PART 2 - NAMANYA DHIYO.

1841 Words
Hinaan yang sampai di telinga. Ibarat lecutan cambuk yang tak terlihat. Akan tetap terngiang sekalipun tergilas waktu. Tak usah memberi asa. Jika berujung luka membekas pilu. Ramdan tidak pernah menduga jika malam indahnya akan berantakan seperti ini. Padahal ia sudah membayangkan hubungannya dengan Alesha akan langgeng hingga mereka menikah. Ramdan mencintai gadis mungil yang ramah dan baik hati itu. Ia memang sudah merencanakan malam ini, mempertemukan sang kekasih dengan kedua orang tuanya. Tapi tak menduga ada sosok lain yang ikut datang. Demi Tuhan, Ramdan tak ingin menyakiti hati Alesha. Alesha terlalu lembut untuk disakiti sedemikian rupa, apalagi sampai dihina seperti tadi. Alesha tripikal gadis polos dan tidak macam-macam. Wajahnya pun tak pernah meriah dengan aneka macam kosmetik. Tapi kalau sudah senyum, sanggup membuat Ramdan lupa akan dunianya. Tapi malam ini ia sudah membuat kekasihnya bersedih, alih-alih bahagia. Apalagi membiarkan Alesha pergi begitu saja. Sungguh, ia merasa menjadi seorang lelaki pengecut. Tidak, ia tidak akan biarkan kekasihnya pulang tanpa ia antar. Ramdan bangkit dari duduknya. "Ma, aku tetap pada pendirianku. Aku mencintai Echa." Meneguhkan hati akan cintanya, dan berharap kedua orang tuanya mengerti. "Mama gak setuju, Ramdan! Kamu harus menikah dengan Chika!" Wanita yang melahirkan Ramdan seolah tidak terima akan putusan sang anak. Ramdan menatap ke arah Chika, kesal. Ia tahu wanita ini asal muasal semua masalah dalam hidupnya. "Bisa ya kamu pengaruhi Mama aku," desis Ramdan tak terima. Sejak tadi Ramdan menahan diri untuk tetap menghormati kedua orang tua dan putri dari atasannya ini. Ya, Chika putri tunggal dari atasannya di kantor yang tak patah semangat mendekati dirinya. "Mama tetap pada pendirian Mama, Ramdan, jauhi Echa dan menikah dengan Chika!" Sebuah titah yang tampaknya Ramdan harus turuti. "Mama gak bisa paksa aku!" "Kamu mau Papa kamu masuk kantor polisi?" Ramdan kesal bukan kepalang. Kembali diingatkan masalah yang menimpa keluarganya. Papanya kena tipu rekan bisnisnya dan kini dililit hutang yang tidak sedikit. Chika yang mengetahui semua itu menggunakan akal liciknya bersedia membantu semua masalah keluarga Ramdan. Jelas, karena ayah Chika pemilik perusahaan di tempatnya berkerja, bukan orang sembarangan. Jangan tanya seberapa kaya gadis ini. Tapi cinta Ramdan hanya milik Echa. Ramdan jelas tidak bisa berkutik ketika diingatkan akan kasus ayahnya. Lima milyard, bukan uang yang sedikit. Tapi bagi Chika, itu hanya tinggal menjentikkan jari. Ia tentu siap membantu, asal tidak gratis. Menikahi Ramdan, lelaki yang membuatnya tergila-gila. "Paling tidak biarkan aku mengantar Echa pulang Ma." Ramdan tahu ia kalah. Sedikit ia menoleh ke arah Chika. "Dia hanya gadis biasa yang tak pernah keluyuran kemana-mana." Setelah itu, Ramdan bangkit dan keluar restoran. Sementara Echa meringis tak enak hati. Bisa-bisanya ia jatuh dan menimpa tubuh seorang lelaki yang kini meringis kesakitan. Belum lagi baju keduanya basah dan kotor. Sepertinya belum lama turun hujan. Walau tidak deras tapi mampu membuat jalanan becek dan kini karena mereka bergulingan, cocoklah sudah baju keduanya layaknya kain pel di rumah Echa. "Maaf, Echa kira Echa udah di surga." Eh, maksudnya? Lelaki itu melirik Echa. "Kamu gak apa-apa?" Mendapat pertanyaan itu, Echa menggeleng. "Harusnya Echa yang tanya sama kamu. Kamu sakit gak ketindihan tubuh Echa?" Mereka berdua menghempaskan kotoran di pakaian masing-masing. Bergulingan di tanah dan berakhir dengan adegan saling memeluk, wajah Echa menjadi panas seketika. "Kamu mau bunuh diri ya?" Echa menggeleng keras. "Enak saja, siapa bilang? Echa masih mau hidup." Echa tak terima. "Siapa nama kamu?" Lelaki itu kembali bertanya. "Alesha, tapi biasa dipanggil Echa." Sedetik kemudian, Echa menatap uluran tangan di depan mata. "Kenalan," ajak lelaki itu lagi. Echa ragu. "Aku gak bakal culik kamu kok, cuma mau kenalan aja." Echa tersenyum pada penolongnya. Ya iyalah, kalau gak disamber tadi, pasti Echa sudah tinggal nama. Gak apa kali ya kenalan doang sih. Jadilah Echa membalas uluran tangan lelaki itu. "Dhiyo, nama aku Dhiyo." "Terima kasih atas bantuannya Dhiyo. Maaf Echa sudah buat baju Dhiyo basah." Echa meringis. "Aihs cuma baju doang kok." Mereka saling pandang. "Anggap ini balasan karena aku buat baju kamu kotor di restoran tadi." Oh iya, Echa tentu ingat bajunya terkena tumpahan air dari gelas Dhiyo. "Kok kamu pulang sendiri? Pacar kamu gak antar?" Ditanya begitu, Echa menggeleng. "Echa sudah putus," bisiknya sambil menghela napas. "Eh putus? Kok bisa?" Echa mendelik. "Sorry bukan kepo lho, tapi kalian tadi keliatan banget kok mesra pas masuk restoran. Pasangan yang serasi. Masa datang mesra, terus langsung putus?" "Aneh ya?" Wajah Echa nelangsa. "Biasa kan putus itu diawali dengan ribut atau berantem." Echa tidak tahu kalau kedatangannya di restoran sudah dilihat lelaki ini. "Echa bukan orang kaya. Echa gak pantas sama Ramdan." Oh jadi pacarnya itu namanya Ramdan. "Memang si Ramdan itu orang kaya ya?" tanya Dhiyo lagi. "Ya iyalah, kalau gak, mana bisa bawa Echa makan malam di sana. Eh tapi Echa belum makan kok. Cuma minum sedikit." "Terus kenapa kamu keluar? Apa karena putus sama Ramdan?" Wajah Echa murung. "Ramdan bilang akan kenalkan Echa pada kedua orang tuanya, tapi ternyata mereka cuma hina Echa." Mata Echa berkaca. Inilah Echa, si gadis yang gampang cengeng. "Echa benci orang kaya. Echa benci mereka yang hanya menatap dari materi semata." Entah kenapa Echa jadi curhat. Lupa jika lelaki ini belum ia kenal. "Gak semua begitu Echa. Kamu jangan sama ratakan semua orang." Echa mengerjap. "Ih, Echa kenapa curhat sama kamu ya." Mulut Echa merengut. Dhiyo terkekeh. Merasa lucu dan terhibur atas sikap polos Echa. "Kamu sendiri sedang apa di restoran itu?" Echa balik bertanya. "Aku?" Dhiyo menunjuk pada dadanya sendiri. Echa mengangguk. "Aku disuruh datang sama bosku." Dhiyo garuk kepalanya. "Terus?" "Ya gitu deh, bosku gak jadi datang. Hehehe." "Tuh kan, nasib jadi orang kayak kita ya gini. Terus kamu bayar sendiri dong minumannya tadi?" Echa mengingat jika ia melihat lelaki ini sudah memesan minuman yang tumpah ke bajunya. "Ya iyalah. Untung aku bawa duit." Kembali lelaki itu terkekeh. "Memang kamu mau apa ketemu bos kamu?" Kening Dhiyo melipat. "Hmmm aku ... aku mau minta pesangon. Aku berhenti kerja." "Kok berhenti kerja, kenapa?" Dhiyo garuk kepala. "Bosku bangkrut." "Kasihan amat sih kamu." Mata Echa menatap miris. "Eh gak deh, kita senasib, malam ini sama-sama kasihan." Dhiyo hanya mengangguk. "Terus kira-kira pesangon kamu itu bakal dikasih gak? Kan bos kamu bangkrut?" Dhiyo angkat bahu. "Gak tahu sih? Namanya juga usaha." Hening sesaat di antara mereka. "Kamu mau pulang?" tanya Dhiyo pada Echa. Echa mengangguk. "Echa sepertinya harus pesan ojek. Echa gak tahu jalan pulang." "Hah serius? Kamu baru tinggal di kota ini?" "Echa sudah lama sih tinggal di kota ini. Tapi kan gak pernah kemana-mana sendirian. Gak tahu juga kalau akan seperti ini. Ini jalan apa saja Echa gak tahu. Jadi lebih aman Echa pulang naik ojek online saja." Dhiyo tampak berpikir. "Echa, mau gak kalau kamu naik ojek aku?" Hah! Maksudnya? "Ya, kan daripada kamu bayar ojek, mending bayar aku. Aku antar deh sampai depan rumah. Gimana?" Mata Echa menyelidik. "Gak usah segitunya kali, aku gak bakal culik kamu kok." Echa masih menimbang antara mau atau tidak. "Jujur ya, aku gak punya uang buat beli bensin. Kan aku bawa uang sedikit. Buat bayar minuman di restoran tadi soalnya. Sekarang uangku habis, mana bensin habis lagi." Mulut Echa menganga. Beneran kasihan amat ya! "Jadi please, aku anterin ya? Terserah deh kamu bayar berapa? Atau bayar pake bensin seliter aja deh. Ya-mau ya! Masa aku dorong motor aku sampai rumah sih?" Echa tergelak. Wajah Dhiyo nelangsa sekali. "Ya ampun kamu ngenes amat sih." Merasa ditertawakan, Dhiyo nyengir kuda. Paling tidak ia sudah membuat gadis ini tertawa. "Oke deh, Echa naik ojek kamu aja. Tapi Echa gak berani bayar mahal lho." Mata Dhiyo berkilat senang. "Tapi motor aku di seberang parkirnya, masih di depan restoran." "Terus kamu tadi kok bisa selamatkan Echa?" "Aku baru mau ambil motor, eh lihat kamu kayak orang mau menabrakkan diri ke jalan raya." "Ih, gak. Echa gak akan bunuh diri kalau cuma putus cinta." Echa tak terima. "Bagus, itu baru smart girl." Dhiyo memberikan kedua jempolnya. Echa memutar bola matanya. "Ya udah, yuk kita nyebrang." Dhiyo merentangkan tangan kanannya memberi isyarat pada mobil yang tengah melaju. Dan refleks Echa meraih tangan kiri Dhiyo. Echa takut menyebrang. Apalagi mobil yang melaju malam ini ramai sekali. Mereka pun sampai di seberang. "Aku parkir di sana, Echa," unjuk Dhiyo. Tinggal beberapa langkah lagi mereka sampai ketika ada suara menghardik keras, disertai tarikan di baju Dhiyo. "b******k lo!" Keduanya menoleh, dan refleks sebuah pukulan menghantam wajah Dhiyo. "Dhiyo!" Echa memekik kaget ketika tubuh Dhiyo terjungkal ke belakang. Echa menoleh dan melihat aura gelap dari Ramdan kepada Dhiyo. Ternyata Ramdan yang memukul Dhiyo. "Ramdan kamu apa-apaan sih?" Histeris sudah Echa jadinya. Melihat kekerasan di depan mata. Ramdan mendengus kesal. "Kamu yang apa-apaan! Bisa-bisanya kamu pegangan sama lelaki ini! Jangan bilang kamu itu cewek murahan ya Cha!" Telapak tangan Echa melayang ke pipi Ramdan. Sontak membuat Ramdan dan Dhiyo sama terkejut. "Echa sudah sabar dihina oleh keluarga Ramdan. Tapi jangan pernah sekali-kali bilang kalau Echa cewek murahan." "Tapi kamu diam saja ketika tangan kamu dipegang dia. Kamu-" Ramdan tak lagi bicara, ketika sebuah pukulan menerpa rahangnya. "Ramdan!" Echa teriak. Dhiyo yang tersungkur ternyata bangun dan melayangkan pukulan balasan pada Ramdan. Tak puas, lelaki itu meraih kemeja Ramdan, menariknya dan kembali memukul perut Ramdan. "Itu untuk mulut kotormu!" hardik Dhiyo. Ramdan mengaduh. "Ya ampun anakku!" Semua yang ada di restoran keluar, begitu juga kedua orang tua Ramdan. Mereka langsung menghampiri Ramdan. "Lain kali hati-hati kalau bicara bung!" Dhiyo meludah ke lantai. "Dasar perempuan kurang ajar, bisa-bisanya kamu balas memukul anak aku! Perempuan rendahan!" Ibunya Ramdan seolah tak terima. Padahal yang memukul jelas bukan Echa, tapi Echa lagi yang dihina. Untung kakaknya gak ada di sini. Kalau ada, bisa lebih repot lagi! Walau begitu, ucapan dari mulut ibunya Ramdan itu terasa menghujam jantung Echa. Dhiyo yang melihat bening hampir tumpah di mata Echa langsung meraih telapak tangan Echa. "Aku antar kamu pulang." "Echa!" Ramdan berteriak. Jelas ia tak terima kekasihnya dibawa pergi lelaki lain. Echa berhenti melangkah demi memutar sedikit wajahnya pada sang kekasih. "Ramdan, mulai malam ini kita putus." "Kamu gak bisa gini sama aku! Aku gak mau kita putus!" Ramdan tak terima. Ia sangat mencintai Echa. Lupa jika hubungan mereka tidak bisa lanjut lagi. Ramdan sudah terlanjur emosi karena ada yang lebih peduli pada Echa. "Ramdan sudah, buat apa kamu kejar w************n itu!" Kembali teriakan ibunya Ramdan terdengar kencang. Sakit, d**a Echa kian terasa sakit. Ramdan bangkit dan meraih tangan Echa. Jadilah tangan Echa yang satu ditarik Ramdan dan yang lain dipegang Dhiyo. "Echa." Ramdan memanggil dengan penuh harap. Echa melerai tangan sang kekasih. "Echa pulang sama Dhiyo. Jangan pernah lagi datangi Echa." Kini Echa yang menarik tangan Dhiyo untuk pergi dari tempat itu. Ramdan tak terima, ia menarik tangan Echa dengan keras. "Kamu gak boleh ikut dia!" Tangan Echa dan Dhiyo terlepas. Dhiyo tak terima. "Eh lo bisa gak sih sopan sama cewek." Kembali Dhiyo menarik Echa. Malam ini Echa bak menjadi rebutan dua lelaki. "Jangan ikut campur lo b******k!" Ramdan jelas tak terima. Melihat aura permusuhan, Echa bermaksud menengahi dengan berdiri di depan Dhiyo. Tapi Ramdan keburu melayangkan pukulan ke arah Dhiyo, dan otomatis pukulan Ramdan mengenai wajah Echa. "Echa!" Kedua lelaki itu sama berteriak ketika melihat Echa jatuh tersungkur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD