02 - Berat

1069 Words
Matahari sudah keluar dari peraduannya, berada di titik tertinggi langit sehingga cuaca siang ini sedang panas-panasnya. Tapi, seorang gadis masih tertidur pulas, dengan selimut yang menutupi separuh kakinya sedangkan sisa selimutnya menjuntai di lantai. Tak lupa kipas angin yang sedang asik geleng kanan kiri, memberikan sensasi dingin pada gadis itu. Gisel sudah geram, wanita itu masuk ke dalam kamar anaknya tanpa mengetuk dulu. Menatap Danis yang masih molorr, dengan mulut yang terbuka lebar. Tutup panci sudah ada di tangan kirinya dan spatula di tangan kanannya, tanpa aba-aba Gisel langsung memukuli tutup panci yang ada di tangan kirinya dengan spatula. Seketika kamar Danis langsung dipenuhi oleh suara nyaring. Semua penghuni rumah mulai jengah dengan suara yang berasal dari tutup panci itu. Hanya satu manusia yang tak terganggu sama sekali. Manusia itu adalah ... Danis! Gadis itu masih merem, dengan mulut yang terbuka. Sudah habis kesabaran Gisel, akhirnya wanita itu memilih untuk menjepit hidung Danis. Dengan tujuan agar anaknya itu segera bangun. "Engap," lirih Danis sambil mengap-mangap nyari oksigen. Danis tetaplah Danis, gadis cantik dengan tubuh mungil yang hobi banget ngebo. Apalagi semalam dia sudah gadang baca novel sampai subuh, sudah dapat dipastikan Danis akan sangat sulit untuk dibangunkan. "Bangun, Danissssss!" teriak Gisel menggelegar. Sudah dapat dipastikan kalau teriakannya akan terdengar sampai kampung sebelah. "Berisik, ih," gumam Danis sambil memeluk guling nya dengan erat. "Bangun, atau bunda buang novel-novel kamu!" ancam Gisel dengan suara dingin. Danis bergegas bangun saat tau anak-anaknya sedang dalam bahaya. Dia tak boleh membiarkan anak-anaknya dalam keadaan bahaya gara-gara dirinya. "Ya, ada apa, Bund?" tanya Danis sambil mencoba untuk membuka matanya yang terasa sangat berat. "Bangun, Danis! Ini udah siang!" omel Gisel sambil memukuli tutup panci dengan spatula. "Astaga, ga usah pukul-pukul tutup panci, Bund. Nanti kalo tutup panci nya penyok, gimana?" gumam Danis sambil menguap lebar dan lupa ditutup. Gisel yakin, gajah juga akan kesedot masuk ke dalam mulut anaknya. "Kamu kalo nguap ditutup, dong. Ini gajah juga bisa masuk ke dalam mulut kamu. Anak gadis itu harus belajar yang rapih, sopan." "Iya maaf, Bunda." Danis mengucek matanya, menghilangkan belek dari matanya. Lalu menatap Gisel yang sudah berkacak pinggang, menatapnya dengan horor. "Masih pagi ini Bunda, kenapa kakak udah dibangunin?" tanya Danis sambil kembali menguap, dan tak lupa ditutup. "Bang Ares udah dateng, dia juga bawain formulir pendaftaran masuk SMA," tutur Gisel sambil menatap anaknya. "Terus?" "Kakak serius mau masuk SMA bareng Bang Ares?" tanya Gisel meyakinkan lagi, kalau keputusan anaknya belum bulat. "Serius, Bun." "Nanti Kakak jauh dari bunda, kalo kakak sakit gimana? Siapa yang ngurus Kakak siapa?" lirih Gisel mendadak mellow. Se-tengil-tengil nya Danis, se-nakal-nakal nya Danis. Tetap saja Gisel berat untuk berpisah dengan Danis. Tapi Gisel juga ingin anaknya tetap melanjutkan pendidikannya. Tidak bisakah Danis tetap sekolah di sini saja? "Jangan khawatir, Bun. Di sana juga pasti udah ada petugasnya yang bakalan ngerawat kakak kalau sakit. Boleh ya sekolah bareng Bang Ares?" punya Danis memelas, berharap kalau bundanya akan mengabulkan permintaannya. Gisel menatap langit-langit kamar anaknya, menahan sesuatu yang memaksa untuk keluar. Sebisa mungkin Gisel menahannya, karena tak ingin melepaskan anak gadisnya diiringi oleh tangisnya. "Iya, bunda ijinin. Jaga kesehatan di sana," ucap Gisel dengan suara parau. Setelah mengatakan itu, Gisel bergegas keluar dari kamar anaknya. Menuju dapur, dan kembali mengiris bawang merah untuk perbekalan Danis nanti di asrama. **** Danis sudah mandi, dan mengenakan pakaian yang sopan. Berdiri di depan rumahnya Ares, yang terletak di samping kanan rumahnya. Berdiri sambil menenteng rantang, yang berisikan ayam goreng serundeng kelapa. Saat hendak mengetuk pintu, tiba-tiba saja pintunya sudah dibuka dan sosok Nita berdiri di depan Danis. "Lho, ada Danis? Masuk sini, Nis," ajak Nita sambil menarik Danis. Sedangkan yang diajak malah senyum-senyum. Tadinya Nita mau mengatakan formulir pendaftaran ke rumahnya Danis, tapi siapa sangka anaknya malah datang sendiri ke rumahnya. Danis duduk di sofa, dia menyimpan rantang di atas meja. Di ruang tamu itu sudah ada Tio dan Kio saja. Sedangkan Ares tak kelihatan batang hidungnya sama sekali. "Bawa apa, Nis?" tanya Tio sambil menghisap rokoknya kuat-kuat, dan menghembuskan asapnya ke udara. "Bawa ayam goreng serundeng, Om." "Duh jadi ngerepotin gini, ya," imbuh Nita sambil mengambil rantang dan membawanya ke dapur. "Katanya kamu mau sekolah di SMA bareng Ares?" tanya Tio sambil mematikan api di puntung rokoknya ke asbak. "Iya, Om. Danis mau sekolah di SMA bareng Bang Ares aja. Takut sama pergaulan jaman sekarang, Om. KTP juga belum dapet, mereka udah pada nikah dengan alasan tek dung," ujar Danis mengutarakan ketakutannya. Tio manggut-manggut, dia sendiri juga sampai dibuat tercengang karena kasus seperti itu yang marak terjadi. Seperti kemarin contohnya tetangga Danis dan Tio, orang tuanya yang sibuk bekerja dan anaknya yang masih duduk di bangku kelas enam SD. Haus akan kasih sayang dan perhatian, membuat anak itu mencari sendiri perhatian dan kasih sayang yang selama ini dia idam-idamkan. Akhirnya anak itu mendapatkannya dari seorang lelaki, senior temannya yang baru saja duduk di bangku kelas dua SMP. Dan terjadilah pembuatan bayi, bertemunya spermaa dengan sel telur dan terjadilah pembuahan. "Iya bener, Nis. Mending tinggal di asrama aja. Setidaknya kalau tinggal di sana aman, ya." Danis mengangguk, obrolan mereka terhenti saat Ares datang setelah dipanggil oleh Nita tadi. Ares duduk di samping Tio, dengan beberapa lembar kertas di tangannya, yang Danis yakini sebagai formulir pendaftaran. Danis pun bangun, menyalami tangan Ares. Dan uluran tangannya disambut oleh Ares. Sedikit canggung memang, karena sejak kecil Danis tak terlalu dekat dengan Ares. Meski mereka sering bermain juga, tetap saja Danis mainnya dengan anak-anak yang lain. "Apa kabar, Nis?" tanya Ares dengan intonasi suara yang seperti biasa. Dingin! Entah harus bersyukur atau tidak, karena Ares sendiri tak pernah melaporkan kenakalannya pada Tio dan Nita. Kenakalan karena dirinya yang sering membuly Ares. "Baik, Bang." Seketika suasana ruang tamu mendadak hening. Danis yang merasa tak nyaman, hanya memainkan jari-jarinya. Menautkan satu sama lain, sambil tersenyum canggung. Nita datang dengan beberapa gelas minuman dingin yang menyegarkan tenggorokan kala itu. Meletakkan gelas di atas meja, lalu duduk di samping Kio, anak bungsunya. "Diminum, Nis." "Iya, Tan." Danis meneguk segelas orange juice, yang langsung membasahi tenggorokannya dan memberikan rasa segar. Mengelap ujung mulutnya dengan menggunakan punggung tangan. "Serius kamu sekolah di SMA bareng Ares?" tanya Nita memastikan. "Serius, Tan." "Nanti bunda kamu gimana? Pas nanya ke tante aja kayak yang ikhlas ga ikhlas gitu," tutur Nita. Danis tersenyum, mau bagaimana lagi? Alasan dia ingin menjauh dari keluarganya adalah ingin hidup mandiri. Tidak bergantung pada Gisel dan Rai lagi. "Nggak apa-apa, bunda pasti ngijinin, kok."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD