03 - Penyelamat

1077 Words
Danis pulang dari rumahnya Ares sambil bersenandung ria. Tangannya menatap beberapa lembar kertas formulir pendaftaran untuk sekolah SMA nya. Masuk ke dalam rumah, lalu memberikan formulir pendaftaran yang ia dapat dari Ares pada Gisel. Rai menatap Gisel yang sudah berekspresi semrawut. "Serius mau sekolah bareng Bang Ares?" tanya Rai memastikan. Bukan hanya Gisel yang merasa berat, tapi Rai juga. Rasanya sudah seperti melepaskan anak gadisnya untuk laki-laki lain. Apakah melepaskan anak gadis yang akan menikah juga rasanya seperti ini? "Serius, Yah. Boleh, ya?" pinta Danis sambil bergelayut manja di lengan Rai. "Nanti, ayah sama bunda pikirin dulu, ya?" Danis mengangguk, dia kembali masuk ke dalam kamarnya untuk lanjut baca novel lagi. Sepeninggalan Danis, Gisel terduduk lemas di kursi makan. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Padahal hanya melepaskan anaknya untuk sekolah, tapi kenapa rasanya sangat berat? "Udah, Bun. Biarin Danis sekolah sama Bang Ares, ya?" bujuk Rai sambil mengusap punggung Gisel. "Berat, Yah. Nanti bunda sama siapa? Yang bantuin bunda masak siapa? Yang jadi temen curhat bunda siapa?" lirih Gisel sambil menahan tangisnya. Bagi Gisel, memiliki anak perempuan itu sebuah anugerah. Danis bukan hanya buah hatinya, melainkan teman hidupnya, tempat di mana dia berkeluh kesah. Dan begitu juga sebaliknya, bagi Danis Gisel bukan hanya bundanya. Melainkan teman sejatinya, karena hanya Gisel satu-satunya yang Danis jadikan sebagai tempat curhat. "Masih ada Ayah, Bun." "Tapi ayah ga seru kalo diajak ceeita!" keluh Gisel sambil memukul lengan suaminya. "Ya maaf, deh. Nanti ayah bakalan berubah jadi seru, biar Bunda bisa cerita ke ayah, bukan ke kakak lagi." Gisel hanya menangis, tak menanggapi ucapan suaminya. ***** Danis sedang berbelanja kebutuhan yang akan ia bawa nanti saat masuk asrama. Gadis itu mendorong troli, sambil memilih melihat-lihat snack yang berjejer rapi. "Mau bawa ini nanti ke asrama?" tanya Gisel sambil menunjuk snack rasa udang. "Mau." Gisel pun mengambil beberapa bungkus snack, dan memasukannya ke dalam troli. Lalu Danis kembali mendorong troli ke bagian alat mandi. Di sana dia mengambil sabun cair, lalu tak lupa mengambil spons mandinya juga. Lalu mengambil shampoo, sikat gigi dan tak lupa pasta giginya juga. Selesai membeli kebutuhan Danis, keduanya langsung menuju kasir untuk bayar. Di sana mereka tak sengaja bertemu dengan Ares dan Nita, yang kebetulan sedang berbelanja juga. Waktu bergulir dengan cepat, waktu masuk sekolah tunggal beberapa hari lagi. Maka dari itu, Ares dan Danis pun memilih untuk belanja kebutuhan mereka. "Lho, ada Bang Ares juga." "Iya, lagi belanja kebutuhan. Lusa nanti, kan, udah masuk sekolah." Gisel hanya tersenyum tipis. Ingin lupa, tapi kamprett nya malah terngiang-ngiang terus. Lusa nanti, dia akan berpisah dengan Danis. Lebay memang, tapi Gisel sendiri tak pernah berpisah dengan Danis lama-lama. Kini giliran Gisel yang bayar, wanita itu mengambil dompet dan mengeluarkan uang dan memberikannya pada kasir dan pamit pada Nita dan Ares. "Duluan, Bun," pamit Gisel dan hanya di angguki oleh Nita dan Ares. Gisel bergegas menuju parkiran, di mana Danis, Rai, dan Dave menunggunya. Hari ini rencananya mereka akan pergi rekreasi ke pantai. Perayaan atas kelulusan Danis dan hitung-hitung perpisahan karena bentar lagi masuk asrama. "Udah, Bun?" tanya Rai sambil menutup botol mineral. "Udah." Gisel tersenyum, menyembunyikan kesedihannya. "Berangkat sekarang?" Rai memasukkan belanjaan ke dalam bagasi. Gisel hanya mengangguk lalu keempatnya masuk ke dalam mobil, pergi menuju pantai. Selama perjalanan menuju pantai, Dave memili untuk tidur dengan telinga ditutup MP3 miliknya. Sedangkan Danis memilih untuk tidur, dan Gisel menemani Rai mengemudikan mobil. "Gimana, Yah?" "Udah, ah. Biarin Danis sekolah aja, Bun." "Tapi, Yah .... " "Sstt ... udah, ya. Danis juga butuh pengalaman, kan? Toh ini juga pengalaman yang baik buat dia." "Tapi firasat bunda nggak enak, Yah." "Nggak enak gimana?" tanya Rai sambil membelokkan mobilnya masuk ke area pantai. "Kayak bakal ada sesuatu yang terjadi gitu." "Udah ya, Bun. Jangan berpikir yang nggak-nggak. Kita harus percaya kalo kakak bakalan baik-baik aja di sana. Oke?" Rai mengusap wajah Gisel yang sudah basah akibat air mata. Danis dan Dave pun dibangunkan, saat mereka sudah tiba pantai. Menggelar tikar di bawah pohon, sedangkan Danis dan Dave sibuk main air. "Nggak main, Bun?" Rai datang setelah buangg air di kamar mandi. "Nggak, kalau bunda ikutan main nanti yang jaga barang-barang siapa?" tutur Gisel sambil mengupas jeruk. "Bunda maun aja, nanti barang-barang ayah yang jaga." "Nggak, ah," tolak Gisel dengan cepat. Rai pun pergi entah kemana, tapi saat datang dia sudah bersama seorang lelaki paruh baya. "Ayo, kita main air. Barang-barang biar dijaga sama bapak ini," ajak Rai dan disetujui oleh Gisel. Danis dan Dave sibuk main air, sampai tak sadar kalau Gisel dan Rai sudah menyusul. "Seru nggak?" Rai pun ikutan main air. "Seru banget, Yah!" teriak Danis dan Dave berbarengan. Puas main air, mereka bergegas makan sambil menikmati air kelapa yang langsung diminum dari batok nya. Menikmati kebersamaan yang tinggal beberapa hari lagi bisa mereka nikmati. ***** Danis sedang bersiap-siap, memeriksa barang-barang yang akan ia bawa nanti. Sedangkan Gisel sedang menyiapkan nasi dan lauk untuk dibawa oleh Danis nanti. "Bund, formulir daftar ulang udah dibawa?" tanya Danis dari dalam kamar. "Udah kayaknya." Selesai memeriksa barang-barang, mereka pun langsung pergi ke SMA Binaan Bangsa. Berangkat bersama dengan Ares, yang akan kembali ke asrama. Setibanya di sana, area asrama sudah dipenuhi oleh wali murid yang mengantarkan anaknya. Wajah Gisel sudah mendung sejak tadi pagi. Dab Danis sudah menyadari akan hal itu, makanya dia udah siap-siap sedia payung sebelum hujan. "Masuk ke kantor dulu, Bun," ajak Danis sambil menggamit tangan bundanya. Gisel menurut, mengikuti langkah Danis. Masuk ke dalam kantor dan menghampiri panitia PSB (Penerimaan Siswa Baru), untuk melakukan daftar ulang. Danis duduk di sana, marena Gisel terlihat tak mau melakukan tugasnya sebagai orang tua. "Pak, mau daftar ulang atas nama Danisha Putri Agnia." "Sebentar, saya cek dulu, ya." Danis mengangguk, menunggu bapak panitia mengecek namanya. Tapi, jawaban yang diberikan panitia itu mampu membuat jantung Danis berhenti berdetak. "Maaf, tapi siswa atas nama Danisha Putri Agnia." "Apa?" pekik Danis. "Iya, siswa atas nama Danis tidak ada." Seketika Danis menatap bundanya yang ada di belakangnya. Meminta penjelasan, atas apa yang dikatakan oleh bapak panitia tersebut. "Bun, pendaftaran kakak dikasih nggak?" "Dikasih, kok. Kakak ga percaya sama bunda?" "Tapi di sini nya nggak ada, bund." "Ya bunda nggak tau." Danis menatap si bapak panitia, memelas untuk mencarinya sekali lagi. Tapi sayangnya nihil, formulir pendaftaran miliknya tak ada di sana. Wajah Danis sudah mendung, sedikit saja ia menggerakkan kelopak matanya, maka air matanya akan jatuh seketika. "Maaf sebelumnya, pendaftaran milik Danisha Putri Agnia ada di tangan saya, Pak," ucap seorang lelaki sambil menghampiri Danis yang sedang menahan tangis.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD