Dinner Mate 3

1313 Words
*** POV Sano Hallo perkenalkan namaku Sano Shin Mahendra, biasa dipanggil Sano. Umurku sekarang 29 tahun. Pekerjaanku sebagai Psikiater. Aku membuka tempat sendiri, saat ini aku tidak mau tampil publik walaupun namaku tidak asing lagi dikalanganku. Ayahku sudah meninggal ketika aku masih SMA dan ibuku ... aku tidak tahu beliau dimana. Bisa dikatakan aku hidup tanpa orang tua hanya asistenku saja yang selalu menemaniku namanya Nanba Prakasa. Dia lebih muda dua tahun dariku. Hari ini aku sedang di Bali, meninjau hotel peninggalan papaku. Sudah tiga hari aku di sini, alasan lainnya karena ada pasien juga dari Bali. Beliau tidak mau datang ke Jakarta tempatku bekerja, jadi aku mengalah terbang ke Bali. Aku keluar kamar, hari ini ada jadwal beberapa pasien yang harus ku kunjungi. Langkahku berhenti setelah melihat di depan. Aku mengernyit bingung dengan gadis itu. Ia memakai pakaian sederhana tapi masih menarik menurutku, tanpa sadar bibirku melengkung sedikit ke atas. "Gadis yang menarik," lirihku. Aku melanjutkan langkah ke tempat tujuan. Selama di Bali Nanba tidak ikut. Dia mengerjakan pekerjaanku yang ada di Jakarta. "Pak, mau pergi?" Aku menoleh ke resepsionist hotelku yang sedang tersenyum manis ke arahku. Dia bernama Ria. Dia selalu menarik perhatianku ketika aku lagi datang kesini, tapi aku tidak tertarik sama sekali. "Iya saya mau pergi, karena ada beberapa pasien yang harus saya temui," jawabku datar. Sebenarnya aku malas membalas pertanyaan Ria, hanya demi kesopanan aku membalas pertanyaannya. "Saya pergi dulu, Ria," pamitku malas kalau berlama-lama. "Hati-hati, Pak," balas Ria masih dengan senyuman. Aku berjalan menuju mobil yang terparkir sempurna di halaman hotel. Aku sengaja menaruh salah satu mobil disini supaya lebih mudah ketika akan bepergian atau menemui pasien. "Mau menyetir sendiri, Pak Sano?" Muchlis supirku yang berada di Bali. Beliau merangkap sebagai satpam di hotel Mahendra. "Iya, Pak. Saya akan pergi ke suatu tempat setelah selesai menemui pasien," jawabku ke Pak Muchlis. "Baik, hati-hati kalau begitu, Pak Sano." Aku hanya menganggukkan kepala. Aku masuk ke mobil, menghidupkan mesin kemudian mulai melajukan mobilku setelah beberapa menit dipanaskan. Aku mengendarai mobil dengan di temani alunan musik di radio mobil. Aku memasuki komplek perumahan sederhana Bali untuk menemui pasien. Aku mematikan mobil setelah memarkirkannya. Aku keluar dari mobil melangkah ke rumah salah satu pasien. "Selamat sore, Pak Sano," sapa Bu Baiq, orang tua pasienku. "Selamat sore, Bu. Bagaimana keadaan Erwin hari ini, Bu?" Aku menatap anak umur 16 tahun yang beda dari biasanya. Dia mengalami trauma cukup serius, dimana anak itu pernah mengalami penculikan di usia 10 tahun. Bu Baiq mendesah pelan, aku cukup prihatin dengan beliau. "Begitulah, Pak Sano. Saya bingung harus bagaimana lagi," ucapnya sendu. "Sabar, Bu. kita sebagai orang tua harus selalu memberi dukungan untuk Erwin." Aku mencoba menenangkan Bu Baiq. "Itu sudah pasti, Pak Sano. Saya selalu berusaha supaya Erwin bisa kembali seperti semula." Beliau mengusap air matanya. "Iya, Bu ... Tuhan tidak akan memberi kita ujian di atas kemampuan." Ku lihat Bu Baiq mengangguk. "Semoga Tuhan berbaik hati dengan saya, Pak Sano." Aku tersenyum kecil. "Tentu, Bu. Selama kita tidak berhenti berdoa kepada-Nya," ucapku sembari mengulas senyum ke Bu Baiq. "Saya selalu berdoa semoga Tuhan segera mengabulkannya, Pak." Aku mengangguk. "Aamiin Bu...." Aku mengaminkan doa Bu Baiq. "Saya akan memberi resep obat buat Erwin, Bu. Nanti Bu Baiq bisa tebus ke apotek," ucapku sambil menulis menulis resep obat buat Erwin. "Baik, Pak Sano." Bu Baiq menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu saya pamit dulu, Bu," pamitku ke Bu Baiq. "Baik, Pak Sano, Terima kasih sudah menjenguk Erwin." Bu Baiq mengantarkan aku ke depan rumahnya. "Sama-sama, Bu," jawabku tersenyum ke Bu Baiq. Aku menatap jam kecil di pergelangan tanganku menunjukkan jam 19:00 WITA. Ada satu pasien lagi yang harus aku temui di RAnd'S Caffe. Aku bersyukur rumah Bu Baiq dengan RAnd's caffe tidak terlalu jauh, jadi bisa mengendarai mobil cukup santai. *** Masih POV Sano. RAnd's Caffe. Aku berjalan memasuki Caffe, setelah memakirkan mobil. Aku mendengar Caffe ini baru buka beberapa bulan, lalu memindai sudut demi sudut Caffe ini, yang cukup bagus menurutku. Pasienku memilih caffe ini, jadi mau tidak mau aku harus datang menemuinya. Pasienku kali ini seorang pria paruh baya, beliau merasa menyesal tidak memenuhi keinginan mendiang istrinya yang ingin memakan steak sapi semasa hidup. "Maaf, Pak Albert, saya baru datang." Pak Albert yang semula menatap sendu steak sapi yang ada di depannya mendongak. "Tidak apa-apa, Pak Sano. Saya sendiri baru beberapa menit di sini," jawabnya. Aku mendudukkan diri di kursi, berhadapan langsung dengan beliau. "Pak Sano sudah makan?" tanya Pak Albert. "Belum, Pak, saya mau mencoba makanan di sini." Aku terkekeh pelan setelah mengatakan itu. "Bagaimana kalau kita makan dulu Pak Albert?" tawarku. "Silahkan, Pak Sano. Jangan terlalu buru-buru. Lagipula saya suka disini." Aku menganggukkan kepala, sembari tersenyum ke arah beliau. Untuk makan malam, aku memesan beberapa makanan yang ada disini. Setelah makanan yang aku pesan sampai kami mulai makan. Kurang lebih setengah jam kami selesai makan, kemudian Pak Albert mulai konsultasi kepadaku. "Jangan berlarut-larut dalam kesedihan, Pak. Saya yakin mendiang istri bapak tidak menyukai keadaan Pak Albert yang sekarang. Cobalah memaafkan diri sendiri, Pak Albert." Sampai saat ini Pak Albert masih merasa bersalah kepada mendiang istrinya. Ku lihat Pak Albert tersenyum penuh kesedihan di sana. "Saya masih belum punya keberanian memaafkan diri saya sendiri, Pak Sano. Terkadang saya masih menyesal. Kenapa saya tidak bisa memenuhi keinginan istri saya," ucap beliau dengan nada sendu. "Tapi ini sudah lama, Pak. Lakukanlah pelan-pelan. Saya yakin, Pak Albert pasti bisa memaafkan diri sendiri." Aku tersenyum ke arah beliau. Tiba-tiba ekor mataku melihat gadis tadi siang yang datang ke hotel. Bahkan sampai dia menaiki tangga, aku masih menatapnya. 'Mau apa dia disini?' batinku. "Pak Sano kenal dengan wanita itu?" Aku menoleh ke arah Pak Albert. "Tidak, Pak, saya tidak mengenalnya." Pak Albert mengangguk kecil. "Saya kira Pak Sano kenal dengan wanita itu." Aku terkekeh pelan mendengar ucapan Pak Albert. "Kalau begitu saya pulang dulu, Pak Sano. Terima kasih mau mendengarkan keluh kesah saya." Pak Albert beranjak berdiri dari duduknya. "Itu sudah tugasku, Pak Albert." Aku juga beranjak berdiri dari duduk. "Sekali lagi terima kasih, Pak Sano." Beliau mengulurkan salah satu tangannya untuk berjabat denganku. "Sama-sama, Pak Albert. Hati-hati di jalan." Pak Albert mengangguk dengan senyum kecil di bibirnya. Aku mendudukkan kembali setelah Pak Albert pulang. Masih ada beberapa email yang belum aku bukan dari Nanba. Aku beruntung Nanba bisa di andalkan ketika sedang bepergian keluar kota. Setengah jam kemudian aku melihat gadis itu berlari sambil menangis, berbeda dengan pas dia datang dengan penuh senyuman. Firasatku tidak enak, aku langsung memasukan tablet kedalam tas dan bergegas mengejarnya. Aku keluar dari Caffe, untung saja tadi sudah membayar makanan yang aku dan Pak Albert makan. Aku mengendarai mobilku sambil tengok kanan kiri jalan. Aku tidak tahu gadis itu pergi kemana, jadi aku menyusuri jalanan. Mataku memicing kulihat di depan. Di sana ada gadis berjalan di samping jembatan. Aku melajukan mobilku sedikit cepat setelah tahu dia adalah gadis yang aku cari. Mataku langsung melotot ketika gadis itu mulai menaiki besi jembatan. "Apa dia sudah gila!?" Aku memakirkan mobil sembarangan dan berlari setelah keluar dari mobil. "Hei!! Anda jangan gila!!" Aku langsung menarik tangannya. Aku bersyukur datang tepat waktu kalau tidak, mungkin dia sudah terjun ke sungai ini. "Lepas!! Jangan halangi aku!?" Dia memberontak cekalan tanganku, tentu saja aku tidak mau kalah. "Tidak, kamu tidak boleh melakukan itu." Aku sekuat tenaga menahannya, sementara dia terus memberontak. "INI BUKAN URUSANMU!!" teriaknya. Aku memberanikan diri memeluknya, dia semakin memberontak. "Setidaknya kamu pikirkan tentang keluargamu." Ku rasakan tubuh dia menegang di pelukanku, tubuhnya ambruk ke jalan setelah itu dia menangis pilu bahkan membalas pelukanku. "Jangan lakuin itu, bunuh diri itu dosa besar." Aku mengelus punggung gadis ini, dia semakin menangis pilu. Kurang lebih lima belas menit dia menangis, tiba-tiba badannya melemah membuatku sedikit panik. Aku mengurai pelukan ternyata dia tidak sadarkan diri. "Hei, bangun Nona!" Aku menepuk-nepuk pelan pipinya, tapi tak kunjung bangun. Aku langsung membopong tubuhnya dan memasukkannya dalam mobil, dan aku melajukan mobil menuju hotel. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD