bc

Gara-Gara Pasta Gigi

book_age18+
764
FOLLOW
3.1K
READ
family
love after marriage
dominant
drama
sweet
serious
wife
husband
photographer
selfish
like
intro-logo
Blurb

“AKU INGIN CERAI!”

“OKE! Kalau itu maumu, aku akan ikut. Tapi jangan sampai kamu menyesal setelahnya!”

“Ya. Penyesalan terbesarku adalah karena menikah dengan pria nggak becus seperti kamu!”

“KAMU PIKIR AKU SENANG APA HIDUP SAMA KAMU?! NGGAK!”

“Oke, Kita cerai!”

“Fine!”

***

Alvin: Pria tampan namun pendiam yang memilih membangun bisnis fotografinya sendiri setelah sebelumnya bekerja dalam perusahaan yang sama dengan Emma, istrinya. Namun bisnisnya tidak begitu lancar sehingga penghasilannya jauh di bawah istrinya, Emma. Hidupnya selalu diremehkan dan direndahkan karena dianggap tidak mampu menafkahi istri dan anak-anaknya.

Emma: Istri Alvin ini adalah wanita karir yang penuh karisma, memiliki jabatan tinggi di sebuah perusahaan dan terbiasa menjadi pemimpin. Karena tuntutan pekerjaannya, Emma menjadi workaholic sehingga jarang bahkan tidak memiliki waktu bersama dengan keluarganya, bahkan tidak pernah terlibat urusan rumah tangga. Emma hanyalah wanita yang kelelahan. Tekanan bertubi-tubi membuatnya salah dalam menyikapi perilaku Alvin.

Hidup pernikahan mereka makin rumit saat ada campur tangan urusan finansial, tekanan dari orangtua dan kecurigaan orang ketiga. Semuanya mendorong mereka untuk bercerai. Pemicu awalnya: GARA-GARA PASTA GIGI

Kisah ini adalah kisah perjalanan Alvin dan Emma dalam memikirkan kembali tentang arti pernikahan keduanya.

*Terinspirasi dari kisah nyata pasangan yang memutuskan bercerai.

chap-preview
Free preview
Prolog
KISAH INI MEMANG DIILHAMI DARI KISAH NYATA PASANGAN YANG PERNAH SAYA LAYANI, NAMUN KISAH DI DALAMNYA SEMATA HANYALAH FIKSI. DALAM KASUS DI LAPANGAN, KISAH ASLINYA TIDAK SE-KLISE DALAM CERITA DAN METODE KONSELINGNYA PUN TIDAK SEMUDAH YANG DI DALAM CERITA. SAYA HARAP TEMAN-TEMAN TETAP DAPAT MENIKMATI KISAH INI. SELAMAT MEMBACA ^^   “AKU INGIN CERAI!” “OKE! Kalau itu maumu, aku akan ikut. Tapi jangan sampai kamu menyesal setelahnya!” “Ya. Penyesalan terbesarku adalah karena menikah dengan pria nggak becus seperti kamu!”      Kalimat – kalimat seperti itu sering kudengar di pertemuan konseling perdana pasangan yang memutuskan hendak bercerai. Seperti pasangan di hadapanku saat ini. Mereka berdebat tentang semua kesalahan dan kekurangan pasangan masing-masing lalu saling menyalahkan. Enggan untuk menahan diri lalu berpikir ulang akan kesalahan mereka. Dan sepertinya keputusan mereka untuk bercerai sudah bulat.     Aku membetulkan kacamataku dan memandang mereka dengan tenang. Membiarkan mereka melakukan apapun yang membuat mereka lega. Percuma aku menengahi, toh ucapanku tidak akan didengar saat hati mereka sedang panas. Jadi aku memberikan mereka waktu sementara untuk saling mengeluarkan uneg-uneg sambil menunggu jeda yang pas untuk aku bicara.      Perkenalkan, namaku Sarah Otniel. Seorang psikolog sekaligus konselor pernikahan di Jakarta yang sudah menangani banyak pasangan, mulai yang akan menikah hingga mereka yang memutuskan untuk bercerai. Aku sudah bekerja di bidang yang kucintai ini sejak belasan tahun yang lalu. Awalnya aku sama sekali tidak pernah tertarik menangani pasangan karena aku lebih menyukai menangani anak-anak dengan gelar psikologi yang aku miliki.      Tapi, apa boleh buat. Mr Abraham Otniel, suamiku adalah pengacara, spesialisasinya adalah mengurus perceraian, walau ia juga mengurus perkara yang lain juga. Entah mengapa ia memilih bidang itu padahal kasus perceraian adalah kasus paling rumit yang pernah ada karena berhubungan dengan hati yang tidak bisa diukur dengan materi. Sejak awal ia memutuskan berkecimpung di bidang ini hingga sekarang pun aku juga tidak mengerti mengapa ia begitu mencintai profesinya. Dan karena profesinya itu, ia membawa banyak pasangan yang ia tangani ke dalam kantorku. Tentu saja sebagai persyaratan sebelum menjalani sidang perceraian. Walau pada akhirnya yang sering terjadi adalah aku menggagalkan proyek suamiku.      Maaf, Abby (panggilan sayangku pada suamiku). Sepertinya kau salah membawa mereka padaku karena sebagian besar dari mereka memutuskan untuk rujuk setelah sesi konseling dan kau tidak mendapat apapun setelahnya. Tapi bersyukurlah karena ia masih menangani banyak kasus lain, tidak melulu tentang perceraian. Sehingga, karirnya masih dibilang… yah… aman.      Asal kalian tahu sebelum menuju ke meja hijau, ada sebuah peraturan baku bahwa pasangan harus menjalani tahap konseling dan mediasi terlebih dahulu. Dan, suamiku menyerahkan dua proses itu padaku, karena aku yang mendalami ilmu manusia.      Awalnya jelas aku menolak karena alasan yang tadi sudah kusebutkan. Aku menyukai anak-anak dan lebih mudah menangani anak-anak dibandingkan dua orang dewasa yang saling bertikai dan keras kepala. Di saat hati mereka panas, susah sekali membuat mereka berdamai. Sebagai pihak ketiga yang menjadi penengah, proses ini benar-benar menguras hati, tenaga dan pikiran.      Namun anehnya, walau sering dilanda kelelahan karena menghadapi mereka, aku justru menemukan kedamaian dan sukacita menjalaninya. Ya, aku jatuh cinta dengan profesiku saat ini dan inilah jadinya. Berkecimpung di dunia pernikahan, bertemu banyak pasangan dengan berbagai kisah di belakangnya dan menjadi penengah bahkan pendamai bagi mereka.      Menurut catatan yang kumiliki, tahun ini aku sudah menangani setidaknya seratus dua puluh satu pasangan yang hendak bercerai. Dan, sembilan puluh persen di antara mereka akhirnya rujuk lalu menarik kembali gugatan cerainya. Namun sepuluh persennya akhirnya tetap memutuskan untuk bercerai karena mereka berdua yang tidak mau berubah dan tetap mengikuti keras kepala mereka.      Yah, itulah suka dukanya menjadi seorang konselor pernikahan. Mereka yang berhasil rujuk menjadi sebuah kelegaan dan sukacita tersendiri. Tapi di sisi lain, rasanya sedih jika pada akhirnya mereka tetap memutuskan berpisah hanya karena tidak mau mendengar saran-saranmu.      Ada begitu banyak kisah yang kau dapat saat menjadi konselor pernikahan. Siapapun pasangannya, mereka akan membuatmu berkaca pada pernikahanmu sendiri. Kau bisa memetik pelajaran berharga dari kisah mereka.      By the way, yang akan aku ceritakan pada kalian ini bukan tentang aku dan Abby. Tapi tentang pasangan yang sedang kami tangani. Pasangan suami istri yang adalah sahabat kuliah kami. Mereka menikah pertama di antara kami semua dan merupakan pasangan paling serasi dan romantis yang pernah ada. Bahkan seringkali aku menyindir Abby untuk melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan.      Namun betapa terkejutnya kami ketika sang istri tiba-tiba saja mendatangi Abby dan meminta mengurus perceraian mereka. Disusul sang suami yang juga mengabarkan hal yang sama padaku.      Sekarang kedua orang itu ada di hadapanku dan sedang bertikai. Beradu mulut, saling menyalahkan dan saling memaki. Hal-hal yang selama ini menjadi uneg-uneg dan masalah yang tak kunjung selesai, terungkap keluar. Dan aku hanya mengamati, melihat perkembangan dan berusaha menengahi saat terjadi salah paham.      Lelah? Tentu saja. Tapi demi keutuhan sebuah rumah tangga, aku yakin tidak ada pekerjaan yang sia-sia. Rasa lelahku akan terbayar ketika melihat mereka kembali berdamai.      Aku memantapkan diriku bahwa setelah seratus hari aku membantu menengahi mereka, pernikahan mereka akan berubah jadi lebih baik. Dan kisah inilah sebagai penanda perjalanan pernikahan mereka yang sudah diambang perceraian.      Aku menceritakan kisah ini berdasarkan rekaman video dan kisah mereka saat konsultasi. Aku yang meminta mereka merekam ucapan mereka di depan kamera setiap kali berkonseling. Bukannya apa, ini semua untuk dokumentasiku pribadi serta materi konselingku berikutnya. Tentu saja, jika aku menceritakan ini pada kalian artinya aku sudah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak.  ***     Sebut saja nama pasangan ini adalah Alvin dan Emma. Aku tidak ingin menyebutkan nama aslinya karena ingin melindungi privasi mereka.      Alvin, pria dengan lesung di pipi kanan, mata lebar dan alis tebal itu memang masih terlihat gagah dan menarik di usianya yang ke-37 tahun. Badannya tegap, bersih tanpa tato atau bekas luka dan masih sangat bugar. Pria yang tetap tampan di usianya yang tak lagi muda. Alvin memiliki perangai yang sabar, tenang dan pecinta damai.       Sementara Emma, wanita cerdas di balik paras cantiknya. Mata lebar, bentuk wajahnya lonjong namun sempurna, dengan bibir dan garis hidungnya proporsional. Tidak terlalu mancung ataupun terlalu pesek. Rambut bergelombang sebahu yang dicat kecoklatan itu terasa pas pada kepala Emma. Emma adalah wanita yang tegas, mandiri dan pekerja keras. Wanita berkarisma yang selalu menarik banyak orang.      Di usia yang sama dengan Alvin, Emma masih cocok dianggap berusia dua puluhan karena ia sangat menjaga penampilannya. Tubuhnya ramping dan kulitnya bersih. Aku yakin jika saat itu Abby bertemu dengan Emma terlebih dahulu, mungkin ia tidak akan menikah denganku. Hehe…      Alvin dan Emma sudah menikah selama sepuluh tahun dan memiliki dua orang anak perempuan yang sangat manis. Putri sulung mereka, Bianca (tentu saja ini nama samara juga) berusia delapan tahun dan putri bungu mereka, Tiara, berusia lima tahun.      Alvin bekerja sebagai fotografer, membangun bisnis fotografinya sendiri. Sementara Emma adalah seorang asisten manajer penjualan di sebuah perusahaan distribusi makanan terbesar di Indonesia. Dengan karir yang melejit bahkan disebut-sebut sebagai manajer terbaik perusahaan itu.      Sebelumnya, Alvin bekerja di perusahaan yang sama dengan Emma sebagai Management Trainee (staff yang masih dilatih) di bagian promosi. Tapi ia memilih meninggalkan karirnya untuk bisa berdiri sendiri dan membangun bisnisnya. Alvin berhasil memulai usahanya dengan dukungan penuh dari Emma. Tidak ingin meminta bantuan Ibunya walau ia berasal dari keluarga yang berada. Alvin bertekad untuk memulai semuanya dari 0 dengan tangannya sendiri.      Pertemuan keduanya di kantor-lah yang membuat mereka menjadi sangat dekat dan berlanjut hingga sejauh ini dalam pernikaahn. Emma menyukai sikap Alvin yang ingin menjadi mandiri, pemikirannya dewasa dan tidak ingin bergantung. Sementara Alvin menyukai Emma yang cekatan, mudah bersosialisasi dan tegas. Keduanya seperti saling melengkapi kekurangan masing-masing. Empat tahun lamanya mereka mengenal dan berpacaran. Dan tahun kelima, mereka akhirnya menikah.      Awal pernikahan mereka tampak baik-baik saja. Keduanya sama-sama bahagia. Hingga akhirnya Alvin memutuskan untuk membangun bisnisnya.      Saat itu semuanya terasa begitu indah, keduanya sudah sepakat mengenai pengelolaan keuangan. Mereka hidup dari penghasilan Emma setiap bulannya. Sebab Alvin belum bisa memberikan penghasilan dari fotonya. Keduanya sama-sama tidak keberatan dengan itu. Emma tahu Alvin pun masih merangkak dan membangun dari 0.      Hingga akhirnya Emma hamil. Di sinilah masalahnya bermula.      Masalah keuangan. Ya, alasan cliché sebenarnya namun memang inilah yang terjadi. Penyebab terbesar dalam sebuah perceraian adalah karena masalah keuangan. Biaya hidup semakin meningkat, bisnis Alvin tidak berjalan maksimal, Emma mulai mendapatkan tekanan dalam pekerjaannya. Belum lagi bayi Bianca yang sering sakit-sakitan dan membutuhkan biaya pengobatan lebih. Keluarga mereka mengalami tekanan finansial yang cukup besar namun keduanya sepakat tidak ingin membebani kedua orangtua dan keluarga besar mereka.     Namun, semuanya menjadi sangat kompleks sekarang.      Makin lama konflik itu makin bergulir dan tidak kunjung selesai. Bahkan situasinya makin memanas saat Emma merasa ia-lah yang menjadi kepala rumah tangga. Dan Alvin tidak membantu apapun. Emma seperti memperlakukan Alvin sebagai orang yang menumpang tidur. Memutuskan semuanya tanpa mempedulikan keputusan Alvin. Perubahan peran, salah paham berkepanjangan, tekanan semua pihak dan bahkan ada pihak ketiga juga di antara pernikahan mereka. Lengkap sudah kasus pernikahan yang aku tangani ini.      Perjalanan mereka memang diawali dengan kisah yang membuat hati teriris atau bahkan merasakan geram dengan mereka. Namun, aku sangat yakin di ujung perjalanan ada sebuah awal baru yang manis bagi mereka. Kembali merajut semuanya dari 0 dan memperbaiki semuanya.      Karena pernikahan adalah perjalanan panjang dan selalu ada kesempatan untuk terus memperbaiki diri serta belajar untuk mempertahankannya. Semoga perjalanan Alvin dan Emma berikut akan membuat kita belajar tentang arti kata pernikahan.      Hal paling unik yang akan membuat kalian tercengang adalah awal dari semua kerumitan hubungan Alvin dan Emma. Semua cerita pernikahan mereka yang diujung tanduk dimulai dengan masalah yang sangat sepele.  Gara-gara pasta gigi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
102.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.9K
bc

My Secret Little Wife

read
96.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook