V

1464 Words
"Bagaimana?" Pria itu menutup tas hitamnya dengan hati-hati. Wajahnya terlihat lelah tetapi tidak mampu menyembunyikan senyum tipis di bibirnya yang kaku. "Dia baik-baik saja. Akan pulih secepatnya," jawabnya pelan. Pria itu segera membawa tasnya turun dari ranjang dan beranjak pergi. Levante Zou menatap tubuh yang tertidur di depannya dengan pandangan menilai. Kalau-kalau wanita di depannya ini melakukan sebuah tipuan yang membuatnya lengah. Tetapi sepertinya tidak. Dia benar-benar tertidur dan artinya diri wanita itu sepenuhnya berada di dalam kendalinya. Zou beranjak keluar mengikuti dokter itu pergi. Meninggalkan pintu putih itu yang terbuka dengan wajah dingin. "Kau sudah berikan obat dalam dosis yang tepat?" Pria itu mengangguk dengan senyum kecil. "Sesuai permintaan Anda, Tuan," ucapnya dengan hati-hati. Bisa saja satu kesalahan kata dalam pengucapan, dia akan kehilangan nyawanya. "Bagus." Pria itu segera pamit undur diri dan menuruni anak tangga dengan langkahnya yang sedikit terburu-buru. Oniks gelap itu masih mengikuti langkahnya yang perlahan-lahan menghilang dan pintu terbuka terdengar sampai ke telinganya. Dirinya kembali masuk ke dalam, bersandar pada jendela kamar yang besar dan memilih untuk mengawasi wanita itu dari sana. *** Saka lamat-lamat membuka matanya yang terasa berat. Wajahnya terasa kaku dan sakit dimana-mana. Dia yakin, wajahnya yang tidak lagi muda pastinya meninggalkan luka lebam yang akan memakan waktu lama untuk sembuh. Saka menolehkan kepalanya memandang ruangan sempit dengan pasokan udara yang minim dengan napas terengah. Dia menyipit saat mendengar suara hembusan napas seseorang dari tempatnya saat ini. Membuat bulu kuduknya meremang. "Siapa?" lirihnya. Lagi-lagi dia mendengar dengusan. Kali ini cukup keras. "Siapa?" teriaknya lebih keras. Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di pipinya dan membuatnya menoleh dengan paksa ke kanan. Saka melebarkan matanya saat menemukan ada sepasang mata gelap yang memandangnya dingin. "Tidak perlu berteriak untuk memanggilku," katanya datar. Pria itu menggeser tempat duduknya dan menatap Saka dengan pandangan mencemooh. "Bagus kalau kau sudah sadar." "Dimana putriku?" desisnya. Alis Zou terangkat naik. "Putrimu ada bersamaku," jawabnya santai. Zou menyuruh seseorang untuk berjaga di belakang punggung Saka. Masing-masing dari mereka mempunyai senjata tersembunyi dibalik jas hitam tebal yang mereka gunakan. "Jangan sakiti dia," lirihnya. Suaranya hampir tertelan rasa takutnya sendiri. Memikirkan Helen yang terluka dan menangis membuatnya teriris pedih. Helennya yang malang harus menerima cobaan seberat ini karena dirinya. "Kau bermain-main denganku dan sekarang lihat balasannya," kata Zou dingin. Dia melepas jasnya dan menatap Saka dengan pandangan merendahkan. "Kau tidak bisa menebusnya dengan nyawa atau perusahaanmu sekali pun. Jalan satu-satunya adalah memberikan putrimu padaku." "Jangan sakiti dia..." suaranya serak. Tertelan rasa putus asa dan kesedihan yang mendalam. Zou memiringkan wajahnya, menyeringai. "Kaupikir apa yang sudah kulakukan padanya?" Saka menggeleng dengan wajah hancur. Hatinya sudah mati mengingat ketika Helen kembali ke rumah dalam keadaan luka dan tak berdaya. Bahkan putri tunggalnya itu tidak mampu menopang tubuhnya sendiri dan ambruk tepat di depan matanya. "Kau menyakitinya!" teriaknya keras. Membuat seringai Zou kembali melebar. "Lalu?" "Jangan sakiti dia ..." suara Saka memelan seiring rasa sakit yang menjalar menusuk hatinya bagai belati tajam. "Dia terlalu lemah, Helen tidak bersalah." "Memang tidak," Zou mengangkat bahunya. Wajahnya yang datar berubah rileks. "Dia terlalu lemah dan rapuh ..." mata Zou tiba-tiba menggelap. "Tapi bisakah aku jujur padamu kalau aku tertarik pada putrimu dan akan lakukan apa pun untuk membuat putrimu menyerah padaku?" Mata Saka melebar ketakutan dan wajah dingin Zou menyambutnya dengan senang. *** "Ah! Umhh, Ahh!" Helen memejamkan matanya kuat-kuat dan meremas borgol yang mengikatnya dengan kencang hingga telapak tangannya memerah sempurna. Wajahnya memerah dan basah. Bercampur antara keringat dan air mata. Meskipun dia tidak lagi menangis dan memutuskan untuk tidak lagi menangis, tetapi tetap saja rasanya sakit. Teramat sakit. "Sial." Helen menggeram rendah saat tubuhnya bergoncang mengikuti irama gerakan lelaki di atasnya. Yang seakan mendominasi dan tidak pernah puas menyentuhnya hanya sekali saja. Helen membuka matanya, menatap benci pada pria yang kini menyembunyikan wajahnya di lehernya dan menggeram saat pelepasannya hampir sebentar lagi. "Ummh!" Helen kembali memejamkan matanya kuat-kuat saat o*****e kembali melandanya. Kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Setelah memperkosanya lebih dari satu kali, pria ini sepertinya tidak pernah puas pada tubuhnya. Napas Helen terengah-engah. Kepalanya terasa pening seperti sehabis berlari beratus-ratus putaran dan dadanya yang telanjang naik turun secara brutal. Dia membuka matanya, membuka bibirnya untuk mengambil pasokan udara yang menipis di paru-parunya. Tapi sayangnya sambutan itu tidak begitu baik karena pria itu kembali menciumnya, melumatnya habis seolah-olah dirinya adalah madu yang membuatnya candu. Helen mengerutkan dahinya dalam saat mendengar lenguhan pria itu dan goyangan pada pinggulnya membuatnya tersentak. Terlebih saat pria itu melepas borgol di tangannya dan membawa kedua tangannya untuk mengalungi lehernya. Ciuman itu terlepas tetapi napas mereka terengah-engah menjadi satu. Berbaur dengan rasa panas satu sama lain yang membuat Helen kembali mengerutkan dahinya. "Aku tidak akan pernah berhenti mengingatkanmu satu hal, Helen," Helen mengepalkan tangannya di balik leher pria itu dan menggeram marah. Tatapan matanya yang biasa lembut kini berubah dingin dan benci. Tetapi tidak berpengaruh apa pun pada pria yang justru tersenyum samar padanya. Sebuah senyum mematikan yang membuatnya ngeri. "Kau milikku." Helen memejamkan matanya saat kegiatan percintaan mereka kembali. "Kau pengantinku." Dan semuanya menggelap sempurna. Helen membuka matanya lebar-lebar dan mendapati dirinya berada di sebuah kamar dengan jendela terbuka hingga cahaya bulan dan temaram lampu taman masuk ke dalam kamarnya. Guna menyinari kamar besarnya yang gelap dan tampak sunyi. Helen mengusap dahinya dengan kasar. Wajahnya memerah karena mengingat sebagian memori erotis yang sama sekali tidak pernah ada di dalam mimpinya sebelumnya. Dia mundur ke belakang, bersandar pada kepala ranjang dan mengatur napasnya yang tersengal. Helen meremas seprainya saat dia mendengar bunyi kursi berderit dari arah kegelapan di depannya. Dahinya berkerut dan alisnya terangkat saat dia mendengar suara langkah seseorang mendekatinya dan membuatnya harus menahan napasnya saat melihat siapa sosok pemilik langkah kaki itu. Tatapannya berubah saat menemukan Levante Zou berdiri menjulang tidak jauh darinya dengan raut wajah datar dan tatapan matanya yang tajam. Membuat Helen terdiam menatapnya bingung. "Apa?" Zou melipat kedua tangannya di depan d**a. "Kenapa kaulakukan itu?" katanya dingin. Hampir terdengar seperti bisikan maut. Alis Helen terangkat dan dia menemukan suatu fakta kalau dirinya pingsan karena berusaha melompat dari balkon dan semuanya gelap. Matanya tiba-tiba melebar, dia menatap Zou dengan pandangan marah. "Persetan denganmu!" katanya. Helen menyingkap seprai putihnya dan berdiri, hendak berlari menuju pintu kamarnya dan sebuah tangan menahannya lalu membantingnya ke atas ranjang dengan kuat. Seolah-olah dirinya adalah sebuah buku ringan yang mudah begitu saja. Mata Helen melebar terlebih saat pria itu masih berdiri menatapnya tajam. "Jangan pernah coba untuk berpikir keluar dari sini," katanya dingin. Helen mengerutkan dahinya, wajahnya tampak marah. "Apa maksudmu?" sinisnya. "Kau pria b******n yang menawan seorang gadis tidak bersalah!" umpatnya. Helen segera duduk menepi di sudut ranjang. Tidak peduli bagaimana kerasnya dia berusaha menantang, ada rasa takut dan kengerian yang terselip di dalam hatinya karena tatapan pria itu sangat mengintimidasinya. "Aku tidak bersalah," Helen kembali bersuara menyuarakan ketidakadilannya. "Kau bersalah karena menawan seseorang yang tidak bersalah!" Zou menurunkan kedua tangannya dan memasukkan salah satu tangannya di dalam celananya. Dia menatap Helen dengan salah satu alis terangkat. "Siapa bilang?" Bibir Helen menipis seketika mendengar jawaban singkat pria itu tapi cukup membuatnya kehabisan kata-kata. Mata Helen mengerjap dan tubuhnya bergerak gelisah saat menyadari kalau dirinya melakukan kesalahan. Tetapi dia tidak gentar, dia tetap mempertahankan egonya dengan menatap mata gelap Zou dan menantangnya. "Kau tidak tahu apa kesalahanmu, 'kan?" Helen siap berlari saat pria itu mendekatinya dengan gerakan cepat. Membuat bulunya meremang karena takut. Helen menahan napasnya saat pria itu duduk di sampingnya, menatapnya dengan pandangan dingin. "Kau hanya tidak tahu," katanya sekali lagi. Helen mengepalkan tangannya kuat-kuat dan bersiap melempar pria itu dengan kata-kata pedasnya tapi tertahan saat mendengar pintu kamarnya diketuk seseorang. Helen menghela napasnya saat Zou berdiri dan menatapnya kaku. "Aku ingatkan satu hal padamu," ucapnya tajam. "Jika kau mencoba melarikan diri, akan ada satu nyawa yang hilang karena kesalahanmu." Mata Helen melebar. "Tidak peduli siapa mereka. Jika mereka lengah dan membuatmu berhasil lolos, mereka akan mati," Zou mendesis tajam. "Wanita, orang tua, anak-anak, semua sama. Mereka semua akan mati jika mencoba membantumu melarikan diri." Helen mendengus, mencoba menantang tapi rasa takut itu perlahan-lahan menyebar seluruhnya. Memberi tanda peringatan berbahaya pada otaknya. "Kau tidak akan berani." Zou tersenyum. Sebuah senyum yang benar-benar membuat Helen meremas seprai karena ketakutan. "Benarkah? Kau tidak tahu sejauh mana aku bisa melakukannya dengan tanganku sendiri," Zou bergerak menuju pintu kamarnya, kembali berbalik dan menatapnya dingin. "Katakan padaku kalau kau ingin melihatnya secara langsung. Aku akan dengan senang hati melihatkanmu sesuatu yang pasti membuatmu berpikir untuk tidak melawanku." Pintu tertutup keras. Meninggalkan Helen yang duduk bagai patung di tempatnya. Wajahnya memerah dan napasnya memberat. Helen meremas kausnya kuat-kuat. Berharap jika dia meremasnya, rasa takutnya akan hilang dan dia memiliki kepribadian untuk melawan pria itu. Ya, setidaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD