Helen merasakan udara dingin dari pendingin udara menusuk kulitnya. Dia mencium aroma kamar dengan wewangian bunga yang khas dan selimut tebal yang menutupinya hingga d**a. Helen duduk, matanya nyalang terbuka menatap waspada sekitarnya.
Nihil.
Dia tidak menemukan apa pun selain kamar besar dengan nuansa putih gading. Tampak damai tetapi mematikan. Di sana, terdapat meja rias besar dengan satu pintu terbuka yang mengarah ke kamar mandi pribadi. Ada lemari besar berwarna putih dan juga sofa mungil yang berhadapan langsung dengan jendela bertralis.
Tunggu?
Jendela bertralis?
Helen menyingkirkan selimutnya dengan kasar dan berlari menuju jendela besar yang satu-satunya menjadi penghubung area luar dengan kamar asing ini. Helen memegang erat-erat besi baja yang membentang vertikal menutupi kaca. Dia melihat sebuah gerbang tinggi besar yang memutuskan penglihatannya dengan kehidupan luar.
Helen terperangkap di penjara.
Helen berlari menuju pintu dan terkunci. Dia menggedor pintu dari dalam dan tidak ada sahutan yang berarti dari luar. Helen berteriak histeris. Dia kembali mencoba membuka pintu itu dengan tenaganya dan nihil. Helen menemukan talapak tangannya yang memerah dan rasa sakit akibat memar itu menyakitinya.
Levante Zou mendengarnya. Dia berdiri tepat di balik pintu bercat putih gading itu. Matanya menatap datar pintu yang tertutup rapat dengan sebuah kunci yang menggantung di jari manisnya. Dia mendengar suara gadis itu berteriak. Teriakannya tentu saja mampu terdengar sampai ke lantai bawah tapi mereka semua tidak peduli. Mereka hanya menuruti perkataannya.
"Tuan."
Zou melirik pria yang kini membungkuk hormat.
"Kami membuang Centella Saka ke sebuah tempat yang sudah Anda siapkan," ucapnya pelan. Zou mengangguk dingin tanpa kata. Membuat pria itu mengangguk kaku dan segera pamit untuk menjauh dari sana.
"Buka pintunya!"
Tatapan mata Zou kembali pada pintu itu. Jika saja dia memiliki kekuatan, pintu itu akan mati terbakar hangus karena tatapan matanya.
"Buka pintunya! Keluarkan aku!"
Zou memejamkan matanya, berbalik pergi dan mendapati empat orang berjas hitam berbadan besar berdiri kaku di belakangnya. Matanya menatap dingin satu-persatu dari mereka.
"Aku percayakan dirinya pada kalian," Zou melangkah tegas. Membuat mereka semakin menundukkan pandangannya. "Jika salah satu dari kalian menyentuhnya, kalian akan membayarnya dengan nyawa."
Zou pergi. Berbelok ke arah tangga putar besar yang menghubungkan antara lantai pertama dengan lantai kedua. Suara sepatunya menggema nyaring. Membuat mereka gemetar.
***
Helen melotot ketika mendengar kunci pintu yang diputar. Dia melompat dari ranjangnya dan pergi ke balik pintu. Menunggu seseorang yang membuka pintunya. Wajahnya seketika pucat saat mendapati ada empat orang pria berbadan besar memandangnya datar.
"Patuhi perintah kami, Nyonya, jika kau ingin selamat."
Mata Helen melebar. Wajahnya merah padam karena rasa marah yang membakar di dalam dadanya. Dia siap berdebat. Mengeluarkan kekesalannya dan memaki pada empat pria itu sebelum dia melihat seseorang datang dari arah tangga. Dia terdiam.
Helen tidak mampu berkata-kata ketika pria itu menatapnya. Dia masih sama. Dengan kemeja putih bersihnya, dia masihlah sama. Pandangan pria itu sama sekali tidak melunak padanya. Helen butuh penjelasan mengapa mereka membawanya kemari.
"Dimana ayahku?"
"Dia sudah mati."
Wajah Helen memucat.
Seringai kejam pria itu terbentuk.
"Jangan terkejut. Kami sudah membuang mayatnya. Kau bisa melihatnya besok."
Kepalan tangan Helen begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Helen melangkah namun tertahan dengan dua pria besar di depannya.
"Minggir."
Mereka bergeming.
"Minggir!"
Zou hanya menatapnya datar. Pandangan pria itu seolah tidak berminat. Helen kembali melangkah namun salah satu dari mereka mencoba mendorongnya kembali. Tenaga Helen seakan diserap saat mereka membawanya kemari ketika dia tidak sadarkan diri.
Zou melangkah pergi memasuki sebuah pintu kayu bercat hitam kelam dan kemudian suara pintu tertutup membuat mata Helen menajam. Dia berbisik rendah sembari melangkah mundur masuk ke dalam kamar.
"Mati kau, Levante."
***
Malam tiba. Helen mendengar suara burung hantu yang ada di pohon besar dekat kamarnya. Lampu kamar sengaja ia matikan semua. Dia takut kegelapan. Tapi kali ini dia harus bisa melawan rasa takutnya sendiri.
Helen mendengar suara langkah kaki mendekat ke kamarnya. Matanya menatap waspada pintu itu namun menunggu selama lima menit tidak berguna. Tidak ada siapa pun yang masuk ke dalam. Helen tidak melihat ada bayangan sepatu yang berhenti di depan kamarnya.
Menghela napas, Helen menyingkap selimut dari tubuh mungilnya. Dia berjalan ke arah jendela kamar. Berharap dia memiliki kekuatan besar untuk membuka tralis besi ini dan dia melompat keluar jendela dengan aman. Sayangnya, tidak bisa. Kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan besi itu sendiri.
Helen pergi ke kamar mandi kamarnya. Tidak menemukan ada jendela atau celah untuknya kabur. Ini seperti penjara. Helen menjambak rambutnya frustrasi. Dia memutari kamar mewahnya dan menatap langit-langit. Mungkin dia bisa menembus plafon untuk keluar. Tapi idenya terlalu gila.
Helen pergi ke pintu, dia menempelkan telinganya di sana dan tidak mendengar suara apa pun selain saklar lampu. Napasnya tertahan ketika Helen mendengar suara langkah orang turun dari tangga dan menghilang.
Membuka gagang pintu yang tidak terkunci, Helen berjalan mengendap-endap masuk ke sebuah ruangan besar dimana ini diluar kamarnya. Helen menggigit bibirnya, dia sengaja menahan langkahnya agar tidak terdengar sampai ke pintu hitam laknat itu.
Mata Helen mengarah ke arah balkon yang terbuka lebar. Dia berjalan ke sana. Matanya melebar terkejut saat menemukan rerumputan yang terpotong rapi di bawahnya. Balkon ini menghadap ke taman belakang mansion yang megah.
Maniknya berkelana memutari ruangan. Tidak ada siapa pun. Dia berdoa dalam hati semoga empat pria bodoh itu lengah hingga lupa mengawasinya. Langkah Helen tertatih ketika dia memikirkan cara untuk melompat dan pergi dari penjara ini secepatnya. Pilihannya hanya ada dua, tetap bertahan dan dia akan mati dengan penyiksaan atau melompat dan dia langsung tewas.
Tapi Helen teringat dengan ayahnya. Matanya terpejam dan tiba-tiba dia menangis. Lelehan air mata tak berdosa itu mengalir di pipinya. Helen melompat menaiki balkon besar itu. Bersiap lompat sampai dia mendengar suara seorang tajam dari pria yang berdiri kaku di tepi pintu balkon.
"Apa yang kaulakukan?"
"Aku akan melompat jika kau tidak membebaskanku!"
Dahi Zou mengernyit. Dia menoleh ke belakang dan mendapati empat pria berbadan besar itu mengkeret ketakutan di bawah tatapannya. Zou memandang dingin pada mereka sebelum oniksnya menggelap menatap Helen.
"Coba saja kalau kau berani." Dia menantangnya.
Helen melotot mendengar ucapan pria itu. Dia melirik pria berbadan tegap dengan wajah dingin di samping Zou. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang tidak kentara. Pria itu berusaha memasang wajah datar setelahnya tetapi matanya tidak bisa berbohong.
"Tuan.."
"Diam."
Helen menatap rumput di bawahnya sekali lagi. Dia memejamkan matanya. Hanya sekali lagi dia melangkah ke depan. Kemungkinannya akan ada dua. Dia mati atau dia akan cacat seumur hidupnya.
"Apa kau ingin aku membuangmu seperti aku membuang ayahmu?"
Helen menoleh, tatapannya tajam. "Kau b******n!"
Pria itu hanya mengangguk. Tidak menampilkan ekspresi apa pun.
***
"Jangan melompat!"
Kepalanya menoleh, air mata mengalir deras membasahi pipi pucatnya. Tangannya bergetar memegang sisi balkon hingga memutih.
"Jangan lakukan itu."
"Bukankah ini ide yang bagus?" tawa putus asanya terdengar. "Aku tidak peduli dengan diriku sendiri! Aku lebih memilih mati dibanding duduk menjadi pengantinmu!"
Suaranya mengalun tegas. Mengisi keheningan malam dengan bisingnya. Pria itu hanya memandangnya dingin. Dia tidak menangkap adanya raut wajah khawatir atau rasa ingin mengasihani dirinya. Pria itu tetap saja memandangnya dingin. Dan oniks itu menajam.
Tidak lama setelahnya semua buram.
***
Helen berdiri kaku di tepi balkon. Selangkah saja dia bergerak. Nyawanya diambang kematian. Helen berkali-kali melirik rumput yang bergoyang karena terpaan angin malam seakan memanggilnya turun.
"Kau akan mati, Nyonya."
Tatapan Helen berpindah pada sosok pria dengan kemeja hijau tuanya di balik tepi balkon. Tidak berani berdiri di dekat Levante Zou yang berkuasa. Helen memandang pria itu, bergantian dengan Zou.
Kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Matanya berkunang-kunang dan pandangannya mulai memburam. Bukan karena air mata tapi karena ada sesuatu yang mencoba memasuki kepalanya dan Helen tidak bisa menahannya. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi saat dia akhirnya jatuh dan seseorang menangkap tubuhnya sebelum dirinya membentur lantai yang dingin.
Pandangannya menggelap dan semuanya kosong.