bc

Alasan Aku Menikahimu

book_age18+
445
FOLLOW
3.6K
READ
billionaire
HE
opposites attract
badboy
powerful
drama
bxg
city
lies
like
intro-logo
Blurb

Semesta seperti sengaja mempertemukan Elio dengan Sascha. Mereka tidak saling cinta, tapi sama-sama punya tujuan lain dengan pura-pura jatuh cinta.

Keluarga Sascha menentang hubungan dengan kekasihnya, Allan. Dan demi bisa mempertahankan Allan dan mengaburkan keberadaannya, Sascha akhirnya meminta Elio untuk pura-pura menjadi kekasihnya.

Elio pun ikut mengambil keuntungan dari sandiwaranya dengan Sascha. Dia punya alasan dan rencana. Sayangnya, Sascha tidak tahu kalau Elio cukup serakah. Tak cukup dengan berpacaran, Elio bahkan menjerat Sascha dalam ikatan pernikahan.

Awalnya, pernikahan mereka memang saling menguntungkan. Namun, semua berubah saat satu demi satu kebenaran terungkap. Ketika akhirnya Sascha ingin melepaskan diri dari Elio, dia baru sadar kalau ternyata tidak semudah itu keluar dari permainan yang dia buat sendiri.

Elio tidak akan membiarkan Sascha pergi.

chap-preview
Free preview
1. Aku Bayar Kamu
"Aku bakal bayar kamu berapa pun yang kamu mau," ucap Sascha tegas. Wanita itu terus mengejar lelaki yang terus berjalan menjauh tanpa ada rasa peduli. Walau diabaikan, Sascha tetap membujuk Elio agar mau bekerja sama dengannya. Sascha tak punya pilihan lain. "El, please." "Aku nggak mau," jawab Elio seraya terus melangkahkan kakinya. Sascha mulai frustasi. Seorang Elio De Luca memang sejak dulu terkenal sulit diajak kompromi. Namun, bukan berarti Sascha menyerah begitu saja. Dia akan terus membujuk Elio agar mau berpura-pura menjadi kekasihnya. "Kamu minta imbalan apa? You name it," ucap Sacha. Elio masih tidak menoleh sedikit pun. Ayunan kakinya juga sama sekali tidak ada niatan untuk berhenti. Manik kehijauan terus menyorot ke depan walau sejak tadi Sascha terus mengajaknya bicara. "Elio, jawab!" pekik Sascha. "Non." "Please, bantu aku kali ini aja. Aku bisa ngasih apapun yang kamu mau." Sascha Schneider memang terkenal memiliki kekuasaan dan kekuatan. Dia termasuk orang nomor satu di perusahaan Schneider. Dia bisa mendapatkan apa saja hanya dengan satu kali jentikan jari. Sayangnya, hari ini adalah pengecualian. Tak pernah menyangka kalau kini dia justru mendapatkan kesialan yang bertubi-tubi. Pagi tadi, Sascha sengaja terbang dari Jerman menuju Italia untuk menghabiskan akhir pekan bersama Allan, kekasihnya. Mereka ingin saling melepas rindu setelah beberapa pekan tidak bertemu. Sialnya, ketika memasuki salah satu restoran di Roma, mereka justru tak sengaja melihat kakak lelaki Sascha, Heinrich Schneider. Bertemu dengan Rich adalah salah satu hal yang sepasang kekasih itu hindari. Mereka sudah menjalin kasih selama hampir tiga tahun belakangan. Namun, asmara mereka harus dijalin secara diam-diam karena keluarga Schneider menentang keras hubungan keduanya. Ini mungkin adalah hari terburuk bagi Sascha. Rencana liburan yang sudah tersusun dengan sempurna, seketika berubah menjadi musibah. Hanya hitungan detik, suasana yang semula menyenangkan, ternyata berujung menegangkan. Rich sempat memanggil nama Sascha dari kejauhan. Beruntung, dia tidak sampai melihat wajah Allan. Namun, Rich terlanjur memergoki adiknya tengah berpelukan. Sebelum semua berubah kacau, Sascha dan Allan segera menghindar menuju pintu keluar. Mereka harus pergi dan berpura-pura tidak melihat Rich. Sialnya, keputusan mereka untuk bersembunyi di sebuah hotel terdekat tetap saja gagal. Rich berhasil mengetahui keberadaan mereka. Dan kini, si kakak posesif itu terus berusaha menghubungi Sascha melalui panggilan suara. Beruntung, saat menaiki lift, Sascha bertemu dengan Elio. Dia adalah lelaki asli Italia yang merupakan seniornya semasa kuliah di Inggris. Dan kabar baiknya, Rich juga mengenal baik sosok Elio. Well, keadaan ini bisa dimanfaatkan oleh Sascha. "El, please. Rich udah di bawah," pinta Sascha lagi. Wanita itu sampai menahan lengan Elio agar tidak masuk ke kamarnya. Sascha bahkan berdiri di depan pintu demi bisa menghalau tubuh Elio. Tangannya terbentang ke kanan dan kiri, dan wajahnya memelas dengan bibir yang ditekuk ke bawah. Berhadapan dengan jarak sedekat ini, mau tak mau membuat kedua mata Elio bersitatap dengan manik abu-abu milik Sascha. Mereka saling pandang cukup lama. Sascha masih teguh dengan puppy eyes penuh permohonan, sementara Elio tetap setia dengan sorot dingin seperti biasanya. "Please, kali ini aja," lirih Sascha. Elio menarik napasnya dalam-dalam. Shitt! Bola mata Sascha mulai berkaca. Dia benci ada di posisi seperti ini. "Ok. Aku harus gimana?" tanya Elio pada akhirnya. Senyum di kedua bibir Sascha seketika mengembang. Dalam hati, dia terus berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan dirinya dengan Elio. "Temenin aku ketemu Rich dan bilang kalo yang tadi sama aku itu kamu," jawab Sascha. "Allan dimana?" tanya Elio. "Udah naik ke lantai 7." "Lagian kamu ngapain masih pacaran sama dia? Udah tau bakalan repot, masih aja jalan sampe sekarang. Giliran dapet masalah, malah bawa-bawa aku." "El, ntar aja marahnya. Sekarang kita turun dulu. Rich udah telpon aku terus," balas Sascha seraya menunjukkan layar ponsel yang menyala. Walau raut wajahnya masih kaku, tapi Elio pun berkenan turun bersama Sascha. Dalam hati, Elio terus saja mengumpat. Sandiwara bukanlah keahliannya. "Pake jaket ini," pinta Sascha seraya menyodorkan jaket berwarna hitam. Elio menurut. Tentu dia paham kalau jaket ini adalah milik Allan. Begitu pintu lift terbuka, dia harus siap berpura-pura. "Sascha!" pekik Rich begitu mereka berdua saling berhadapan. Sascha tersentak mendengar nada bicara Rich yang terkesan membentak. Kelopak matanya sempat tertutup, lalu detik selanjutnya kembali terbuka. Begitu melihat sosok di hadapannya, Sascha langsung bisa menilai raut marah di wajah kakak lelakinya. Walau hanya sepintas, Sascha sudah bisa menakar seberapa banyak kadar amarah yang dimiliki Rich. Dulu, kakaknya ini sempat membebaskan Sascha berpacaran dengan siapa saja. Rich cenderung pengertian dan tidak terlalu mengekang. Namun, semenjak Sascha bersama Allan, Rich berubah menjadi sangat posesif dan pemarah seperti ini. "Kamu sama siapa tadi? Allan? Kenapa nggak angkat telepon?" tanya Rich bertubi-tubi. "Bukan Allan," sangkal Sascha. "Berapa kali aku bilang, Der Mann ist ein Arschloch," ucap Rich dengan nada berapi. Emosi Rich benar-benar sudah berada di titik tertinggi. Dia bukan sosok kakak yang akan berkata kasar pada adiknya. Namun, jika berkaitan dengan Allan, mulut Rich seperti sudah tidak memiliki filter lagi. Sascha seperti hampir menangis. Dia diam dengan jemari tangan yang sudah sangat dingin. Kepalanya menunduk tak lagi berani melihat wajah Rich. Damn! Sungguh, Elio tidak tega lagi melihatnya. "Allan kan?" tanya Rich lagi. "Bukan," lirih Sascha. Rich sudah hampir mendebat. Dia cukup hapal bagaimana postur tubuh lelaki yang sangat dia benci. Namun, belum sempat dia bicara, suara bariton dari belakang tubuh Sascha berhasil membungkam mulutnya. "Rich," panggil Elio. "Ciao, Rich." "El?" "SÌ," jawab Elio. "Sascha sama aku tadi." Elio melangkah mendekat ke arah Rich. Kedua tangannya masih tersimpan di saku celana. Tinggi badannya yang setara dengan Rich membuat mata mereka berdua beradu dalam satu garis lurus. Rich tampak memicing, sedangkan Elio cenderung lebih tenang, tapi tetap tidak tampak gentar. "Yang di restoran tadi itu kamu?" tanya Rich. "SÌ. Sorry, nggak izin kamu dulu. Aku yang minta dia main kesini weekend ini," lanjut Elio. Sascha langsung mengangkat kepala mendengar narasi yang Elio ucapkan. Mereka tidak sempat menyusun percakapan seperti apa yang akan dikatakan di hadapan Rich. Namun, beruntung Elio bisa mengarang cerita tanpa perlu diminta. "Bukannya harusnya kamu di Napoli?" tanya Rich. Naples memang kota tempat Elio tinggal. Rich tentu tahu itu. Jaraknya dengan Roma cukup jauh. Terasa janggal jika dia justru mengajak Sascha bertemu di pusat kota ini. "Aku lagi ada kerjaan disini. Tadi abis meeting di restoran depan. Terus selesai meeting, sekalian ngajak Sascha makan disana," terang Elio dengan lancarnya. Rich masih tampak ragu. Dia lantas meneliti baju yang Elio kenakan. Ingin tidak percaya, tapi sandiwara yang dibuat terlalu sulit disangkal. Terlebih lagi, Rich sudah cukup baik mengenal Elio. Sangat mustahil jika Elio berani membohongi Rich. "You date my sister?" tanya Rich. Elio tersenyum tipis. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu bagaimana rencana Sascha selanjutnya. Daripada semakin salah, Elio lantas menoleh ke arah Sascha. Dia membiarkan wanita itu sendiri yang menjawabnya. "Iya, Rich," jawab Sascha. Rich terkekeh tak menyangka. "Ok, you surprised me, El." "Mi dispiace tanto." "Sejak kapan, Sha?" Kali ini pertanyaan Rich tertuju pada adik perempuannya. "Hampir ... setahun." Sascha meneguk ludah. Satu kebohongan harus disusul dengan kebohongan selanjutnya. Sascha tidak berniat bersikap seperti ini pada Rich, tapi dia tidak punya pilihan lain. Sascha sangat mencintai Allan, dan dia ingin hubungannya dengan Allan tetap baik-baik saja. "Ok then. Aku mau balik lagi ke restoran. Mau ada ketemuan sama orang. So, have a blast," ucap Rich sambil bersiap pergi. Sascha dan Elio sama-sama mengangguk. Mereka bisa bernapas lega karena skenario yang mereka buat berjalan dengan sempurna. "Grazie, El," ucap Sascha begitu Rich lenyap dari pandangan mata. Elio tidak merespon sedikit pun. Dia sempat berpikir untuk lebih baik kembali ke suit miliknya dan terbebas dari Sascha. Tak mau lagi rasanya terseret dalam polemik yang memusingkan. Namun, jika dipikir ulang, Elio sepertinya perlu mengambil keuntungan dari semua ini. "Kita belum selesai, Sha," ucap Elio saat Sascha bersiap berbalik. "I know. Berapa yang kamu minta?" Elio berdecih. Bibirnya membentuk senyum separuh. "Aku nggak butuh uang." Sambil melepas jaket milik Allan, Elio mendekat ke arah Sascha. Tubuh mereka hampir bersinggungan. Sascha sampai bisa mencium aroma maskulin yang menguar dari tubuh lelaki berambut cokelat itu. "Apa yang kamu mau?" lirih Sascha. "Kamu bilang, kamu bisa ngasih apapun yang aku mau." Sascha menelan saliva dengan susah payah. Beberapa sel otaknya mulai memunculkan tanda waspada. Terlebih, saat melihat wajah Elio yang mencetak senyum hambar di sela rautnya yang nyaris tanpa ekspresi. "Iya, asalkan masih masuk akal," jawab Sascha yang tetap berusaha agar jangan sampai terlihat gentar. "SÌ." Elio akui, dirinya bukan lelaki baik yang bisa dengan sukarela menolong siapa saja. Jujur, dia menyetujui permohonan Sascha memang karena ada rasa tidak tega. Namun, kini Elio memilih jalan agar keduanya saling bisa menguntungkan. Baginya, di dunia ini tidak akan ada yang cuma-cuma. "Apa?" tanya Sascha. "Ikut ke kamar aku."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
14.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
100.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
207.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook