Kabar Duka

1306 Words
Waktu sudah hampir magrib, nampak terlihat seorang wanita paruh baya dengan sanggul di kepala. Sedang mondar-mandir di teras, tatapannya terus mengarah ke arah jalan. Terlihat jelas raut khawatir, di wajah keriputnya. Mengingat putra, menantu dan cucunya belum juga kembali dari acara rekreasi untuk merayakan hari ulang tahun Namira. Wanita itu bernama Nenek Ratih, ibu dari Pak Amir Ayah Namira. Sudah sejak siang, sang nenek belum mendapatkan kabar dari putra. Apalagi hatinya juga terus dihinggapi rasa khawatir, dan perasaan cemas sedari siang. Seperti ada ikatan batin dari Nenek Ratih, pada anak, menantu dan cucunya. 'Kenapa Amir belum pulang juga? Ke mana dia, perasaanku dari tidak enak. Semoga saja mereka tidak kenapa-napa, di jalan,' cemas Nenek Ratih. Ketika Nenek Ratih sedang mencemaskan anak, menantu dan cucunya. Tiba-tiba datanglah menantu dari putra keduanya bernama Heru, wanita muda dengan pakaian seksi itu terlihat jengah menatap mertuanya gelisah seperti itu. "Bu! Ngapain, sih, di luar terus? Ini sudah mau malam, cepat masuk. Dian mau tutup pintunya," sinis Dian menantu dari Nenek Ratih. "Tunggu sebentar lagi, Nak. Ibu sedang menunggu Amir, dan Rina. Kenapa mereka belum datang juga, Ibu sangat mengkhawatirkan keadaan mereka. Apalagi ini sudah mau malam, kasihan Namira nanti masuk angin karena hanya mengenakan pakaian pendek,'' jawab Nenek Ratih syarat kekhawatiran pada pada putranya. Dian melangkah, dan mendekati Nenek Ratih. Lalu merangkul kasar mertuanya, kemudian mengajak wanita tua itu ke dalam rumah. "Alah, Ibu jangan sok khawatirkan mereka. Kak Amir 'kan membawa mobil, mereka pasti aman-aman saja di dalam mobil. Namira juga tidak akan masuk angin, kecuali kalau dia keracunan banyak makan kue," ucap Dian kasar. Entah mengapa Dian selalu bersikap sinis pada keluarga dari suaminya, apalagi setelah menikah Heru belum bisa membahagiakan dirinya seperti wanita lainnya. Jadinya, Dian selalu melampiaskan kekesalannya pada mertua, kakak ipar maupun anak dari Pak Amir. Nenek Ratih hanya bisa pasrah, saat Dian mendorongnya masuk ke dalam rumah. Tanpa melihat menantunya yang kasar itu menutup pintu, Nenek Ratih melanjutkan langkahnya ke kamarnya. Ia lebih memilih mengambil wudu, dan salat ketimbang berbicara pada Dian yang kadang suka berbicara kasar padanya. Selesai melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim, Nenek Ratih mulai berdoa untuk anak, menantu dan cucunya agar senantiasa diberikan keselamatan serta perlindungan. 'Ya Allah, di mana pun anak-anakku dan juga cucuku berada. Tolong lindungi mereka, jauhkan mereka dari marabahaya. Aamiin,' doa tulus dari Nenek Ratih. Meskipun telah berdoa, tetap saja hati Nenek Ratih terus saja gelisah dan khawatir pada keadaan anak, menantu serta cucunya. 'Kenapa hati ini terus saja gelisah, dan takut. Semoga saja ini bukan pertanda buruk Ya Allah,' gumam Nenek Ratih seraya menyentuh dadanya. *** Di dalam kamar perawatan, Hans yang baru datang dalam keadaan panik langsung melaporkan kabar yang baru saja ia dengar dari salah satu suster sempat merawat keadaan kedua orang tua Namira. "Tuan Muda! Tuan Muda! Ada kabar buruk!'' seru Hans, setelah masuk dengan nafas terengah dan juga panik. Arsen saat itu dalam posisi membelai puncak kepala Namira, langsung terkejut akan kedatangan Hans tiba-tiba dan mengatakan tentang keadaan orang tua gadis kecil di sampingnya. "Ada apa, Paman. Kenapa Paman panik seperti ini, jelaskan bagaimana keadaan kedua orang tua yang sempat aku tabrak tadi?'' tanya Arsen, kini ia telah dalam posisi duduk dengan tatapan ke arah Hans. "Kedua orang tua itu telah meninggal, Tuan Muda. Mereka tidak bisa diselamatkan, karena luka di kepala terlalu dalam," jawab Hans cepat, saat itu juga Arsen terkejut dan merasa tidak percaya. Degh! ''Apa! Kedua orang tua itu meninggal, rasanya tidak mungkin, Paman? Aku tidak percaya, kalau mereka meninggal lalu bagaimana nasib gadis kecil ini, Paman?'' sanggah Arsen tidak percaya. "Saya mengatakan yang sebenarnya, Tuan Muda. Saya sama sekali tidak bohong, karena tadi ada seorang Suster yang sempat merawat kedua orang tua gadis kecil itu di ruang ICU. Saat ini kedua orang tua gadis kecil itu telah di pindahkan ke salah satu ruangan khusus, agar memudahkan keluarga besar dari mereka mengambil jenasahnya," terang Hans serius. Melihat keseriusan, dan juga ekspresi orang kepercayaannya membuat Arsen lemas. Ia tidak menyangka, kalau keinginan untuk mengendarai mobil sendiri telah membuat orang terluka bahkan kehilangan nyawa. "Bagaimana ini, Paman. Aku telah menjadi seorang pembunuh, aku takut Paman?" ucap Arsen muda, yang tahu akan rasa takut bila dipenjara. "Sssttt! Tuan Muda jangan bicara begitu, semua terjadi karena takdir. Anda tidak bersalah, kejadian tadi murni kecelakaan tanpa di sengaja. Anda jangan bicara apa pun pada orang-orang, biar saya dan Tuan Besar yang mengurusnya," jawab Hans menenangkan. Arsen mendengar itu, hanya bisa menganggukkan kepalanya mengerti. Sebab ia sangat percaya penuh pada Hans. Tapi, dalam relung hatinya yang paling dalam. Arsen tetap menyalahkan dirinya sendiri, karena ulahnya gadis kecil di sampingnya kini telah menjadi yatim-piatu. 'Semua gara-gara aku, aku telah membuat orang tuamu meninggal. Maafkan aku, gadis kecil,' batin Arsen seraya menatap Namira yang masih dalam posisi tidur di ranjang dekat Arsen. Saat Arsen menatap wajah Namira, dan menyalahkan dirinya. Hans yang tidak bisa menyelesaikan masalah Tuan Muda-nya sendiri mulai menghubungi Tuan Besar-nya tidak lain adalah Papa dari Arsen. Drrrtt Tuan Besar Pak Wijaya saat ini sedang berada di ruang kerjanya, ia begitu fokus memeriksa beberapa dokumen penting kantornya. Di tengah keseriusan itu, tiba-tiba ia mendengar suara ponselnya berbunyi. Mulanya ia mengabaikan, tapi, lama-lama ia merasa terganggu juga. 'Siapa yang menelepon, mengganggu saja! Awas saja kalau tidak penting,' gumam Pak Wijaya, lalu mengambil ponselnya di atas meja kerjanya. Sesaat Pak Wijaya melihat nama tidak asing di dalam layar ponselnya, dan sedikit terkejut ketika orang kepercayaannya itu tiba-tiba menelepon dirinya. 'Hans! Kenapa dia meneleponku, apa terjadi sesuatu dengan Arsen? Tidak biasanya dia menghubungiku?' gumam Pak Wijaya heran, sekaligus mulai merasakan firasat tidak enak pada putra semata wayangnya. Tanpa membuang waktu, Pak Wijaya langsung menekan tombol hijau untuk menerima sambungan telepon dari Hans. "Hallo, Tuan Besar," sapa Hans begitu sambungan terhubung. "Katakan, ada apa? Arsen baik-baik saja 'kan, Hans. Karena kamu tidak biasanya menghubungiku, kalau tidak ada keadaan yang mendesak," tanya Pak Wijaya sedikit menuntut. Hans yang paham akan sifat, dari atasannya itu langsung melaporkan dan menjelaskan semua peristiwa sempat di alami oleh Arsen Tuan Muda-nya. "Apa yang Anda tanyakan benar, Tuan Besar." "Saya menelepon karena ingin memberitahu Anda tentang keadaan Tuan Muda setelah kecelakaan ---" Ucapan Hans seketika terpotong, saat Pak Wijaya mendengar kata putranya di sebut. "Apa! Arsen kecelakaan, lalu bagaimana keadaan Arsen sekarang? Apa dengan putraku baik-baik saja?'' tanya Pak Wijaya sedikit keras suaranya, karena panik. "Tuan Muda saat ini sedang mendapatkan perawatan, di salah satu rumah sakit. Anda boleh datang ke mari, karena ada sesuatu juga yang ingin saya sampaikan secara langsung," jawab Hans, tanpa memberi informasi lengkap. Pak Wijaya mendengar kabar putranya kini berada di rumah sakit, langsung khawatir. "Di mana Arsen dirawat, beri alamatnya sekarang?!'' teriak Pak Wijaya tidak sabaran, karena terlalu khawatir akan keadaan putra semata wayangnya. "Di rumah sakit Modern Hospital, kamar VVIP nomer 5," jawab Hans. Setelah itu, Pak Wijaya langsung memutuskan sambungan telepon kemudian berdiri dan berlari keluar. "Sayang! Sayang, di mana kamu?'' teriak Pak Wijaya cukup keras. Membuat istrinya, Bu Endang sedikit terkejut, sekaligus heran kenapa suaminya begitu heboh. "Ada apa, sih, Pa, teriak-teriak begitu. Mama 'kan kaget jadinya," ucap Bu Endang, seraya menghampiri suaminya. "Kita ke rumah sakit sekarang, Arsen kecelakaan tadi," ajak Pak Wijaya terburu. Bu Endang langsung menutup mulutnya sendiri, dengan menggunakan kedua tangannya. Ia sangat terkejut, sekaligus khawatir akan kondisi terkini Arsen. "Apa, Pa. Arsen kecelakaan, di mana dia sekarang? Bagaimana keadaannya, aku takut dia kenapa-napa, Pa," panik Bu Endang, dan langsung menangis. "Aku tidak tahu, sekarang kita pergi ke rumah sakit dan melihat keadaan dia," ucap Pak Wijaya, dan langsung menggenggam tangan istrinya ke luar. Di luar sudah ada supir keluarga yang siap kapan saja melaksanakan tugasnya, jadi, tanpa perintah supir keluarga Wijaya sudah tahu tugas para pekerja di kediaman itu masing-masing. Selama dalam perjalanan, Pak Wijaya dan Bu Endang saling terdiam karena memikirkan keadaan Arsen. Padahal putranya baik-baik saja, hanya saja orang yang di tabrak Arsen-lah yang terluka parah bahkan kini meninggal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD