"Abis gue Yun." Cicit gue ke Yuni yang terlihat sama kagetnya dengan gue sekarang, udah gue bilangkan, itu tu bukan hal yang aman lagi kalau beneran yang duduk dibelakang gue sekarang itu adalah Kendra tunangan gue, kalau tadi gue cuma denger kata Ken doang nah sekarang nama panggilannya langsung, Kendra, apa bisa gue duduk tenang di tempat sekarang? Jawabannya jelas enggak, gue mau pulang sekarang juga kalau memang bisa.
"Ay! Jangan coba-coba untuk ngelirik ke arah belakang lo sekarang, lo cukup duduk di tempat dan jangan celingukan kemana-mana, percaya sama gue, kalau lo duduk dengan tenang tanpa menoleh ke arah belakang lo apapun yang terjadi, semuanya aman." Ucap Yuni memperingati gue, masih dengan perasaan harap-harap cemas, gue memang menuruti saran Yuni barusan tapi asli detak jantung gue udah makin gak beraturan sekarang, gimana ceritanya gue ketemu secara gak sengaja sama laki-laki yang namanya Kendra disini? Sebegitu luasnya tempat tapi gue hampir aja ketemu dengan cara tak terduga.
"Jadi sekarang gimana? Masa iya gue duduk kaya gini terus Yun? Pegel gue lama-lama." Kalau misalnya Yuni gak ngomong kaya tadi mungkin gue bisa jauh lebih santai sekarang, gue bisa duduk dengan tenang walaupun nggak nolek ke belakang sama sekali tapi karena udah dilarang, jatuhnya malah canggung sendiri, bak anak kecil yang semakin dilarang sama orang tuanya, semakin besar keinginannya untuk mencoba hal baru juga.
"Ya terus lo sendiri mau gimana? Gue nggak berani menjamin apapun Ay! Itu orang namanya udah jelas sekata seperti nama tunangan lo, ya walaupun belum pasti orangnya sama tapi setidaknya lo harus antisipasi lebih dulu, lo harus berusaha melihat keadaan dengan cukup baik, memang lo mau ketemu sama calon suami lo sekarang? Dengan cara tak terduga dan ditambah dadakan kaya gini?" Gue menggeleng cepat untuk pertanyaan Yuni barusan, ya gue jelas nggak mau, masa iya ketemu tanpa rencana? Padahal udah pasang target kalau mau ketemu pas hari pernikahan langsung, keinginan gue bisa batal seketika kalau memang ternyata laki-laki yang duduk dibelakang gue sekarang beneran Kendra tunangan gue itu.
"Nah makanya karena lo nggak mau ketahuan walaupun lo rada nggak nyaman, lo tetap harus bertahan, harus bisa kalem, santai dan tenang, palingan nanti juga mereka selesai lebih dulu, percaya sama gue." Gue menggelengkan kepala gue pusing sama omongan Yuni sekarang, perasaan dari tadi Yuni nyuruh gue percaya sama dia, kalau gue percayanya kelewatan juga bisa berabe nanti, ide Yuni kadang memang bagus dan nggak menutup kemungkinan juga kadang somplaknya gak ketulungan.
"Percaya itu sama Allah bukannya sama lo, Yun." Cicit gue tersenyum kecil.
"Itu gue juga tahu tapi maksudnya lo paham-paham sendirilah ya, gue lagi cari rencana dadakan yang bisa memungkinkan kita ninggalin tempat ini lebih dulu kalau memang mereka lama tanpa ketahuan cuma masalahnya adalah, pintu keluar malah kearah yang menghadap sama mereka." Gue hampir aja berbalik arah ke belakang mendengar ucapan Yuni barusan, hampir aja ketahuan dan rencana gue gagal seketika tapi melihat kelakuan gue sama Yuni sekarang tanpa sadar malah membuat gue tertawa kecil sendirian, kacau parah memang.
"Hei perempuan, kenapa mendadak lo malah ketawa sendirian begitu? Lo sakit kepala atau kepala lo memang udah geser dari awal? Horor sendiri gue duduk dihadapan lo sekarang Ay." Tanya Yuni yang sama sekali gak bisa menutupi raut wajah kegetnya melihat gue tertawa kecil mendadak kaya gini.
"Ya gimana gue enggak ketawa sendiri Yun, tadi itu lo yang sok-sokan santai dan ngomong sama gue kalau panggilannya itu belum tentu tunangan gue tapi begitu namanya dipanggil lebih lengkap, lo malah ikutan panik dadakan kaya gue begini, apa itu nggak lucu? Lucu parah Yun apalagi kalau gue ingat ekspresi lo tadi, berbeda jauh sama eskpresi lo yang sekarang." Jelas gue yang pada akhirnya membuat Yuni ikut menyunggingkan senyumannya, nah sekarang Yuni baru sadar juga kalau kelakuan kita berdua memang seheboh itukah? Apa kata gue.
"Dan ini semua gara-gara lo, punya rencana nikah tapi kok gak mau ketemu sama calon suami sebelum hari pernikahan, jadinya setiap kali ketemu orang yang namanya mirip sama tunangan lo, kita jadi main petak umpet beginikan? Menyusahkan sekali di kau ini Ay." Yuni menghembuskan nafas berat tapi masih dengan senyuman yang mengembang memperhatikan gue sekarang, ya memang harus ada perjuangan dan usaha tersendiri kalau mau keinginan gue itu terwujud dengan baik dan sesuai dengan rencana juga.
"Makanya lo jadi sahabat gue harus banyak membantu, harus ikut berpartisipasi dalam keadaan darurat kaya gini." Lanjut gue yang semakin membuat Yuni menatap gue geram, siap meledak kalau gue mancing emosinya lebih jauh lagi sekarang.
"Untung gue punya temen modelan lo begini cuma satu Ay! Kalau lebih, hidup gue bisa haru hara setiap hari, penuh dengan rencana yang tak terduga asal lo tahu." Yuni mah selalu untung, jarang ruginya, kerugian Yuni sampai sekarang cuma satu, punya sahabat modelan gue tapi kerugian Yuni malah jadi keuntungan untuk gue, gue beruntung karena punya sahabat kaya Yuni, ini juga kenyataan.
Masih gue sama Yuni menatap kesal satu sama lain dengan senyum tertahan, makanan kita berdua datang dan kita berdua langsung makan aja, gue juga mulai menyamankan posisi gue sekarang walaupun sangat berhati-hati untuk nggak berbalik arah dan sampai menatap ke arah belakang gue sekarang, gue masih bisa menikmati makanan gue dan itu lebih dari cukup jadi nggak sia-sia juga gue sama Yuni mengantri cukup lama cuma untuk bisa makan disini, semuanya terbayarkan dengan rasa makanannya.
"Ay! Jadi gimana? Mereka berdua kayanya masih lama, kita nggak mungkin nunggu disini sampai sorekan? Gue bisa di omelin sama orang rumah nanti." Cicit Yuni nyubit lengan gue pelan, gue juga mikirin hal yang sama, nggak mungkin kita berdua mau duduk di tempat lebih lama padahal makanan kita berdua juga udah habis dari tadi, orang rumah gue pastinya juga bakalan ngomel nanti.
"Gue nggak tahu, terus kita harus gimana? Kabur aja?" Saran gue yang langsung dihadiahi tatapan menusuknya Yuni.
"Kabur? Lo yang bener kalau kasih saran, mana bisa begitu Aya! Lo mau kita berdua dikira maling disini?" Tanya Yuni balik yang gue angguki juga, omongan Yuni juga bener, masa iya kita berdua keluar kaya gitu, pasti bakalan dilihat sama banyak orang.
"Gimana kalau gini? Gue jalan disebelah kiri terus lo gue peluk dari sebelah kanan gue, otomatis muka lo gak bakalan kelihatankan? Gimana?" Saran Yuni yang terdengar lebih tragis.
"Kalau itu sarannya mah kita berdua memang nggak akan dikira maling cuma bakalan dikira perempuan gak beres Yun, sama aja." Idenya bener-bener menguji kesabaran sekali, keluar sambilan pelukan sama Yuni di tempat umum kaya gini beneran ide yang jauh lebih parah, apa nggak ada saran yang jauh lebuh mendingan? Yang bisa diterima akal dan pemikiran gue.
"Terus apa lo punya saran lain Ayaka Pradipta?" Tanya Yuni lumayan keras, seketika tangan gue nepuk bibir Yuni karena suaranya yang nggak terkontrol itu, kenapa dia malah nyebut nama lengkap gue sekarang? Kenapa nggak sekalian kasih tahu laki-laki yang duduk di belakang gue sekarang untuk memastikan semuanya? Parah banget Si Yuni.
"Ayaka Pradipta?" Tiba-tiba lelaki yang duduk tepat di belakang gue sekarang mengeluarkan suaranya, gue yang mendengarkan nama gue disebut dengan lengkap kembali mengkaku, jemari kaki gue bahkan gak bergerak sama sekali, kepala gue yang ingin berbalik arah juga harus semakin gue tahan, gue nggak bisa menghadapi panggilan barusan.
"Ay! Kayanya beneran calon suami lo deh, kalau nggak kenapa malah nama lo disebut ulang? Jodoh banget memang." Cicit Yuni yang gue hadiahi dengan tatapan menusuk gue sekarang, gara-gara Yuni doang pakai acara nyebut nama lengkap gue segala barusan, udah gitu suaranya kaya spiker mesjid lagi kasih pengumuman pula, kan sakit.
"Gara-gara lo doang makanya gue nggak bisa berkutik kaya gini, harapan gagal semua rencana gue selama ini." Cicit gue nepuk lengan Yuni nggak sabaran, gue bahkan terus nepuk lengan Yuni berkali-kali sangking kesalnya dengan kelakuan Yuni sekarang, sangat menguji kesabaran gue sepertinya.
"Ayaka Pradipta tunangannya Kendra Aliandra Akbar? Apa itu kamu Ay?" Dan benar sudah, laki-laki yang duduk di belakang gue sekarang adalah tunangan gue sendiri, gimana bisa kita berdua ketemu nggak sengaja disini?
"Heum, ini Aya, Kakak ngapain?" Gue mengiyakan pertanyaannya dan sekaligus gue nanya balik ke Kak Ken tanpa berbalik arah sama sekali.
"Kakak cuma jalan keluar sebentar sama temen Kakak, kamu sendiri ngapain? Kamu nggak perlu berbalik, kamu cukup jawab pertanyaan Kakak." Lanjut Kak Ken nanya gue balik, beberapa kata dari kalimat Kak Ken tadi juga cukup mengejutkan untuk gue.
"Aya nemenin sahabat Aya beli kado untuk ulang tahun adiknya, kita baru selesai makan dan sekarang mau pulang ta_"
"Tapi kamu nggak bisa keluar karena sadar dengan kehadiran Kakak disini lebih dulu?" Potong Kak Ken nebak alasan gue masih tetap duduk di tempat gue sekarang, sayangnya lagi tebakannya sangat tepat sasaran, memang itu alasannya.
"Ken! Lo ngomong sama siapa?" Tanya laki-laki lain yang gue yakin adalah temen yang Kak Ken maksud barusan.
"Perempuan yang duduk tepat dibelakang gue sekarang adalah tunangan gue, Aya." Dan deg! Jawab Kak Ken yang membuat perasaan gue rasanya berbunga entah kenapa, jawabannya sederhana tapi gue sangat-sangat merasa lega.
"Kalian bukannya harus pulang sekarang kalau nggak mau terjebak macet nanti?" Dalam hati gue mengiyakan ucapan Kak Ken barusan tapi gue juga lagi mikirin cara untuk keluar dari tempat ini tanpa harus ketemu Kak Ken.
"Heum, Kak! Bukan maksud Aya mau menghindar tapi." Gue bahkan harus menggantungkan kalimat gue sendiri sekarang, gue sangat-sangat ingin mewujudkan harapan gue selama ini, gue nggak mau semua usaha gue gagal cuma karena gue nggak sengaja ketemu sama Kak Ken disini, apa Kak Ken akan paham dengan maskud gue sekarang? Dari awal alasan untuk nggak ketemu sebelum hari pernikahan memang murni keinginan gue sendiri dan bagusnya Kak Ken menerima permintaan gue itu.
"Kakak paham, kalau gitu Kakak keluar lebih dulu, kamu hati-hati di jalan dan sampaikan salam Kakak untuk Ayah sama Bunda di rumah." Setelah ucapannya, Kak Ken beneran bangkit dari tempat duduknya lebih dulu dan keluar dari tempat gitu aja.
"Yun! Beneran udah pergi?" Tanya gue memastikan, Yuni pasti bisa lihat karena duduk dari arah yang berlawanan sama gue sekarang.
"Udah! Aduh Ay! Calon suami lo pengertian banget, cuma sayang gue nggak bisa lihat tampangnya dengan jelas tadi, Kak Ken langsung jalan lurus tanpa melirik ke arah manapun lagi." Yuni menghela nafas dalam dengan tatapan separuh kesal, kesal yang dibuat-buat lebih tepatnya.
"Ayo pulang nanti kalau macet beneran, siapa yang kalan susah? Kita berdua jugakan?" Sama halnya Kak ken tadi, gue juga bangkit dari duduk gue sekarang dengan perasaan yang jauh lebih lega dan langsung pulang.