L

1638 Words
Helen menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari tangannya yang kecil. Terpaan angin di pagi hari membuat rambutnya yang tertata berantakan dan kusut. Helen mengutuk mobilnya pagi ini yang mengharuskannya pergi menggunakan bus. Dia sudah menghubungi sang ayah sebelumnya. Dia akan pergi ke kantornya untuk berbicara sesuatu. Helen masuk ke dalam sebuah gedung minimalis yang hanya bertingkat lima. Kantor sang ayah memang tidak terlalu besar tapi Helen menyukainya. Bergaya klasik sesuai seleranya. Ayahnya bekerja untuk sebuah investasi pemasaran real estate di kawasan elite Tokyo yang terkenal. Menghela napas panjang, Helen berjalan melewati lantai dasar yang tidak terlalu ramai karena jam masih terlalu pagi. Dia tidak lagi tinggal bersama sang ayah dan Helen harus berkirim pesan untuk bertanya apa sang ayah ada di kantor atau tidak pagi ini. Helen menaiki sebuah tangga mewah yang membawanya sampai ke ruang sang ayah. Lantai dua. Dengan ruangan kecil yang disulap menjadi ruangan luar biasa indahnya oleh sang ayah. "Masuk." Kepala Helen menyembul ke dalam, melihat apa sang ayah sedang sibuk atau tidak. Tapi pria tua berumur lima puluhan itu sedang duduk dengan komputernya. Wajahnya terlihat segar. "Masuklah, sayang." Helen masuk ke dalam. Menutup pintu kayu jati itu dengan hati-hati. "Selamat pagi, ayah," Helen menyapanya dengan ramah. Memberikan kecupan di pipi kanan sang ayah. Kebiasaan yang tidak terlupakan sejak dirinya kecil. "Selamat pagi putriku yang cantik. Bagaimana harimu? Kau tidak menemuiku kemarin," mata cokelat sang ayah mengikuti arah kemana putrinya duduk. Helen merapatkan mantelnya, tersenyum lembut padanya. Membuat senyumnya mau tak mau timbul hingga kerutan di bawah matanya terlihat. "Ada perlu apa?" Kepala Helen menggeleng. "Aku khawatir padamu," matanya menatap sedih. "Apa aku harus menginap di rumah untuk merawat ayah selama beberapa hari ke depan?" "Kau mau?" Helen mengangguk singkat. "Aku akan meninggalkan yayasan di tangan Karin setelah itu aku akan pulang ke rumah. Tapi setelah mobilku selesai diperbaiki." "Kenapa dengan mobilmu?" Helen memutar matanya. "Mogok." "Kau pergi dengan bus?" Helen mengangguk singkat. Dia melihat ada sinar kekhawatiran di mata sang ayah. "Tidak apa, ayah. Aku terbiasa memakai bus di Hokkaido." Helen melihat senyum samar ayahnya. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum. "Apa ayah membantu yayasanku lagi dengan menjadi donatur dana diam-diam?" Dua detik, empat detik, enam detik. Helen tidak menemukan jawaban apa pun sampai dia melihat sesuatu yang jelas di wajah sang ayah. Sebuah senyum jahil menggoda. 'Ah, putriku tahu sekarang. Aku melakukannya diam-diam padahal." Helen mendengus. Tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Aku mengerti betul bagaimana dirimu, ayah." "Apa ayah sudah sarapan?" Kepala sang ayah mengangguk. "Aku belum. Aku akan mencari makan di kafe terdekat," Helen bersiap beranjak dari tempatnya sampai dia melihat tangannya ditarik sesuatu. Kepalanya kembali menoleh. Mendapati ayahnya tengah memandangnya dengan sebuah tatapan kosong. "Aku menyayangimu, Helen. Sangat-sangat menyayangimu." Helen tidak mengerti apa maksudnya. Dia membuka mulutnya untuk membalas ucapan ayahnya namun tertahan karena pria itu mendorongnya pergi setelah menutup pintu dengan lembut. *** "Hai, Karin, aku akan menginap di rumah ayahku. Tidak perlu khawatir, hanya empat atau lima hari. Kondisi kesehatannya memburuk akhir-akhir ini," Helen memakan roti isinya dengan lahap. Sebelah tangannya bebas mengambil sepotong roti di piring dan sebelah tangannya yang lain memegang ponsel. Helen mendengar jawaban wanita itu. Mereka berbicara sebentar sebelum akhirnya Helen menutup telepon dan melanjutkan makannya. Mata Helen terpaku pada dua mobil hitam legam yang masuk ke halaman kantor ayahnya. Kafe yang sedang ia duduki berada tepat di seberang kantor sang ayah. Helen menghabiskan jus jeruknya hingga setengah gelas dan kembali memesan makanan serupa. Setelah pelayan pergi, mata Helen kembali fokus pada dua mobil hitam itu yang terparkir berdampingan. Dahi Helen mengernyit melihat empat orang berjas hitam keluar dengan langkah elegan masuk ke dalam kantornya. Apa mereka para penagih hutang? Siapa mereka? Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya. Helen menggeleng kecil menepis pikiran buruk itu setelah makanannya datang dan dia mulai memakannya dengan lahap. Dia akan bertanya pada sang ayah nanti. *** Helen menatap dirinya di pantulan cermin salon siang ini. Ayahnya punya janji di kantor percetakan dan Helen tidak bisa menemuinya setelah makan. Helen akan kembali setelah sore hari dan mereka berjanji akan bertemu di rumah untuk makan bersama. Helen sudah berbelanja untuk memasak makan malam. Ayahnya bilang dia merindukan masakannya dan Helen bersiap memasakkan sesuatu untuk makan malam mereka. Helen merindukan masa-masa dimana dia menjadi putri kecil sang ayah dan mereka berbicara bersama. Bukan menjadi dirinya yang sekarang. Gadis mandiri dan tangguh. Begitu julukannya sekarang. Helen menyentuh pipinya yang berisi dengan keras. Menekan-nekannya hingga dia mendengar suara kekehan dari balik punggungnya. "Terakhir kali aku melihatmu adalah dua bulan yang lalu dan lihat sekarang. Kau benar-benar berbeda, Helen," Helen melirik Tara yang sedang menata rambutnya di belakang. "Apa aku menggemuk?" tanya Helen dengan pandangan horror. Tara terkekeh geli. Dia menggulung rambut panjang Helen dan mulai memotongnya secara perlahan-lahan. "Tidak, Helen," mata Tara menatap geli. "Tidak salah lagi." Helen memutar matanya. Pipinya menggembung gemas. "Dasar." Helen menatap pantulan dirinya di cermin. Membiarkan tangan ahli Tara menata rambutnya yang sudah terlalu panjang dan dia minta sedikit dirapikan. Helen butuh dimanjakan siang ini. Dia pergi ke salon kecantikan untuk memperbaiki dirinya yang sempat rusak karena terlalu lama sibuk mengurus yayasan milik ibunya yang kini jatuh padanya. Tara tersenyum setelah dia menyisir rambut Helen dengan sisirnya. Helen tersenyum puas dengan hasil potongan wanita itu. Rambut Helen bergelombang di bawahnya dan sisinya terpotong tipis. Helen menyukai modelnya. Tara membuatnya sangat cocok untuk dirinya. Helen melambaikan tangannya setelah membayar pada kasir yang berjaga. Tara menatap Helen dari balik jendela salon yang terbuka. Tersenyum sekali lagi setelah Helen pergi dengan sebuah taksi yang berhenti di depan salon. *** "Ayah?" Helen menaruh dua bungkus plastik berisi bahan makanan di atas meja. Dia menyuruh pelayan rumah tangga untuk mengaturnya di dalam kulkas dan dia pergi ke lantai atas memanggil sang ayah. Namun nihil. Helen turun ke lantai bawah. Tidak mendapati ada seseorang di rumahnya. Wajahnya pucat bagai mayat seketika. Helen berlari ke dapur, dan kosong. Berlari ke taman belakang dan kosong. Helen berlari kembali ke rumah utama dan mendapati ada dua pria berjas tengah menyeringai padanya. Helen beringsut mundur hingga menabrak pintu pembatas antara dapur dengan kolam renang. Napas Helen berubah pendek ketika salah satu dari pria itu berhasil menarik tangannya dan menyeretnya dengan paksa sampai ke gudang bawah tanah. Mata Helen melebar saat melihat ayahnya duduk di sebuah kursi tua dengan kedua tangan dan kaki terikat. Mata ayahnya terlihat sedih. Mulutnya tertutup lakban hitam. "Apa yang kalian lakukan!?" teriak Helen terasa menyakitkan telinga. Salah satu dari pria itu maju. Mencengkram rahang ayahnya dengan kuat hingga pria tua itu memekik kesakitan. "Berhenti! Jangan sakiti dia!" Teriakan Helen tidak digubrisnya. Helen meronta-ronta pada pegangan dua pria yang membawanya paksa tadi. Kepalanya menoleh, menatap dingin pada dua pria itu yang sayangnya tidak berpengaruh apa pun pada mereka. "Jangan sentuh ayahku, b******k!" Helen menendang lutut pria yang kini jatuh tersungkur di atas lantai kayu gudang yang dingin. Helen meronta kesakitan saat kedua tangannya semakin dipegang erat. Hampir mati rasa. Helen menggeleng saat tatapan matanya bertemu dengan mata kosong sang ayah. "Lepaskan dia." Helen menoleh saat mendengar suara dalam seorang pria yang datang dari arah belakang punggungnya. Helen belum sempat menoleh melihat siapa pemilik suara dalam itu karena kini sosoknya berada tepat di depannya. Menghadap sang ayah. Helen hanya mampu melihat punggung lebarnya yang terlapisi kemeja putih yang Helen yakini menyimpan badan yang bagus. Terlihat dari otot lengannya yang terbentuk karenan pria itu menggulung kemejanya sampai ke siku. "Dimana berlianku?" Kepala ayahnya menggeleng. "Apa maksudmu dengan berlian?" Helen bertanya. Helen menahan napasnya saat pria itu meliriknya dari bahu lebarnya. Pegangan pada tangan Helen terlepas dan segera gadis itu berlari menerjang salah seorang pria yang memegang rahang sang ayah dengan kencang hingga ayahnya harus menahan rasa sakitnya. "Jangan sentuh dia, sialan!" Helen mendorong pria berjas hitam itu hingga membentur kayu-kayu yang tersusun di belakang ruangan. Pria itu mengeraskan pandangannya. Helen tidak gentar dengan tatapan itu. Helen membuka lakban hitam yang menutup mulut sang ayah. Napas ayahnya terengah-engah seperti sehabis berlari. Mata sendu itu menatap seorang pria yang berdiri kaku di depannya. Helen menoleh, mendapati tatapan segelap malam itu memandangnya datar sekaligus dingin yang menyengat. Helen menahan napasnya. Kepalanya terasa pening seketika. Bagaimana bisa ada orang setampan dirinya? "Levante Zou," ayahnya mendesis sinis. Helen menoleh, menatap wajah ayahnya dari samping. "Kau bajingan." Levante Zou mendengus. Dia memiringkan kepalanya, tersenyum. "Kembalikan berlianku." "Tidak ada padaku!" Helen gemetar saat tubuh sang ayah dihantam dengan kepalan tangan dari tangan kokohnya. Maniknya menatap marah pada pria itu namun Helen tidak mendapat respon apa pun. Dua orang pria lain berjaga di belakang tubuh sang ayah. Helen berdiri gemetar ketika salah satu dari mereka mencoba mendekatinya dan dia berlari mengambil sebuah balok kayu sebagai senjata. "Aku benar-benar akan memukul kepala kalian kalau kalian berani menyentuhku!" dinginnya. Helen tidak menyadari kalau pria itu tersenyum padanya. Helen melihat pria tadi mencoba memegang ayahnya yang meronta kesakitan. Tubuh ayahnya lemah dan mereka memanfaatkan kelemahan itu untuk menyakitinya. "Lepaskan ayahku!" Zou memiringkan kepalanya. "Kenapa harus?" "Kau ini bodoh atau apa? Kalian menyakitinya!" Helen mengarahkan balok itu ketika salah satu dari mereka mencoba mendekatinya. Bersiap menyakitinya. Helen mengalami memar di lengannya namun ia tidak peduli. Rasa sedihnya lebih mendominasi sekarang. Helen tidak tahan melihat ayahnya yang menahan rasa sakit karena sikap mereka. Helen merasakan balok kayunya terlempar dengan mudah ke belakang punggungnya. Dia menunduk saat ada tangan lain mencoba menyeretnya paksa dari sana. Helen mendongak, menatap wajah dingin pria itu ketika dia memberi kode dengan tatapan matanya untuk menjauhinya. Helen menahan napasnya saat pria itu menyentuh wajahnya, mencengkramnya dengan jemarinya yang besar. "Lihat, kelinci kecil ini sedang ketakutan," suaranya dalam. Sedalam samudera biru yang tak tersentuh. Mata Helen menyipit tajam saat dia mendengar suara pria itu sekali lagi. "Aku tidak akan melepaskan kelinci kecilku lagi." Pria itu melepas cengkramannya dan menyuruh dua dari mereka untuk membawa Helen pergi setelah hantaman keras di belakang kepalanya membuat dunianya menggelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD