01 - Penyitaan

1173 Words
SMP Bhakti Husada, 2014 Seorang siswi sedang menatap lekat-lekat secarik kertas yang diberikan oleh wali kelasnya tadi. Setelah mendapatkan interupsi dari wali kelas mereka untuk membuka amplop, semua siswa pun membukanya bareng-bareng. Sambil berharap jika kerja keras mereka selama ini tidak sia-sia. Tak butuh waktu lama, suasana kelas langsung riuh. Terdengar ucap syukur dari mereka, karena berhasil melewati berbagai macam ujian dengan tingkat kesusahan yang lumayan bikin otak blenger. Danisha Putri Agnia, gadis itu masih mantap kertas yang ada di dalam genggamannya dengan tatapan haru. Akhirnya, setelah beberapa bulan dia libur baca novel kini dia bisa kembali baca novel! Bukan buku pelajaran. Sesuka itu Danis dengan novel. Sampai-sampai kedua orang tuanya pun bertindak, dengan menyita semua novel-novel yang dimiliki oleh putri mereka. "Heh, Lo kenapa, deh?" tanya Amel sohib Danis dari mulai masa merah putih. "Nggak kenapa-kenapa, aku cuma senang aja akhirnya sekarang udah bisa baca novel lagi, Mel!" seru Danis dengan wajah berbunga-bunga. Amel hanya menggelengkan kepalanya. Memang, sahabatnya yang satu ini demen banget sama yang namanya novel. Mau setebel apapun itu novel, selalu Danis lahap habis! Bahkan, sehari dia bisa menyelesaikan dua novel cetak sekaligus. Gila emang! Dulu memang ponsel tidak sepopuler dan secanggih sekarang. Dulu fungsi ponsel hanya sebagai alat untuk berkomunikasi, bertukar kabar atau hanya sekedar menanyakan kabar. Sekarang ponsel sudah menjadi benda multi fungsi. Mulai dari berjualan, belajar, menonton film atau drama, menulis novel, atau hanya sekedar baca novel. Ponsel itu sebenarnya banyak gunanya, tapi tidak baik juga jika kita terlalu bergantung pada benda pintar yang satu itu. Tak heran, jika Danis memilih menghabiskan waktunya untuk membaca novel. Dia kalau baca novel mau sampai dini hari juga kuat, nggak kaya magang buku pelajaran. Baru lima menit aja mata udah sepet banget, beratnya minta ampun. Seperti waktu itu, padahal waktu menuju ujian nasional itu hanya tinggal dua hari lagi. Pihak sekolah memberikan waktu tenang pada siswanya untuk belajar, mengulang kembali pelajaran yang sudah guru sampaikan. Beda ceritanya bagi Danis, gadis itu bukannya menghapal rumus matematika, dia malah sibuk baca novel dengan page yang hampir mendekati 700 halaman! Danis terciduk sedang baca novel saat kedua orang tuanya masuk ke dalam kamarnya mengantarkan segelas s**u hangat. "Kak, ini susunya diminum," ucap Gisel bundanya Danis, sambil diikuti Rai di belakangnya. "Jangan terlalu keras belajar, Kak. Ayah yakin kalau Kakak pasti bisa." Seketika mulut keduanya terkatup rapat, saat melihat benda yang ada ditangan anaknya. Bukan buku panduan ujian nasional, bukan buku cara jitu menghafal rumus-rumus, bukan buku cara mengerjakan soal Bahasa Inggris dengan mudah. Bukan. Melainkan novel dengan judul Pudarnya Pesona Cleopatra, karya Kang Abik salah satu penulis novel favoritnya. Danis belum menyadari kedatangan Rai dan Gisel, karena dia sedang sibuk mengusap air matanya yang mengalir deras dari pelupuk matanya. Saat Raihana dan bayi yang sedang dikandungnya meninggal gara-gara Raihana terpeleset di kamar mandi. Dan membuat 'aku' si pemeran laki-lakinya menyesal, karena benih-benih cinta justru tumbuh di saat istrinya sudah tiada. Dan, hal inilah yang membuat Danis nangis kejer! Belum lagi mengingat bagaimana Raihana yang tetap berbakti pada suaminya, padahal ... ya begitulah. Isak tangisnya seketika reda, saat mendengar dehaman seseorang di kamarnya. Buru-buru menoleh, dan jantungnya seketika berhenti berdetak kala mendapati Gisel dan Rai tengah tersenyum ke arahnya. Mampuss! "Bund, kakak bisa - " "Yah, ayo kita ambil semua harta karun milik kakak. Kita jadikan sebagai jaminan, kalau-kalau nanti nilai ujian si Kakak anjlok apalagi sampai ga lulus. Kita jual aja ke tukang loak." "Iya, Bund. Ayo kita geledah kamar si Kakak." Tidakkkkk!! Saat Rai akan mengambil novel-novel yang ada di kamar Danis, dengan cepat gadis itu menghalangi rak buku yang ada di kamarnya. Jangan sampai ayahnya menyentuh salah satu koleksi anak-anaknya! Jangan, ini semuanya hasil dia nahan lapar dan haus selama beberapa tahun. "Kakak mau belajar dengan giat atau mau buku-buku itu bunda jual ke tukang loak?" tanya Gisel serius. Haduh, bundanya Danis kalau sudah ngancem kayak gini ga pernah main-main. Bukan cuma sebuah omong kosong untuk menakuti dirinya, tapi memang benar-benar sebuah peringatan. "Iya, kakak bakalan belajar yang rajin, kok." "Bohong!" bantah Gisel. "Yah, ayo kita geledah! Ambil semuanya, jangan sampai ada yang tersisa sedikit pun!" Gisel menatap setiap sudut kamar anaknya, lalu menemukan kardus bekas mie instan di sana. Dengan cepat Gisel mengambilnya, menyerobot Danis yang sedang menghalanginya. Memasukkan novel-novel yang Danis beli dengan uang jajannya ke dalam kardus. Semuanya! Tanpa menyisakan satu novel pun! Sedangkan Danis? Dia sedang terkulai lemas di pojokan karena karena novel-novelnya dirampas habis oleh bunda dan ayahnya. "Ayah sama bunda sita semua anak-anak Kakak dulu, ya. Kalau udah selesai ujian, dan dapat nilai bagus nanti ayah sama bunda balikin novel-novel Kakak." Danis hanya mengangguk lemah, dia menatap kedua orangtuanya dengan tatapan nanar. Keluar dari kamarnya dengan novel yang menggunung di dalam kardus. Astaga, Danis harap ujiannya segera berlalu! Dan kini, di Danis memperoleh nilai yang tinggi di beberapa ujiannya. Dengan berbangga hati, malam nanti Danis akan menjemput anak-anaknya! ***** "Lulus?" tanya Gisel malam itu. Keluarga kecil mereka sedang berkumpul di ruang keluarga sambil menonton sinetron di channel ikan terbang. Gisel dan Rai duduk di atas sofa, sedangkan Danis dan Dave duduk lesehan beralaskan karpet. "Lulus, dong! Danis gitu, lho!" Danis menyombongkan dirinya sambil mengibaskan surai hitam miliknya yang sedikit bergelombang. "Nggak ngibul, kan?" tanya Rai takutnya anak gadisnya sedang membohongi mereka. Meski Rai sendiri tau bagaimana kemampuan Danis, tapi sikap anak gadisnya yang tidak belajar sama sekali di saat sedang ujian itu benar-benar hal yang tidak benar. Meski sudah pintar, bukan berarti malah leha-leha dengan membaca novel. "Astaga, Ayah ga percaya sama kakak?" lirih Danis dengan wajah melasnya. "Bukan gitu, Kak .... " "Jadi, kapan Danis boleh ngambil anak-anak Danis?" "Heleh, unak anak unak anak terus! Kalo ada orang yang salah sangka gimana? Kalo orang-orang nyangkanya kamu udah punya anak gimana?" seloroh Dave kesal. "Heleh, suka-suka gue, dong!" Danis menoyor kepala Dave. "Panggil gue kakak, jangan aku kamu!" "Ogah banget!" tolak Dave. "Udah, kalian ini ribut mulu! Nggak di rumah nggak di luar. Nggak malu sama tetangga apa?" omel Gisel karena kesal sendiri melihat anak-anak yang sering ribut ga pandang tempat. "Santai aja, Bund. Lagian tetangga kita itu baik banget! Pak Tio sama Bu Nia nggak akan protes gara-gara kita ribut begini," sahut Danis dengan santainya dan memasukkan kripik singkong ke dalam mulutnya. "Di depan kita sih iya nggak protes, tapi siapa tau kalo di belakangnya, kan? Manusia itu mahluk yang mengerikan, Kak. Keliatannya baik, tapi aslinya begitu. Keliatannya beragajul tapi aslinya begini. Jangan menilai sesuatu dari luarnya." Rai menasehati anaknya, jika manusia itu adalah mahluk yang sangat-sangat mengerikan. Mereka tidak segan-segan untuk saling menusuk dari belakang, demi pencapaian yang mereka inginkan. "Oh iya, mau lanjut kemana SMA nya?" Kini giliran Gisel yang bertanya. "Mau sekolah di SMA yang sama Bang Ares ajalah, Bund," balas Danis singkat. "Heh, jangan ngikutin Bang Ares mulu, deh! Kasian Bang Ares, muak dia tiap sekolah dikintilin Lo terus!" protes Dave karena dia ini memang demen banget sama Ares, dan menjadikan Ares sebagai idolanya. "Nanti Kakak tinggal di asrama, lho. Gapapa?" tanya Gisel memastikan. "Nggak apa-apa, kan, ada Bang Ares," ujar Danis sambil memasukkan keripik singkong ke dalam mulutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD