Berhubung hari ini adalah hari libur, maka Nino dan Sistaya memutuskan untuk berkemas-kemas agar mereka bisa segera pergi ke apartemen pria itu. Sistaya sangat antusias sekali untuk pergi ke apartemen Nino, bukan karena sudah ada benih-benih cinta di hatinya sehingga ia akan merasa sangat senang karena hanya tinggal berdua saja bersama Nino ya. Mana mungkin timbul benih-benih cinta itu hanya karena mereka makan semangka bersama-sama kemarin, tidak! Bukan karena itu. Melainkan karena Sistaya sudah berpikir kalau ia dan Nino pastinya akan pisah kamar kemudian ia bisa bebas ke manapun yang ia mau tanpa harus repot-repot meminta izin pada orang tuanya lagi. Ah, selamat datang kebebasan untuk dirinya sendiri!
Setelah drama perpisahan bersama keluarga Sistaya yang tak kunjung habis, akhirnya Nino merasa lega juga saat ia dan Sistaya sudah masuk ke dalam mobilnya. Karena sejujurnya ia tidak terlalu suka melihat drama yang terpampang seperti tadi, seakan Sistaya akan ia ajak ke alam baka sehingga tak dapat pulang lagi. Kira-kira begitulah reaksi kedua orang tua Sistaya saat mereka akan berpamitan, benar-benar penuh drama. Nino sudah bosan menonton drama yang mamanya sajikan selama di rumah, sudah cukup dengan itu! Keluarga istrinya jangan ikut-ikutan juga! Ia tidak akan sanggup! Biar siaran ikan terbang saja yang menanggungnya.
"Om, kita mampir buat beli makan dulu dong. Gue laper," ujar Sistaya saat mereka sudah setengah perjalanan menuju apartemen. Karena hari pernikahan kemarin begitu ramai tamu membuat Sistaya hanya bisa makan sedikit sehingga laparnya saat ini baru dirasakan.
"Nanti saja saat sampai apartemen," balas Nino tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan depan.
"Gue lapernya sekarang, Om, bukan nanti. Ayo kita cari makan dulu sekarang, lo mau gue mati?" Sistaya terus mendesak Nino agar pria itu mau menepikan mobilnya di tempat makan.
"Bukannya tadi kamu udah makan? Kenapa lapar lagi?" tanya Nino merasa heran.
"Gue emang gini, Om, kalo habis makan tuh pasti butuh makan lagi beberapa menit ke depan."
"Perasaan saya belum golin gawang kamu, mana mungkin 'kan kamu hamil?" tanya Nino asal.
BUKKK ....
"Akh! Kamu gila!? Kita bisa celaka kalau kamu terus memukul saya seperti tadi!" ujar Nino merasa kesal saat lengannya dipukul kuat-kuat oleh Sistaya hingga kini ia merasa ngilu.
"Lo sendiri nyebelin! Ngapain coba nanya enggak jelas gitu! Ya mana mungkin lah gue hamil! Ngaco lo, Om!" tukas Sistaya sebal.
"Siapa tahu aja kamu hamil anak kuda, tenaga kamu sekuat kuda begini," balas Nino sambil mengusap lengannya yang dipukul oleh Sistaya sekilas.
"Wah, ini namanya penghinaan. Gue bisa laporin lo ke polisi atas dasar penghinaan!" Nino hanya mengangkat bahunya acuh.
"Laporin aja, saya enggak takut. Lagian kamu mana ada bukti buat laporin saya, yang ada saya tuntut balik kamu karena udah bikin lengan saya memar." Sistaya menggeram kesal, makin lama Nino jadi suka sekali membalas setiap perkataannya sehingga ia tak dapat berkutik.
"Ayo dong, Om, mampir ke tempat makan dulu. Gue laper nih woy! Lo mau sampai apartemen lo, gue mati? Kalo gue mati, lo gue gentayangin tiap hari biar hidup lo enggak tenang!" Bukannya meminta baik-baik agar dituruti, Sistaya malah mengancam Nino.
"Silakan aja, nanti saya cari istri baru aja mudah. Ngusir kamu yang bergentayangan pakai dukun beranak juga bisa," balas Nino.
Dalam hati Nino tertawa puas karena berhasil membalas setiap perkataan gadis bar-bar itu. Sesekali Sistaya memang harus diberi pelajaran, ia tidak boleh diam saja. Lama-lama gadis itu semakin menjadi kalau ia pun hanya diam, terbukti saat ini Sistaya diam saja.
"Tau ah! Nyebelin lo, Om!" Sistaya merengut kesal, ia kehabisan kata-kata.
Nino terkekeh pelan, kalau Sistaya diam seperti itu, gadis itu malah terlihat seperti gadis manis yang tengah merajuk. Bukan gadis bar-bar yang selalu saja membuat onar dengan kekuatannya yang super dahsyat itu.
"Di dashboard mobil ada plastik isinya roti, kamu ambil aja kalo kamu emang laper," ujar Nino tiba-tiba.
"Ah serius lo, Om!? Kenapa enggak ngomong dari tadi coba!" dumel Sistaya sambil membuka dashboard mobil untuk melihat apa isinya. Ternyata di sana ada sebuah plastik putih yang isinya kemenag benar roti, mana ada dua buah lagi. Cocok lah untuk mengganjal perutnya yang kelaparan ini.
"Hei? Kamu mau apa?" tanya Nino saat Sistaya melepaskan safety belt-nya kemudian duduk santai di atas bangku mobil.
"Duduk sambil makan lah, Om," ucap Sistaya.
"Bahaya! Pakai kembali sabuk pengaman kamu! Kita ini lagi ada di mobil bukan di rumah, duduk yang bener!" titah Nino.
"Cerewet lo, Om! Kayak ibu tiri!" tukas Sistaya sambil membuka bungkus roti itu kemudian melahapnya.
"Lagian, gue enggak bakalan kenapa-kenapa asalkan lo nyetirnya bener. Kalo gue kenapa-kenapa salah lo yang nyetir," ujar Sistaya dengan mulut penuh karena mengunyah roti.
"Uhuk ... uhuk!" Sistaya langsung terbatuk karena makanan yang ia telan sedikit menyangkut si tenggorokan.
"M-minum mana, Om! Cepetan!" ujar Sistaya. Padahal sedang kesusahan, nada suaranya masih saja ketus.
Nino langsung memberikan botol air mineral di dekatnya pada Sistaya yang langsung menerimanya kemudian meminumnya.
"Ahh, lega!" ujarnya sambil menutup botol air itu kembali.
"Makanya, makan itu jangan sambil ngomong. Selain enggak sopan, bisa membuat celaka juga," ujar Nino.
"Iya, Pak Guru. Janji enggak lagi, puas lo, Om?" balas Sistaya dengan mata mendelik.
Beberapa saat kemudian akhirnya mobil Nino tiba juga di parkiran sebuah gedung apartemen yang akan menjadi tempat tinggal mereka. Pria itu langsung turun yang diikuti oleh Sistaya, Sistaya menatap sekeliling gedung apartemen yang nampak mewah ini sedangkan Nino mengambil koper Sistaya yang ada di bagasi mobil.
"Bawa sendiri!" ujar Nino sambil menaruh koper Sistaya tepat di hadapan gadis itu hingga membuat Sistaya langsung menoleh.
"Serius ini gue yang disuruh bawa koper gue sendiri? Lo 'kan suami gue, seharusnya lo dong bawain koper istrinya," protes Sistaya.
"Kamu sendiri yang bilang kalau kamu lebih kuat dari saya, kata kamu saya ini pria yang lembek. Jadi, pria lembek mana mungkin membawakan koper seorang gadis yang kuat 'kan?" tanya Nino kemudian berjalan meninggalkan Sistaya memasuki gedung apartemen.
"Dasar Om Lembek nyebelin!" maki Sistaya.
"Tungguin gue, Om!" Sistaya menariknya kopernya kemudian segera berlari menyusul Nino yang hampir masuk ke dalam lift.
"Tunggu! Jangan tutup lift-nya!" teriak Sistaya mengulurkan tangannya saat lift itu hampir saja tertutup.
Sontak saja, hal itu membuat Sistaya menjadi pusat perhatian. Dengan acuh, gadis itu memasuki lift sambil menggeret kopernya tanpa peduli tatapan heran orang-orang yang tengah memperhatikannya. Sistaya sama sekali tidak merasa malu, berbanding terbalik dengan Nino yang merasa malu karena ulah gadis bar-bar yang sialnya adalah istrinya itu. Nino memilih memalingkan wajahnya, berniat untuk pura-pura tak mengenal Sistaya.
"Ini adiknya ya, Mas?" tanya seseorang di samping Nino sambil menunjuk Sistaya.
"Bukan, saya sama sekali enggak kenal," jawab Nino.
Sistaya yang sama sekali tidak dianggap pun langsung menoleh ke arah Nino, gadis itu tersenyum jahil. Tanpa aba-aba ia langsung memeluk suaminya erat.
"Gue istrinya dia, maaf ya suami gue kayaknya lagi marah sama gue gara-gara tadi malam minta nambah ronde ke lima enggak gue kasih. Jadinya begini deh, gue disiksa suruh bawa koper sendiri," ujar Sistaya sambil memasang wajah pura-pura sedih.
"Wah, Masnya tega ini. Istri juga butuh istirahat kali, Mas, jangan-jangan Masnya ini maniak s*x ya?" tanya salah seorang wanita yang berada di sebelah seorang pria yang ada di sampingnya.
"Enggak nyangka ternyata ganteng-ganteng maniak s*x, enggak kasihan sama istrinya. Istri masih muda digempur habis-habisan." Bisik-bisik yang nampak jelas terdengar itu membuat Nino merasa terganggu.
"Yang sabar ya, Dek, mungkin aja suaminya lagi masa-masa bergàirah yang tinggi. Kelihatannya juga kalian masih pengantin baru 'kan ya? Jadi, wajar kalau suaminya minta tambah terus. Habis buka puasa lama ya gitu kalo laki-laki," kekeh seorang ibu-ibu sambil terkekeh geli.
"Mungkin suaminya pengen cepet-cepet punya anak itu, makanya minta tambah terus. Kelihatannya juga udah tua 'kan umurnya, jadi wajar mau cepat-cepat punya anak." Bisik-bisik dari seorang wanita lain membuat Sistaya menahan tawanya, sedangkan Nino sendiri menahan kesalnya.
"Ternyata enggak cuma gue aja yang bilang kalau lo itu tua, Om, tapi juga orang lain," bisik Sistaya tepat di telinga Nino hingga membuat pria itu menggeram kesal.
"Awas ya kamu nanti," balas Nino kesal.
"Dengan senang hati gue tinggi ancaman lo jadi kenyataan, Om." Sistaya tersenyum sombong kemudian sedikit menjauh dari Nino.
Ting!
Lift berhenti saat telah sampai di lantai tujuan.
"Iya, suami gue pengen banget punya anak tapi sayangnya—" Perkataan Sistaya terhenti saat Nino dengan paksa menarik tangan gadis itu keluar dari lift, lebih baik mereka segera keluar daripada Sistaya berkata semakin menjadi nantinya.
"Eh? Apa-apaan ini, Om? Lepasin tangan gue!" Sistaya yang memiliki tenaga yang kuat dalam sekali sentak berhasil melepaskan tangannya yang sedari tadi ditarik paksa oleh Nino.
"Apa-apaan sih lo, Om! Main tarik tangan gue, sakit tahu!" ujar Sistaya ketus sambil mengusap lengannya yang sedikit memerah.
"Kamu tahu tidak kalau kamu tadi sudah keterlaluan? Seenaknya saja mempermalukan saya!" tukas Nino.
"Oh, jadi Om punya rasa malu juga. Kirain enggak punya," balas Sistaya santai.
Nino menggeram kesal, kalau saja Sistaya bukan seorang perempuan, sudah ia balas. Daripada semakin merasa kesal, lebih baik Nino meninggalkan Sistaya.
"Eh, Om! Mau ke mana? Jangan tinggalin gue, woy!" teriak Sistaya segera menyusul Nino sambil menggeret kopernya.
"Ini apartemen lo, Om?" tanya Sistaya saat ia menyusul Nino masuk ke sebuah ruangan apartment.
"Kalau sudah tahu, enggak usah nanya!" balas Nino sinis.
Sistaya malah terkekeh geli ketika mendengar perkataan Nino yang sinis itu. Bisa marah juga ternyata si Om Lembek, batin gadis itu terus tersenyum.
"Om? Lo marah ya sama gue? Jangan marah dong, Om, kan tadi gue cuka bercanda aja." Nino diam tak menanggapi, pria itu memilih masuk ke sebuah ruangan yang Sistaya yakini itu adalah sebuah kamar. Gadis itu mengekori Nino hingga mereka tiba di dalam kamar yang luas itu.
"Wah, luas banget kamarnya. Ini jadi kamar gue ya, Om, gue suka sama kamarnya," ujar Sistaya menatap penuh minat kamar ini. Gadis itu menaruh kopernya di dekat lemari besar yang berada di pojok ruangan.
"Ini memang kamar kita," balas Nino sambil duduk di tepi ranjang.
"Apa? Kamar kita!?" tanya Sistaya terkejut.
Nino hanya mengangguk.
"Kok kita satu kamar sih, Om? Tadi gue lihat di sana masih ada kamar satunya. Lo di sana aja biar gue yang di sini!" protes Sistaya. Ia mana sudi tinggal sekamar bersama dengan Nino, mana bebas dirinya berekspresi saat sedang tidur.
"Asal kamu tahu aja, ruangan yang itu bukan kamar tapi gudang. Ya kalau kamu mau tinggal di gudang sana silakan aja, bersihkan semuanya sendiri. Dan kalau sampai kita ketahuan pisah kamar, saya enggak tanggung jawab loh kalau kamu nanti kena tegur orang tua kamu," balas Nino santai.
"Enggak! Gue enggak mau sekamar sama lo! Astaga, Om, emangnya lo enggak keberatan sekamar sama gue? Plis deh, gue enggak mau sekamar sama lo!" ujar Sistaya berteriak untuk menumpahkan kekesalannya.
Nino berdiri, pria itu berjalan menghampiri Sistaya. Ia menunduk sedikit untuk mensejahterakan wajahnya dan juga Sistaya.
"Saya sama sekali tidak keberatan sekamar dengan kamu, lagipula saya lebih suka tinggal bersama seorang gadis yang bar-bar daripada yang pendiam. Karena biasanya yang ganas itu lebih enak dan seru," bisik Nino pelan.
DUKKK ....
"Taya!" teriak Nino kesakitan saat Sistaya menendang tepat di asset masa depannya.
"Ini kalau sampai asset masa depan kamu kenapa-kenapa! Kita enggak bisa punya anak loh!" ujar Nino sambil mengusap miliknya yang ngilu. Tendangan Sistaya benar-benar dahsyat.
"Ya gampang lah, Om, tinggal beli aja anak di toko online. Gitu aja kok susah, sekarang tuh serba mudah. Hal kecil enggak perlu dibikin ribet," balas Sistaya santai.
Nino menggeram kesal, ingin sekali pria itu membalas perbuatan si gadis bar-bar yang sayangnya sudah resmi menjadi istrinya. Sepertinya ia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi tingkah Sistaya yang pastinya tidak akan pernah bisa menjadi gadis normal kebanyakan, gadis itu benar-benar menyebalkan! Selain menyebalkan juga suka bertindak KDRT padanya yang merupakan suaminya sendiri.