2. Salsabila Khairunnisa

1570 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Ghali menolehkan kepalanya saat emndengar bel lonceng di toko Zia berbunyi. Lalu sesosok gadis membuka pintu dan langsung menghampiri Zia yang berada di meja kasir bersama salah satu karyawannya. “Assalamu’alaikum, Zia. Aku mau pesan bunga dong,” ucap seorang gadis yang Ghali kira seumuran dengan adiknya itu. Gadis itu memakai celana kulot putih dan kemeja lengan panjang berwarna biru muda dilengkapi dengan pashmina biru muda bermotif bunga-bunga kecil. “Wa’alaikumussalam. Eh, Teh Salsa. Iya boleh atuh, Teh,” jawab Zia dengan sumringah. Posisi Ghali yang sedang berada di meja dekat pintu masuk membuatnya bisa memperhatikan gadis itu dengan seksama. Tak sengaja tatapan mereka bertemu dan saling mengunci. Entah mengapa Ghali merasa tidak asing dengan mata yang dimiliki sang gadis. Ghali menatap manik bola mata gadis itu dengan tajam. Mata itu ... Ghali seperti sudah sering melihatnya. Tapi ia lupa di mana. Zia yang menatap kakak lelakinya dan Salsa, coba mengagetkan mereka. “Woi, A Ghali, Teh Salsa!” “Eh, iya kenapa, Zia?” tanya Salsa sedikit gugup. “Aa kenapa ngelihatin Teh Salsa-nya gitu amat, sih?” Zia bukannya menjawab pertanyaan Salsa malah bertanya pada Ghali. “Gak inget ya kata ayah harus menjada pandangan, Aa,” tegur Zia lagi pada Ghali. “Eh, astaghfirullah! Gak, bukan gitu maksudnya. Kayaknya perasaan saya gak asing sama wajah kamu, terutama mata kamu. Kayak udah sering lihat gitu, tapi lupa di mana,” ucap Ghali sambil menggaruk tengkuknya. Zia hanya tertawa mendengar ucapan kakaknya sedangkan Ghali malah terlihat heran. “Ngapain kamu ketawa begitu?” “Ya iya Aa udah pasti sering lihat sih, orang Teh Salsa ini adeknya Aa Ucup,” jelas Zia. “Hah? Yang bener? Jadi, kamu teh adeknya si Ucup yang abis nyantren di Jawa itu?” tanya Ghali setengah tak percaya. Perempuan yang bernama lengkap Salsabila Khairunnisa itu hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu-malu. “Iya, A. Saya Salsa adeknya Aa Ucup.” “Oh, si Ucup gak bilang-bilang sih adeknya udah pulang. Pangling loh saya lihat kamu, Salsa. Berapa tahun ya kita gak ketemu?” “Iya, memang udah lama banget, A Ghali.” “Aa aja yang sibuk di resto, pulang malam terus. Jadi gak tahu deh kalau Teh Salsa udah ke rumah juga.” Ghali hanya bisa menampilkan cengiran tanpa dosanya. “Ya maaf deh, maklum namanya juga orang sibuk. Kapan-kapan nanti saya main ke rumah juga deh. Udah lama gak ketemu Tante Annisa sama Om Farhan.” Ya, Salsabila Khairunnisa adalah puteri bungsu dari pasangan Annisa dan Farhan. Annisa memiliki dua orang anak yaitu Yusuf Agarva yang hanya selisih usia beberapa bulan dengan Ghali dan Salsabila Khairunnisa. Saat akan menginjak bangku SMA, Salsa memang tinggal di pondok pesantren yang ada di Jawa Timur bersama saudara dari ayahnya –Farhan- yang berada di sana. Sekarang, perempuan itu mengajar mata pelajaran agama islam di sekolah SD yang ada di desa tempat tinggalnya. Yusuf dan Salsa memiliki banyak kemiripan sebagai adik kakak, terutama mata mereka yang mirip dengan sang ibu, Annisa. Oleh karena itu, Ghali merasa tidak asing dengan Salsa. “Oh ya, Teh Salsa mau pesan bunga apa? Kenapa gak ke rumah atau telepon aja atuh? Kan bisa juga.” “Gak apa-apa, Zia. Sekalian mumpung lagi main di sekitar sini sama teman.” Zia pun melayani pesanan bunga Salsa. Ghali yang sudah mulai merasa bosan memilih pamit undur diri karena sudah janji bertemu dengan Yusuf di hotel tempatnya bekerja. === Ghali melangkah dengan percaya diri saat memasuki hotel tempat Yusuf bekerja sebagai manager. Banyak pegawai hotel yang menyapanya dengan ramah. Tak heran, karena dulu Ghali juga sempat bekerja di hotel tersebut sebagai chef namun tidak lama. Ia lebih memilih membuka bisnis restoran bersama kedua temannya, Mario dan Giandra. Ghali hanya bisa menganggukkan kepala sambil menampilkan senyumnya yang menawan. Siapa pun perempuan yang meilhatnya akan terkagum bahkan hatinya bisa meleleh. Ghali duduk di resto hotel, menunggu jam kerja Yusuf berakhir tak berapa lama lagi. “Eh, ada Chef Ustadz Ghali. Apa kabar, Chef?” tanya seorang pegawai resto yang bernama Miko. “Alhamdulillah baik, Miko. Kamu apa kabar? Gimana keadaan hotel sekarang?” “Saya alhamdulillah baik juga, Chef Ustadz. Ya keadaan hotel gini-gini aja, Chef. Saya sedih sih pas Chef lebih milih resign.” “Kamu panggil saya biasa aja, gak usah panggil Chef Ustadz segala, gak enak didenger orang. Malu, Mik,” ucap Ghali. “Ya, gimana ya Chef Ustadz, susah sih. Kan emang dulu waktu kerja di sini Chef juga merangkap jadi Pak Ustadz. Sering ngingetin salat, sering ngingetin puasa, terus sering ngasih nasihat ke anak buah yang bikin hati adem,” ucap Miko polos. Ghali hanya tersenyum menanggapinya. “Kamu bisa aja.” “Iya, bener. Chef Ustadz emang ada kurangnya satu sih. Galak banget kalau masakan dan bahan makanan gak sesuai sama standarnya chef atau S.O.P hotel.” “Ya iyalah, kamu tahu sendiri saya ini agak perfeksionis gimana gitu kalau sama makanan. Jadi, ya maklum aja ya.” “Ah biasa itu. Oh iya restonya gimana, Chef?” “Alhamdulillah baik juga. Lain kali kalau kamu ada waktu mampir deh ke resto saya, nanti saya kasih diskon spesial buat kamu.” “Wah, yang bener, Chef Ustadz?” tanya Miko antusias dan mata yang berbinar. “Iya, cius deh.” “Udah lama, Ghal?” tanya seorang lelaki sebaya Ghali yang memakai pakaian formal menepuk bahu Ghali dari belakang. Sontak Ghali menengok ke arah belakangnya. “Eh, ada Pak Ucup. Yaudah saya tinggal kerja lagi ya, Pak Ucup, Chef Ghali.” Miko meninggalkan keduanya dengan sopan. “Ah, nggak kok. Baru sebentar. Oh ya, lo gak bilang adek lo Salsa udah balik?” “Lah, ngapain juga. Urusannya apa Salsa pulang sama gue bilang ke elo? Dah yuk cabut lah, katanya lo mau traktir gue di resto punya lo, ayo cepetan!” “Iya sabar dikit kenapa. Gue masih napas dulu ini, lo ajak cepet-cepet aja.” Ghali dengan malas mengambil kunci mobilnya di atas meja lalu mengikuti langkah Yusuf yang sudah lebih dulu menuju parkiran mobil. Saat mereka berada di lobi hotel, Ghali dan Yusuf bertemu dengan seseorang yang menjadi rival Ghali selama ini. David. “Eh, coba lihat siapa yang ada di sini? Ada Chef Ghali ternyata,” ucap David dengan nada sinis. Ghali menanggapinya dengan santai dan cenderung biasa saja, karena memang yang selama ini menganggap musuh adalah David, bukan dirinya. Ghali dan David bersekolah di tempat yang sama saat di Australia dulu. David iri dengan Ghali yang selalu lebih unggul darinya dalam hal apapun, baik dalam hal prestasi di dapur maupun reputasi di kalangan para gadis. David sangat tidak menyukai hal itu. Ia sangat benci jika dirinya dikalahkan. “Assalamu’alaikum, eh ada anak pemilik hotel. Apa kabar, Pak David?” sapa Ghali mencoba untuk tetap santai dan sopan. David memang anak pemilik hotel tempat Yusuf dan Ghali bekerja dulu. Meski bersekolah di sekolah chef yang sama dengan Ghali, pada akhirnya David tak punya pilihan menjadi chef seperti yang diimpikannya. Ia harus melanjutkan bisnis hotel keluarganya karena ultimatum papi dan maminya. David hanya tertawa sinis menanggapi pertanyaan Ghali sedangkan Yusuf yang berada di sebelah Ghali bersikap biasa saja. Satu sisi David adalah atasan kerjanya dan sisi lain Ghali adalah sahabatnya. Jadi, untuk kali ini ia ingin bersikap netral. “Gak usah sok baik pakai nanya kabar segala. Gimana usaha restonya lancar?” tanya David basa-basi. “Alhamdulillah, perkembangannya cukup bagus dan udah mulai banyak pelanggan. Lain kali kalau ada waktu mainlah ke resto gue, Dave. Ya, tapi itu juga kalau lo berkenan.” David semakin panas hati mendengar usaha resto Ghali yang semakin berkembang pesat. Rasa iri dan dengki menguasai hatinya hingga tanpa sadar ia mengepalkan kedua tangannya. “Ya, gak usah bangga dulu deh. Baru juga awal,” ucapnya sambil menyeringai sinis. Yusuf mulai jengah menghadapi tingkah David. Ia buru-buru menyela agar Ghali dan dirinya cepat pergi dari hotel. “Hmm, maaf Pak David, saya dan Ghali sudah ada janji. Mohon maaf kami permisi dulu, Pak. Wassalamu’alaikum.” Yusuf segera menarik Ghali agar segera pergi meninggalkan area hotel. David hanya bisa menatap kepergian dua sahabat itu dengan tatapan tajam. === Ghali sedang menunggu kedatangan pasokan bahan sayur, buah dan beberapa sumber protein hewani seperti ayam dan juga ikan. Selain dari kebun milik ayahnya, ia juga menerima pasokan sayur dan buah dari petani lain yang letaknya beda kecamatan kebun ayahnya. Resto yang diusung Ghali bersama kedua sahabatnya mengusung tema menu tradisional dan internasional dengan tetap mengutamakan kehalalan bahan makanannya. Maka dari itu mereka sangat selektif dalam memilih para pemasok. Restoran mereka bernama “GMG Resto”. Nama itu diambil dari huruf depan nama mereka bertiga, Ghali, Mario dan Giandra. Hari ini jadwalnya Ghali dan Giandra bertugas sebagai chef di resto. Ia dan juga Mario serta Giandra punya jadwal bergiliran. Sesudah Ghali libur, kini giliran Mario yang menikmati hari libur. Mereka memilki enam orang pegawai di resto. Ada yang bertugas sebagai sous chef, pelayan, kasir dan juga bagian kebersihan. Ghali sedang membuat kopi menggunakan perkulator ketika Giandra baru masuk ke dapur. “Bikinin gue sekalian satu ya, Bro. Kebetulan gue belum ngopi dari rumah,” ucap lelaki berkacamata itu. “Ngerjain gue aja, lo!” ucap Ghali pura-pura kesal tapi tetap membuatkan secangkir kopi untuk Giandra. “Eh, si Naufal kok belum datang?” “Mungkin bentar lagi kali sayur sama buah si Naufal datang.” Tak lama terdengar sayup-sayup suara truk. “Nah mungkin itu dia Naufal. Lo yang cek ya, Ghal. Gue mau ke kamar mandi sakit perut.” Giandra langsung ngacir ke kamar mandi meninggalkan Ghali. “Yaelah, baru ngopi dikit udah kontraksi aja perut lo!” Ghali memegang cangkirnya yang masih mengepulkan sedikit  asap lalu berjalan ke bagian belakang resto yang merupakan gudang penyimpanan untuk mengecek Naufal dan pesanan restonya. Naas saat ia sedang berjalan seorang gadis berjilbab merah menabraknya dan mengakibatkan kopi yang sedang dipegang Ghali tumpah mengenai pakaian chef kesayangannya. “Aduh!” “Aww!” pekik mereka bersamaan. “Lo kalau jalan yang bener dong! Pakai matanya! Lihat nih kopinya tumpah!” ucap Ghali sambil mengibaskan pakaiannya. “Duh, duh maaf gak sengaja! Gue mau ke toilet, maaf buru-buru! Ntar marahnya dilanjut lagi aja ya! Di mana dong toiletnya? Gue udah kebelet sumpah ini!” ucap gadis itu sambil setengah berjongkok. Setelah ditunjuki arah toilet, gadis itu buru-buru pergi dan Ghali hanya bisa menatapnya sambil geleng-geleng kepala.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD