1. Ghali Arkana Fawwaz

1505 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Sang surya mulai menampakkan cahayanya di ufuk timur diiringi suara kokok ayam jantan saling bersahutan. Tapi tetap saja hal itu tidak mengusik lelapnya tidur seorang lelaki yang hampir berusia kepala tiga. Ia masih dengan nyenyaknya berbaring dengan menggunakan baju koko putih serta kain sarungnya sebagai bawahan. Suara derit pintu yang terbuka pun tak mempengaruhi tidur lelapnya. Mungkin, lelaki itu begitu asyiknya berkelana dalam dunia mimpinya. Perempuan paruh baya yang membuka pintu hanya menggelengkan kepalanya melihat anak sulungya tertidur kembali usai pulang dari mesjid bersama sang ayah dan sang kakek. Perempuan paruh baya yang menggunakan daster rumahan panjang serta jilbab bergo biasa berinisiatif membuka tirai dan jendela agar cahaya matahari bisa masuk dan sang anak bisa terbangun. Tapi, saat baru membuka kunci jendela ia mendengar suara igauan sang anak yang sepertinya memanggil seseorang. “Hei, tunggu!” “Nama kamu? Saya belum tahu nama kamu!” ucapnya dengan nada sedikit tinggi sambil mengulurkan tangannya ke atas seperti ingin mengambil sesuatu. Perempuan paruh baya itu mengernyitkan dahinya heran lalu mengurungkan niatnya untuk membuka jendela. Ia melangkah mendekati tempat tidur sang anak lalu menepuk-nepuk bahunya kasar. “Ghali! Bangun, hei! Kamu ngigau!” Setelah ditepuk beberapa kali, lelaki itu membuka matanya dan lansung menatap perempuan paruh baya yang tak lain adalah ibunya sendiri. “Astaghfirullahal’azim.” Ghali mengusap wajahnya lalu bangun dan duduk di samping ibunya. Lisa hanya memutar bola matanya jengah melihat tingkah laku anak bujangnya. “Ya Allah, makanya ibu bilang kalau habis subuh itu jangan tidur. Gak baik, Nak. Kamu susah banget dibilangin.” Ghali hanya menampilkan wajah tanpa dosanya sambil memberikan senyuma termanisnya pada sang ibu. Hal itu mengingatkan Lisa pada wajah suaminya beberapa puluh tahun yang lalu. “Hehehe. Aku ngantuk banget, Bu. Capek. Makanya abis tilawah ketiduran tadi. Mumpung akku lagi libur hari ini, Bu.” “Alasan aja. Terus mimpi apa tadi? Kamu nanyain nama siapa?” tanya Lisa dengan tatapan penuh selidik khas ibu-ibu. “Eh? Emang aku ngigau apa, Bu?” “Kamu kayak manggil seseorang gitu.” Lisa menirukan igauan Ghali yang ia dengar tadi. Ghali tertegun sesaat sebelum kembali menunjukan cengirannya. Mimpi itu lagi? Batinnya. “Ya namanya juga orang mimpi, Bu. Gak sadar atuh ngomong apanya.” Ghali menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Lisa berdecak kemudian beranjak dari tempatnya untuk menunaikan niat awalnya membuka jendela kamar. “Makanya tidur habis subuh itu gak baik, Nak. Gak baik buat kesehatan tubuh, gak baik juga buat rezeki kamu. Para malaikat itu membagikan rezeki di pagi hari. Nanti kalau tidur habis subuh kata orang tua dulu rezekinya ... “ “Bakal dipatok ayam,” sela Ghali sebelum ibunya menyelesaikan ucapannya. “Nah, itu tahu. Yaudah sekarang kamu ke dapur bantuin Enin bikin sarapan sana.” “Siap, Sir!” Ghali langsung bersikap hormat kemudian bangun dari tempatnya dan melangkah menuju dapur. === Dapur itu kini diisi oleh tiga orang. Ghali, Enin Ratna dan juga Ibu Lisa. Mereka bertiga berada di dapur untuk membuat sarapan pagi. Sebenarnya, Enin hanya duduk manis di kursi dapur menonton anak mantu dan cucunya memasak. Ia sangat menikmati pemandangan ini di masa tuanya. Jangan heran jika cucunya yang lelaki yang berprofesi sebagai chef lebih sering berada di dapur dibandingkan cucu perempuannya yang kembar, Fiyya dan Zia. Sejak kecil, entah menurun dari siapa, Ghali lebih suka membantu Eninnya memasak di dapur. Bahkan saat sudah duduk di bangku SMP, Ghali sudah bisa membuat beberapa menu masakan harian yang anak lelaki seumurannya belum menguasai. Kecintaannya pada dunia masak-memasak tak ditampik oleh Faraz dan Lisa sebagai orang tuanya. Mereka mendukung apa pun bakat anaknya asalkan positif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Meski Faraz tak punya penerus yang meneruskan perkebunan abahnya, ia tetap mendukung keinginan ketiga anaknya. Ghali yang ingin menjadi chef, Fiyya yang ingin menjadi dokter dan Zia yang ingin berbisnis tanaman dan bunga hias. Kini ketiganya fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Meski begitu, Faraz tetaplah ayah yang super protektif terhadap anak-anaknya. Ketiga anaknya harus tinggal serumah dengannya ketika sudah lulus dan sebelum mereka menikah. Ketiganya berusaha mencari pekerjaan di sekitar Bandung. Faraz tidak mengizinkan mereka untuk kos atau sewa apartemen. Faraz tidak ingin merasa kecolongan sebagai orang tua. Biarlah orang mengatakannya kolot. Itu adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi ketiga anaknya ketika ingin mendapatkan dukungan dan restu penuh darinya. Untungnya juga, Ghali dan Fiyya bekerja di sekitar Bandung sehingga mereka bisa pulang pergi meski harus menempuh jarak yang lumayan. Tak apalah, demi restu ayah tercinta puluhah kilometer aspal akan dengan senang hati mereka lalui. Saat Ghali memutuskan menimba ilmu di luar negeri, Faraz dan Lisa mengizinkannya. Faraz tak bisa melarang anaknya untuk sekolah ke luar negeri karena dulu ia sendiri pun diizinkan oleh Abah Ramli untuk sekolah ke Belanda. Ghali sangat senang bisa menimba ilmu di Le Cordon Bleu Australia. Kampusnya sendiri memang berpusat di Paris, Perancis tapi sekarang mereka sudah membuka kampus di negara Korea Selatan, Jepang, Australia, Thailand dan Malaysia. Jadi, Ghali lebih memilih Le Cordon Bleu yang ada di Australia. Setelah lulus, Ghali sempat magang dan membantu temannya mengelola resto di Australia untuk menambah pengalamannya. Begitu ia kembali ke Indonesia, ia memulai karirnya sebagai chef di sebuah hotel hingga sekarang menjadi head chef. Ghali belum cukup puas dengan pencapaian karirnya. Ia bercita-cita membuka restoran sendiri karena ia pikir tak selamanya ia akan bekerja pada orang lain. Ia harus mempunyai bisnis restoran sendiri. Meski sudah menguasai masakan-masakan internasional, Ghali tidak lupa dengan masakan khas daerahnya. Enin dengan senang hati mewariskan resep turun-temurun masakan di keluarganya pada sang cucu. Maka, setiap Ghali di rumah, dia yang mendapat tugas untuk memasak. Ia tidak bisa menerapkan standarnya yang seorang chef jika sedang berada di rumah. Makanan apa pun yang dimasak ibu dan eninnya meski tidak sesuai teori pasti ia lahap dan ia habiskan. Meski menurutnya itu terlalu lembek, terlalu matang, keasinan atau kurang bumbu. Karena ia pernah dimarahi habis oleh ibunya ketika baru pulang dari Australia lalu mendapatkan makanan yang tak sesuai dengan standard ‘chef’-nya. Waktu itu ia dibelikan lotek oleh Zia di warung tetangganya. Menurutnya rasanya aneh dan sayurnya terlalu lama dimasak sehingga jadi lembek. Ia langsung melepehnya dan membuang sepiring makanannya ke tempat sampah. Bu Lisa langsung naik pitam melihatnya. Flashback on “Kamu gak boleh gitu, Ghali! Hargai orang yang udah susah payah masakin kamu! Kamu buang-buang makanan gitu, gak tahu apa di luar sana banyak orang kelaparan!” “Habis itu gak bener banget masaknya, Bu.” “Bener gak bener, enak gak enak, suka gak suka, telen! Hargai orangnya! Asalkan kamu gak keracunan.” “Ck, ibu mah,” rengek Ghali manja. “Lagian gak kasihan sama ayah dan aki kamu yang petani? Mereka susah payah nanam, panen eh udah dimasak kok malah dibuang? Hargai dong, Nak.” “Ya justru itu karena anak ibu Ghali Arkana Fawwaz yang kasep dan pintar ini menghargai ayah dan aki sebagai petani yang udah bersusah payah menanam dan merawat tanaman bak petani merawat malika seperti anak sendiri. Jadi, hasil panennya harus dimasak dengan betul. Biar rasanya enak dan gizinya gak kebuang, Ibuku Sayang.” “Pinter banget ya kamu ngelesnya. Pokoknya tetep ibu gak mau tahu, ya! Kamu boleh mengaplikasikan ilmu kamu tapi juga dibarengin dengan adab dong, Nak. Percuma kamu berilmu tapi tak beradab. Ayah dan ibu gak mau kamu jadi manusia seperti itu.” Flashback off Sarapan yang dimasak Ghali sederhana memang, hanya nasi goreng dan telur ceplok. Ia menambahkan kacang polong dan potongan wortel pada nasi gorengnya. Setelah siap ia membawanya ke meja makan di mana seluruh anggota keluarganya telah lengkap. “Aa, nanti anterin Zia ke toko, ya?” rengek Zia di sela makannya. “Gak, ah! Aa mau main ke tempat Si Ucup.” “A Ucup nya juga gak ada di rumah keles,” jawab Zia. “Gak! Kamu naik motor aja sendiri kenapa, sih?” “Ayaaah ... Aa gak mau anterin Zia,” rengek Zia pada ayahnya, Faraz. “Ghali,” ucap Faraz dengan tegas dan penuh penekanan agar anak lelakinya itu menuruti permintaan sang adik. “Iya, iya. Dasar manja!” ucap Ghali sambil mendelik pada Zia. Jika ayahnya sudah bertitah, Ghali tak bisa membantah. “Yeay, makasih Aa-ku yang kasep.” Zia memang lebih manja pada siapa pun sedangkan Fiyya kebalikannya. Dokter itu lebih pendiam dan tergolong introvert. Fiyya dan Zia memiliki wajah yang sama tetapi sifat yang berbeda. === Ghali memarkirkan mobilnya di halaman parkir toko bunga milik Zia yang bernama ‘Zia Florist’. Zia sudah membuka bisnis toko bunganya di Bandung selama kurang lebih tiga tahun. Zia senang menggeluti hobinya yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Berkat seringnya membantu sang aki dan enin menata kebun bunganya, Zia jadi hobi mengoleksi dan merawat berbagai jenis bunga hingga akhirnya ia memilih berkuliah jurusan manajemen bisnis dan membuka bisnis sendiri. Ia memiliki tiga karyawan tetap berjenis kelamin perempuan. Kedatangan mereka disambut dengan hangat oleh tiga karyawan Zia. Suasana di toko milik Zia membuat Ghali nyaman dan melupakan niatnya bertemu temannya yang bernama Yusuf. Bunga yang indah dan warna warni memanjakan mata dan udara AC yang sejuk membuatnya betah. Hingga salah satu pengunjung yang datang mengusik ketenangannya. “Assalamu’alaikum, Zia. Aku mau pesan bunga dong,” ucap seorang gadis yang Ghali kira seumuran dengan adiknya itu. Gadis itu memakai celana kulot putih dan kemeja lengan panjang berwarna biru muda dilengkapi dengan pashmina biru muda bermotif bunga-bunga kecil. Posisi Ghali yang sedang berada di meja dekat pintu masuk membuatnya bisa memperhatikan gadis itu dengan seksama. Tak sengaja tatapan mereka bertemu dan saling mengunci. Entah mengapa Ghali merasa tidak asing dengan mata yang dimiliki sang gadis. Ghali menatap manik bola mata gadis itu dengan tajam. Mata itu ...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD