Prolog

1756 Words
Cerita ini aku tulis dari tahun 2018, sekarang aku publish di Innovel. Semoga tidak ada yg memplagiat cerita ini. Happy Reading Naira's POV Naira, maaf Mamah baru bisa kasih tahu soal siapa ayahmu sekarang ini. Mamah tulis surat ini karena Mamah merasa, sebentar lagi Allah akan memanggil Mamah. Sakit Mamah sudah sangat parah. Kamu tak perlu lagi bersusah payah kerja siang malam mencari uang untuk pengobatan Mamah. Naira, ayah kamu adalah seorang yang berasal dari kota kecil di Jawa Tengah, namanya Cilacap. Untuk menuju ke sana, kamu bisa naik kereta di stasiun Kiara Condong menuju stasiun Maos. Maos ini nama kecamatan di kabupaten Cilacap. Dari situ kamu naik bus, bilang saja ke Cilacap kota. Ibu nggak tahu banyak soal nama-nama stasiun di Cilacap. Cuma dulu ibu ke Cilacap bareng teman yang dari Maos, makanya turun di stasiun Maos. Kakekmu tinggal di jalan Kalimantan. Mudah-mudahan belum pindah. Nama ayahmu Joko Wisanggeni. Nama kakekmu Paijo Wisanggeni. Mamah nggak tahu apa mereka masih hidup atau tidak. Kamu nanti tanya saja sama kakek Paijo mengenai kebaradaan ayahmu. Dulu Mamah pernah mencari ayahmu ke sana. Kakek nenekmu bahkan tak tahu di mana keberadaan ayahmu. Barangkali saat ini mereka sudah tahu di mana ayahmu. Maafkan Mamah Nak yang telah menyembunyikan hal ini bertahun-tahun dan terpaksa berbohong bahwa ayahmu sudah meninggal. Mamah hanya nggak mau kamu berpikir yang buruk-buruk tentang ayahmu. Mamah nggak mau kamu membencinya meski ayahmu sudah meninggalkan kita tanpa kabar dan tak pernah kembali lagi. Naira, sebentar lagi kamu akan menikah. Mintalah restu dari ayahmu dan mohon padanya untuk menjadi wali nikahmu. Mamah doakan semoga kamu berhasil menemukannya. Mamah minta maaf ya Nak, selama ini Mamah belum bisa membahagiakan Naira. Mamah nggak bisa biayai Naira untuk meneruskan pendidikan sampai kuliah. Padahal Naira teh anak pinter. Tapi kumaha atuh, Mamah kerjanya cuma jualan di pasar. Uangnya nggak cukup buat biaya kuliah karena mamah juga sakit-sakitan. Mamah rasanya pingin nangis karena penyakit Mamah, kamu jadi kerja keras buat biaya pengobatan Mamah. Mamah cuma bisa doain semoga Naira nanti hidup enak, bahagia, jangan seperti mamah. Semoga saja Okta bisa bahagiain kamu. Mamah bersyukur ada pemuda baik hati yang serius melamar kamu. Sayangnya mungkin mamah nggak bisa menyaksikan pernikahan kamu nanti. Mamah sayang banget sama Naira. Mamah nggak bisa menulis apa-apa lagi. Semoga nanti kita bisa kumpul di surga ya nak, aamiin. ****** Lagi-lagi aku terisak membaca tulisan Mamah sebelum beliau meninggal. Tulisan ini sudah k****a berulang kali dengan kondisi hati yang masih sama, hancur, lebur, dan berserakan. Entah bagaimana harus kusatukan lagi kepingan-kepingan hati yang terlanjur retak berceceran. Kehilangan seseorang yang menjadi alasanku bertahan dan berjuang, seseorang yang menjadi segalanya, dan seseorang yang begitu kusanyangi serta menyayangiku adalah pukulan terberat yang pernah kurasakan dalam perjalananku. Mamah menderita penyakit liver yang sudah kronis. Allah memanggilnya, mengambil segala sakitnya, tapi di sisi lain meninggalkan jejak sakit yang teramat di hatiku. Sepeninggal Mamah aku tinggal bersama Paman dan Bibiku. Paman Mahfud adalah satu-satunya keluarga Mamah yang begitu menyayangiku layaknya anak kandung sendiri. Kakek nenekku sudah meninggal. Kini aku terpekur memikirkan rangkaian nasib yang membawaku hingga detik ini, menjadi anak piatu yang harus mencari ayah kandung untuk menjadi wali pernikahanku. Usiaku 21 tahun. Terbilang masih muda untuk menjalani rumahtangga. Bahkan aku tak punya gambaran bagaimana nanti aku menjalani rumahtangga karena aku pun masih menerka-nerka seperti apa gambaran karakter Okta, laki-laki anak sahabat almarhumah Mamah yang melamarku sebelum Mamah mengembuskan napas terakhir. Aku hanya melihat fotonya. Dia bekerja di luar negeri, menjadi operator produksi di salah satu pabrik elektronik di Jepang. Aku sering stalking akun instagramnya hanya untuk mengenal seperti apa karakternya, meski aku tahu, apa yang orang post di media sosial tak sepenuhnya menggambarkan kehidupan real-nya atau seperti apa dirinya. Setidaknya aku sedikit tahu potret sebagian kecil kehidupannya dari media sosial. Kurasa dia orang yang optimis dan ramah. Dia kerap mengomentari postinganku di **. Usianya 24 tahun dan secara fisik, dia cukup tampan dengan tinggi badan yang sedang dan fashion style yang cukup modis. Aku tak bisa menolak lamarannya meski aku belum memiliki perasaan apapun terhadapnya. Mamah menyarankanku untuk menerimanya. Aku belum pernah berpacaran sebelumnya dan rasanya ini lebih baik untukku, berpacaran setelah menikah. Teman-teman sering bertanya. "Kok bisa umur 21 tahun belum pernah pacaran?" Aku hanya tersenyum kecut. Entahlah mungkin karena aku tak cantik hingga tak ada yang melirik. Sebenarnya bukan tak ada. Ada yang mendekat tapi tak memenuhi kredibilitas sebagai calon imam yang baik menurutku. Biar jelek begini, aku juga punya kriteria untuk calon suami masa depan. Berbekal gaji terakhirku sebagai kasir di minimarket, uang saku dari paman, dan uang kiriman dari Okta, aku harus berpetualang ke Cilacap untuk mencari keberadaan Ayah. Semoga Allah memudahkan langkahku dan merestui pertemuan kami. Sungguh, belum bertemu saja, hatiku sudah deg-degan tak karuan. Bahkan aku sudah memikirkan tentang susunan kata-kata yang akan kuucapkan kala bertemu dengan Ayah. Konyolnya, aku menuliskannya di kertas. Aku hanya takut tak bisa berkutik dengan lidah kelu dan bibir yang membeku kala aku melihatnya untuk pertama kali. Aku takut tak bisa berkata apa-apa karena aku membayangkan atmosfer mungkin akan sedemikian canggung dan kikuk. Bayangkan saja, dia pergi bahkan sejak aku masih dalam kandungan. Kuhela napas. Menjadi anak terbuang itu rasanya menyakitkan. Tapi demi ketenangan Mamah di alam baka, aku belajar memaafkannya. Cilacap ... aku akan datang untuk mencari ayah. Mencari wali nikah. Bismillah ... kupasrahkan segalanya padaMu.. Aku akan berusaha semaksimal yang aku mampu. Semangat Naira..!!!! ****** Author's POV Seorang gadis turun dari kereta lalu berjalan menuju pintu keluar. Ia merapikan rambutnya dan mengucirnya dengan karet gelang. Gadis itu hanya menggendong satu ransel besar sedang satu tangannya menggenggam secarik kertas. Ekor matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Ini pertama kali baginya bepergian ke tempat jauh sendirian. Semalam ia naik kereta jam dua belas. Tiba di stasiun jam tujuh pagi. Sebenarnya ia begitu lelah tapi tekad untuk menyambangi rumah sang kakek jauh lebih kuat dari apapun juga. Gadis yang bernama Naira itu memesan ojek online. Ia menyerahkan secarik kertas bertuliskan alamat sang kakek pada driver. Sepanjang jalan Naira menahan kantuk. Hatinya bergemuruh tak menentu, deg-degan bukan kepalang membayangkan pertemuan dengan kakek neneknya juga ayahnya. Setiba di depan rumah bercat biru, Naira turun dari motor. Ia pastikan kembali alamat yang tertulis di secarik kertas dengan rumah sederhana bercat biru di hadapannya. Ia yakin tak salah alamat. Naira memencet bel di pagar dekat pintu gerbang. Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah dan membuka pintu gerbang. "Assalamu'alaikum, Bu," ucap Naira ramah. "Wa'alaikumussalam, mau cari siapa ya, Mbak?" sang ibu mengernyitkan alis dan mengamati penampilan Naira dari atas ke bawah. "Apa ini benar rumah Kakek Paijo Wisanggeni yang punya anak bernama Joko Wisanggeni?" "Dulu rumah ini memang milik Mbah Paijo. Mbah Paijo dan istrinya sudah meninggal tiga tahun yang lalu." Naira melongo tak percaya. Meski ia tak pernah mengenal kakek dan neneknya, tapi ia bersedih dan merasa kehilangan. "Innalillahi wa Inna ilaihi roji'un. Kalau kabar Pak Joko Wisanggeni, apa Ibu tahu? Beliau di mana ya sekarang?" "Setahu saya Pak Joko pindah ke Purwokerto, cuma alamat jelasnya saya nggak tahu. Katanya buka restoran di sana." Secercah asa menelusup ke dalam hati. Ia berharap mendapat petunjuk untuk menemukan ayahnya. "Kalau boleh tahu nama restorannya apa ya Bu?" "Aduh maaf Mbak, saya kurang paham. Setahu saya restorannya jual menu serba ayam," balas ibu tersebut. "Maaf, Bu, Purwokerto jauh nggak ya dari sini? Kalau saya mau ke Purwokerto, saya mesti naik apa?" "Nggak jauh-jauh banget. Dari sini ke sana sekitar satu setengah jam, paling lama dua jam. Naik bus bisa kok mbak. Ke terminal dulu, nanti naik bus. Berhenti di terminal Purwokerto." Naira bersyukur karena jarak Purwokerto-Cilacap tidak begitu jauh. Ia berencana untuk pergi ke Purwokerto saat itu juga. "Terima kasih banyak informasinya ya, Bu. Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Naira melanjutkan perjalanan menuju Purwokerto naik bus. Sepanjang perjalanan, ia browsing nama-nama restoran di Purwokerto yang menjual menu serba ayam. Tentu bukan hal mudah, karena banyak restoran yang menjual ayam sebagai menunya. Ia juga berpikir untuk mencari sang ayah lewat media sosial. Naira mempertimbangkan mungkin ia perlu tinggal beberapa hari di Purwokerto sampai akhirnya bertemu dengan ayahnya. Naira browsing kembali nama-nama kost di Purwokerto yang bisa ia tinggali sementara waktu atau mungkin lebih lama. Jiwa petualangnya seolah meroket untuk mencicipi bagaimana hidup jauh dari kota asalnya. Naira memejamkan mata dan melantunkan doa dalam hati, berharap harapannya untuk bertemu sang ayah dapat terealisasi. ****** Turun dari terminal, gadis berkemeja kotak-kotak merah, bercelana jeans, dan bersepatu kets itu bertanya pada supir angkot perihal alamat kost yang baru saja ia temukan lewat internet. Kost tersebut masih memiliki kamar kosong dan berlokasi di dekat kampus. Bisa saja ia menyewa hotel murah, tapi ia ingin berpetualang sejenak di kota Satria itu sambil menunggu hari pernikahannya tiba. Ia ingin merasakan bagaimana rasanya hidup di Purwokerto, bahkan ia berencana untuk mencari pekerjaan di Purwokerto. Naira menaiki salah satu angkot. Rasa lelah yang sudah dirasakan sejak turun dari kereta tak dihiraukan. Mungkin ia akan beristirahat sejenak di kost dan besok ia akan memulai petualangan mencari ayahnya. Selama perjalanan, tatapannya tertuju pada sticker yang tertempel di pintu angkot. Sticker salah satu universitas yang membuka kelas siang di akhir minggu dan hanya dua kali pertemuan. Biaya semesteran terhitung terjangkau untuk ukuran sebuah universitas yang sudah terakreditasi A. Asa untuk melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi yang ia paksa kubur seolah ingin kembali digali. Angannya melayang, membayangkan ia bisa bekerja sekaligus kuliah di kota kecil tapi cukup ramai itu. Setelah tiba di alamat yang dituju, Naira turun dari angkot dan melihat-lihat satu rumah kost yang cukup besar. Ada satu toko di depan kost. Ibu penjaga toko datang menghampirinya. "Mbak cari siapa, ya?" "Saya ... saya ingin kost di sini, Bu. Boleh saya tahu di mana saya harus menemui pemiliknya?" "Saya sendiri pemiliknya. Kebetulan ada satu kamar kosong di lantai atas. Barangkali mau lihat dulu," balas ibu pemilik kost ramah. Naira tersenyum dan mengangguk. Ia mengikuti langkah ibu pemilik kost memasuki rumah kost. Ibu pemilik kost menunjukkan satu kamar berukuran 3x4 meter. Di dalamnya sudah ada ranjang kecil dan kasur serta satu lemari. Naira langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Kamar itu bersih. Kamar mandi yang terletak di luar kamar juga bersih. Ibu pemilik kost memberi tahu besarnya biaya kost yang harus dibayar setiap bulan, masih terhitung terjangkau. Naira juga optimis bisa mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat berbekal pengalamannya yang pernah menjadi kasir di minimarket. Naira memutuskan untuk beristirahat dulu karena merasa begitu lelah. Ia akan kembali mencari informasi tentang ayahnya dan restoran yang ayahnya miliki. Naira memberi kabar pada paman dan bibinya juga Okta, bahwa kemungkinan ia akan lebih lama tinggal di Purwokerto. Ia ceritakan semuanya dan memohon doa agar usahanya menemukan hasil. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD