10. Mencari Kepuasan

1788 Words
"Gue berangkat sendirian aja deh, Om, lagian hari ini gue enggak langsung ke kampus karena mau nongkrong dulu sama temen-temen gue. Masuknya masih agak lama soalnya," ujar Sistaya saat Nino ikut duduk di depannya dengan sarapan roti isi selai. "Siapa juga yang mau nganterin kamu ke kampus?" tanya Nino sinis. Agaknya pria itu masih kesal dengan kejadian semalam, di mana Sistaya menendangnya kuat-kuat saat sadar kalau ia tidur di samping gadis bar-bar itu. Mendapat pertanyaan sinis dari Nino membuat Sistaya terkekeh, sepertinya suami lembeknya itu masih marah karena kejadian semalam. Kejadian di mana ia menendang Nino kuat-kuat hingga pria itu jatuh ke lantai dengan posisi yang sama sekali tidak enak dipandang. "Masih marah ya lo sama gue, Om?" tanya Sistaya yang diabaikan oleh Nino. Pria itu malah sok sibuk mengambil satu roti dan melumurinya dengan selai coklat kemudian melahapnya tanpa mau repot-repot menatap Sistaya. "Ya elah, ngambekan lo, Om! Gue udah minta maaf juga tadi pagi," ujar Sistaya lagi saat Nino malah mengabaikannya. Nino sama sekali tidak menanggapi, pria itu sibuk menghabiskan sarapannya. Setelah selesai, ia berniat meninggalkan Sistaya untuk berangkat bekerja. Sistaya yang merasa geram dan memang tak suka diabaikan pun langsung berdiri, dengan kekuatannya yang dahsyat ia mencekal tangan Nino hingga membuat pria itu menoleh ke arahnya. "Selain lembek lo kok tukang ngambek gini sih, Om? Gue tahu kalo semalam gue keterlaluan, tapi ya enggak usah segitunya juga kali! Kayak anak kecil aja lo!" tukas Sistaya. "Bisa lepaskan tangan saya?" tanya Nino dengan wajah datarnya. "Enggak!" Sistaya menggeleng pelan. "Saya sibuk hari ini, saya enggak mau ya saya terlambat hanya untuk meladeni kamu." Nino melepas paksa tangan Sistaya yang mencekal tangannya kemudian pria itu segera pergi keluar dari apartemen. "Om! Woy" teriak Sistaya. Beberapa saat kemudian, Nino kembali menghampiri Sistaya. Sistaya pikir kalau pria itu tak lagi marah hanya karena kejadian kecil semalam. "Lo balik lagi, Om? Udah gue duga kalo lo enggak akan ngambek karena masalah kecil kayak tadi," ujar Sistaya. "Pintu apartemen jangan lupa kamu kunci, saya enggak mau kalau sampai barang-barang di dalam sini hilang gara-gara kelakuan kamu. Saya tahu kalau kamu orangnya ceroboh." Setelah mengatakan itu, Nino kembali pergi meninggalkan Sistaya. "Ish! Nyebelin banget dia! Dipikir gue anak kecil yang enggak tahu caranya ngunci pintu apa?" tanya Sistaya kesal. Gadis itu kembali duduk di kursinya, memakan makanannya dengan kekesalan di ubun-ubun. Seharusnya tadi ia tidak perlu sok minta maaf segala karena ujungnya si Om Lembek itu memang lembek karena masalah kecil saja masih suka ngambek. Dasar bocil berkedok Om-om tuh, batin Sistaya. Setelah menghabiskan sarapannya, Sistaya bergegas berangkat ke tempat di mana ia dan teman-temannya akan nongkrong. Ia tidak akan lupa untuk mengunci pintu apartemennya, karena ia tidak seperti apa yang Nino katakan. Gadis itu menaiki motor gede miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata saat berada di jalan sepi, sungguh sangat enak sekali mengebut di kala suntuk seperti ini. Tak butuh waktu lama akhirnya gadis itu tiba juga di sebuah tempat yang menjadi tongkrongan mereka. Tempat itu berada di dekat kol ikan kecil dengan suasana yang sepi, sengaja tempat ini menjadi tempat mereka berkumpul untuk menghibur diri dari keramaian yang biasanya selalu terdengar. "Sampai juga lo akhirnya, Tay, kami tunggu dari tadi juga," ujar Leo saat Sistaya menghentikan motornya tepat di hadapan teman-temannya. "Kenapa kalian nungguin gue? Enggak sabar ya mau nerima hukuman dari gue kalian semua?" tanya Sistaya sambil turun dari motornya. Dengan gaya cool-nya, gadis itu menghampiri teman-temannya yang saling pandang mendengar perkataannya tadi. "Hukuman? Apaan sih, Tay, maksudnya? Kita nunggu lo itu karena ada yang mau dibahas. Lagian ngapain lo mau ngehukum kita? Kita sama sekali enggak ngerasa ngelakuin kesalahan hari ini kok," ujar Dikta. "Iya, emang bukan hari ini. Tapi beberapa hari yang lalu. Kejadiannya tepat di hari pernikahan gue!" Sistaya bersedekap dàda. "Perlu gue ingatin atau kalian udah ingat sendiri?" tanya Sistaya saat melihat keempat temannya sudah saling pandang dengan kegelisahan di hati. "Iya, kita ingat sekarang! Masalah kecil doang itu, Tay, harusnya lo enggak usah perbesar gitu. Ya 'kan semuanya?" Ketiga temannya itu mengangguk membenarkan perkataan Leo. "Iya, bagi lo emang masalah kecil. Tapi bagi gue itu masalah besar, seenaknya aja kalian udah bikin gue malu waktu itu. Sekarang, gue minta kalian bergelantungan di galah yang ada di atas sungai itu," ujar Sistaya sambil menunjuk sebuah galah yang berada di atas tengah-tengah sungai. "Tay? Seriusan? Jangan dong, Tay, gimana kalo nanti kami jatuh? Baju kita basah dong, gue sama sekali enggak bawa baju ganti!" protes Leo. Sistaya menatap tajam Leo, ketika hendak dihukum memang Leo yang sering sekali banyak alasan. Gadis itu menghampiri Leo, menepuk bahu laki-laki yang sudah menjadi temannya sejak lama. Leo yang melihat ekspresi Sistaya saat ini hanya bisa menelan ludahnya, kalau Sistaya sudah begini maka tidak akan ada yang bisa membantahnya. "Mana kunci mobil lo!?" tanya Sistaya. "Tapi, Tay—" "Siniin!" pinta Sistaya tegas. Leo menghela napasnya, laki-laki itu pun akhirnya memberikan kunci mobilnya pada Sistaya yang dengan cepat merebut kunci itu dari tangan Leo. Gadis itu berjalan menghampiri mobil Leo, membuka pintu mobil Loe dengan tombol kunci di tangannya. Ia memasuki mobil Loe, kemudian keluar dengan membawa sesuatu. Mata Leo melotot melihat apa yang tengah Sistaya pertunjukkan pada mereka. "Katanya lo enggak bawa baju ganti, ini nyatanya apa? Hukuman lo gue tambah karena lo udah berani bohong sama gue!" ujar Sistaya dengan tangan yang mengangkat tinggi-tinggi kaus serta celana jeans yang ia bawa. "Tay, itu tu—" Sistaya mengangkat tangannya, pertanda kalau ia meminta Leo berhenti bicara. "Tunggu apalagi!? Buruan kalian naik ke sana! Bergelantungan kayak monyet!" titah Sistaya. Keempat temannya itu pun pasrah dan langsung melakukan titah dari Sistaya, Sistaya yang melihat itu pun tersenyum puas. Senang hatinya bisa menghukum temannya sekaligus melampiaskan kekesalannya pada Nino melalui teman-temannya. "Kita kok mau aja sih dihukum sama Taya? Harusnya 'kan kalau mau kita bisa nolak," bisik Dikta pada Leo dan yang lainnya. "Lo ngebacot doang sekarang! Tadi aja enggak mau bantuin gue buat minta keringanan dari Taya!" balas Leo sinis. Kesal sekali dengan Dikta yang sok berani, nyatanya juga laki-laki itu tak berani menawar saat Sistaya memberi mereka hukuman. "Hehehe, gue takut nanti kena tendang. Sakit, Man." Dikta menyengir dan hal itu membuat Leo memutar kedua bola matanya malas. "Heh! Kalian fokus sama hukuman kalian! Dilarang ghibahin gue di belakang ya!" teriak Sistaya saat melihat Leo dan Dikta sedang berbisik-bisik tetangga. "Kalau mau ghibahin gue sini di depan, biar gue kasih hadiah tinju yang paling spesial!" Lagi, Sistaya kembali berteriak, kali ini berupa ancaman yang berhasil membuat teman-temannya langsung diam. Fokus menikmati hukuman dari Sistaya tanpa mengobrol lagi, bahkan lirik-lirik pun dilakukan oleh mereka. Sistaya mengambil beberapa batu kecil di pinggir air sungai, kemudian ia mulai melemparkan batu itu di kaki teman-temannya yang masih bergelantungan. "A-aduh, sakit Tay!" teriak Leo saat ia yang pertama kali mendapatkan lemparan batu itu. "Iya gue tahu sakit, siapa yang bilang kalau dilempar batu itu enak?" tanya Sistaya. Lemparan selanjutnya mengarah pada Dikta yang ikutan meringis seperti Leo saat ia mendapat gilirannya. Hingga saat akan melempar batu itu ke Dio dan Dika, mendadak Sistaya menghentikannya. Gadis itu malah membuang batu di tangannya dan hal itu membuat Leo dan Dikta melotot tak terima karena hanya mereka sana yang merasakan sakit, sedangkan dua temannya yang lain malah selamat dari lemparan batu. "Tay, kok Dio sama Dika enggak lo lempari batu juga?" tanya Leo berupa protesan. "Itu karena tadi mereka enggak ikutan ngejawab kayak lo dan Dikta, jadi hukuman mereka sedikit gue ringanin," jawab Sistaya santai. "Makanya nurut aja sih sama Taya, jadinya kena lempar batu 'kan kalian," ujar Dika setengah mengejek Leo dan Dikta. "Awas ya lo, Dika!" ujar Dikta sinis. Dika hanya mengangkat bahunya acuh, begitu senang karena terbebas dari lemparan batu. "Tay, ini udah setengah jam loh kami begini. Lo enggak mau nyuruh kita turun? Kita udah pegal banget ini," ujar Leo saat dirasa kalau mereka sudah cukup lama berada di sini. Sistaya langsung melihat jam di pergelangan tangannya, ternyata benar apa yang Leo katakan. Baiklah, sepertinya hukuman itu sudah cukup membuat teman-temannya jera agar tak mengulangi kesalahan yang sama. "Oke, berhubung kalian udah lama di sana dan wajah kalian juga udah tampak lesu kayak kucing yang belum dikasih makan selama seminggu, gue minta kalian turun! Gue cukupkan sampai di sini hukuman kalian dengan peringatan kalau kalian enggak boleh ngulangin kesalahan yang sama. Kalian ngerti?" tanya Sistaya. "Ngerti, Tay!" balas keempatnya serempak. "Ya udah turun dari sana! Ngapain kalian masih bergelantungan? Udah mau bermetamorfosa monyet ya kalian?" tanya Sistaya saat teman-temannya tak kunjung turun. "Ini juga mau turun, Tay, sabar kenapa? Lo yang minta kamu dihukum, lo juga yang enggak sabar minta kami turun." Leo menggerutu, laki-laki itu berniat ikut bersama temannya yang sudah turun lebih dulu. Namun, sepertinya kesialan tengah menimpanya karena ia yang tidak hati-hati mendadak langsung terjatuh ke dalam kolam ikan itu. "Pftt!" Sistaya menahan tawanya saat melihat kejadian itu. "Hahaha!" Namun, ternyata ia tidak bisa menahannya hingga meledaklah tawanya yang cukup kencang, ia tertawa terbahak bersama ketiga temannya. Menertawakan Leo yang basah kuyup dan bau amis ikan. "Rasain lo! Salah siapa dari tadi ngegerutu! Kualat lo!" ledek Sistaya. Leo mendengkus kesal, laki-laki itu segera keluar dari kolam ikan itu. "Eh jangan dekat-dekat lo, bau ikan!" usir Sistaya sambil menutup hidungnya. "Udah berubah jadi manusia ikan lo, Le?" tanya Dikta meledek Leo. "Bukan manusia ikan, tapi pangeran duyung!" balas Dika membuat semuanya menertawakan Leo. "Síalan ya kalian semua!" teriak Leo tak terima yang malah semakin membuat semuanya tertawa. "Untung gue bawa baju ganti," gerutu Leo. Laki-laki itu melepaskan bajunya kemudian memakai baju yang sudah kering. "Yuk lah cabut! Gue laper nih mau cari makan!" ujar Dikta. "Iya, ke kafe biasanya aja 'kan ya?" Semuanya mengangguk hingga mereka pun akhirnya bergegas pergi dari sana. "Tay, itu cowok yang pakai jas kok kayak kenal ya?" tanya Dikta pada Sistaya saat mereka baru saja tiba di kafe làngganan mereka dan berniat memasuki kafe. "Mana sih?" tanya Sistaya celingukan. "Itu yang lagi sama cewek cantik," jawab Dikta. "Eh itu kok kayak suami lo ya, Tay?" tanya Leo saat ia menajamkan penglihatannya di objek yang Dikta tunjuk. "Iya bener, ternyata emang kayak suami lo, Tay. Si Om Lembek!" timpal Dikta saat mereka semakin jelas melihat objek itu. "Wah, itu ceweknya mana cantik dan seksi lagi. Jadi ikutan tergoda gue," ujar Leo yang bukannya menatap Nino, malah menatap wanita yang sedang bersama Nino. "Leo!" Leo sontak langsung menyengir. "Bisa-bisanya ya lo bercanda di saat lagi serius gini," tegur Dika sambil mendelik. "Sorry, gue enggak bisa nahan diri kalau lihat cewek cantik." Leo menyengir. "Lo kenal sama cewek yang lagi bareng suami lo?" tanya Dikta. Sistaya hanya menggeleng karena ia memang tidak kenal dengan siapa yang sedang bersama Nino. Hingga kemudian satu pikiran terlintas di kepala mereka semua. "What!? Suami lo selingkuh, Tay?" tanya semuanya sambil menatap Sistaya berbarengan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD