4. Menyuap Dengan Uang

1211 Words
"Sayang! Bagaimana keadaanmu, apa kamu baik-baik saja?'' tanya Bu Endang, setelah sampai di dalam ruang VVIP perawatan Arsen. Pak Wijaya yang mengikuti dari belakang, ikut juga menanyakan keadaan putranya. "Apa kamu baik-baik saja Arsen, tidak ada luka parah 'kan?'' sambung Pak Wijaya. Arsen sempat terkejut akan kedatangan Papa dan Mamanya yang secara tiba-tiba, sesaat ia menoleh ke samping kiri di mana ranjang Namira di rawat juga. Gadis mungil itu masih tertidur pulas, selain karena efek obat yang telah Namira minum tadi. "Papa! Mama! Kalian ada di sini?'' tanya balik Arsen, karena terkejut. "Jangan tanyakan itu, tentu saja kami ke mari setelah kami tahu kamu mengalami kecelakaan. Apa kamu lupa, kalau kami ini kedua orang tua kamu, hem?''' ucap Bu Endang tidak suka mendengar kalimat putranya, yang seperti tidak menginginkan kehadiran kedua orang tuanya. "Maaf Arsen tidak bermaksud ---" Kalimat Arsen terputus, saat Pak Wijaya mulai membahas kenapa Arsen sampai kecelakaan dan di rawat di rumah sakit ini. "Aku tahu kamu takut kalau Papa tahu kamu kecelakaan, sekarang jelaskan kenapa kamu sampai kecelakaan?'' tanya Pak Wijaya cepat. Arsen menjawab, dengan gugup. Lalu ia teringat peristiwa sore tadi, yang paling membuat ia takut. Karena ia ingat ucapan Hans tangan kanannya, kalau kedua orang telah ia tabrak tadi telah meninggal dunia. "Arsen tidak tahu, Pa. Kejadian itu tiba-tiba, dan Arsen sama sekali tidak mengingatnya." "Beruntung Arsen saat ini masih hidup, dan mengalai luka kecil. Tapi, tidak dengan seseorang yang Arsen tabrak. Kedua orang tua itu meninggal, Pi. Gadi kecil ini, adalah salah satu korban yang Arsen tabrak.'' "Dia tidak tahu, kalau kedua orang tuanya sudah meninggal," jelas Arsen takut, sekaligus menyesal. Degh! Pak Wijaya dan Bu Endang sangat terkejut, lalu keduanya saling berpandangan. Bu Endang panik sendiri, sedangkan Pak Wijaya masih tetap tenang seraya memikirkan cara bagaimana caranya agar putrinya itu bisa selamat dari hukuman. "Pa, bagaimana ini. Orang yang di tabrak Arsen meninggal. Aku tidak mau Arsen sampai di salahkan, dan masuk dalam penjara. Lakukan sesuatu, aku tidak mau Arsen kenapa-napa. Meskipun aku tahu, putraku sedikit banyak dia melakukan kesalahan. Aku yakin, dia tidak sengaja melakukannya," panik Bu Endang. "Kamu tenang saja, untuk saat ini kamu di sini saja. Jaga Arsen, aku akan mengurusnya,'' jawab Pak Wijaya tenang, lalu ia mendekat ke arah putranya dan menyentuh kepalanya yang di perban. Pak Wijaya yang paham itu, langsung memutar tubuhnya lalu mencari Hans kebetulan orang kepercayaannya itu berada di luar. Cekelek! Setelah pintu terbuka, nampak Pak Wijaya keluar dari ruang perawatan Arsen langsung di sambut oleh Hans. "Hans, aku tidak mau tahu. Saat ini, cari tahu di mana keluarga korban yang di tabrak Arsen tinggal. Jangan sampai mereka membuat pengaduan di kantor polisi, dan membuat putraku berada dalam masalah besar." "Aku ingin keluarga korban bisa di ajak kerjasama, mengingat umur Arsen masih di bawah umur. Dia melakukan kesalahan, bukan murni karena kesalahannya sendiri. Melainkan sudah takdir, yang sudah di tetapkan Allah. Sebagai manusia biasa, dan ayah aku harus bisa melindungi putraku.'' "Datangi, dan berikan sejumlah uang yang cukup besar pada keluarga korban agar mereka tidak membahas kematian korban. Apa kamu paham perintahku ini, Hans?'' tanya, sekaligus perintah Pak Wijaya pada Hans. Hans sedari tadi mendengar apa kata Pak Wijaya, seketika mengerti maksud Tuan-nya. "Saya mengerti, Tuan Besar. Baiklah, kalau itu yang Anda perintahkan, saya siap melaksanakan perintah Anda," jawab Hans mengerti, dan siap pergi ke rumah almarhum Pak Amir dan Bu Rina. Sesaat Pak Wijaya mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya, yang berupa sebuah cek. Lalu ia menulis sejumlah angka di dalam cek itu, dan menandatanganinya. "Aku pikir, dengan sejumlah uang yang telah aku tulis di sini. Keluarga korban pasti akan tutup mulut, dan tidak akan membahas lagi perihal kecelakaan itu pada pihak berwajib. Cepat laksanakan, aku tidak mau pihak rumah sakit menghubungi keluarga mereka duluan. Jadi, lebih baik kamu cepat pergi dan menemui keluarga korban,'' perintah Pak Wijaya sekali lagi, seraya mengulurkan selembar cek pada Hans. Hans menerima, lalu menyimpan di dalam sakunya. Tidak lama, ia pun berpamitan pergi. "Baik, kalau begitu saya pergi dulu," pamit Hans. "Iya, cepat kembali dan laporkan padaku apa tanggapan mereka." "Baik, Tuan." Hans pun bergegas pergi, dan Pak Wijaya hanya bisa menatap punggung Hans yang mulai menjauh. Harapan Pak Wijaya semoga putranya di jauhkan, dari hukuman. Karena ia tidak mau masa depan putranya menjadi suram. 'Apa perlu aku membawa Arsen ke luar negeri, biar dia bisa melupakan kejadian yang sempat dia alami?' pikir Pak Wijaya dalam hati. 'Menurutku tidak ada salahnya, lebih baik aku bawa Arsen keluar negeri dan menyekolahkan dia di sana. Agar dia juga bisa melupakan, peristiwa yang merenggut nyawa korban itu,' putus Pak Wijaya. Pak Wijaya masuk kembali ke dalam ruang perawatan Arsen, sejenak tadi ia sudah memantapkan keputusannya. Kalau Arsen akan pindah ke Amerika, tinggal dan melanjutkan sekolahnya di sana. *** Ketika Pak Wijaya sudah memutuskan sesuatu, maka terjadilah. Bahkan Arsen saat menolak pun tidak akan bisa, sebab pria berumur 32 tahun itu sama keras kepalanya seperti Arsen. Hans mulai mencari tahu di mana rumah Pak Amir dan Bu Rina, beruntung tadi sore saat itu ia sempat mengambil tas Bu Rina. Jadi, itu sedikit memudahkan Han mengetahui di mana tempat tinggal mereka. Sesuai alamat yang tertera di KTP Bu Rina, akhirnya Hans sampai di depan rumah sederhana milik keluarga besar Pak Amir. 'Ini pasti rumahnya, kata orang tadi warna rumah Bu Rina itu berwarna hijau, dan hanya ini kulihat warna rumahnya hijau,' batin Hans, sesaat melihat ke sekeliling tidak ada lagi rumah berwarna hijau, kecuali rumah Pak Amir. Tanpa membuang waktu Hans mengetuk pintu, tidak lama Dian suami dari Adik Pak Amir yang membukakan pintu. Cekelek! "Siapa, ya?'' tanya Dian sedikit sinis. Hans langsung mengenalkan dirinya, dan meminta untuk masuk ke dalam agar bisa leluasa bicara. "Saya Hans, seseorang yang diutus oleh Tuan saya menemui keluarga dari Pak Amir dan Bu Rina. Apa bisa kita bicara di dalam saja, karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan di dalam?'' ucap Hans cepat. Dian yang penasaran, langsung mempersilahkan pria yang tidak dikenalnya masuk. "Oh, silahkan masuk," jawab Dian, ia merasa penasaran sekali apalagi saat ia melihat pakaian rapi layaknya pekerja kantor. 'Siapa orang ini, sepertinya orang penting. Jangan-jangan orang ini adalah utusan dari Bos Kak Amir, apa dia mau memberi uang. Kalau begitu, dengan senang hati aku akan menerimanya dan pastinya akan mengambil separuh uang itu lalu sisanya kukasihkan sama Kak Rina,' batin Dian licik. Setelah keduanya duduk di kursi sederhana, barulah Hans mulai bicara serius seperti yang diperintahkan oleh Pak Wijaya tadi. "Kedatangan saya ingin memberitahu Nona, kalau mobil yang di tumpangi Pak Amir dan Bu Rina mengalami kecelakaan. Keduanya meninggal dunia, dan putrinya saat ini mendapatkan perawatan di rumah sakit," ucap Hans pelan. "Apa, mereka kecelakaan dan Kakak iparku semua meninggal?" tanya Dian terkejut. Dalam hati, Dian merasa senang karena iparnya meninggal. Dengan begitu ia bisa menguasai rumah yang ia tinggali saat ini. "Iya, mereka berdua meninggal. Karena yang kecelakaan itu ada sangkut pautnya dengan Tuan Muda saya, saya kemari ingin memberikan cek ini dan di dalamnya ada sejumlah uang. Saya harap, Nona bisa tutup mulut dan menyimpan rahasia yang terjadi dalam kecelakaan yang menewaskan Pak Amir dan Bu Rina," ucap Hans seraya mengulurkan cek di atas meja. Nampak Dian langsung mengambil cek itu, lalu dengan terburu melihat nominal di dalam cek. Seketika kedua kelompok matanya membola, saat tahu isi dari cek itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD