4. Bertingkah Konyol

1715 Words
Setiap hari sebelum berangkat ke kantor, Nino selalu menjemput Taya di rumahnya agar mereka bisa berangkat bersama-sama. Nino akan mengantarkan Taya ke kampus setelah itu barulah ia akan pergi ke kantor, begitu terus hingga kini sudah berjalan dua mingguan. Hal itu tentu saja tak lepas dari perintah Mama Nana, mamanya lah yang memaksa agar Nino setiap hari menjemput Taya. Mama Nana ingin agar Nino dan Taya bisa cepat akrab sebelum pernikahan dilangsungkan, mamanya itu benar-benar luar biasa mengatur memang. Dan sayangnya Nino tidak akan pernah bisa melawan perintah dari sang mama tersayang yang walaupun sering bawel nan menyebalkan, tetapi sangat ia sayangi. Tak dapat keduanya cegah lagi, hari pernikahan semakin dekat. Semua hal yang diperlukan di hari penting seperti undangan, gedung pernikahan, cincin pernikahan dan dekorasi pernikahan hampir semuanya telah selesai. Tinggal keduanya harus pergi ke sebuah butik milik Tante Alys–tante Taya untuk fitting baju pengantin sekaligus mencoba-coba sekiranya jas dan gaun manakah yang bagi keduanya cocok digunakan di hari H nanti. Baik Nino maupun Taya layaknya sebuah patung yang menuruti apa saja kehendak sang pemilik barang tak bergerak itu, tidak bisa menolak dan tidak bisa protes. Yang bisa mereka lakukan adalah mengangguk terserah atas segala aturan para tetua rumah. Benar-benar aneh, Taya yang suka berontak ketika di luar tiba-tiba saja sangat patuh nan penurut ketika di depan kedua orangtuanya. Seperti hari-hari sebelumnya, Nino menunggu Taya di dalam mobilnya yang memang berhenti tepat di depan kampus gadis itu. Taya pasti akan langsung masuk ke dalam mobilnya karena tak mau kena omel mamanya jika ia pulang sendiri, hal itu memang pernah terjadi ketika Taya nekat pulang tanpa Nino. Dan tentu saja sang nyonya rumah kesayangannya itu akan marah-marah karena Taya yang tidak mau menurut padanya. Nino melihat Taya yang tengah berjalan dengan segerombolan laki-laki yang sama sekali tidak Nino kenal. Dapat ia lihat kalau sang calon istri tomboinya itu melambaikan tangannya ke arah rombongan laki-laki itu kemudian berlari menghampiri mobilnya. Tanpa repot-repot menyapa Nino terlebih dulu, Taya langsung membuka pintu mobil samping Nino kemudian duduk tepat di samping pria itu. "Loh? Kita mau ke mana, Om? Kok malah belok kanan? Rumah gue belok kiri kalo lo lupa." Taya merasa heran ketika Nino malah membelokkan mobilnya berlainan arah dengan alamat rumahnya. "Kamu lupa, ya? Hari ini 'kan kita harus ke butik. Mama kamu dan mama saya minta agar kita bisa mencoba baju pengantin," balas Nino tanpa melihat ke arah Taya. Iya juga, ya, mengapa ia bisa lupa? Entahlah, menurutnya pernikahan yang sebentar lagi akan terjadi ini bukanlah hal yang penting sehingga tak begitu perlu Taya ingat. Yang terpenting, ia menuruti kemauan kedua orangtuanya agar mamanya itu tak lagi melarangnya mengerjakan hobi yang ia sukai. Taya jadi tak sabar ingin segera menikah agar ia bisa terbebas dari kekangan kedua orangtuanya, kalau nanti ia sudah menikah 'kan tidak ada lagi yang bisa mengganggunya. "Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Nino heran ketika melihat Taya yang tersenyum sendiri. "Kamu jangan terlalu berharap lebih dari pernikahan ini, jangan terlalu bahagia." Lanjutan perkataan Nino membuat Taya terusik, gadis itu memukul lengan Nino kuat-kuat hingga membuat pria itu terkejut sekaligus merasakan sakit. "Sembarangan lo kalau ngomong, Om. Geer banget, sih? Ngarep, ya, kalau gue bisa bahagia dengan pernikahan kita berdua?" tanya Taya sinis. "Ya udah! Kalau bukan tidak perlu memukul lenganku bisa? Tenagamu kuat sekali seperti kuda." Nino membalas tak kalah sinis, ia kesal karena Taya ini suka sekali memukulnya sembarangan. "Mending kuat kayak kuda daripada kayak Om yang lembek, dipukul dikit aja ngeluh sakit," sindir Taya membuat Nino mendelik. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya bisa indah jika sebentar lagi ia akan tinggal bersama seorang gadis bar-bar dan kasar yang tengah duduk santai di sampingnya ini. Daripada meladeni kata-kata Taya yang menyebalkan dan merendahkan harga dirinya sebagai seorang pria, lebih baik ia diam dan fokus menyetir saja. Biarkan gadis bar-bar itu ingin berkata apa saja, tang terpenting ia tidak terpancing dengan kata-kata bocah ingusan itu. Hingga akhirnya tak terasa mobil yang mereka tumpangi telah tiba di sebuah butik milik tantenya Taya, tanpa berucap apapun Taya turun terlebih dulu dari mobil kemudian memasuki butik itu sambil berlari kecil meninggalkan Nino yang berdecak kesal karena ulah Taya. "Benar-benar gadis ingusan dan bar-bar itu," decak Nino kemudian ikut menyusul langkah Taya yang sudah masuk duluan ke dalam butik itu. "Taya, kamu kok enggak nungguin Nak Nino? Selamat datang, Nak Nino." Tante Alys langsung menyapa Nino dengan ramah, Taya sendiri hanya mengabaikan kata-kata protes tantenya. Gadis itu sudah duduk di sofa dengan gayanya yang seperti preman pasar itu. Benar-benar attitude yang buruk, pikir Nino ketika melihat tingkah Taya. "Terima kasih, Tante Alys." Nino membalas dengan ramah, pria itu menyalami Tante Alys. Sebelumnya mereka memang pernah bertemu ketika acara lamaran itu, Tante Alys sendiri sudah pernah mengajak Nino mengobrol sehingga tak heran jika mereka terlihat saling mengenal. "Ayo silakan duduk dulu, Nak." Tante Alys mempersilakan calon suami dari keponakannya itu untuk duduk. "Taya, itu kaki kamu yang sopan sedikit, Nak," tegur Tante Alys lembut pada Taya yang duduk dengan kakinya yang berada di atas meja. "Hmm, iya, Tante." Taya langsung menurunkan kakinya, gadis itu kembali sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang tengah dimainkannya itu. "Taya, kamu duluan sana yang cobain baju pengantinnya." Taya menurut, gadis itu menaruh ponselnya di atas meja kemudian tanpa kata ia pergi ke ruang ganti di mana baju pengantinnya dan Nino sudah ada di sana. Sesampainya di ruangan ganti itu, Taya berdecak kesal ketika melihat gaun putih terusan yang sangat cantik itu. Gaun itu digantung di samping jas berwarna hitam dan kemeja putih yang terlihat begitu berkelas. Mamanya tak kira-kira dalam memilihkan gaun, mengapa ia harus memakai pakaian seribet ini? Tidak saat acara lamaran ia yang dipaksa menggunakan dress dan kini saat acara pernikahan ia juga dipaksa menggunakan gaun menyebalkan seperti ini. Mengapa tidak memakai jeans pendeknya dan kemejanya saja di acara pernikahan nanti? Taya memang konyol, tak hanya pikirannya melainkan juga sikapnya. Gadis itu memperhatikan jas yang tergantung rapi di samping gaun putih itu, hmm ... jas ini sangat bagus. Ketimbang disuruh memakai gaun aneh itu, Taya lebih memilih jika ia disuruh memakai jas seperti ini. Tidak ribet dan jelas saja nyaman dipakai, ia jadi berpikir mengapa tidak pria lembek yang tengah berada di luar itu saja yang memakai gaun pengantin putih ini sedangkan ia yang memakai jas. Itu akan lebih bagus karena gaun ini begitu cocok dengan pria lembek itu, meskipun sebenarnya tubuh Nino itu bisa dikatakan kekar dan sama sekali tidak ada lembeknya. Hanya saja sikapnya yang seringkali mengalah pada Taya membuat gadis itu semakin menjadi-jadi. Taya memakai baju pengantin itu, gadis itu tersenyum menatap cermin yang menampilkan dirinya yang terlihat begitu keren setelah memakai pakaian ini. Gadis itu keluar dari ruang ganti dengan penuh percaya diri, ia angkat dagu tinggi-tinggi agar semua bisa melihat wajahnya yang begitu keren ini. Rambut panjangnya sengaja ia kucir kuda, penampilannya nampak begitu rapi. Ya, rapi sekali seperti penampilan seorang mempelai pria. "Udah ini, Tan. Gimana? Keren 'kan?" tanya Taya pada Alys dan Nino yang sedari tadi asyik mengobrol. Keduanya langsung menoleh ke arah Taya ketika mendengar suara gadis itu, baik Alys maupun Nino tercengang ketika melihat penampilan Taya. Bukan karena Taya yang terlihat cantik, melainkan karena Taya memakai pakaian yang seharusnya Nino pakai. "Ya ampun, Taya! Kamu kenapa malah make bajunya Nino? Duh, ya ampun, keponakan Tante ...." Tergopoh-gopoh, Tante Alys menghampiri Taya yang masih berdiri dengan senyum kebanggaannya itu. "Loh? Taya pikir ini bajunya Taya, Tan, dan gaun yang ada di dalam itu punya dia," ucap Taya polos. Nino menggeram kesal, jelas saja gadis itu sengaja mengejeknya. Benar-benar menyebalkan, sembarangan saja mengatakan kalau ia cocok memakai gaun yang seharusnya dipakai oleh perempuan. Jelas saja ia merupakan laki-laki tulen dan sama sekali tidak lembek seperti yang gadis bar-bar itu katakan, dasar bocah ingusan kurang ajar! Kalau saja di sini tidak ada Alys, mungkin saja Nino akan memaki Taya habis-habisan. Sepertinya Taya ini memang suka sekali menyulut emosinya. "Ganti sekarang bajunya, Nak. Kamu enggak boleh kayak gitu, jangan main-main gini." Tante Alys memperingati Taya dengan lembut. "Maafkan kelakuan keponakan Tante yang nakal ini, ya, Nak Nino?" Wanita yang merupakan adik dari mama Taya itu menatap Nino dengan perasaan tak enak hati. Ia sudah tahu kalau kelakuan Taya ini memang seperti ini, suka seenaknya sendiri. Taya akan menurut jika sudah diancam bahwa ia tidak boleh melakukan hobinya lagi, sama seperti mama Taya yang memang suka mengancam Taya seperti itu. "Ayo sana kamu masuk, biar Tante bantu kamu. Takut-takut kamu salah lagi kalau dibiarin sendiri," ucap Tante Alys sambil mendorong punggung Taya agar gadis itu kembali memasuki ruang ganti. "Huh, mimpi apa gue semalam bisa punya calon istri semacam dia?" tanya Nino pada dirinya sendiri dengan suara yang begitu pelan. "Bar-bar? Iya, masih bocah ingusan? Iya. Seenaknya sendiri? Iya, dan mungkin ada keanehan juga di diri dia." Nino menghela napas kesal, tak habis pikir dengan keputusan mamanya yang menjodohkannya dengan Taya. Apa bagusnya sih gadis itu sehingga mamanya keukeh agar ia bisa menikahi gadis bar-bar itu? Cantik? Gadis cantik di luaran sana juga banyak yang cantik. Masa karena sikap anehnya itu? Tak lama kemudian Taya dan Tante Alys keluar dari ruangan ganti, kali ini Taya memakai gaun yang benar. Gadis itu berjalan pelan dengan dibimbing oleh Tante Alys karena gaunnya yang menjuntai ke bawah hingga membuatnya sedikit sulit berjalan. Nino membalikkan tubuhnya ketika ia mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat, seketika ia mematung ketika melihat sosok berbeda yang kini ada di hadapannya. Taya memang belum memakai make-up, tetapi penampilannya kali ini berbeda karena ia terlihat sangat cantik dan anggun. "Ngapain lo natap gue segitunya? Jangan bilang kalau lo jatuh cinta sama gue?" Suara yang sengaja dibuat menggoda serta kedipan mata dari Taya menyadarkan Nino, pria itu berdehem pelan sambil memalingkan wajahnya. "Bilang aja kalau lo terpesona sama gue, Om. Gitu aja gengsi," ujar Taya blak-blakan. "Taya ini kalau dandanannya bisa lebih feminim sedikit memang bisa terlihat semakin cantik karena pada dasarnya dia sudah cantik," ujar Tante Alys sambil tersenyum. "S-saya ke dalam dulu mau cobain jas saya," ujar Nino terbata kemudian pergi meninggalkan Tante Alys dan Taya menuju ruang ganti. "Calon suami kamu jadi malu-malu gitu, kamu sih, Taya." Taya hanya menyeringai ketika mendengar kata-kata dari tantenya. 'Ini sih belum seberapa, Om,' batin Taya sambil terus tersenyum. Entah apa yang tengah gadis itu pikirkan dan rencanakan, yang pasti hal itu tidaklah baik bagi Nino.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD