Siji

1894 Words
Pagi pertama di Purwokerto, Naira berkenalan dengan semua penghuni kost yang berjumlah sepuluh orang. Semuanya mahasiswi di universitas yang sama, hanya fakultas dan jurusannya yang berbeda-beda. Teman-teman kost Naira cukup ramah dan bersahabat, meski ada yang tampak pendiam dan sedikit jutek. Naira mengawali pagi ini dengan sarapan nasi kuning. Ia membeli nasi kuning itu pada penjual keliling yang mampir ke kostnya. Rupanya anak-anak kost sudah sering berlangganan nasi kuning untuk mengganjal perut di pagi hari sebelum berangkat kuliah. Setelah sarapan, Naira membereskan pakaian dan memasukkan ke lemari. Dua teman barunya masuk ke dalam kamarnya dan mengajaknya berbincang. "Lho kamu emang nggak berangkat kuliah, ya?" Naira melirik mahasiswi asal Ciamis bernama Vira. "Aku masuk siang, jadi santai." "Oh, nggak selalu masuk jam tujuh, ya? Aku nggak kuliah jadi nggak tahu," balas Naira dengan senyumnya. "Jadi kamu ke sini beneran mau nyari ayah kamu dan mencari pekerjaan?" tanya Salsa, mahasiswi asal Cirebon. Naira mengangguk. "Tujuan awal cuma nyari ayah. Pertama aku datang ke Cilacap, nyari rumah kakek nenekku. Ternyata mereka udah meninggal tiga tahun yang lalu dan rumah itu udah ditempati orang lain. Terus aku nanya ke pemilik rumah soal keberadaan ayahku. Katanya dia tinggal di Purwokerto dan punya restoran yang menunya serba ayam. Cuma dia nggak tahu alamat ayahku juga nama restorannya." Vira duduk di lantai kamar dan mengernyitkan dahi. Ia berpikir jalan hidup Naira seperti di film-film yang harus pontang-panting mencari ayahnya. "Ayah kamu pergi dari rumah sejak kapan? Aku jadi kepo, nih. Kok tega ya seorang ayah meninggalkan anaknya." Naira yang telah selesai memasukkan baju ke lemari ikut duduk di sebelah Vira dan Salsa. "Aku juga nggak tahu. Dari aku lahir, aku udah ditinggalkan ayah. Dulu ibuku selalu cerita kalau ayah udah meninggal. Waktu ibu meninggal, dia meninggalkan satu surat. Ibu nyuruh aku nyari ayah untuk jadi wali nikahku nanti. Dia ngasih tahu alamat rumah kakek." "Tunggu ... tunggu ... emang dulu ibumu nggak pernah nyari keberadaan ayah kamu?" giliran Salsa yang mengernyit bingung. "Pernah, tapi kata ibu, kakek dan nenek juga nggak tahu di mana ayah. Ini memang masih jadi teka-teki. Aku nggak tahu, apa waktu itu kakek dan nenek emang bener-bener nggak tahu keberadaan ayah atau menyembunyikan sesuatu dari ibuku." "Rumit juga, ya. Apa kamu nggak pernah nyoba untuk mencari ayahmu lewat media sosial? Kayaknya kalau lewat medsos itu cepet," lanjut Salsa. "Aku pernah iseng ngetik nama ayah di semua medsos, tapi hasilnya nihil. Mungkin bisa aja aku post foto akta kelahiranku dan foto pernikahan ayah dan ibuku untuk mencari ayah. Selain surat, ibu juga menyelipkan foto pernikahan ayah dan ibu sebelum beliau meninggal. Cuma aku belum siap menyebarluaskan identitasku dan nggak mau heboh juga. Jadi aku mau nyari dulu lewat restoran-restoran di sini." Naira melirik Salsa dan Vira bergantian. "Aku punya ide. Kita coba cari nama-nama restoran yang menunya serba ayam, lalu kita nanya di akun restoran itu atau bisa aja nanya langsung ke restorannya, owner-nya siapa. Dari sini kan bisa tahu." Vira tersenyum cerah. Ia yakin cara ini bisa berhasil. Naira sendiri telah mengantongi beberapa nama restoran yang menyajikan menu serba ayam. Ada beberapa yang memiliki akun di **, ada yang belum. Ia pikir, saran dari Vira bagus juga. "Idemu bagus juga," seketika mata Naira berbinar cerah. "Kita berdua bakal bantuin kamu. Hari ini juga kita datang ke restoran-restoran itu," timpal Salsa. "Wah, makasih banyak, ya. Kalian baik banget." Naira bersyukur bertemu dengan teman-teman baru yang berbaik hati menolongnya. Hari ini mereka benar-benar mendatangi beberapa restoran yang menjual menu serba ayam. Naira bersyukur, Salsa dan Vira memiliki motor jadi memudahkan mobilitas. Sudah tujuh restoran mereka datangi, tapi tak ada satupun yang memiliki owner bernama Joko Wisanggeni. Saat Naira hampir putus asa, Salsa teringat akan satu restoran yang belum dikunjungi. Restoran tersebut terletak di dekat kampus. "Kok aku nggak inget ya ada restoran yang dekat kampus. Kayaknya jualan menu ayam juga. Kita ke sana, yuk," ujar Salsa sumringah. Secercah asa kembali melesak dari hati Naira. Ia berharap akan ada petunjuk yang ia dapat restoran ke delapan itu. Setiba di restoran, ketiga gadis itu memasuki restoran. Salsa bertanya pada salah seorang pelayan. "Mbak, maaf, kami mau nanya nama owner restoran ini siapa, ya?" Sang pelayan memicingkan mata. Ia menangkap ada sesuatu yang aneh. Untuk apa pengunjung bertanya nama owner restoran? Di saat yang sama seorang laki-laki berpenampilan necis dengan aroma parfum maskulinnya berjalan melewati sang pelayan dan Naira beserta kedua temannya. Pelayan itu menganggukkan kepala dan tersenyum. Sang atasan hanya mengangguk lalu menaiki tangga menuju lantai atas. "Yang tadi itu owner restoran ini. Silakan tanya langsung ke beliau kalau ingin bertanya namanya." Pelayan itu sedikit ketus. Ia mengira jika ketiga gadis di hadapannya ini pasti sudah tahu kalau owner restoran tempatnya bekerja masih muda dan tampan, makanya genit bertanya nama. Naira dan kedua temannya melongo. "Kayaknya ini bukan restorannya. Owner-nya masih muda. Ayahku kan sudah tua." Naira mengembuskan napas kekecewaan. "Coba deh tanya dulu, Naira. Pelayan itu nyuruh kamu nanya langsung. Minta pelayan itu buat nganter kamu ke ruangannya. Lagian ini restoran yang menyajikan menu serba ayam yang lebih komplit dibanding restoran lain. Mungkin mas-mas tadi disuruh mengelola restoran ini oleh ayah kamu." Vira menatap tajam Naira. Meski berat hati, Naira menuruti keinginan Vira. Ia meminta sang pelayan mengantarnya ke lantai atas untuk menemui sang owner. Dengan berat hati pelayan itu mengantarkan Naira. Pelayan tersebut mengetuk pintu. Terdengar suara samar dari dalam. "Ya, masuk." Sang pelayan membuka pintu. "Maaf, Pak, ada yang ingin bertemu," ucap pelayan tersebut. Laki-laki berusia 27 tahun itu melirik Naira yang berdiri mematung. Gayanya yang kasual, mengenakan kaos berbalut cardigan, celana jeans, serta sepatu kets membuatnya menebak-nebak jika gadis ini adalah mahasiswi. "Silakan duduk," ucap pria bernama Affandra Arkatama itu datar. Dengan ragu Naira duduk di hadapan Affandra. Satu meja itu sebagai pemisah jarak. "Ada apa, ya?" tanya Affandra dengan ekspresi wajah yang dingin. "Saya ... saya .... Ehm, apa Bapak pemilik restoran ini?" Affandra mengangguk. "Iya, kenapa?" "Saya ... saya sedang mencari owner restoran di Purwokerto yang bernama Joko Wisanggeni. Barangkali Bapak mengenal beliau. Restoran yang beliau kelola juga menyajikan menu serba ayam." Affandra tercenung sesaat. Ditelisiknya penampilan Naira yang terlihat sederhana dan sedikit kaku. Untuk apa dia mencari Joko Wisanggeni? "Maaf, kamu siapanya Pak Joko? Ada urusan apa mencari beliau?" Affandra menyipitkan mata. "Ehm, saya ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan beliau." Naira bingung merangkai kata. Affandra semakin penasaran ada hubungan apa antara gadis ini dengan ayah angkatnya? "Pak Joko sudah menyerahkan restoran ini pada saya. Sekarang beliau tinggal di Australia bersama istri dan anaknya," balas Affandra. Naira mengernyitkan alis. Ada setitik terang tentang keberadaan ayahnya. Namun yang membuatnya sedikit kaget adalah ayahnya sudah menikah lagi dan juga memiliki anak. "Maaf, kalau boleh tahu Bapak siapa, ya?" Naira memberanikan diri untuk bertanya. "Saya Affandra, anak angkat Pak Joko." Naira membeku sesaat. Pria di hadapannya adalah anak angkat sang ayah. Lantas, apa ia harus jujur di hadapan Affandra bahwa dia adalah anak kandung Joko Wisanggeni yang ditinggalkan 21 tahun yang lalu? Atau dia harus menunggu untuk bertemu langsung dengan ayahnya? Tapi kapan ayahnya pulang dari Australia? "Kalau boleh tahu apa Pak Joko masih sering pulang ke Purwokerto?" tanya Naira lagi. "Ya, tentu saja. Setiap anaknya libur kuliah, mereka kembali ke Purwokerto." Naira merasa mendapat titik terang. Ia akan menunggu hingga ayahnya pulang. Selama masa menunggu itu, ia akan meminta Affandra untuk mempekerjakannya di restoran ini. "Maaf, Pak, apa masih ada lowongan pekerjaan di sini? Saya butuh pekerjaan." Affandra tersenyum miring, meragukan niat Naira yang ingin bekerja. Ia meragukan kesungguhan Naira. "Kamu belum jawab pertanyaan saya kenapa kamu mencari Pak Joko? Eh terus malah minta pekerjaan." Naira bingung untuk menjawab. "Ehm, saya mencari beliau karena ingin minta pekerjaan di sini. Saya pikir beliau masih menjadi pemilik restoran ini." Naira lega, ia rasa ini jawaban yang pas. Naira berharap Affandra mau menerimanya. Ia bisa mengorek informasi tentang ayahnya dan keluarganya yang saat ini tinggal di Australia. Affandra menatap tajam Naira, membuat gadis itu salah tingkah. "Kamu benar-benar ingin berkerja? Bagaimana dengan kuliah kamu?" "Saya tidak kuliah," balas Naira. Sesaat Affandra menyadari, ia salah jika mengira gadis itu adalah seorang mahasiswi. "Memangnya kamu bisa pekerjaan apa di sini?" tanya Affandra dengan nada meremehkan. "Apa saja, saya bisa mencuci piring, menyapu lantai, mengepel, bahkan saya juga bisa memasak." Naira bicara optimis dengan senyum yang melengkung di kedua sudut bibirnya. Affandra tersenyum tipis. Naira tak tahu apa makna senyum itu. Apa senyum mengejek atau senyum pertanda ia mau untuk memberi Naira kesempatan. "Memasak? Apa saya mau mempertaruhkan nama restoran ini dengan memakai tenaga kamu untuk memasak? Kami sudah punya chef profesional. Kami juga tidak kekurangan tenaga kerja. Jadi maaf, tidak ada lowongan di sini." Naira kecewa tapi ia tak mau menyerah. "Pak, tolong beri saya pekerjaan. Saya sangat butuh pekerjaan." Naira menangkup kedua tangannya, memohon agar Affandra berbelas kasih padanya. Dalam hati ia pikir, Affandra begitu beruntung. Ia diangkat anak oleh ayahnya, diberi restoran untuk dikelola, sedang dirinya dibuang oleh sang ayah. Semenjak kecil ia bahkan harus berjuang untuk terus bersekolah. Ia kerap berjualan es atau sayuran keliling, terkadang memulung sampah. "Kalau kamu bersedia membersihkan toilet, merawat taman, jadi tukang kebun merangkap tukang bersih-bersih di sini, saya akan mempertimbangkan," balas Affandra sekenanya. Ia yakin Naira tak akan sanggup mengerjakan pekerjaan yang ia deskripsikan. "Ya, saya bersedia," sahut Naira cepat. Affandra membelalakkan matanya. Ia tak percaya, ada seorang gadis bersedia menjadi tukang kebun sekaligus tukang bersih-bersih. Dia menangkap jika Naira memang benar-benar serius ingin bekerja. "Nama kamu siapa? Umur kamu berapa dan tunggal di mana?" tanya Affandra kemudian. "Saya Naira. Umur 21 tahun. Saya tinggal di kost, nggak begitu jauh dari sini. Saya asli dari Bandung." Affandra terdiam sejenak. "Kamu jauh-jauh kost di sini untuk bekerja? Bukankah di Bandung banyak pabrik garmen, restoran juga menjamur, kenapa memilih di sini?" "Saya ... saya suka berpetualang di luar kota, Pak. Saya ingin merasakan bagaimana rasanya tinggal di Purwokerto." Affandra menghela napas. "Karena itu saya sangat berharap Bapak mau memberi kesempatan. Saya butuh uang untuk hidup di sini." Ada pengharapan yang begitu besar tercetak di kedua mata Naira. "Baiklah, saya beri kamu kesempatan. Besok kamu bisa mulai kerja." "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak." Naira bahagia bukan kepalang. Langkah untuk bertemu dengan ayahnya tinggal selangkah lagi. "Besok saya akan jelaskan deskripsi pekerjaan kamu juga gajinya," ucap Affandra. "Baik, Pak," balas Naira. ****** Naira lega, ia telah mengetahui keberadaan ayahnya. Ia berharap selama bekerja di restoran, ia bisa sambil mengeruk informasi tentang ayahnya. Ia penasaran melihat seperti apa penampakan sang ayah, istri, dan anaknya. Ia memang merasa tak diperlakukan adil karena sudah ditinggalkan sang ayah dari kecil. Namun, ia tak mau menyimpan dendam atau benci. Naira membuka akun Instagramnya. Ia mengirim direct message pada Okta, menceritakan semua yang terjadi hari ini. Okta hanya membalas singkat. Syukurlah kalau begitu. Naira sedikit kecewa. Ia pikir Okta akan antusias dengan bertanya lebih banyak lagi, tapi ia hanya mengirim balasan singkat. Naira masih merasa begitu asing dengan sosok calon suaminya itu. Komunikasi mereka hanya seperlunya. Terkadang ia merasa, Okta tak benar-benar mencintainya. Mungkin ia melamarnya hanya untuk menyenangkan ibunya yang memang sangat menginginkan perjodohan ini. Naira mengamati postingan baru Okta yang menampilkan foto dirinya di sebuah taman. Banyak akun perempuan mengomentari fotonya dan mengungkapkan kekagumannya. Ganteng banget. Wah sendiri aja, nih? Mau nggak aku temeni? Kapan pulang ke Indonesia? Keren banget gayanya. Naira jengah sendiri membacanya. Ia tak mau terlalu memikirkan sosok laki-laki itu. Ia hanya ingin merayakan keberhasilannya mencari jejak sang ayah dengan tidak memikirkan hal-hal yang membuatnya bersedih. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD