Loro

1576 Words
Naira datang ke restoran pagi-pagi sekali. Dia harus sudah membersihkan restoran sebelum restoran itu buka. Ada empat orang petugas cleaning service dan satu tukang kebun. Naira selain mendapat tugas menyapu, mengepel, membersihkan toilet, juga membantu Pak Tono menyiram bunga-bunga. Saat Naira menyapu lantai, ia memperhatikan satu foto yang terpajang di dinding. Naira memperhatikan lekat-lekat foto itu. Satu laki-laki paruh baya, satu perempuan paruh baya, satu pemuda yang ia tahu dia adalah Affandra Arkatama, dan satu lagi seorang gadis yang mungkin sepantaran atau lebih muda darinya. Itu adalah foto keluarga ayahnya. Hatinya seketika bergerimis. Seumur hidup ia tak pernah berfoto keluarga lengkap seperti ini. Ia hanya foto berdua bersama almarhumah ibunya atau foto bersama paman dan bibinya. Naira bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa sang ayah lupa padanya? Bagaimana bisa sang ayah menikah lagi tanpa pernah memberi kabar pada ibunya? Apakah ketika anak perempuannya lahir, dia tak ingat bahwa dia pun memiliki anak perempuan yang ia tinggalkan? Atau memang ayahnya tak pernah menyayanginya? Atau apakah kelahirannya tidak diharapkan? "Kamu ini lagi kerja atau melamun?" Teguran dari Affandra mengagetkannya. Ia segera meraih gagang sapu yang ia sandarkan di tembok. "Maaf, Pak ... saya sedang rehat sejenak. Saya akan meneruskan pekerjaan saya lagi." Naira segera menyapu tanpa berani menatap Affandra. Affandra memperhatikan Naira yang menyapu. Ia bersedekap seolah tengah mengamati cara Naira menyapu. Naira salah tingkah sendiri. Ia takut ada yang salah dengan caranya menyapu. "Nanti juga ada waktunya rehat, kok. Kerja yang serius dan tekun. Semua petugas cleaning service dan tukang kebun itu laki-laki. Makanya saya ragu kamu bisa mengerjakan pekerjaan ini." Naira mengangkat wajahnya dan menatap Affandra dengan sorot tertajamnya. "Saya terbiasa bersih-bersih. Saya bisa mengerjakan pekerjaan ini." Affandra melirik salah satu sudut yang masih terlihat kotor. "Di situ masih ada yang kotor. Tolong bersihkan. Jangan sampai ada satu sudut pun yang kotor." Affandra menatap Naira dingin. Naira mengangguk. "Baik, Pak." "Selesai menyapu tolong buatkan saya teh hangat dan antar ke ruangan saya," lanjut Affandra. "Apa saya juga bertugas untuk membuatkan minuman untuk Bapak?" Naira mengernyitkan alis. Sebelumnya Affandra tak pernah bercerita bahwa dia akan mengerjakan tugas membuatkan minuman. "Iya, saya mau kamu yang buatkan minuman untuk saya, mulai hari ini dan seterusnya," balas Affandra masih dengan sikap dinginnya. Ia pun berlalu dari hadapan Naira tanpa berkata-kata lagi. Sejenak Naira terdiam, antara bingung dan kesal dengan sikap dingin Affandra. Nada bicaranya terkesan ketus. Meski kurang suka dengan sikap atasannya, Naira akan tetap bertahan demi bisa bertemu dengan ayahnya nanti. Bisa saja ia menghubungi ayahnya dengan meminta nomor teleponnya dari Affandra, tapi itu hanya akan memancing kecurigaan Affandra. Ia ingin bicara langsung dengan ayahnya dan menunjukkan bukti foto pernikahan ayah dan almarhumah ibunya, akta kelahiran, serta surat peninggalan almarhumah ibunya. Selesai menyapu, Naira menuju dapur. Ia mengerjakan tugas kedua yang dikomando oleh Affandra. Sapto, salah satu petugas cleaning service mengamati Naira yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Seragam yang Naira kenakan sama dengan seragamnya. Ia bisa menduga bahwa Naira adalah petugas cleaning service yang baru. "Maaf Mbak, Mbak karyawan baru di sini?" tanya Sapto ramah. Naira menoleh ke arah pemuda itu. "Iya, Mas. Saya baru kerja hari ini." "Itu teh buat Pak Bos?" tanya Sapto lagi. Naira mengangguk, "Iya ...." "Biasanya itu tugas saya. Kamu diminta Pak Bos untuk mengerjakan ini?" Naira kembali mengangguk. "Iya kata Pak Affandra, mulai hari ini dan seterusnya saya yang bikin teh dan mengantar ke ruangannya." Sapto tersenyum lebar. "Nggak masalah. Tugas saya malah jadi lebih ringan." "Ya udah saya mengantar minuman ini dulu ke ruang Pak Affandra, ya." Naira mengangguk dan tersenyum. "Silakan." "Sapto, sapa kae?" (Sapto, siapa itu?) Sapto melirik teman kerjanya yang membawa kemoceng. "Karyawan anyar. Inyong urung takon jenenge." (Karyawan baru. Aku belum tanya namanya). Karyawan bernama Adi itu memperhatikan langkah Naira hingga tiba di lantai atas. "Tumben wong wadon gelem kerja nyapu-nyapu. Biasane pada gengsi," tukas Adi. (Tumben perempuan mau kerja nyapu-nyapu. Biasanya pada gengsi). "Golet gawean jaman siki angel, bro. Ya mungkin dheweke wis golet gawean nganah ngeneh tapi ora ketampa." (Mencari pekerjaan zaman sekarang susah, bro. Ya mungkin dia udah nyari pekerjaan ke sana kemari tapi nggak diterima). "Iya juga, sih." Adi menggaruk kepalanya. Naira mengetuk pintu. Affandra mempersilakannya masuk. Naira masuk ke dalam dan meletakkan segelas teh di meja Affandra. "Ini tehnya, Pak." Affandra tak mengucap apapun. Ia teguk segelas teh itu. Dia kembali menatap Naira dengan ekspresi tak terbaca. "Teh buatan kamu kemanisan. Besok-besok kurangi gulanya, ya. Satu sendok teh juga cukup. Saya nggak suka teh yang terlalu manis." Naira mengangguk. "Baik, Pak." Naira hendak berbalik, tapi Affandra buru-buru memanggilnya. "Naira ...." Naira menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badan dan mematung dengan perasaan yang lebih gugup. Ia seperti melihat ada rasa tak suka tergambar di wajah atasannya. "Duduk dulu, saya mau bicara." Naira menuruti permintaan bosnya. Ia duduk dengan sedikit cemas. Ia takut Affandra akan kembali komplain terkait pekerjaannya. "Sebenarnya tujuan kamu berkerja di sini apa?" tatapan Affandra begitu menghunjam. Naira tersentak. Ia merasa seperti maling yang tertangkap basah. Apa Affandra tahu tujuannya datang ke restoran ayahnya? "Saya ... saya sudah bilang kalau saya butuh pekerjaan." Naira sedikit terbata. "Saya cuma nggak habis pikir, gadis dari Bandung, datang jauh-jauh ke Purwokerto hanya karena ingin merasakan tinggal di kota kecil ini dan mencari pekerjaan. Kamu punya keluarga di Bandung, 'kan? Pekerjaan di sana jauh lebih banyak dan gajinya juga lebih tinggi. Apa yang bikin kamu rela jauh dari keluarga?" Affandra masih menatap Naira tajam. "Awalnya saya berusaha percaya sama kamu. Cuma setelah saya kembali merenung, rasanya sulit buat saya untuk percaya." Affandra tak sedikitpun mengalihkan tatapannya. Naira tak tahu harus membalas apa. Affandra beranjak dan mendekat ke arah Naira. Ia menyandarkan telapak tangannya di meja lalu memusatkan penglihatannya hanya pada Naira. Gadis itu membeku, sedikit grogi, dan tak berani menatap Affandra. "Kalau kamu tidak mau berterus terang silakan saja. Saya nggak akan memaksa. Saya akan mengawasi kinerjamu. Kalau kinerjamu berantakan, saya nggak akan segan-segan untuk memberhentikan kamu." Naira tercenung. Kata-kata itu begitu tegas. Ia tahu posisinya tidak aman. Affandra bukan seseorang yang mudah dikelabui. Serangkaian rencana untuk mencari tahu tentang sang ayah dari Affandra kini menguar begitu saja. Ia tak bisa gegabah dan tak akan lagi mengorek informasi sang ayah dari Affandra. Saat ini yang paling penting untuknya adalah menunjukkan pada Affandra bahwa ia benar-benar serius bekerja di sini. Affandra kembali duduk di kursinya. "Kenapa masih di sini? Silakan keluar dan selesaikan pekerjaan kamu." Naira sedikit gelagapan. "Kamu masih ingin di sini menemani saya?" tanya Affandra setelah melihat gelagat Naira yang tak jua beranjak. "Ma ... maaf ... saya permisi dulu." Naira segera bangkit dan keluar dari ruangan Affandra. Affandra terpekur. Rasanya ia perlu menyelidiki lebih jauh siapa Naira. Ia beranjak dan berjalan mendekat ke arah tirai. Diperhatikannya gadis 21 tahun yang tengah menyiram tanaman di taman depan. Instingnya semakin tajam. Naira datang ke restorannya bukan sekadar mencari pekerjaan, tapi ada maksud lain. ****** Restoran telah buka. Naira tak menyangka restoran sang ayah begitu laris dikunjungi pengunjung. Ia pikir Affandra hanya sebagai pengawas saja, ternyata ia terjun langsung ke restoran dan ikut memasak di dapur. Affandra memiliki kemampuan memasak yang sangat baik. Bahkan salah satu karyawati bercerita jika menu yang disajikan di restoran adalah hasil racikan resep Affandra. Saat tengah ramai pengunjung begini, petugas cleaning service hanya bertugas merapikan meja setelah pengunjung selesai makan dan mencuci piring. Segala hal terkait kebersihan menjadi tanggung jawab mereka. Saat Naira tengah mencuci piring, tanpa sengaja ia menjatuhkan satu buah piring hingga pecah berserakan. Semua yang ada di dapur kaget mendengar suara pecahan itu, termasuk Affandra. Laki-laki itu kembali menyasar tatapannya pada Naira dengan begitu tajam. "Ma ... Maaf, saya nggak sengaja." Seketika Naira menunduk dan memungut pecahan piring. Jarinya tertusuk salah satu remah pecahan piring hingga berdarah. "Aooo ...." Naira merintih kesakitan. "Kalau bersihin piring hati-hati. Jangan memungut pecahan piring dengan tangan kosong. Kamu baru pertama kali kerja udah bikin kacau kayak gini." Gertakan Affandra mengundang perhatian karyawan yang lain dan menoleh ke arah Naira. Sebagian bersimpati melihat sang gadis yang menunduk. Mungkin ia merasa malu karena dimarahi Affandra di depan karyawati yang lain. Sapto membantu membersihkan pecahan piring itu. "Udah, kamu lanjut cuci piring aja, Nai. Biar aku yang bersihin." "Makasih, Sapto." Naira menuruti permintaan Sapto. Ia lanjut cuci piring. Sementara mata Affandra masih tajam mengawasinya. Naira menahan perih tatkala jari tangannya terkena sabun. Hingga akhirnya Tia, salah satu pelayan memberinya plester untuk menutup luka. "Pakai ini biar nggak perih, Nai." "Makasih banyak, Tia." Naira tersenyum. Ia bersyukur banyak temannya yang bersikap baik. Bertemu dengan orang-orang baik di perantauan adalah anugerah tersendiri untuknya. Naira lebih berhati-hati lagi dalam mencuci. Apalagi sang atasan masih meliriknya sesekali sambil terus memasak. ***** Tak terasa restoran sebentar lagi tutup. Yang membuat Naira senang bekerja di restoran tersebut adalah para karyawan diberi waktu yang cukup untuk sholat saat sudah tiba waktu sholat. Mereka juga diberi makan siang. Naira mengakui masakan restoran itu memang enak, tak heran banyak pengunjung yang datang. Affandra melangkah menuju dapur untuk melihat apakah kondisi dapur sudah bersih atau belum. Ia menjadi orang terakhir yang pulang setelah semua karyawan pulang. Ia berpapasan dengan Naira yang tengah bersiap untuk pulang. Mata Affandra tertuju pada jari Naira yang masih terbalut plester. Naira mengangguk pelan. "Saya pulang dulu, Pak." "Kamu pulang naik apa?" Pertanyaan Affandra membuat Naira menyadari bahwa atasannya masih memiliki setitik kepedulian untuknya. "Saya jalan kaki. Kost saya dekat dari sini." Affandra mengangguk pelan. "Permisi, assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Affandra menatap derap Naira langkah yang menjauh. Ia tahu gadis itu telah bekerja keras hari ini. Namun semua itu tak cukup membuktikan keseriusan Naira. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD