PART 3 - KALANGAN SULTAN.

1897 Words
Seumur hidup, Dhiyo tak pernah kasar pada wanita. Ia selalu menghormati wanita. Semarah apapun pada makhluk Tuhan yang ditakdirkan dengan wajah cantik itu, Dhiyo selalu menyingkirkan amarahnya dan menggantikan dengan senyuman. Menurutnya hanya lelaki bodoh yang ringan tangan pada makhluk menggemaskan dan memiliki perasaan halus itu. Karena dari rahim makhluk cantik itulah dirinya berasal, pun semua yang menyebut dirinya lelaki sejati. Jadi saat melihat di depan mata, Echa jatuh karena sebuah pukulan yang Dhiyo tahu, mungkin tidak disengaja, amarah Dhiyo merayap naik. Lelaki itu murka dengan amat sangat! Tanpa banyak bicara lagi, ia kembali menghajar Ramdan, kali ini dengan pukulan sekencang-kencangnya! Berulang kali. "Ramdan anakku! Sekuriti mana sekuriti!" Teriakan ibunya Ramdan memekakkan telinga. Dhiyo pun dilerai beberapa orang. Andai tidak dilerai, sudah pasti lelaki bernama Ramdan ini sudah hilang nyawanya malam ini juga. Tidak ada yang boleh memukul wanita di depan wajahnya, siapapun itu! Terlebih memukul wanita dengan tubuh mungil yang kini tampak shock melihat kekerasan yang lagi-lagi terjadi di depan matanya. "Kamu! Tega sekali kamu memukuli putraku!" Suara ibunya Ramdan terdengar histeris. Wanita tua itu memeluk putranya yang tampak babak belur. Amarah Dhiyo bahkan belum surut. Matanya masih nanar dan napasnya tampak terengah. Telapak tangannya masih terkepal erat. seolah masih ingin menuntaskan pukulannya yang terjeda. "Aku laporkan kamu ke polisi atas tindakan penganiayaan putraku!" Dhiyo melepaskan cengkraman orang-orang pada lengannya. "Silahkan laporkan sana! Kalau perlu kalian foto nomor polisi motorku ini." Seakan menantang, suara Dhiyo menggelegar. "Katakan pada putramu untuk bersikap layaknya lelaki sejati. Cuih!" Dhiyo meludah dengan emosi tingkat tinggi. "Kalau tidak bisa memberi bahagia, jangan pernah melukai hati seorang wanita. Kalian pikir, harta kalian sudah pantas membuat kalian menghina sesama? Hari ini kalian bisa menghina, esok atau lusa bisa jadi kalian yang dihina." Ibunya Ramdan mendelik tak terima. Ia paling tidak suka dinasehati anak kemarin sore. "Kurang ajar sekali kamu!" "Bu, sudah. Memang anak kita yang salah!" Ayah Ramdan yang sejak tadi diam, ikutan bicara. Dhiyo mendekati Echa yang tampak memegang pipinya yang kini terasa kebas. "Kamu gak apa-apa Cha?" tanyanya khawatir. Pukulan Ramdan baginya tidak begitu terasa, tapi buat gadis mungil ini pasti terasa sakit sekali. Sungguh, Dhiyo kasihan pada gadis ini. Andai Echa tidak melerai mereka, dia tidak akan kena pukul. Echa sudah berlinang air mata, pipinya memang sakit sekali. Sungguh, ia belum pernah dipukul begini. Sudut bibir Echa berdarah. Rahang Dhiyo mengeras, Ia benci lelaki yang memukul perempuan. Ramdan menatap Echa dengan sendu. Ia menggeleng dan merasa amat bersalah. Ia tidak bermaksud menyakiti Echa, tapi nyatanya ia sudah memukul Echa. Telapak tangannya sudah mendarat dengan kencang ke wajah Echa. Ramdan menyesal. "Echa," lirihnya kembali tidak menghiraukan cengkraman dari ibunya. Ia berusaha mendekati kekasihnya itu, tapi tak bisa karena ibunya kembali mencekal lengannya dengan erat. Echa mundur selangkah, walaupun ia tahu lelaki itu tak akan sampai ke arahnya. Dengan menahan tangis, Echa berucap. "Jangan pernah dekati Echa lagi, Ramdan." Di bawah tatapan sendu dan penuh perasaan bersalah Ramdan, Dhiyo membawa Echa kembali ke arah motornya. "Sudah Ramdan, jangan dekati lagi gadis itu! Mama akan laporkan mereka ke polisi." "Ma!" "Biar saja, biar mereka semua masuk penjara." Langkah Dhiyo terhenti, hanya demi tersenyum miring tanpa mau bersusah payah menoleh ke belakang. "Silahkan, laporkan sesuka kalian! Aku tunggu laporan kalian." Kembali Dhiyo melangkah bersama Echa. Echa pun menurut. Ia berjalan sambil mengusap pipinya yang basah. Namun begitu, ia masih mendengar teriakan Ramdan dari arah belakang. "Echa! Aku gak akan biarkan kamu sama laki-laki itu! Kamu milik aku Echa! Milik aku!" Echa tertunduk pilu. Air matanya kembali merebak. Nasibnya mengenaskan sekali. Sudah dihina, dipukul dan masih siap-siap menerima ancaman laporan polisi dari ibunya Ramdan. Dhiyo menjalankan motornya perlahan. Udara malam yang berhembus malam ini membuat Echa tak kuasa menahan kesedihan. Hinaan dari keluarga Ramdan terngiang di telinganya. Pun sakit akibat pukulan Ramdan masih Echa rasakan. Sebenarnya lelaki bernama Dhiyo itu tidak bermaksud mencampuri urusan lelaki bernama Ramdan ini. Bermula saat matanya melihat gadis bernama Echa ini ke toilet, dan datang ketiga orang yang masuk ke dalam restoran dan bergabung bersama kekasih Echa. Saat itu Dhiyo sedang mengangkat teleponnya yang berbunyi. "Hallo." Berhubung di dalam tidak ada sinyal, ia melangkah ke luar. Lebih mendekati meja tempat kekasih Echa berada bersama keluarganya. "Yo, masih lama gak nih? Istri gue udah gak sabar." "Ya ampun Ben, ini masih di jalan. Sabar dikit kenapa? Titip gratisan juga!" "Ya tapikan ini orang ngidam Yo, tar kelamaan anak gue ileran lagi!" Ingin sekali Dhiyo melempar temannya ini dengan sandal. Sudah suruh-suruh mintanya gratisan pula. "Eh, anak lo belum lahir keles, suruh sabar. Bilang Om Dhiyo akan cari durian montong yang paling enak dan mahal. Udah gak usah cerewet, gue lagi meeting." "Meeting! Mijit yang penting-penting gitu!" Tawa terdengar dari arah ponsel. Dasar teman kurang ajar! Ia sudah akan kembali ke meja ketika mendengar suara. "Mama gak setuju kamu pilih gadis miskin itu!" Perlahan Dhiyo memutar kepalanya dan menemukan ucapan pedas itu dari mulut seorang wanita yang kini duduk di meja tak jauh dari mejanya. Dhiyo jelas ingat, ini adalah meja sepasang kekasih yang wanitanya sedang ke toilet. "Kamu yang putuskan dia? Atau Mama yang usir dia dari hidup kamu. Dia tidak pantas mendampingi kamu, orang miskin gitu, gak malu kamu jalan sama dia? Mau ditaruh dimana muka keluarga kita." Ugh! Dhiyo paling tidak suka sama orang-orang yang memandang manusia dari sebuah status ekonomi. Itu sebabnya ia membuat sedikit drama. Menumpahkan minumannya pada gadis malang ini. Berharap gadis ini berlama-lama di toilet. Sungguh, Dhiyo selalu diajarkan untuk menghormati sesama di keluarganya. Materi? Bukan salah gadis itu jika ia terlahir dari keluarga yang tidak mampu. Tapi ternyata, Dhiyo tidak bisa diam saja ketika melihat gadis itu terluka dan keluar dari restoran. Ia yakin ibu lelaki itu telah menyakiti hati wanita mungil yang bernama Echa ini. Echa. Menyebutnya saja, hati Dhiyo sudah tersenyum sendiri. Dhiyo pikir Echa mau bunuh diri. Tapi ternyata cuma mau menyebrang. Lebay sekali pemikiran Dhiyo. Mana mungkin gadis ini bunuh diri hanya karena putus cinta. Pertolongan Dhiyo tidak tanggung-tanggung. Kini ia sudah dalam perjalanan membawa gadis ini arah pulang. Baru beberapa menit mereka berkendara, Dhiyo mendengar isakan kecil dari arah belakang tubuhnya. Dhiyo menggeram dalam hati. Ia paling tidak suka mendengar wanita menangis. Tapi kali ini Dhiyo membiarkan. Ck, masa sih aku antar dia pulang kayak gini? Nanti dikira aku macam-macam in anak gadis orang lagi. Melihat sebuah taman, Dhiyo berhenti. Echa segera menghapus basah di pipinya. "Kok-kok kita berhenti di sini? Rumah Echa masih jauh." Tiba-tiba Echa takut. "Turun dulu sebentar, aku mau ke toko obat," unjuk Dhiyo pada sebuah toko obat tak jauh dari tempat mereka berhenti. Echa menurut. Ia melihat Dhiyo melangkah menyebrang jalan. Melihat ada kursi taman, Echa duduk. Dhiyo mau apa sih? Tak lama Dhiyo datang, membawa bungkusan. "Minum dulu." Lelaki itu mengulurkan sebotol air mineral yang sudah ia buka tutupnya di hadapan Echa. Echa masih ragu. Menyadari kecurigaan gadis di depannya, Dhiyo meneguk air dari botol itu. "Lihat kan? Ini gak ada apa-apanya kok. Cuma air putih biasa. Supaya kamu gak dehidrasi karena menangis sepanjang jalan tadi." Mata Echa mendelik dan dia menerima botol di tangan Dhiyo, meneguknya sambil menatap wajah Dhiyo. "Terima kasih." Echa menghela napas. "Bibir kamu berdarah. Mau kamu yang obati apa perlu bantuan aku?" Melihat pada bungkusan plastic ada tissue dan kapas, segera Echa meraihnya sendiri. Ia sedikit meringis ketika menempelkan tissue ke bibirnya. Lalu melihat ada sedikit darah. "Echa belum pernah dipukul," bisiknya pelan. Ia tersenyum miris ketika lelaki yang selama ini mengaku sayang padanya justru memukulnya. "Kak Tama pasti marah kalau tahu Ramdan pukul Echa." "Tama?" Dhiyo membeo. "Kakak Echa." "Ooo." Hening terlewati beberapa detik. "Sebenarnya pacar kamu itu gak ada kok niat pukul kamu." Dhiyo tidak berdusta. Ia melihat cinta yang besar di mata lelaki itu buat Echa. "Dia aslinya cinta sama kamu." Mata mereka saling melekat. "Sayangnya dia cemen." Mulut Echa mencebik seketika. "Buktinya berantem saja, ibunya ikut bela." Menurut Echa sih wajar. Seorang ibu tak akan mau anaknya disakiti, sekalipun anaknya salah. "Kamu sudah lama pacaran sama dia?" tanya Dhiyo lagi. "Baru beberapa bulan." "Terus?" "Ya gitu deh. Malam ini dia mau kenalkan aku ke orang tuanya, terus minta restu dan nanti selanjutnya gantian dia yang datang ke keluarga aku. Dia bahkan menawarkan sebuah pernikahan sama Echa. Bagaimana Echa mau kenalkan dia sama kakak Echa, kalau kedua orang tuanya saja gak merestui hubungan kami." Mata Echa berkaca. "Akhirnya semua berantakan? Kami benar-benar harus putus." "Sayang ya." Dhiyo mengangguk. "Mungkin belum jodoh. Karena yang aku tahu, jodoh, rejeki dan maut ada di tangan Tuhan. Jadi mau kita sedekat apapun kalau belum jodoh kita gak akan jadi sama dia. Atau mau sejauh apapun kalau kita jodoh, pasti kita akan ketemu," tutur Dhiyo bak seorang penceramah. Jangan lupakan senyumnya yang mengembang, layaknya anak yang akhirnya bisa mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini. "Iya sih. Kamu benar." "Seperti kita sekarang, kita berjodoh," cetus Dhiyo dengan nada bangga. "Hah! Maksudnya?" Echa bingung. "Ya, pertemuan kita ini. Tuhan mempertemukan kita dalam kondisi yang tidak di sangka-sangka kan? Mana aku tahu akan bertemu kamu direstoran dan aku juga gak tahu akan baku hantam sama pacar kamu itu." Oh itu. Echa mengangguk. Dhiyo benar, semua ini tak terencana. Malah jauh diluar rencana Echa. Yang awalnya berbunga-bunga kini bersedih tak terkira. Telapak tangan Dhiyo terulur di hadapan Echa. Membuat gadis itu semakin heran. "Apa?" tanya Echa dengan dahi melipat. "Kita berteman, mulai malam ini?" ajak Dhiyo dengan kedua alis saling tertaut. Echa belum membalas uluran tangan Dhiyo. Ia tidak mengenal lelaki ini, tapi melihat bagaimana di restoran tadi, Echa yakin Dhiyo orang baik. Tapi Echa gak mau gegabah juga. Ia memastikan pandangannya terlebih dahulu. Pada raut wajah yang menurutnya tampan, andai penampilannya bisa sedikit lebih rapi. Sayang rambutnya panjang dan awut-awutan. Hidung mancung dan rahang yang ditumbuhi cambang yang Echa yakin, lelaki ini pasti malas bercukur. Mereka baru kenal, tapi saat melihat senyum Dhiyo, ada yang menyelusup di hati Echa tanpa bisa Echa cegah. Entah, Echa belum bisa memberi nama akan rasa itu. Mungkin karena masih terlalu dini. Berusaha mengenyahkan pikiran anehnya, Echa melemparkan tatapan ke arah lain. "Echa hanya mau berteman dengan orang yang nasibnya sama dengan Echa, Echa gak suka sama orang yang suka menghina orang miskin." "Kalau kamu sama kayak Echa, kita bisa berteman, tapi kalau kamu ternyata berasal dari kalangan Sultan, mending jauh-jauh dari Echa." "Apa?" Dhiyo keheranan. Kalangan Sultan? "Aku bukan keturunan keraton Echa. Aku mana ada darah biru," tukasnya. Dhiyo tampaknya tak mengerti arah pembicaraan Echa. Ya iyalah, Echa kan dapat kalimat itu dari Mas Jono, lelaki melambai yang menjadi sahabatnya selama ini. "Dhiyo." Perlahan, kepala Echa menoleh kepadanya. Mata sebening telaga itu terarah padanya. Masih menyisakan bercak basah di seputar kelopak mata. "Echa gak mau berurusan sama orang kaya," tuntut Echa. Berusaha memberi pengertian pada lelaki yang kini menatapnya dengan tatapan yang sulit Echa tebak. Degup jantung Dhiyo meningkat. Napasnya bahkan tertahan. Seiring dengan tenggorokannya yang mendadak tersumbat benda berat. Untuk berkedip pun rasanya enggan. Kalimat Echa barusan bisa Dhiyo mengerti, tapi yang tidak ia mengerti mengapa gadis ini menyamaratakan semua orang, hanya karena hinaan yang baru diterima dari lelaki dan keluarga b******k tadi! Mereka saling tatap, kini telapak tangan Echa sudah menempel di telapak tangan Dhiyo. Menunggu lelaki ini berucap sepatah kata. Dhiyo sendiri menyesal telah mengajukan ajakan pertemanan, jika akhirnya yang ia rasakan selanjutnya bak ada tali melintang mengelilingi dadanya. Membabat habis asupan udara di paru-parunya dalam sekejap. Terlebih ketika telinganya mendengar kembali suara Echa. "Bilang sama Echa, kalau kamu bukan anak orang kaya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD