi, peluru ini mengikutimu."
Helen kembali diam. Berusaha menantang pria itu tapi rasanya mustahil karena tubuhnya seolah dikendalikan. Zou mengusap ujung hidungnya dan membidik sasarannya dengan kedua matanya yang tiba-tiba menajam. Membuat Helen kembali bergetar.
Bagaimana jika peluru itu mengenai kepalanya ....
Bagaimana jika peluru itu menembus dadanya ...
Bagaimana ....
DOR!
Helen memejamkan matanya saat peluru itu menembus kayu itu tepat di samping kepalanya. Mata Helen kembali menggenang saat Zou menurunkan tangannya dan pistol hitam itu tergantung begitu saja.
"Tidakkah kau masih berpikir untuk melawanku?"
Helen terdiam.
"Aku berlaku baik karena tidak membunuh ayahmu dan pelayan wanitamu. Bukankah seharusnya kau berpikir untuk membalas kebaikanku dengan tidak melawanku?"
"Aku tidak melawanmu! Aku hanya ingin bebas darimu!" Helen meremas dadanya. Tatapannya matanya yang menggenang berbalas tatapan gelap yang dingin.
"Membebaskanmu tidak ada di dalam kamusku. Jika kau ingin bebas, itu karena keinginanku dan bukan karena keinginanmu." Zou menyimpan pistolnya di saku celananya dan berbalik. Meninggalkan Helen yang menangis sembari memeluk dirinya sendiri.
Ayame menahan napasnya dan menunduk sopan saat Zou melewatinya begitu saja. Pria itu mengambil jasnya dengan marah dan pergi meninggalkan rumah dalam keadaan hening. Ayame menangkap beberapa pasang mata melihatnya dengan tatapan dingin tetapi ada juga yang melihatnya iba. Beberapa dari mereka masih memiliki hati untuk peduli pada kaum yang lemah.
Ayame melihat Kenta akhirnya pergi bersama Yuta yang merapikan pisaunya dan meninggalkan Helen yang duduk menangis memeluk dirinya sendiri. Ayame segera mendekat terlebih saat Kenta dan Yuta yang pergi. Hanya meninggalkan Helen sendiri di taman belakang.
"Nyonya," Ayame berujar pelan. Membuat tangisan Helen pecah.
"Tuan Levante benar. Seharusnya Anda tidak melakukan apa pun untuk melawannya," Ayame ikut duduk di samping Helen. "Maafkan aku tidak bisa berbuat apa pun untuk Anda."
Helen mengangkat kepalanya. Wajahnya memerah dan kedua matanya yang teduh basah. Dia mengusapnya kasar, menatap Ayame dengan lirih. "Apa ayahku masih hidup? Apa dia benar-benar tidak membunuhnya?"
Ayame menggeleng sedih. "Aku tidak tahu, Nyonya, tapi Tuan Levante tidak pernah berbohong ..." Ayame memejamkan matanya, dia mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu Helen dengan kaku. "Kumohon, jangan lakukan apa pun yang membuatnya marah."
Helen hanya diam dan kembali menangis.
***
Zou mengusap wajahnya saat Kenta dan Yuta masuk bersamaan. Saat ini dirinya berada di kantor, duduk bersandar pada kursinya dan menatap kosong pada mejanya yang bersih dari kotoran maupun debu yang menempel.
"Tuan ..."
Kenta melirik Yuta yang terdiam bagai patung karena mentalnya sudah terlatih untuk tidak banyak bicara atau mentalnya akan terancam. Zou mengangkat kepalanya, menopang dagunya dengan sebelah kepalan tangannya.
"Apakah dia benar-benar melupakannya?"
Mata Zou tiba-tiba menggelap. "Dia bahkan tidak ingat siapa dirinya."
"Sampai kapan?"
Zou mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Dokter tidak katakan apa pun dan hanya mengatakan dia akan pulih secepatnya."
"Dan dengan Yukhei ..."
Pandangan Zou semakin gelap saat nama itu disebut oleh Yuta yang sejak tadi diam. Dia menatap ekspresi Zou yang keras saat menyebut nama itu. "Aku yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri."
Alis Zou terangkat saat tablet kecil yang terpasang di mejanya menyala tiba-tiba sesuai dengan tugasnya. Zou sedikit memutar kursinya dan menatap dingin tablet itu saat sosok Rei Yukhei kembali masuk ke yayasan dengan langkah cepat. Senyumnya sedikit demi sedikit timbul terlebih saat Yukhei masuk ke dalam ruangan Karin.
Tablet segera berganti layar menjadi di dalam ruangan Karin. Zou melipat kedua tangannya di depan d**a dan mendengarkan dalam diam percakapan mereka. Membuat senyumnya semakin lama melebar sempurna karena dirinya merasa menang.
Lalu wajah sedih dan frustrasi Yukhei terlihat jelas. Membuat tatapan Zou yang puas melihatnya terlihat. Kenta melirik wajah Zou dan ada kengerian di dalam dirinya yang memaksanya untuk berhati-hati. Zou bangun dari kursinya, berdiri di dekat jendela dimana dirinya bisa melihat sosok Yukhei dengan jelas karena jarak kantor dengan yayasan milik Helen tidak terlalu jauh.
Yukhei pergi dengan mobilnya. Meninggalkan Karin yang berdiri terpaku di tempatnya. Karin mendongak ke atas, matanya menyipit tajam dan kemudian dia membenarkan letak kacamatanya. Mengangkat bahunya lalu kembali masuk ke dalam rumah yayasan.
Zou kembali memutar tubuhnya, memandang kedua anak buahnya dengan tatapan puas.
"Aku punya tugas untuk kalian berdua."
***
Helen memandang jus jeruknya dengan tatapan lirih meskipun saat ini dirinya sudah tidak lagi menangis. Ayame berusaha tersenyum walaupun rasanya sia-sia saja karena Helen masihlah terpukul dengan kejadian tadi.
Helen menoleh waspada mendengar langkah berat milik seseorang dari arah pintu masuk dapur. Dia melirik Ayame yang juga menatap takut-takut ke sana. Helen menahan napasnya saat Kenta muncul dengan sebungkus plastik putih dan senyum ramah.
"Selamat sore," sapanya hangat. Kenta mendekat ke meja makan dan menaruh bungkusan plastik itu di sana. Dia memberikan kode pada Ayame untuk membawa piring kecil dan Ayame segera mengambilnya. Mata Helen menyipit pada bungkusan plastik itu lalu pada Kenta.
"Apa pria itu membawakanmu peledak untuk meledakkan kepalaku?" katanya sinis.
Kenta tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat mendengar ucapan Helen. Dia melirik CCTV yang menyala merah dan menandakan kalau CCTV itu aktif dan sedang memantau. Dia kembali menunduk, membuka bungkusan plastik itu diikuti tatapan Helen.
"Permen dan kembang gula manis?" tanya Helen tak percaya. Dia memundurkan tubuhnya dan memegang gelas jus jeruknya yang sudah kosong. "Kau bercanda?" desisnya dingin.
Kenta menggeleng dengan senyum. Dia menaruh kembang gula manis itu dan permen dalam wadah kecil dan memberikannya pada Helen. "Tuan Zou tidak tahu tentang hal ini. Aku hanya ingin menghiburmu yang terluka," jawab Kenta singkat.
Helen terdiam. Dia membiarkan piring penuh berisikan makanan manis itu di atas meja dan menatapnya dalam-dalam.
"Rasanya enak," kata Kenta dengan senyum. Helen tidak mengerti mengapa Kenta banyak tersenyum hari ini. Tidak biasanya. "Aku pernah membelikannya untuk keluargaku di rumah."
Mata Helen menyipit mendengarnya. Kemudian Kenta kembali berdiri tegak, berpamitan secara formal pada Helen dan sosoknya menghilang dari balik tangga. Helen menatap manisan itu dengan pandangan bingung, melirik Ayame yang juga menatap manisan itu.
"Kau mau?"
Ayame menggeleng dengan senyum tipis. "Tidak, Nyonya, terima kasih."
Helen terdiam memandang kembang gula manis itu dan hatinya seketika berontak meminta agar dia memakan salah satu dari permen manis itu untuk membantunya meredakan rasa sedihnya.
Sama seperti kesukaannya.
Menghela napas panjang, Helen mengulurkan tangannya untuk mengambil permen kenyal berwarna merah dengan bentuk beruang lucu dan mulai membuka plastiknya dengan pelan. Dia melirik Ayame yang menunggunya dalam diam. Kalau-kalau Helen diracun dan ...
"Hmm," Helen mengunyahnya dalam tiga kali kunyahan dan tersenyum pada Ayame. "Ini sangat enak," ucapnya. Helen kembali mengulurkan tangannya dan mengambil satu dari permen itu dan mulai mengunyahnya. Dengan senang hati, dia menyuruh Ayame duduk dan membagi makanannya dengan gadis itu. Ayame hanya bisa diam, membiarkan Helen melakukan apa yang disukanya karena kejadian tadi benar-benar membuatnya terluka.
Ayame ikut memakan manisan itu dan tersenyum ketika rasanya yang lembut dan manis lumer di dalam mulutnya. Helen kembali memakan manisannya dan lupa kalau gerak-geriknya saat ini sedang diawasi melalui CCTV yang bergerak guna memfokuskan objek pandangannya.
Zou menumpu wajahnya dengan kepalan tangan kanannya. Oniksnya menatap tajam pada wanita berambut merah muda panjang yang memakan permen dan kembang gula dengan senang dan antusias. Dia mengawasi Helen dari CCTV dan alat penyadap yang sudah dipasangnya di seluruh penjuru rumah terlebih dengan kamar Helen.
Terkecuali dengan kamarnya.
Zou menghela napas panjang dan kembali diam saat dia menonton bagaimana wanita itu berusaha untuk tetap tenang dan kuat ...
Sesuai dugaannya.
***
Yukhei mengumpat kasar saat dia memberhentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk sebuah pemakaman. Rasa amarahnya begitu menggebu-gebu hingga membuat dirinya tidak sanggup untuk menahannya. Yukhei masuk ke dalam pemakaman yang sepi dan luas lalu matanya tertuju pada sebuah makam besar yang mencolok di sana.
Levante Zou.
Pandangan Yukhei menggelap ketika membaca nama di nisan itu. Senyumnya terlihat saat dia mencoba menatap nisan itu dengan pandangan mencemooh.
"Kau sudah mati tapi berlagak seolah-olah kau masih hidup ..."
Hening. Hanya ada hembusan angin yang menerpa rambut dan wajahnya dengan lembut.
"Aku tidak tahu apa yang membawaku kemari. Tidak ada salahnya mengunjungi teman lama, bukan?"
Yukhei tersenyum miring. "Aku bahkan tidak lupa dengan kejadian itu, Zou. Melupakan kalau kau mencoba membunuh dirimu sendiri hanya untuk memancingku keluar," Yukhei terkekeh. "Aku kembali untuk mencari Helen dan akan kutemukan dimana dirinya. Kau tidak akan bisa menyembunyikannya lagi. Karena kau sudah mati," desisnya sinis.
Kedua tangan Yukhei terkepal erat. Kemudian menghembuskan napas kasar, dan menendang rumput liar itu dengan frustrasi karena usahanya mencari Helen sia-sia saja seolah wanita itu memang disembunyikan dan bukan bersembunyi...
Yukhei pergi keluar dari pemakaman dengan langkah dipercepat. Dia harus memutar otaknya untuk mencari tahu kemana Helen pergi bersama sang ayah atau semuanya akan terlambat. Helen harus segera dia temukan. Apa pun itu.