1. Rutinitas

1850 Words
       Sarah POV      Empat bulan yang lalu,      Pagi itu terasa seperti biasanya. Ini tahun kesebelas pernikahan mereka dan semuanya berjalan seperti hari-hari biasanya. Tidak ada percakapan di meja makan saat sarapan dan hanya dentingan alat makan. Keluarga kecil itu duduk bersama dan makan bersama.      Tiara, si putri bungsu, melirik ke arah ayah dan ibunya yang terlihat tidak saling menyapa. Rasanya aneh memang. Biasanya setidaknya mereka berbincang sejenak walau hanya basa-basi, seperti jam berapa sang istri akan pulang atau sekedar bertanya apa sarapannya enak. Tapi kali ini perbincangan seperti itu tidak terjadi.      Tiara mulai terlihat gusar. Ia melirik Bianca, kakaknya lalu menyenggol kakinya, memberi tanda bahwa ia ingin berbicara. Bianca pun melirik Tiara yang sedang memainkan mata, menunjuk ke arah orangtua mereka. Bianca memberi tanda agar Tiara diam.      “Uang sekolah anak-anak naik sepuluh persen bulan depan. Kamu tahu kan?” Emma membuka pembicaraan.      “Iya.”      “Bulan ini divisiku tidak mencapai target. Tidak ada bonus untuk kami semua. Belum lagi uang untuk kuliah Tio dan biaya hidup Papa Mamaku. Setidaknya kamu harus membantu dalam keuangan kita kali ini. Untuk kenaikan kali ini kamu yang bayar,” putus Emma dengan nada cueknya. Alvin menghentikan acara makannya. Menatap Emma yang mengambil keputusan langsung.      “Aku belum…”       “Belum dapat klien lagi? Ini pasti karena kamu nggak mau melakukan yang aku bilang kan?” Alvin menatap Emma kembali dengan nada datar. Ia tahu ke arah mana pembicaraan ini selanjutnya. Ia memutar bola matanya malas. Enggan memberi tanggapan.      “Sudahlah. Menyerah dari menjalankan bisnis bodoh yang nggak menghasilkan itu lalu cari kerja yang lain. Pemilik bisnis yang cuma bisa mengandalkan bakat turunannya itu nggak akan berhasil! Kamu tahu sendiri kita butuh uang, operasional kita makin besar. Lebih baik jadi karyawan saja, digaji tetap. Tuh di perusahaan masih ada lowongan kalau kamu tertarik.” Lagi-lagi Emma mengatakan semuanya tanpa memandang mata Alvin.      Alvin lagi-lagi merasa diremehkan oleh Emma beberapa tahun belakangan ini. Memang benar usaha fotografi Alvin belum mengalami perubahan. Tetap belum menghasilnya. Alvin sangat tahu bahwa dirinya tidak segigih ayahnya atau secakap kakaknya yang tinggal di Amerika dan menolak melanjutkan usaha ayahnya. Tapi apakah Alvin tidak boleh mendapatkan kesempatan membuktikan diri? Bukankah membuktikan diri itu memang membutuhkan waktu juga?      Aku yakin Alvin hanya bisa menggerutu dalam hati karena sindiran bertubi-tubi Emma.      Namun saat itu, Alvin memilih tidak menanggapi daripada nanti berujung emosi.      Emma menatap Alvin yang tidak merespon. Selalu saja seperti ini. Alvin hanya diam dan Emma tidak suka itu. Ia merasa tidak didengarkan.      “Kamu dengar ucapanku nggak sih?”      “Aku nggak tuli.”      Emma menatap Alvin dengan marah. Ia menyelesaikan acara makannya walau makanannya masih ada setengah. Ia malas menghadapi Alvin yang kembali membatu seperti ini. Lagi, pembicaraan klasik yang tak berujung.      “PR-nya sudah selesai dikerjakan?” tanya Emma sambil tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian. Lebih baik mengacuhkan Alvin daripada terjebak konflik seperti biasanya lagi.      “Aku sudah selesai, Ma. Mama tahu kemarin aku mengerjakan sendiri lho PR-ku. Tidak dibantu Kakak. Lihat-lihat…” Tiara kecil tidak tahan lagi untuk bercerita panjang lebar tentang kesehariannya pada sang ibu yang hampir setiap hari tidak punya waktu untuk sekedar mengobrol dengan mereka karena kesibukan. Tiara mengambil buku tugasnya segera dari dalam tas untuk ia tunjukkan pada Emma.      Tapi belum sempat Tiara berbicara, Emma tidak ada di tempat. Lagi, Ibunya direbut oleh pekerjaannya. Tiara merengut. Ibunya lagi-lagi diambil oleh Om Michael, partner sekaligus atasan Emma di kantor, yang sering menghubunginya di acara makan keluarga seperti ini. Ia kecewa dan kembali ke tempat duduknya. Alvin melihat putri bungsunya yang kesal. Berusaha menghibur putrinya.      “Mama masih sibuk, tapi Papa mau dengar cerita Tiara. Ayo lanjutkan ceritanya,” sambung Alvin dengan tersenyum. Berharap Tiara tidak terlalu kecewa, tapi nyatanya usahanya tidak berhasil. Bibir mungil itu melengkung ke bawah. Ia menggeleng.      “Tiara mau ceritanya sama Mama. Bukan sama Papa,” jawab gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Alvin menghela nafasnya. Ia ikut sedih melihat putri kecilnya yang tidak mendapat perhatian dari ibunya. Emma memang keterlaluan. Sangat workaholic hingga tidak pernah memiliki waktu bersama dengan anak-anak mereka.      Alvin sudah menahan uneg-unegnya tentang ini sejak beberapa tahun lamanya. Dan setiap kali pembahasan ini muncul, pasti timbul konflik seperti semalam. Ia tidak ingin membuat hari ini kacau hanya karena perbuatan sang istri. Setelah putri-putri mereka berangkat sekolah, ia akan membahasnya.      Emma pun kembali setelah mengangkat panggilannya.      “Ayo kita sekolah!” ajak Emma dan kedua putrinya dengan wajah tidak enak hati terpaksa menurutinya. Mengambil tas sekolah mereka dan memakainya. Masuk ke dalam mobil dan lagi-lagi dalam diam.      Alvin menyetir, mengantar anak-anaknya sekolah dan istrinya kerja. Rutinitas seperti biasa. Di dalam mobil lagi-lagi suasana hening, hanya ada suara lagu anak-anak dari televisi kecil di dalam mobil yang sedang memainkan video lagu anak. Hingga akhirnya mobil sudah sampai di depan sekolah. Pasangan itu turun lalu memeluk satu per satu anak mereka sebelum masuk melewati pintu gerbang.      Mereka terlihat sebagai keluarga yang harmonis dan membuat iri semua orang. Suami, istri dan kedua putri mereka yang cantik seperti keluarga kerajaan. Begitu bahagia dan menyenangkan untuk dilihat, tapi mereka tidak tahu bahwa di baliknya keluarga mereka diambang keretakan. ***     Emma kembali berkutat dengan ponselnya di dalam mobil. Enggan berkata apapun dan lebih memilih membenamkan pikirannya dalam pekerjaan. Alvin sedikit merasa terganggu dengan kebiasaan Emma yang satu ini. Berkutat dengan ponselnya dan tidak mempedulikan hal-hal di sekitar termasuk dirinya ataupun anak-anaknya. Emma tenggelam dalam dunianya sendiri.      “Kamu ini sibuk apa sih? Anak-anak tadi itu minta waktumu sebentar saja, mereka sudah lama nggak pernah ngobrol sama kamu. Bisa-bisanya kamu malah teleponan sama si Michael sayangmu itu. Aku nggak tahu lagi harus ngomong apa sama kamu. Kapan sih kamu sadar kalau anak-anakmu itu butuh kamu!      Hidupmu itu bukan cuma tentang kantor-kantor dan kantor, Emma! Kamu punya keluarga. Bisa nggak sih kamu memberikan waktu buat keluarga? Kamu itu seorang Ibu juga seorang istri. Setidaknya melayani suami dan anak-anakmu itu harus jadi prioritas!” Alvin memprotes.      Merasa tersindir, emosi Emma mulai tersulut. Bukannya apa, Michael, atasan sekaligus sahabatnya di kantor itu tadi menghubunginya karena masalah yang sangat penting. Pria seperti Alvin tidak akan mungkin mengetahuinya. Dia tidak pernah ada di posisi setinggi Emma di kantor. Jabatan di level manajerial memang dituntut memberikan waktu, tenaga dan pikiran lebih banyak. Apalagi di divisi yang penuh tekanan seperti sales dan marketing yang menaungi Emma saat ini. Jelas Alvin tidak tahu apa-apa!      “Memangnya aku seneng kaya gini? Aku juga ingin punya waktu buat anak-anak. Tapi aku TERPAKSA melakukan ini kgara-gara kamu!” kata Emma memberikan penekanan pada kata ‘terpaksa’.      “Ya sudah kan, kalau kamu terpaksa. Nggak suka dengan pekerjaanmu, ya keluar aja! Cari pekerjaan lain yang nggak bikin kamu terjebak di sana. Lihat sekarang waktu kamu habis hanya untuk kerja.” Nada Alvin mulai meninggi.      “Kamu pikir cari kerjaan lain dengan gaji sebanyak ini sekarang gampang? Kamu sendiri gimana? Bisnis aja nggak jalan! Disuruh minta modal ke Mama kamu juga nggak mau. Kamu sendiri niat bangun usaha nggak?” balas Emma lagi, sama-sama nyolot.      “Sabar sedikit kenapa sih? Aku juga berusaha. Bukan diem-dieman kayak yang kamu pikir. Bisnis itu butuh waktu. Kenapa sih sedikit-sedikit diungkit? Aku bener-bener bisa emosi,” dengus Alvin sebal. Tapi Emma tidak mau berhenti. Biar saja Alvin marah, yang terpenting semua uneg-unegnya keluar. Alvin harus tahu semua yang sudah ia tahan selama ini.      “Halah. Akui aja kalau kamu itu dari dulu anak manja, Vin! Makanya untuk urusan seperti ini aja nggak becus!” Tajam. Itulah ciri khas ucapan Emma jika sedang marah.      “Emma, jangan mulai!”      “Kalau memang kamu mau aku mengurus anak-anak, ya sudah kamu kerjanya yang bener. Dapatin penghasilan setidaknya sama seperti gajiku sekarang. Kamu sudah tahu sendiri penghasilanmu itu nggak cukup buat hidupin kita semua. Jangan Cuma bisa protes! Kamu harusnya nyadar diri kalau bukan aku yang bekerja banting tulang, kalian semua nggak bisa hidup.      Lagian, kamu tahu apa tentang jabatanku? Kamu tahu berapa banyak anak buah yang bergantung pada keputusanku? Kalau aku resign, mereka gimana?      Anak-anak kan bisa kamu handle dulu, mengapa semuanya balik lagi ke aku sih?      Sekarang gimana masalah uang sekolah? Kamu nggak sanggup lagi kan? Lihat, siapa yang harus kerja lebih keras di sini? Aku lagi!” sahut Emma tanpa bisa menahan emosinya lagi.      “Jadi gitu, kamu nyalahin aku lagi? Ini semua karena kamu yang egois!”      “Kamu yang egois! Kamu nggak pernah dengarkan aku. Lebih percaya sama ambisi dan idealisme sendiri! Nggak nyadar kalau kamu nggak cocok jadi pebisnis. Sok-sok’an mau bangun bisnis. Akui aja kalau kamu itu nggak mampu!      Lihat tuh si Andre, dia sekarang sudah punya dua rumah. Belum lagi temenmu, siapa itu… Garry, tinggalnya di Amerika. Lah kita kapan? Katanya bisnis kamu bakal sukses karena koneksi Papa. Nyatanya, sepuluh tahun nggak ada hasil.”      Alvin mendengus sebal. Ia membuang wajahnya ke depan jalanan. Muak rasanya melihat wajah Emma jika begini. Mengungkit semua teman-temannya yang lebih cepat kaya dibandingkan dirinya yang terus terpuruk. Makin menjauh dari masa kejayaan saat ayahnya masih hidup dulu.      Emma terus menerus menuntut dan menyalahkannya. Sebagai istri, bukannya mendukung atau memberikan waktu, ini malah terus disalahkan seolah tidak bisa melakukan apapun. Tidakkah Emma tahu ia sudah berjuang mati-matian untuk itu? Yang ia terima sekarang hanya penghinaan.      “Aku sudah kasih kamu waktu sepuluh tahun, Alvin dan berapa banyak uang yang kamu hasilkan dari bisnis itu? Bandingin sama gajiku sekarang. Berapa banyak? Di mana tanggung jawabmu sebagai suami dan kepala keluarga? Harusnya kamu yang menafkahi keluarga kita! Kamu protes aku nggak becus jadi istri, kamu sendiri? Uang untuk makan saja masih datangnya dari gajiku.” Emma kembali menantang Alvin.      Lagi, dipojokkan, disalahkan dan dianggap tidak mampu membuat Alvin juga makin lama makin geram. Istrinya ini memang benar-benar…      “Kamu pikir aku Cuma diam-diam aja di studio, malas-malasan gitu? Ngedit itu nggak gampang dan butuh waktu. Belum lagi ngurus masalah hal lain. Iya kalau kita punya modal besar, sama seperti kompetitor. Semua-semua diurusin orang lain.”      “Kalau kamu tahu butuh modal, kenapa nggak minta Mamamu? Warisan Papamu masih ada kan?” kembali Emma melontarkan pernyataan sinisnya pada Alvin.      “EMMA!” sentak Alvin dan Emma langsung terdiam. Memilih memalingkan wajah daripada menatap Alvin. Emma sudah keterlaluan kali ini. Memang benar harta warisan ayahnya itu diatasnamakan Ibunya. Itu sebabnya Alvin merasa Emma sedang mendoakan ibunya agar cepat meninggal supaya semua asset dan harta ayahnya itu diberikan padanya.      “Kamu pikir aku jin apa yang bisa bikin semuanya dalam sekejap waktu! Kalau kamu bilang tadi aku nggak pernah di jabatan seperti kamu, sekarang kamu sendiri pernah merasakan susahnya bangun bisnis kaya aku?      Kamu jangan cuma bisa nyalahin doank!” Alvin makin terasa emosi walau diucapkan dengan nada melendek. Emma benar-benar keterlaluan.      Ia sungguh tidak habis pikir. Masalah ini selalu dipermasalahkan oleh Emma, bukan sehari tapi bertahun-tahun ia selalu mengungkapkan protesnya mengenai hal ini. Tindakan yang terbalik dari ucapan dan janjinya dulu sebelum menikah.      Bahkan semalam pun mereka masih mengungkit hal yang sama padahal mulainya dari hal yang sangat sepele, hanya karena tagihan kartu kredit yang lebih besar beberapa puluh ribu dari biasanya.      “KAMU SUAMI NGGAK BERGUNA!”  A/N: Chapter-chapter awal ini akan penuh dengan drama yang bikin gregetan ya... Jadi siapin diri dan siapin hati. ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD