11. Om Lembek Gay?

1525 Words
Keempat orang yang masih berdiri di depan pintu kafe tercengang saat melihat kejadian lanjutan. Tidak, bukan karena dua orang yang sedari tadi berduaan itu berpegangan tangan atau bermesraan, mereka bahkan sama sekali tidak melakukan itu. Melainkan hal yang membuat mereka tercengang dan tak habis pikir adalah, tiba-tiba saja datang seorang pria tampan yang langsung merangkul bahu Nino kemudian mencium pipi Nino itu dengan mesra layaknya sepasang kekasih. Sistaya yang melihat itu pun melebarkan matanya tak percaya dengan apa yang ia lihat, begitupun juga dengan teman-teman yang ada di sampingnya. Tubuh mereka mematung seperti batu dengan pandangan lurus ke depan. Hingga kemudian dapat mereka lihat kalau wanita cantik nan seksi di depan Nino tadi, pergi dengan mata yang berkaca-kaca. Entah apa yang dikatakan oleh dua orang pria di sana sehingga membuat wanita itu menangis, mereka hanya melihat dari jauh. Sama sekali tidak dapat mendengar suara mereka berbincang, tetapi yang kini mereka lihat lagi adalah Nino dan entah siapa pria tampan itu saling melempar senyum. "Gila, Tay! Suami lo gay?" tanya Leo heboh sendiri. "Sst, jangan heboh, yuk ah kita masuk! Anggap aja enggak lihat dua orang itu lagi pacaran." Sistaya dengan cuek memasuki kafe, meninggalkan teman-temannya yang masih menatap ke arah Nino. Sistaya nampak tenang, walau pada kenyataannya ia tak setenang apa yang terlihat. Di dalam pikirannya kini berkecamuk, merasa tak menyangka kalau si Om Lembek ternyata mengalami gangguan séksual menyimpang. Gadis itu menggelengkan kepalanya, merasa horor sekali dengan kejadian yang baru ia lihat. Iya sih ia sama sekali tidak melihat mereka kissíng, hanya cipika-cipiki, tetapi justru itulah yang mengherankan. Bagi seorang pria normal bila menyapa pria normal lainnya, tidak melakukan hal itu. Ia jelas tahu karena kebanyakan teman-temannya adalah laki-laki. "Tay, lo enggak mau ngelabrak suami lo? Selagi dia ada di sini tuh," ujar Dikta sambil mengambil tempat duduk di sebelah Sistaya disusul oleh teman-temannya yang lain. "Buat apaan?" tanya Sistaya cuek. Gadis itu sibuk melihat buku menu kafe, sengaja mengalihkan perhatiannya dari pertanyaan temannya itu. "Lo nanya buat apaan, Tay? Astaga!" ujar Leo sambil menatap keempat temannya yang sama herannya dengan dirinya. "Suami lo jelas-jelas udah selingkuh, bahkan selingkuhannya itu seorang cowok! Parah enggak sih kalau lo diemin itu aja? Seharusnya lo kasih dia pelajaran, Tay!" tukas Dikta. "Kalian berdua kok diam aja sih? Bantuin gue sama Leo ngasih pencerahan ke Taya kek atau apa kek," ujar Dikta sambil menatap Dio dan Dika. Sebal karena dua orang itu hanya diam saja menjadi penyimak. "Kita berdua masih bingung, takutnya udah gini gitu yang ada malah cuma salah paham doang nantinya," balas Dika. "Kalau lo gimana, Dio?" tanya Leo sambil menatap Dio. "Gue setuju sama Dika, kita enggak boleh gegabah. Bisa jadi itu cuma salah paham aja, lo jangan terlalu mikirin itu, Tay. Nanti waktu di rumah, coba lo bahas sama suami lo baik-baik. Siapa tahu yang kita lihat ini cuma salah paham doang," ujar Dio sambil menatap Sistaya. "Ah kalian berdua emang enggak ada bedanya! Suka banget berpikir positif, ujung-ujungnya pada kena tipu kalian! Udah khatam gue sama kelakuan kalian." Dio mendelik saat mendengar perkataan Dikta yang ceplas-ceplos itu. "Itu tuh udah jelas-jelas kalau suami si Taya bermasalah, seharusnya kita beri pelajaran dia karena udah nyelingkuhin Taya!" Sepertinya di antara mereka semua, hanya Dikta dan Leo lah yang paling menggebu-gebu kalau dalam urusan memberi pelajaran seseorang. "Tay, lo kok diam aja sih? Lo tuh diselingkuhin loh sama suami lo, masa lo diam aja? Ckck, lo yang cantik begini kalah sama cowok ganteng yang doyan cowok ganteng juga. Atau lo diam-diam menangis dalam hati karena udah dikhianati? Lo enggak perlu khawatir, kita semua ada buat lo untuk memberi pelajaran si Om Lembek yang enggak tahunya udah punya pacar yang gay itu!" Perkataan menggebu, disusul dengan tatapan membara penuh api membuat Leo mendapat pukulan keras di kepalanya. "A-aduh, sakit, Tay! Kenapa lo pukul kepala gue sih?" protes Leo sambil mengusap kepalanya. "Omongan lo bikin gue kesel! Sembarangan aja ngomong kalau gue sakit hati gara-gara ngelihat Om Lembek sama pacarnya, idih najis! Gue aja sama sekali enggak suka sama dia kok, gue mah santai-santai aja kalau dia mau tetap terusin itu hubungan sama pacar gelapnya. Gue enggak peduli." Sistaya memang secuek itu, ia tidak peduli dengan urusan orang lain. Sebenarnya saat ini ia sedikit kepo sih, tetapi sengaja ia tahan kekepoannya itu sampai di rumah nanti. Saat si Om Lembek itu pulang, ia pastikan kalau pria itu akan mengaku dengan sendirinya kalau dia punya pacar. "Serius lo enggak peduli? Astaga, Taya! Ini tuh tentang harga diri lo! Gimana bisa lo diam aja saat lo kalah sama seorang cowok? Mana Taya yang penuh semangat ngasih balasan ke orang-orang yang ngusik lo? Mana Taya yang bar-bar dan selalu nendang siapapun musuhnya?" tanya Dikta mengompori. Tidak tahu saja mereka kalau Sistaya memang sengaja diam seperti ini karena nantinya ia sendiri yang akan memberi pelajaran pada Om Lembek saat nanti mereka bertemu di rumah. Gadis itu tersenyum licik, nampaknya saat ini akan ada bahan bulan-bulanannya lagi untuk meledek Nino. "Biarin aja kenapa sih? Lagian gue enggak suka sama dia. Ya, mau dia ngelakuin apa pun itu, gue juga enggak akan mau peduli. Anggap aja angin lalu! Ketimbang terus bahas hal enggak penting begini, lebih baik kita pesan makanan. Katanya tadi pada lapar 'kan?" tanya Sistaya. "Iya, makan aja deh kita. Enggak usah bahas hal-hal yang bisa aja bikin mood Taya jadi bad," ujar Dika menyetujui perkataan Sistaya. "Lagian ini tuh urusan rumah tangga Taya, enggak baik kalau kita ikut campur urusan dia," sambung Dika. Dikta dan Leo kompak menatap Dika sinis, tak menyetujui kata-kata temannya itu. Yang ditatap seperti itu cuek-cuek saja, seakan sama sekali tidak ada masalah dengan siapapun. "Ya udah deh, kita panggil para pelayan dulu." Leo pun akhirnya memanggil pelayan agar ke sini, hingga kemudian mereka pun sibuk menikmati makan mereka sambil mengobrolkan hal yang lainnya. Asalkan tidak mengobrolkan tentang Nino dan si pacar gay-nya itu. "Kayaknya kalau kalian main ke apartemen gue, kalian harus hati-hati deh. Kalau orang gay 'kan naksirnya sama cowok, gimana nanti kalau si Om Lembek itu naksir sama salah satu di antara kalian?" tanya Sistaya tiba-tiba. "Ih, Taya! Amit-amit deh ya! Gue masih normal jadi cowok, masih doyan apem." Leo bergidik ngeri. "Biasanya kaum mereka doyan sama cowok-cowok ganteng kalem, Tay. Kayaknya lo harus hati-hati sama Dio, bisa jadi nanti dia yang ditaksir. Ya kali selingkuhan lo adalah teman lo sendiri, udah kayak sinetron berjudul azab belum?" tanya Dikta sambil menaik-turunkan alisnya. "Bisa aja lo? Kayak emak-emak rempong!" Dika melempar wajah Dikta dengan kentang goreng yang ia pegang. "Bentar, gue mau selfi dulu." Sistaya mengeluarkan ponselnya, ia mulai pura-pura berpose dengan mata yang tak pernah beralih dari Nino dan pria yang entah siapa itu. Yang teman-temannya tidak tahu kalau sebenarnya kameranya sudah ia ubah menjadi kamera belakang, ia memang ingin memotret Nino yang sedang bersama seorang pria, bukannya memotret diri sendiri. "Sejak kapan lo suka selfi, Tay?" tanya Dikta heran. "Eum, itu ...." Sistaya tergagap, gadis itu langsung menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeans-nya. "Oh ya, sampai mana tadi obrolan kalian?" tanya Sistaya mengalihkan pembicaraan. Hingga Dikta akhirnya tak ingat lagi kalau pertanyaannya itu belum dijawab oleh Sistaya, mereka sibuk membahas hal lain yang menjadi pusat perbincangan para anak-anak kampus. Mata Sistaya sesekali melirik ke arah sana, gadis itu tersenyum miring. Kemudian saat ia melihat kalau Nino dan pacar gay-nya itu pergi, akhirnya ia bisa leluasa juga mengobrol dengan teman-temannya. Hari ini Nino pulang terlambat, itu dikarenakan banyak sekali pekerjaan kantor yang harus ia urus. Tubuhnya merasa sangat lelah sekali, inginnya ia langsung beristirahat saat ini. Pria itu melepaskan sepatu dan jasnya kemudian menaruhnya asal, ia terlalu malas malam ini. Mungkin besok pagi akan ia bereskan kekacauan yang ia buat, yang ia inginkan saat ini adalah tidur dan memejamkan mata. Ia melepaskan kancing teratas kemejanya, kemudian memasukinya area kamar dan tanpa menunggu waktu lama lagi ia memilih berbaring di sana. Rasa lelah membuatnya malas untuk membersihkan diri, apalagi ini sudah larut malam. Nino sudah bersiap tidur, bahkan hampir sampai di mimpinya yang begitu indah. "Om Lembek, lo gay ya?" Hingga mimpinya itu harus hilang setelah suara gadis bar-bar yang menanyakan hal aneh padanya. Rasa mengantuk dan lelah seakan hilang, tergantikan dengan kekesalan luar biasa. Mata Nino melotot saat ia membuka mata, ternyata Sistaya duduk di atas perutnya. Posisi Sistaya saat ini seakan musuh yang ingin mencekik lehernya, dengan kedua tangan Sistaya yang berada di kedua sisi lehernya. "Maksud kamu apa nanya begitu?" tanya Nino kesal. Pria itu mendorong tubuh Sistaya agar menyingkir darinya, Sistaya pun duduk di atas ranjang sambil bersedekap dàda ia tersenyum miring menatap Nino. "Om enggak usah pura-pura, jujur aja sih sama gue, Om. Gue enggak bakalan ngasih tahu ke Mama Papa kok kalau lo ngekhawaritin hal itu," ujar Sistaya terus mendesak Nino agar mau jujur. "Saya sama sekali enggak ngerti sama apa yang kamu bicarakan," balas Nino jujur. "Fyuh, susah ya ngomong sama orang yang udah tua. Loading banget! Ya udah deh gue to the point ya ini." Sistaya mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, membuka layar kunci ponselnya kemudian menunjukkan sebuah foto pada Nino. "Siapa cowok ini, Om? Pacar gay lo 'kan?" tanya Sistaya yang membuat Nino terdiam sebentar dengan mata memicing saat melihat foto itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD