Setelah acara lamaran itu, hidup Sistaya tak ada yang berubah. Ia menjalani hari-harinya seperti biasanya, sama seperti dulu, tidak ada beban sama sekali. Ya, ia tak perlu pusing-pusing memikirkan pernikahan yang akan terjadi antara dia dan Nino. Toh, sekeras apapun ia menolak, orangtuanya juga pasti akan keras mengancamnya agar ia mau menikah dengan Nino. Jadi, untuk apa harus berontak? Buang-buang tenaga saja! Lebih baik tenaganya ia gunakan untuk praktek ke bengkel, memodifikasi salah satu kendaraan favoritnya yaitu motor gede. Bukan mobil memang, Sistaya atau Taya lebih menyukai motor ketimbang mobil. Karena menurutnya motor gede itu begitu keren sekali, ia bisa ngebut-ngebutan di jalanan tanpa takut terjebak macet seperti menaiki mobil.
Hari ini Taya sudah siap dengan pakaiannya seperti biasa, celana jeans selutut dan jaket kesukaannya yang di dalam jaketnya ia lapisi dengan tank top berwarna hitam. Sangat casual sekali atau bahkan terkesan tidak ada feminim-feminimnya sama sekali, ya memang itulah pakaian sehari-harinya. Lagipula untuk apa ia harus repot-repot memakai rok ke kampus? Toh prodinya saja bukanlah hal yang begitu feminim, bahkan cenderung kelelakian. Asal tahu saja, tidak ada seorang gadis yang memilih prodi teknik otomotif kecuali Taya. Hanya Sistaya saja seorang perempuan yang mengambilnya prodi itu karena memang otomotif merupakan dunia yang menjadi kesenangannya.
"Ma, Pa, Taya berangkat dulu, ya?" Taya berpamitan pada kedua orangtuanya.
"Eh? Enggak sarapan dulu, Sayang?" tawar mamanya pada Taya yang nampaknya tengah buru-buru.
"Enggak, Ma, takut telat." Taya akan beranjak pergi setelah mencium pipi kedua orangtuanya serta adiknya yang selalu ia ledek lembek itu, tetapi sang mama menahannya dan memaksanya duduk.
"Ma, Taya bisa telat."
"Enggak apa-apa ah kalau cuma telat, satu kali doang, kamu itu enggak boleh telat makan, Taya. Awas, asam lambung kamu kambuh lagi. Ini dimakan dulu sarapannya." Rianti menaruh sepiring nasi goreng mata sapi di hadapan Taya membuat Taya mau tak mau akhirnya mengalah.
"Iya, Ma, makasih," ucap Taya pasrah kemudian menyantap makanannya.
Usai sarapan, Taya kembali berpamitan pada keluarganya. Namun, lagi dan lagi mamanya menahan langkahnya membuat ia merasa kesal, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Sebenarnya apa sih maunya mamanya ini? Dari tadi sepertinya tak rela sekali membiarkannya berangkat ke kampus.
"Aduh, ada apalagi sih, Ma? Ini Taya kalau enggak segera berangkat sekarang bisa-bisa Taya telat enggak dibolehin masuk sama dosennya," ucap Taya.
"Bentar, kamu tunggu jemputan kamu dulu baru kamu boleh berangkat." Perkataan Rianti membuat mata Taya menbelalak.
"What!? Maksud Mama apa?" tanya Taya.
"Bentar lagi kamu tahu," jawab mamanya.
Taya hanya bisa memutar bola matanya malas, ada apa sih ini? Lagipula sejak kapan ia harus berangkat dengan jemputan segala? Biasanya juga ia sering naik motor sendiri kok. Paling-paling kalau tidak sendiri ada temannya yang akan menjemputnya ke sini dan mereka akan berangkat ke kampus bersama-sama.
"Nah itu dia!" Rianti antusias sekali ketika melihat kedatangan sebuah mobil berwarna putih.
"Siapa itu, Ma?" tanya Taya mengernyit heran dengan sikap berlebihan mamanya.
Rianti sama sekali tak menjawab pertanyaan Taya, wanita paruh baya itu malah berjalan menghampiri mobil itu. Dan ketika pintu mobil terbuka hingga sang pemilik mobil akhirnya keluar, Taya jadi tahu apa yang membuat mamanya gembira. Jadi ini yang mamanya maksud 'jemputan' tadi?
"Selamat pagi, Nak Nino! Akhirnya kamu datang juga. Taya tadi antusias banget loh nunggu jemputan dari kamu, mungkin dia enggak sabar mau berangkat bareng sama kamu." Ucapan mamanya membuat Taya mual, bagaimana bisa mamanya mengatakan hal yang sama sekali tidak ia lakukan itu?
Antusias? Antusias dari mananya? Dari Belanda!? Ia bahkan menolak awalnya, mamanya juga sama sekali tidak memberitahu dirinya kalau ternyata yang menjemputnya itu adalah Nino si calon suami yang sebenarnya tak Taya harapkan. Sedangkan Nino sendiri meringis mendengar kata-kata calon mertuanya ini, melihat wajah Taya yang sepertinya bad mood, ia tahu kalau wanita paruh baya di hadapannya ini hanya melebih-lebihkan saja.
"Pagi juga, Tante ...." Nino menyapa dengan ramah.
"Eh? Manggilnya kok tante sih? Panggil Mama dong, Nak," protes Rianti.
"Eh, iya, Ma," ralat Nino.
"Ehem." Tiba-tiba saja terdengar suara deheman yang cukup kencang, mereka menoleh ke arah suara itu. Ternyata itu adalah Hutomo.
"Kamu menjemput anak saya?" tanya Hutomo pada Nino.
"I-iya, Om." Nino takut-takut menimpali.
"Panggil papa!"
"Ah iya, maksudnya iya, Pa. Saya ke sini berniat menjemput Sistaya, mohon izinnya." Nino bersikap begitu sopan.
"Baiklah, hati-hati kamu bawa mobilnya. Jangan sampai anak saya lecet atau kenapa-kenapa, kalau sampai Taya kenapa-kenapa. Kamu terima akibatnya." Hutomo memperagakan kalau ia akan menggorok siapa saja yang akan menyakiti putrinya.
"Pa, enggak usah gitu," tegur Rianti pada suaminya yang masih saja bersikap galak pada calon suami Taya.
"Iya, Ma, iya," balas Hutomo menatap istrinya lembut. Aura galak yang tadi terpancar kini hilang hanya dengan mendengar teguran istrinya.
"B-baik, Pa, kalau begitu kami pamit dulu." Nino menyalami tangan Rianti kemudian ia berjalan menghampiri Hutomo untuk menyalami pria paruh baya itu.
"Ma, Pa, Taya juga pamit, ya?" Tak ada yang bisa Taya lakukan selain ikut berpamitan karena ia yakin ia tidak diperkenankan menolak ajakan Nino yang akan mengantarnya ke kampus.
"Iya, Sayang. Kamu hati-hati, ya, kalau bisa kamu jangan nakal biar enggak nyusahin Nino." Kata-kata Rianti membuat Nino menahan tawanya, Taya mendelik kesal ke arah Nino. Ia tahu pria di sampingnya ini tengah menertawainya dalam hati.
"Iya, Ma!"
"Mari, Ma, Pa ...." Nino membungkuk hormat sebelum membukakan pintu mobil untuk Taya kemudian memasuki mobil bagian kemudi setelah Taya sudah masuk ke dalam mobilnya.
"Om, kenapa sih lo pake jemput gue segala!?" tanya Taya ketus ketika mobil Nino sudah berjalan pergi dari halaman rumahnya.
"Bukan saya yang mau, tapi mama saya yang maksa saya buat jemput kamu. Kamu sendiri kenapa mau-mau aja saya jemput? Harusnya 'kan kamu menolak biar kita tidak berangkat bersama," ucap Nino balik bertanya pada Taya setelah menjelaskan tujuannya bisa menjemput Taya.
"Lo tahu sendiri Om kalau gue enggak bisa nolak keinginan orangtua gue," balas Taya.
"Sama seperti kamu, saya juga enggak bisa nolak permintaan Mama saya." Taya hanya memutar bola matanya hingga ketika ia melihat ke luar jendela, ia melihat ada seorang laki-laki yang tengah menaiki motor gedenya.
"Om! Om! Berhentiin mobilnya!" teriak Taya tiba-tiba membuat Nino tiba-tiba saja mengerem mobilnya secara mendadak.
Tin ... Tin ... Tin ....
"Woy! Kalau berhenti itu jangan di tengah jalan!" Suara klakson mobil diiringi dengan teriakan dari arah belakang membuat Nino tersadar akibat ia yang mengerem mendadak membuatnya hampir celaka, Nino menghela napas kemudian memutuskan menepikan mobilnya.
"Kamu kenapa nyuruh saya tiba-tiba berhenti mendadak? Tadi hampir aja kita kecelakaan," omel Nino pada Taya. Menurutnya ini salah Taya karena gadis itulah yang membuatnya berhenti mendadak.
"Enggak usah berlebihan gitu kali, Om, lagian 'kan kita enggak jadi kecelakaan juga," ujar Taya cuek.
Gadis itu melepaskan seat belt-nya, ia akan membuka pintu mobil, tetapi yang terjadi pintu mobil itu terkunci.
"Hei, kamu mau ke mana?" tanya Nino ketika Taya berniat keluar dari mobilnya.
"Gue mau berangkat bareng teman gue aja, Om. Lo buka pintunya cepat!" titah Taya seenaknya.
"Enggak bisa, saya sudah janji sama mama saya, mama dan papa kamu kalau saya akan mengantarkan kamu dengan selamat." Taya mencibir mendengar kata-kata Nino, sok sekali orang ini, pikir Taya.
"Enggak usah lebay gitu deh, Om. Mereka enggak bakal tahu kalau lo enggak nganterin gue sampai kampus, sekarang ayo bukain mobilnya. Gue mau keluar, selagi teman gue masih ada di sana." Nino sama sekali tak menanggapi perkataan gadis itu, pria itu lebih memilih kembali menjalankan mobilnya.
"Om? Kok lo enggak dengerin omongan gue sih!?" tanya Taya begitu marah. Gadis itu menepuk bahu Nino kencang untuk melampiaskan kemarahannya pada Nino.
"Om!" teriak Taya yang lagi-lagi tak dihiraukan oleh Nino.
"Hei!? Apa-apaan kamu!? Kita bisa celaka!" teriak Nino ketika Taya hendak merebut kemudi.
"Duduk diam di sana atau saya akan laporkan sikap kamu kepada orangtua kamu!" ancam Nino membuat Taya hanya bisa mengepalkan tangannya di udara. Kesal bukan main karena ancaman Nino yang berhasil membuatnya diam.
Perjalanan nampak begitu hening, tak ada lagi yang membuka suara. Baik itu Nino maupun Taya, Taya lebih memilih memainkan ponselnya. Membalas setiap pesan yang masuk, pesan dari sahabat-sahabatnya yang menanyakan mengapa ia tak kunjung datang padahal mereka telah menunggu kedatangannya. Hingga akhirnya tiba-tiba saja mobil berhenti di sebuah tempat membuat Taya menatap heran ke samping, tepatnya ke arah Nino.
"Loh? Kok berhenti, Om?" tanya Taya bingung.
"Kamu enggak mau turun? Ini sudah sampai di depan kampus kamu," ucap Nino membuat Taya menbelalakkan matanya.
"Om, kok lo tahu di mana kampus gue berada? Kan gue belum kasih tau alamatnya tadi. Lo juga enggak nanya-nanya." Taya begitu heran mengapa Nino bisa tahu di mana ia kuliah.
"Saya tahu dari mama saya," balas Nino singkat tak ingin membalas panjang-panjang.
"Oh oke, kalau gitu makasih, Om!" teriak Taya sambil meninju bahu lengan Nino kencang membuat Nino meringis sakit.
"A-aduh, begitukah caramu berterima kasih? Sangat kasar sekali." Bukannya tersinggung, Taya malah tersenyum bangga.
"Gue sama teman-teman gue emang selalu gitu kalau lagi berterima kasih, Om," jelas Taya.
"Perempuan kok kasar seperti laki-laki," gerutu Nino yang masih dapat didengar oleh Taya.
"Dan perempuan kasar ini sebentar lagi akan jadi istri lo, Om. Bye, Om! Gue turun, ya, hati-hati di jalan! Sekali lagi terima kasih!" Taya turun dari mobil Nino sambil melambaikan tangannya sambil tersenyum penuh kemenangan karena telah berhasil memberikan siksaan kecil pada calon suaminya tadi.
Nino hanya melirik sekilas ke arah Taya, tanpa membalas sapaan gadis bar-bar itu ia langsung menjalankan mobilnya. Setidaknya ada nilai plus si gadis bar-bar itu, meskipun begitu gadis itu ingat mengucapkan terima kasih padanya. Sedangkan Taya sendiri memutuskan memasuki area kampusnya sambil tersenyum cerah, ia merupakan gadis yang begitu ceria yang bisa memberikan aura-aura positif bagi orang sekitarnya. Taya melambaikan tangan ketika ia melihat segerombolan mahasiswa yang tengah duduk di tangga yang dekat dengan kelasnya.
"Hei, Taya! Hei, Taya! Dia si gadis kuat! Suka tinju, dan karate! Taya selalu hebat!" Mereka semua kompak menyanyikan slogan yang memang selalu mereka nyanyikan ketika Taya datang diiringi dengan nada yang mirip sekali dengan kartun bis kecil yang sering anak-anak tonton dan sukai, bedanya liriknya sengaja diganti.
"Aduh! Setiap dengar kalian nyanyi lagu itu gue berasa jadi bis tau enggak?" Taya memang selalu protes ketika teman-teman hanya dengan sengaja menyanyikan lagu itu ketika ia datang.
"Uluh ... uluh ... calon pengantin baru enggak usah sensian gitu dong. Sini, Sayang, sini kita ngadem di bawah pohon beringin yang dipenuhi dengan mbak kunti." Dikta namanya, salah satu sahabat Taya yang memang jahil dan suka meledek Taya.
"Di chat tadi kalian bilang kalau dosennya udah masuk, kenapa sekarang kalian masih di sini sih?" tanya Taya tanpa menanggapi kata-kata Dikta yang menyebalkan.
"Lo kena tipu, Taya! Sebenarnya hari ini kita semua free karena dosennya ada kepentingan hahahaha!" Leo–sahabat Taya juga, sangat puas menertawakannya. Taya mendengkus keras, teman-temannya ini benar-benar keterlaluan. Tahu begitu lebih baik ia berlatih tinju dulu di rumah.
***
Alhamdulillah, bisa up juga. Gimana menurut kalian? Apakah seru untuk dilanjut? Kalau komen rame insyaallah lanjutnya juga cepat.